Thursday, January 29, 2015

Mungkinkah Ini Cinta? Insya Allah


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Hamba berlindung kepadaMu Ya Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan menyebut namaMu Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya bagiMu Tuhan seluruh alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kami, kekasihMu, Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta seluruh keluarganya, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia berpegang pada Quran dan Sunnah sampai akhir jaman. Aamiin Yaa Rabbal alamin.

Pada jam 02.47, Bapak mengirimkan sms demikian. “Bon, saatnya SMATN melahirkan pemimpin. Bapak ingin kamu bersikap layaknya pemimpin yang santun, merakyat, sederhana tapi tegas, berani dan cermat. Keadaan negara mengharuskan bergerak maju. Bapak selalu tahajud untuk itu. Mungkin harapan Bapak terlalu muluk, tapi memang itulah yang bergaung di dalam jiwa Bapak.”

Aku baru membalasnya selepas shalat shubuh pada jam 05.38. “Aamiin Yaa Rabbal alamin. Insya Allah semakin banyak yang berdoa seperti Bapak. Rakyat Indonesia sudah terlalu lama dibohongi, jadi bulan-bulanan bahkan oleh bangsanya sendiri. Insya Allah, one of these days Gusti Allah berkenan mirengke dan ngijabah doa Bapak dan mungkin jutaan lainnya Rakyat Indonesia, apalagi yang mendoa sambil tahajud. Insya Allah saya juga berdoa agar diparingi rahmat hidayat seperti itu juga, mendoa sambil tahajud. Aamiin.”

Jika melihat isi blog orang lalu teringat blog sendiri, rasanya malu. Aku membaca-baca blog orang ketika ingin melipur laraku sendiri berharap ampunan Allah dan kesembuhan, kesehatan yang sempurna. Jawabannya satu. Tahajud. Ndilalah kersaning Allah, Bapak mengirim sms begitu rupa. Sepertinya memang tidak ada cara lain. Hari ini aku tidak terbangun tengah malam. Setidaknya, aku berusaha untuk tidak tidur lagi setelah shubuh. Kudengar ini pun salah satu sunnah Rasul. Terlalu banyak yang kudengar, sedikit sekali yang kujalankan.

Manfaat apa yang didapat orang dari membaca-baca blogku? Menurut statistik, kebanyakan peselancar dunia maya tersesat ke blogku ketika mereka menelusur mengenai mantra santet dan gadis cantik. Sementara aku dituntun gugel ke arah blog orang-orang hebat ini yang memberitakan berbagai pengetahuan yang sangat berguna. Naudzubillah tsumma naudzubillah. Pun demikian, masih saja aku menulis-nulis begini. Sejujurnya, aku tidak terpikir hal lain agar tidak tidur selepas shubuh, kecuali menulis-nulis. Ya Allah ampunilah hamba, kasihanilah hamba, bimbinglah hamba ke jalan yang Engkau ridhai.

Aku berjanji untuk menulis suatu serial esai, masing-masing lima ratusan kata, mengenai sejarah maritim Indonesia. Selain itu, aku juga berjanji pada diriku sendiri untuk menulis laporan kegiatan kemarin bersama Pak Try dan Pak Teddy. Menilik dari perasaanku pagi ini, Insya Allah aku mampu melakukannya. Satu hal yang sedikit membuatku risau adalah harus pergi ke Medan Merdeka Barat selama dua hari berturut-turut. Ya Allah, hamba mohon pertolonganMu. Karuniakanlah kepada hamba kesehatan yang sempurna, dan jalan yang sempurna menuju hal itu.

Hari ini aku berniat untuk pergi ke kampus mengambil tasku. Ya Allah, jauhkanlah hamba dari apa yang hamba takutkan itu. Segala sesuatu datangnya dari Engkau. Memang hamba sungguh bodoh lagi durhaka. Ampunilah hamba, Ya Allah, kasihanilah. Hanya kepadaMu hamba dapat memohon pertolongan, belas kasihan, ampunan, Duhai Maha Penolong, yang pertolongannya sempurna. Ya Allah yang Maha Berbelas Kasih, Maha Pengampun. Kasihanilah Bapak hamba. Kasihanilah kedua orangtua hamba. Hamba mohon dituntun ke jalan bakti kepada mereka berdua. Aamiin Yaa Rabbal alamin.

Sunday, January 25, 2015

Viva El Presidente! Смърт техен!


Dunia ini panggung salihara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura

Mengapa kita bersalihara
Mengapa kita bersalihara

Seharusnya aku merapikan cakar ayam dari sesorean sampai hampir tengah malam tadi. Bahkan cakar ayam mengenai Restorasi Pancasila saja belum kubereskan. Akan tetapi, aku sudah tidak punya cukup tenaga [atau waktu, karena aku harus segera berangkat tidur] untuk melakukannya kini. Biarlah kutunda sampai besok. Mungkin besok akan kulakukan di Jeprut, atau Jalan Radio. Lihat besoklah. Oleh karena itu, malam ini biarlah aku mengabadikan bagian-bagian manusiawi (human interest) dari kejadian-kejadian sepanjang petang sampai malam ini. [‘pala lo human interest?!]

Evo Morales sedang kompresi pres
Pertama-tama, tentu saja rujak cingur yang bumbu petisnya mantabp, sampai-sampai aku berani makan cingurnya yang kinyel-kinyel itu. Pokoknya cucok lah "Salad Surabaya" tadi itu. Kedua-dua, mungkin shalat Ashar yang diimami oleh mantan petinggi PKS Jepang Azhari Sastranegara lalu shalat Maghrib yang diimami Bang Humbul Kristiawan. Jika saja beliau tidak menarikku tadi setelah jeda, tentu aku sudah shalat Maghrib diimami Pak Try Sutrisno, yang secara resmi tertulis sebagai idolaku menurut Buku Tahunan TN2.

Akan tetapi, laporan utama malam ini tentu adalah mengenai penobatan Evo Morales sebagai El Presidente oleh Rshi Bhishma, di hadapan senior-senior, rekan-rekan, bahkan junior-juniornya yang jelas-jelas lebih hebat darinya—sedangkan mereka dinobatkan sebagai para menteri. Hadir pula dalam kesempatan itu para sesepuh Hastinapura dan lain-lain yang belum terlalu sepuh. Salah satu dari antara yang belum terlalu sepuh itu, Pak Jon, mengatakan bahwa Rshi Bhishma bersumpah tidak akan meninggal sebelum menyerahkan tampuk kepemimpinan negara pada orang yang tepat. [atau benar?] Aku sendiri tidak ingat Rshi Bhishma pernah bersumpah demikian.

Rshi Burian menyebutnya sebagai transformational leadership, menyiapkan Evo Morales dan kawan-kawannya untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan Bangsa. Para Rshi ini tampaknya berharap sangat besar dan tinggi pada Evo Morales dan kawan-kawannya, sedangkan Pak Jul dan Pak Husen menyebut bocah-bocah ini sebagai bahasa Maduranya TN, yaitu Taman Nakkanak. Betul, Pak, Evo Morales cs. memang nakkanak di bidang ini. Mereka memang belum terbiasa netek, sedangkan sebagian besar darinya menekuni bengek masing-masing. Kata kuncinya dalam hal ini mungkin, sebagaimana disabdakan Rshi Bhishma, “TANPA PAMRIH.”

Pamrih apa? Pamrih melihat Bangsa ini maju, seperti kata Herbie? Berhubung aku agak kenal Evo Morales—kebetulan kami saudara kembar siam dampit identik lain bapak lain ibu—aku agak dapat membaca pikiran Evo. Ia jelas punya pamrih yang sangat besar. Bapaknya yang turunan Ken Arok menginginkan ia melakukan kerja besar sebagaimana pernah dikerjakan leluhurnya itu. Ini memang spesialisasi turunan Ken Arok, yaitu spesialis terima beres. (STB) Lhah, kalau begitu berarti harus ada juga Dang Hyang Lohgawe.

Selepas acara itu, Takwa, Steve dan Herbie mengajak geser ke Circle K dekat situ. Aku minum teh susu dan makan roti keju, masih juga makan martabak telor yang dibeli Herbie agak dua potong. Oh, apa yang telah kulakukan? Dunia ini toh panggung salihara yang ceritanya mudah berubah. Akan tetapi, mungkin memang itu satu-satunya konsep dasar, yang karenanya Ip Man harus berterima kasih pada Togar Tanjung. Selesai dari situ sudah hampir tengah malam. Sempat ragu, namun setelah diterpa angin malam, Alhamdulillah, segar lagi menyongklang Pario sampai rumah.

Kami Putra Ibu Pertiwi Indonesia
Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945
Setia kepada Pancasila
Setia kepada UUD 1945
Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bersedia menyerahkan seluruh jiwa raga 
bagi cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia

Saturday, January 24, 2015

Funai adalah Musiknya Kemayoranku


Sekarang aku kenyang. Cenderung kekenyangan malah. Siang tadi itu aku mengapa, ya? Sore kemarin aku tahu mengapa, tapi siang tadi? Ya Allah, hamba berlindung kepadaMu dari yang seperti tadi itu. Hamba mohon angkatlah dan jauhkanlah segala penyakit dari badan hamba. Ya Allah, hamba mohon karunia kesehatan yang sempurna. Semoga hamba tidak pernah harus mencari perhatian medis. Bila pun hamba sakit, cukuplah yang ringan-ringan saja, yang dapat sembuh hanya dengan ditunggu saja, ditahan sakitnya, yang menjadi penghapus dosa-dosa. Aamiin.

Kesalahanku adalah menginginkan kembalinya masa kecilku. Pendorong utama disusun dan diterbitkannya blog ini, maka judulnya jadi seperti itu, plesetan dari Kemayoran. Sungguh Kemayoran itu betapa permai terasa di hati. Sekarang pun sambil mengetikkannya, terasa betul betapa permainya. Terlebih dengan adanya Lara’s Theme ini, Dr. Zhivago. Pengetahuan yang kudapat di Kemayoran dari Ibuku, dan lekat pada benakku sehingga kini. Justru di situlah letak kesalahanku. Semua itu tidak akan kembali, tidak peduli apapun yang kulakukan. Kemayoran tidak akan pernah hadir kembali.

Terminal Bandara International Kemayoran pada tahun kelahiranku
Sekarang, dengan Fawaz main monopoli di kamar belakang dengan Bundanya, semakin terasa jauh Kemayoran itu. Tidak ada monopoli di Kemayoran! Perkawinan adalah bersatunya pengalaman dua manusia. Pengalaman dibesarkan yang menjadi acuan dalam membesarkan. Semua yang ada di sekelilingku asing. Aku tidak mengenalinya barang satu pun. Terlebih dengan Moulins de Mon Coeur, semakin terasa terasinglah diriku. Semakin terasa jauh dari Kemayoranku yang permai di malam hari. Celoteh binatang malam adalah kemiripannya dengan Cikumpa ini. Sisanya, asing.

Ketika malam perlahan menyelimuti, maka di barat terlihatlah puncak Monas yang gemilang keemasan. Aku harus berjinjit untuk dapat melihatnya ketika itu. Pernahkah Bapak atau Ibu memperhatikannya. Apakah sama menariknya Monas itu seperti bagiku? Monas yang jauh itu. Sungguh nyaman berada dekat-dekat Ibu, dan Bapak jika tidak sedang dinas malam, sambil memandangi Monas yang jauh itu. Tidak ada bahaya. Tidak ada khawatir. Besok hanya diisi oleh rencana-rencana yang melulu mengasyikkan. Buku untuk dibaca. Karton untuk digunting-gunting, dibuat mainan.

Ketika malam semakin larut, TVRI pun semakin mendekati akhir siarannya. Aku tidak terlalu ingat apapun mengenai hal itu, karena sebagaimana layaknya anak kecil, aku nyaris tidak pernah tidur larut. Hanya kuingat lamat-lamat, kami sempat pulang sangat larut (dari Tomangkah itu) sampai-sampai aku bisa melihat akhir dari film seri Buck Rogers. Setelah tua begini, terkadang aku berandai-andai, apa yang dialami, apa yang dikenang oleh orang-orang yang lebih dewasa lagi dariku, mengenai waktu-waktu itu? Sibuk apa saja Mas Oki di Duren Tiga, sebagai siswa SMA 70?

Begitulah, aku tidak bisa beranjak darinya, dari Kemayoran. Aku tidak punya anak yang dapat mengajakku beranjak ke dalam masa kecilnya. Aku terperangkap dalam masa kecilku. Wajarlah jika manusia berusaha meringankan hidup kesehariannya yang penat, bahkan jika itu dilakukan dengan sekadar berkhayal. Sedangkan aku yang sekadar pernah mengalami episode-episode menjijikkan dalam hidupku selalu membutuhkan pelipur. Bagaimana dengan orang yang masih mengalami hidup nista. Naudzubillah. Kasihanilah kami Ya Allah hamba-hambamu. Datangkanlah pertolonganMu secepat-cepatnya. Angkatlah kami dari kenistaan. Basuhlah kami dengan Belas KasihMu, Ya Rabb.

Biarlah entri ini kututup dengan sedikit deskripsi mengenai Kemayoran. Musik. Ya, selalu musik yang cantik, sedangkan Ibuku yang cantik selalu sibuk entah apa. Biasanya sambil beres-beres rumah, maka Ibu akan mendengarkan musik dengan stereo set merek Funai, yang selalu dikenang Bapak karena tibang begitu aja dahulu pakai ngredit. Musik yang cantik. Suasana hati yang selalu aman dan nyaman. Hangat. Aku tidak pernah ingat kepanasan atau kedinginan. Semua serba aman dan nyaman dan hangat, seraya memandang ke arah selatan dari rumah kami yang tusuk sate itu.

Friday, January 23, 2015

Mahkota Seleraku yang Sedap Sekejap Itu


Berlatih menulis tiap-tiap kali lima ratusan kata sebenarnya merupakan kebiasaan yang baik. Akan tetapi, gagasan-gagasan dalam tiap alineanya haruslah runtut. Sedangkan aku di sini menulis seenak-enak hatiku saja. Banyak hal sebenarnya yang harus kutulis. Namun daya tarik menulis asal-asalan selalu lebih kuat dari yang mana pun. Seperti malam ini, ketika badanku sudah terasa lebih enak, hal pertama yang terpikir olehku adalah menulis. Sayangnya, menulis di sini, yang tidak akan banyak faedahnya ini. Tulisan, kata-kata, ujaran ini.

Beberapa hari ini cuacanya agak lucu. Menjelang shubuh hujan mulai turun, biasanya didahului dengan kilat dan guruh bersahut-sahutan. Setelah itu hujan tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan hari ini sampai lepas Ashar. Akibatnya, dari pagi sampai sore bawaannya ingin tidur saja; dan memang enak sekali tidur dalam cuaca seperti itu. Sebaliknya, malam yang menurut ramalan cuaca berawan menjadi tidak nyaman untuk tidur. Itulah sebabnya, sudah hampir jam sebelas malam, aku baru bersemangat melakukan sesuatu; dan itu, sialnya, adalah menulis-nulis di sini.

Uah, Rendesvouz au Lavandou ditingkahi dengan kenangan akan Majalah Sedap Sekejap, bahkan Majalah Selera. Sungguh masa kecil yang indah. Tidaklah akan aku penasaran karena telah mengalami masa kecil seindah itu. Meski ia tidak mungkin kembali, aku sudah mengikhlaskannya. Bahkan jika hidup dewasaku kurang-kurang bahagia sedikit, tidak menjadi apa. Cukuplah bagiku ketika kecil pernah membaca seekor kuda yang mati tertimpa mempelam, dan Bapak yang selalu ribut masalah bahasa tentu saja meributkan hal itu. “Apa itu mempelam? Pelem?”

Lucunya, Lobo yang satu ini, Don’t Expect Me To Be Your Friend, tidak mengingatkanku akan masa kecil. Ini justru membawa pada salah satu masa terkelam dalam kehidupanku. Mess Pemuda. Seperti apa dahulu hidup di situ? Ada satu kesamaan dengan masa sekarang. Aku sama-sama gendutnya pada saat itu. Gendut sekali! Subhanallah, kapan itu, hampir lima belas tahun yang lalu. Hitung-hitung ada yang menjalaninya, dan itu aku. Aku bersama beberapa jiwa tersesat lainnya. Di situ. Mess Pemuda dengan Witch Grandma-nya, yang rumahnya ancur ibunya mati.

Lalu ada jejak-jejak cinta. Apakah itu? Samakah ia dengan cerpen-cerpen yang pernah kubaca di Bobo, Kawanku, Ananda? Jelas ada cinta di sana. Cinta Bapak dan Ibu padaku, sampai-sampai membelikan majalah-majalah itu meski bekas. Hei, entri ini jadi mengenai majalah, meski bekas! Ada pula cinta Akung padaku, cucu kesayangannya, yang mendorongnya membeli majalah-majalah baru tiap minggunya. Bahkan sampai Mimin! Anak tidak bisa lain harus dibesarkan dengan cinta. Aku kenyang dihajar habis-habisan, (H3) namun hanya cinta yang kukenang.

Majalah Selera itu, beberapa eksemplar, juga semacam buklet Mahkota Selera, beberapa eksemplar juga, semua itu cinta. Sempat juga, setelah episode Mess Pemuda yang pahit dikenang manis ditertawakan, cinta itu kembali menyelimuti dalam bentuk Majalah Sedap Sekejap. Kurasa entri ini dipicu oleh percikan kenangan tentang mi rayud. Terselip sesungging sedih ketika ternyata hanya satu entri mengenainya dapat kutemui di gugel. Arroz con pollo panameño, aloo matar bhaji, adalah beberapa nama aneh yang kutemui di Majalah Selera, yang tak bisa kulupa bahkan sehingga kini.

Lucu jika mengingat betapa arroz con pollo panameño, aloo matar bhaji dilanjutkan dengan mi rayud menemaniku ke mana-mana. Mereka bersamaku ketika aku memandangi plafon Graha 3 menunggu kantuk. Mereka bahkan bersamaku ketika aku jaga serambi di Barak Ton 3 Kotakta A. Mereka menemaniku ketika aku nyoro sebentar di balik tangga Gedung Wiratno sebelum lari pagi. Mereka menghiburku dalam malam-malam mengerikan, malam-malam jahanam yang entah mengapa sampai hinggap dalam kehidupanku. Mereka selalu bersamaku, sampai kini, nama-nama aneh itu.

Wednesday, January 21, 2015

Malam Begini, Gerimis dan Togar Tanjung


Restorasi Pancasila... itu sesuatu hal yang teramat penting. Bagiku. Bersikap sopan pada orang yang lebih tua, apalagi orangtua, apalagi sesepuh adalah kode kehormatanku. Kesetiaan adalah kebanggaanku. Kehormatan di atas segala-galanya. Namun Kemacangondrongan ini terlalu kuat menarikku bagai besi berani. Untuk terus menulisinya sesuka hati karena di sinilah, dari semua tempat di dunia aku dapat berbuat sesuka hati. Meskipun itu menulis, karena aku memang suka menulis. Aku lebih suka menulis daripada bicara. Menulis meninggalkan jejak. Bicara tidak. [Apa dengan demikian aku suka meninggalkan jejak?]

Namun ini entri mengenai temanku. Ya, teman sejatiku memang Cantik, tapi Cantik itu ‘kan istri. Istri itu perempuan. Perempuan memang teman seperjuangan mengarungi bahtera rumah tangga. Namun ini teman. Sekarang ini, jika ditanya siapa temanku, aku hanya dapat menyebut satu nama. Togar Tanjung. [Ah, ia ‘kan juniormu jauh] Akan tetapi aku memang tidak punya teman. John Gunadi jelas tidak suka berteman denganku. Hari Prasetiyo, dia temanku juga. Farid. Ega, mahasiswa bimbinganku. Aku tidak punya lagi teman.

Togar Tanjung punya kehidupan dan waktunya sendiri. Pun demikian, satu hal yang jelas, dia... Hah, aku tidak ingin memberikan kehormatan itu padanya. Setidaknya tidak sekarang. Akankah pernah? Tidaklah. Cukuplah penghormatan ini kuberikan pada Mas Toni Edi Suryanto. Ia Pecundang Sejati, meski aku belum dapat memutuskan apakah pecundang lebih baik daripada pecun. Baik pecundang maupun pecun sama-sama berusaha menaklukkan dunia. Bedanya, pecundang, sesuai namanya, dipecundangi. Pecun? Kadang mecun, kadang mempecundangi, kadang mati. Gloria Wandrous, contohnya, mati.

Sebuah tulisan "No Sale" yang bagus sekali, kata Cantik. Aku setuju.
Malam-malam begini, di tengah hujan gerimis lamat-lamat, aku menulis mengenai Togar Tanjung. Untunglah tulisanku ini tidak seperti surat-surat Erasmus kepada Servatius Rogerus. ‘Gar, Gunawan Mohamad itu... ah, aku tidak mau memaki. Namun caramu menyebut apa yang dimilikinya sebagai “modal sosial” terngiang selalu dalam benakku. Kita tertawa-tawa membicarakan kelakuan dan nasib prodiginya. Apa yang dapat kita perbuat, Gar? Sementara Bang Andri menetapkan, bila tahun ini juga ia diangkat menjadi Lektor Kepala, setidaknya dua tahun kemudian harus sudah jadi Guru Besar.

Apa benar yang kita tertawakan? Eh, daripada lupa, lebih baik kuceritakan di sini. Dini hari menjelang shubuh, aku terbangun dari sebuah mimpi yang aneh sekali. Prof. Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. tengah berbaring di dalam sesuatu yang mirip pillbox atau bunker tempat latihan melempar granat. Ia semacam ingin menguji sesuatu dengan cara membakar bagian dalam tempat itu, sedangkan ia berbaring di dalamnya. Entah aku yang melakukannya, entah orang lain, yang jelas Prof. Topo ditimbun dengan pasir. Mungkin agar ia tidak terbakar.

Kepalaku berada dekat dengan kepala beliau. Rasa-rasaku, aku seperti di situ untuk menguatkan hatinya melakukan apa yang tengah beliau lakukan. Entah bagaimana caranya, tempat itu mulai terbakar dan aku pun menghindar. Namun aku sempat juga menengok ke belakang dan kudapati kaki Prof. Topo tidak tertutup pasir dengan sempurna; dan kaki itu terbakar! Pada saat itulah aku terbangun. Sudahkah aku berlindung pada Allah dari kejahatan mimpi buruk itu? Aku lupa. Namun, yang jelas, aku tergoda juga untuk gugling mencari makna dari impian seperti itu.

Aku banyak takut. Semakin banyak ketakutanku. Mengapa begitu? Pantaskah seseorang laki-laki berumur 39 tahun sepenakut aku? Colombus memulai pelayaran pertamanya ke barat pada usia kira-kira 42 tahun. Ia pasti seorang yang sangat pemberani. Ia pelaut ulung. Ia berani menghadapi ganggang sargassum, meski aku lupa apa benar yang seram dari ganggang ini. Aku... aku hanya berani melayari masa laluku. Masa kecilku. Aku berlayar dengan buritan memecah ombak. Masa kecilku tampak makin jauh saja, dan aku tidak tahu, dan tidak mau tahu ke mana bokongku menuju.

Tuesday, January 20, 2015

Ari Juliano Gema yang Kuingat


Suatu hari di paruh pertama 1996, Ajo menginap di Yado II No. E4, di pavilyun. Ya, ia menginap seingatku, karena kami sedang membuat makalahjika tidak salahuntuk mengikuti semacam lomba menulis bertemakan Hukum Tata Negara. Mungkin ini juga yang membuatku segera memutuskanketika kali pertama menjejakkan kaki di FHUIuntuk memilih Program Kekhususan Hukum Mengenai Hubungan antara Negara dan Warganegara atau PK V, yang secara umum berisikan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.

Dari ingatanku paling awal mengenai Ajo sebagai mahasiswa hukum, ia adalah mahasiswa yang aktif. Suka mengikuti lomba-lomba. Pada saat itu ia tentu baru Semester IV. Seharusnya ia sedang mulai memilih PK. Apakah ia sempat ragu untuk memilih antara V dan VI? Entahlah. Jelasnya, ia kemudian kukenal sebagai mahasiswa PK VI Hukum mengenai Hubungan Antarnegara alias Hukum Internasional. Dari sini tidaklah heran jika Ajo menjadi Ajo yang sekarang. Bahkan semenjak SMA Kelas II pada paruh kedua 1992 itu.

ki-ka Pak YB Suparmono, Pak Widijono, Bono, Ajo, Pak Sutarli Zain, Pak Cecep Iskandar.
Hal lain yang kuingat, dan tidak akan pernah kulupa dari Ajo, adalah ia pernah membayariku kuliah satu semester sebesar Dua Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah. Aku tidak punya uang waktu itu, seperti biasa. Dan seperti biasa, aku berani saja menghubungi Ajo untuk meminjam uang. Aku lupa apakah Ajo pernah mengikhlaskan. Jelasnya, sampai hari ini ia tidak pernah menagih. Selamanya aku berutang budi pada Ajo, yang artinya, haram bagiku untuk melakukan sesuatu apapun yang merugikannya dengan cara apapun.

Ada lagi hal lain yang selalu kuingat mengenai Ajo. Akan tetapi, yang satu ini tidak akan kuceritakan kepada siapapun sampai aku mati. Ya, kuakui aku pernah menceritakan hal ini pada beberapa orang. Ibuku dan Istriku. Selebihnya tidak. Biarlah dari semua itu kukenang mengenai “titik nol.” Ajo ingin menuju titik itu. Di grup wasap Paradua, ia hanya mengatakan ingin menjadi Jaksa Agung atau Menkumham. Sampai titik nol juga tidak apa-apa, Jo, seperti yang pernah kaukatakan padaku.

Selebihnya, Ajo adalah basis Biodeath sebuah band thrash metal yang kami bentuk bersama Mappalara Simatupang dan Andigus Wulandri di Graha 3 SMATN pada paruh kedua 1992. Aku selalu menceritakan bahwa Mappy sebelumnya adalah penggemar dangdut meski ia tahu Beatles juga. Cecak Andigus lebih parah lagi karena ia penggemar KLA. Darinyalah aku selalu ingat lagu "Pasir Putih"-nya Irma June dan Hedy Yunus. Namun begitulah kejadiannya. Gara-gara Ajo kami memainkan Countdown to Extinction-nya Megadeth dan I Hate You Better-nya Suicidal Tendencies.

Selebihnya, Ajo dan aku sebenarnya tidak sejalan. Ia tampan. Aku ganteng, meski aku baru tahu belakangan. Ajo selalu tahu kalau dirinya tampan, kurasa bahkan semenjak SMP. Aku tidak pernah tahu kalau aku ganteng. Selera musik kami juga sebenarnya jauh berbeda, meski entah mengapa kami pernah sama-sama membuat band thrash metal. Ajo pernah punya band juga di SMP dan main metal juga. Aku pernah juga punya band di SMP tapi aku main lagu-lagunya Sex Pistol. Selebihnya, Ajo bisa jadi Top 40 sedangkan aku selalu Nat King Cole.

Selebihnya, sebagaimana aku selalu tahu, Ajo dan aku sebenarnya tidak sejalan. Ajo adalah mantan anggota Tonpara yang entah mengapa sangat dibangga-banggakan oleh beberapa orang dan anggota-anggotanya sendiri. Aku adalah mantan anggota Tonpara yang banyak mendapatkan pujian dalam buku saku-buku saku kami. Selebihnya, Ajo tahu persis apa yang diinginkannya, bahkan mungkin sejak kecil. Sejak kecil, aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang kuinginkan. Ajo tengah menapaki jalan yang disusun oleh rencana-rencananya, harapan-harapannya. Aku... menulis mengenai Ari Juliano Gema. Di sini.

Selamat Ulang Tahun, 'Jo.

Monday, January 19, 2015

Ibu Superior Menyergap Meriam. Empat Kali


Hampir setengah dua. Aku masih terjaga ditemani Io Che Non Vivo, dan secangkir Coffeemix. Semoga ini bukan langkah yang salah, karena Io Che masih terdengar betapa manisnya. Seperti biasa, pikiranku kalut bercampur-aduk. Salah satunya, aku terkenang Rendy. Orangnya masih ada, mengapa tidak kusapa saja. Apa ini membuatku terkenang Pusaka, gagasan mengenainya. Haruskah aku mengatakan tidak dan fokus pada proposal disertasiku. Semua kalimat tanya ini memang sengaja tidak kuberi tanda tanya.

Sungguh aneh rasanya. Pikiranku menolak istirahat karena merasa belum mencapai apa-apa. Sering kualami yang seperti ini entah sejak kapan. Kini sepertinya aku harus benar-benar memikirkannya. Gagasannya terdengar apa adanya. Namun, mereka hidup dengan itu. Sesuatu yang tampaknya layak dipercaya, melebihi pertimbangan dan gagasanku sendiri yang dulu-dulu. Selebihnya, kurasa aku sudah termakan khayalan atau bualanku sendiri. Entah mengapa aku membual begitu. Apakah karena sakit hati, atau sekadar agar seru seperti biasa. Itu juga mungkin sebabnya aku menyapa Mang Imas pagi ini.

Lucunya, tidak seperti Wolverine, instingku tidak mengatakan apa-apa. Aku memang hanya menyeret diriku sejak sekitar dua tahun lalu, ke jurusan ini. Semua yang terjadi selama dua tahun belakangan ini memang bermula dari futsal tolol itu. Sedangkan Bang Andri, kata Togar, entri Scopusnya sudah tiga, sedangkan Prof. Hik saja baru dua. Belum lagi Bapak. Oh, apa yang telah kulakukan? Jika kusimpan olehku pastilah akan habis, kecuali jika kusimpan sedemikian rupa sehingga... hahaha aku memang melompat-lompat. Pikiranku.

Coffeemix sudah habis setengah cangkir. Akankah kuikuti saja seperti kerbau dicocok hidung. Ini semua memang sudah gila jika diarahkan semata ke jurusan itu. Terutama bila sekarang ini, sedangkan Bapak seperti biasa maunya cepat. Sejalan. Memang harus sejalan. Aku sepenuhnya paham. Akan tetapi, apa yang membuatku melambat. Apa yang membuatku seakan menahan diri. Semua kalimat tanya tanpa tanda tanya ini, di malam yang telah larut atau bahkan hari yang belum banyak beranjak. Akankah Ia tersenyum padaku, dengan genderang kecilku ini.

Seperti inilah jadinya jika aku pura-puranya menulis rencana-rencana untuk masa depan. Lalu kusebut diriku sendiri seniman. Seniman tanpa modal sosial, yang bila kuclepretkan tai ke kanvas orang tidak akan memuja apalagi memuji. Ini rencana untuk masa depan. Modal sosial. Bergantung dan bernaung pada orang yang memiliki modal sosial. Ini adalah cara berpikir yang untuk sementara harus kulupakan. Lalu apa yang seharusnya kupikirkan. Menghasilkan. Mungkin ini sebabnya. Aku belum tahu apa-apa. Aku sekadar diikutkan maka aku ikut.

Baik kiranya kuucapkan selamat tinggal terlebih dulu. Sudah kukatakan, aku tidak bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus, multitasking. Berbicara mengenai prioritas, sepertinya sudah dibuatkan untukku dengan demikian jelasnya. Tek. Tek. Tek. Namun sepertinya aku tetap harus menyambi. Bagaimana buku hukum adat. Hukum koperasi. Hukum dan pengelolaan sumberdaya alam. Banyak. Terutama proposal. Memang bukan buku, namun harus segenap hati. Tidak bisa aku mengerjakan apapun jika setengah hati. Harus segenap hati. Harus sekaligus secara simultan. Tidak bisa separuh nafas. Harus bisa.

Biarlah kukenang malam-malam Persamu itu. Apakah hanya satu malam. Sempatkah sampai pagi. Apa hanya seharian. Tidakkah itu malam ketika aku dijemput dengan Fiat 124. Untuk apa. Kemana. Aku. Tidak. Aku tidak ingat rinciannya. Aku hanya ingat suasananya. Rasa hatiku. Sebuah tenda kecil yang basah. Di bawahnya mengalir deras air hujan. Suasana yang mirip dengan Chandradimuka, yang telah kualami sekurangnya lima atau enam tahun sebelumnya. Beberapa temanku menjadikannya pekerjaan, permainan itu. Apa yang kukerjakan kini. Bagaimana caraku mencari nafkah.

Aku tidak tahu

Sunday, January 18, 2015

Bagaimana Mau Sedikit Kalau Berkobar?


Pagi-pagi sekali aku sudah menyongklang Vario menuju Gedung Granadi. Sempat terpikir beberapa kali untuk sarapan, mampir dulu di salah satu warteg sepanjang jalan. Akan tetapi niat itu urung juga. Maka sampailah aku di pangkal Rasuna Said dari arah Mampang. Seperti biasa aku selalu ragu mau ambil putaran yang mana. Akhirnya kulalap habis Rasuna Said sampai ujungnya di mana ada putaran untuk sepeda motor. Dari situ perlahan menyusuri sisi kiri ke arah timur. Masih pakai tanya, padahal jika berkeras hati pasti bertemu.

Begitulah maka tampak olehku Gedung Granadi. Seperti biasa parkir motor berada di basemen paling bawah. Untunglah hanya dua lantai. Setelah naik lift dan sedikit celingukan, tampaklah olehku Yosep Sudarso sedang menempelkan x-banner Think and Act for National Defense. (Tandef) Tidak jauh darinya ada Pak Jaka Santos Direks Tandef. Sebenarnya tidak jauh dari situ ada juga Pak Suprapto Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara, (LPPKB) namun aku justru mengobrol dengan Pak Jaka. Sempat juga berfoto bersama dengannya. Sampai di situ aku belum sepenuhnya sadar bahwa kami akan dipanel.

ki-ka Letjen Purn. Kiki Syahnakri, Bono Budi P, SH. MSc. dan Dr. Jaka Santos, SH. LL.M.
Patut juga dicatat di sini, aku bertemu dengan Khairil Azmi, mantan Direks Tandef. Kaz adalah Kaz dari 20 tahun yang lalu. Mungkin aku pun begitu, meski bentuk gendut-gendutnya saja yang menurut Kaz tidak berubah. Obrolan-obrolan biasa jika bertemu alumni, karena tidak lama datang juga Takwa, lalu ada Rahmat Kaimuddin Ketua Ikastara, sampai tiba-tiba acara sudah begitu saja dimulai. Padahal aku tengah menyantap arem-arem yang enak. Di dalam kotak kudapan ada juga telur gabus keju yang belum sempat kunikmati karena acara keburu dimulai.

Kejutan utamanya, Letjen Purn. Kiki Syahnakri, mertua Toar, menjadi moderator kami, aku dan Pak Jaka Santos! Belakangan baru kusadari ada satu panelis lagi yaitu Pak Bambang Utoro dari LPPKB. Jadi aku Ikastara, Pak Jaka Tandef, Pak Bambang Utoro LPPKB. Acara dimulai dengan paparan Letjen Purn. Sayidiman Suryohadiprojo mengenai Restorasi Pancasila. Cukup panjang dan cukup lebar. Kesempatan kedua diberikan padaku, baru Pak Jaka, terakhir Pak Bambang Utoro. Pak Bambang ini tesisnya yang mengenai Wawasan Nusantara sempat kudonlot.

Salah satu hal penting yang harus dicatat adalah Dik Muthmainnah hadir bersama dua orang temannya, yang aku lupa namanya padahal sudah kutanyakan. Lalu para penanggap adalah Ibu Sis, Pak Idris dan Mbak Galuh. Terkait dengan presentasi Pak Sayidiman, ternyata aku mendapat kudapan sekotak lagi. Selama itulah kurasa satu kotak tersebut habis, sehingga aku akhirnya tahu rasa telur gabus keju bahkan pai buah mini yang tidak pernah terlalu kusuka. Selebihnya, ini adalah suatu olahraga berkata-kata di pagi hari Sabtu yang mendung.

Lalu Pak Bambang Utoro lucu, karena ia selalu meminta konfirmasi Pak Sayidiman dengan “leres mboten, menawi mboten nyuwun didukani.” Jadi, dari empat pembicara sepagi sampai siang itu, hanya akulah yang tidak menyiapkan presentasi. Aku hanya melakukan apa yang mungkin merupakan satu-satunya kebisaanku. Takwa mengatakan bahwa aku berbakat menulis. Suwardi Suryaningrat juga, meski kolomnya yang paling terkenal “Als Ik een Nederlander was” dicurigai tidak luput dari campur-tangan Edward Douwes Dekker. Aku ada juga mencampuri tulisan kawan-kawanku dengan kalimat-kalimatku yang ruwet.

Kemudian nasi gudeg dengan opor ayam, tahu bacem dan sambel goreng krecek. Kami lupa bawa air minum ketika turun ke lobi, sampai-sampai Takwa mengambil dua botol Aqua dari mobilnya. Di sebuah kafe kecil yang tutup di lobi Gedung Granadi itulah aku menyadari bahwa ada sesuatu yang lain yang harus kukerjakan. Sesuatu ini menghendaki aku belajar lagi. Mungkin harus diawali dengan membeli buku mengenai hukum maritim dan hukum pengangkutan laut. Belajar itu memang tidak pernah salah, bahkan membuat otak selalu muda.

Pulangnya, aku terpaksa berponco karena gerimisnya lumayan deras sampai menyakiti wajahku yang tidak bervisor. Gerimis itu ternyata berhenti ketika sampai Duren Tiga. Aku baru sadar bensinku tiris ketika sudah sampai Lenteng Agung yang macet. Baru di pom bensin sebelum Pusaka lama itu kukuwel-kuwel poncoku masuk ke bawah jok lagi. Menyongklang lagi, menyidang Ega W. Nurhidayat, S.H. sampai menjadi M.Kn. bersama Mbak Yetty dan Mbak Heni. Begitulah Ega dengan Antonio Fici mengenai mutual purpose yang merupakan tujuan badan usaha koperasi.

Wednesday, January 07, 2015

Banyak yang Harus 'Kukatakan Jika Aku Pulang


Jika aku tidak tahu ingin apa, aku menulisi Kemacangondrongan. Jika aku tahu ingin apa, aku menulisi Kemacangondrongan. Terlebih dengan infusan kopi vital dari Bali oleh-oleh Mbak Meira, yang segera akan kutinggalkan. Seperti apa meja baruku? Koq aku tidak benar-benar ingin tahu? Apa karena aku sudah terlalu nyaman di meja jelek yang kini aku telah diusir darinya? Atau karena ingus mendesak-desak dalam sinus di belakang hidungku? Hih, apa rasanya kalau sedang begini  disuruh nyanyi A Hard Day’s Night oleh Aldamayo [kenapa Aldamayo?] pada pitch aslinya.

Segala sesuatu memang selalu ada awalnya, dan selalu ada akhirnya. Namun cintaku pada Bapak dan Ibu tidak akan berakhir sampai kapanpun, telebih kini setelah aku setua ini. Sungguh beruntung aku masih ada Bapak Ibu. Cantik saja tidak seberuntung aku. Sonny Nugraha apalagi. Mungkin tidak terucap olehku jika bertatap muka, Son. Namun di sini biarlah kujelaskan. Bang Safri dan ngeband Beatles dan Koes Plus itu sesuatu yang sangat traumatis untukku. Tidak dalam arti negatif, justru dalam arti yang agak manis. Aku tidak suka diingatkan padanya karena ada juga sedikit sesal di situ.

Gambar ini asalnya dari sini. Sepertinya dibuat oleh Cahyaningtyas. Bagus.
Hei, tapi ini ‘kan bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru. Iya lah, kalau awal tentu sesuatu yang baru. Nggak juga ya. Ini bisa menjadi awal sesuatu yang lama, misalnya... Pancasila. Pancasila itu adalah sesuatu yang setarikan nafas dengan cintaku pada Bapak dan Ibuku. Aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu. Apakah ini delusi akan kebesaran? Tidak. Aku tidak besar. Aku mau besar? Tidak. Aku cuma... tidak peduli apa-apa. Kasihan Cantik, Suaminya tidak peduli apa-apa. Namun aku sangat menyayangimu, Cantik.

Akhirnya, aku cukup bahagia hanya menari denganmu. Sudah cukup itu. Terlebih dengan pukulan yang riang begini, dengan langkah bass yang memantul-mantul namun mengalir ini, sudah cukup bagiku. Musik adalah bagian yang sangat penting dalam hidupku. Begitulah adanya jiwaku mengalun. Oh Gusti, badan ini milikMu. Jiwa ini milikMu. Nafas ini milikMu. Tidak ada aku, Gusti. Hanya Engkau. Hanya Gusti sesembahan mahluk. Akan halnya hamba, kasihanilah. Ampun, Gusti. Setitik debu ini nista. Engkau Maha Mulia. Setitik lumpur ini kumuh. Engkau Maha Suci.

Berhubung cinta tidak bisa dibeli, biarlah aku mengenang Bang Safri Nugraha di sini. Semoga Allah mengampuni semua dosamu, Bang. Menghapuskan semuanya. Semoga Allah menerima semua perbuatan baikmu, melipatgandakan pahalanya. Semoga Allah melapangkan kuburmu, Bang. Menyamankanmu selama menunggu. Aku masih harus menjalani hari-hariku di sini, seperti ketika kita mengobrol menunggu sahur. Entahlah sampai atau tidak aku pada Ramadhan berikutnya. Semoga Allah menerima semua shalatmu, melipatgandakan pahalanya, termasuk tarawihmu yang aku hanya menonton, termasuk shubuh kita yang berjamaah.

Berhubung Aldamayo sudah, Bang Safri sudah, berarti Umar Bawahab, hahaha. [kenapa ketawa?] ‘Mar, lo itu... habib. [Hahaha, bener ga sih? Ini ketawa kangen, 'Mar] Apapun itulah. Tetap saja kudoakan kalian Aldo Panjaitan, Umar Bawahab, termasuk Leo Saragi. Semoga kalian selalu  berada dalam lindungan dan belas-kasihNya. Jika mereka saja kudoakan, sudah tentu Bang Rajab Hengky Zulkarnaen dan Robby juga, bahkan Bang Ari dan semua keluarga besar Haji Yakub dari H. Sajim Radio Dalam. Ahmad Madison Nugraha dan ibunya, Mbak Detje tentu tiada tertinggal. Ya Allah, kasihanilah kami semua. Tolonglah kami. Ampuni kami.

Tuesday, January 06, 2015

Pulau Penutup yang Berniat Jahat


Sebenarnya malam ini aku ingin mendengarkan Raindrops Keep Falling On My Head, tapi baru kusadari kalau aku tidak punya lagu itu dalam koleksiku. Oh, betapa kini mendengarkan musik begitu mudahnya. Aku belum pernah memeriksa dengan seksama nasib industri rekaman dewasa ini. Aku cuma sedikit ingat kalau, katanya, sekarang lebih lebih untung jualan ringtone dan ringbacktone (RBT) daripada bikin satu album penuh. Itulah mungkin sebabnya banyak penyanyi atau band yang lebih suka merilis single daripada satu album penuh.

Apa bagusnya menulis begini ya? Satu gagasan tiap satu paragraf, satu sama lain saling tidak nyambung. Jadi, kata Mas Santo, aku termasuk yang “tengah-tengah,” artinya ditolak tidak, tapi direkomendasikan juga tidak—jika bukan karena pengalamanku. [pengalaman?] Penyebabnya karena aku suka “melompat-lompat.” Ya, seperti entri-entri Kemacangondrongan ini. Seno Gumira misalnya, meski ide-idenya gila, tapi—seperti biasa—aku merasa dapat melampaui kegilaannya. Mengapa harus adu gila? Mengapa tidak adu prestasi seperti yang membuat bangga Mas Topo dari antara mahasiswa dan kolega dosennya?

Jika aku patuh pada pakem Kemacangondrongan, seharusnya tidak kuteruskan gagasan dari paragraf sebelum ini. Maka kupatuhi. ‘Tuh ‘kan giliran yang engga-engga begini aku patuh. Jelas saja, aku sangat pandai bikin-bikin APC dan sebangsanya. Setelah setua ini, semua itu lebih baik kuakui sebagai kebohongan belaka. [...kecuali Ruang Karantina Penyakit Menular, ini memang benar-benar ada di TPS AAL. Ada dua ruang, setidaknya sepanjang 1995] Dulu, aku biasa berkata membual itu berbeda dari berbohong. Membual itu ada kenyataannya. Hanya saja digelembungkan.

Tidak! Itu sama saja dengan bohong. Semut memang ada yang besar, tapi kalau ada semut sebesar kucing, itu bukan bualan. Itu bohong! Jadi aku adalah kopral taruna keple yang pura-pura sakit biar dikeluarkan. Mengakui ini saja rasanya sakit. Apalagi jika harus mengakui punya istri yang skizofrenik, yang membunuh anak-anakku, yang kemudian kubunuh. Jahat. Jahat sekali orang yang terpikir untuk berkhayal mengenai cerita seperti itu dan membaginya pada banyak-banyak orang di seluruh dunia. Tidakkah ia tahu bahwa yang seperti itu dapat menyakiti... aku?

Kesendirian adalah lobotomiku. Jika aku sendiri, aku tidak perlu membiarkan orang lain menyakitiku. Begitu aku sakit, segera kuhindari. Hanya dengan cara begitu aku dapat tampak seperti normal. Aku sungguh tidak lucu, karena berbicara terus-menerus mengenai diriku sendiri. Mengapa tidak kuceritakan pengalaman orang, kejadian-kejadian menarik, makanan enak, perjalanan, tempat-tempat yang indah? Bahkan sejarah saja kusesuaikan dengan seleraku. Oh, aku monster. Satu-satunya yang menahanku adalah tidak terimanya aku jika Ibuku melahirkan seekor monster. Aku bukan monster. Aku anak Ibuku, yang paling tua.

Adikku tiga, tapi aku sudah tua. Begitu juga adik-adikku. Biasanya jika sudah begini, aku berdoa-doa. Ini saja akan kuterbitkan secara retroaktif. Tidakkah itu juga suatu bentuk kebohongan? Penyangkalan akan diri sendiri? Tidak. Adikku tiga. Anak-anak Bapak Ibuku yang hidup ada empat semuanya. Aku yang paling tua. Meski adik-adikku akan baik-baik saja tanpaku, itu tidak mengubah kenyataan bahwa akulah kakak mereka yang paling tua. Dan masih saja aku menulis-nulis ngga karu-karuan begini. Disertasi bagaimana? New Zealand?


Mana Niat Jahatnya?

Thursday, January 01, 2015

Selamat Tahun Baru 2015. Sudah Sepuluh?!


Selamat Tahun Baru 2015, dan dengan entri ini maka sudah ada sepuluh tahun dalam menu Kemacangondrongan. Sepuluh tahun menulis barang 'gak guna begini, tidakkah itu suatu alasan kuat untuk relaksasi? Relaks, agar mudah keluarnya. Jangan masuk, karena najis naudzubillahi mindzalik. ‘Duh Gusti hamba, koq sudah banyak sekali bilangannya? Semakin dekatkah dengan JanjiMu? Semakin dekatkah dengan yang dijanjikan, yang sudah pasti datangnya. Itu sudah barang tentu, Tolol! Lalu apa yang sudah kausiapkan untuk itu? Tidak ada...

Selamat Tahun Baru 2015, dan dengan entri ini aku seperti bling-bling yang menaburi kepala gondrong Letnan Dan, yang pada akhirnya berdamai dengan Tuhan. Berdamai dengan Tuhan. Aku memahami salah satu konteks dari ungkapan itu adalah bersiap-siap untuk mati. Akankah aku gagah berani, atau pengecut. Akankah aku seperti Leonidas yang dalam pelem holiwud digambarkan mengingat istrinya sebelum meregang nyawa ditembusi anak panah Persia? Apa yang dipikirkan oleh Resi Bhisma ketika badannya diterjang hujan anak panah Arjuna? [...karena Resi Bhisma tidak pernah menikah]


Jangan-jangan, seperti halnya tokoh Silas khayalan Dan Brown, Resi Bhisma bahkan tidak pernah memuaskan diri olehnya sendiri. Ia yang sumpahnya mengerikan. Orang yang dapat membuat sumpah semengerikan itu pasti... sombong, dan tidak ada bentuk kesombongan seperti apa juga yang diterima di sisiNya Sang Penyombong. Maha Menyombongkan Diri. Aku... sombong. Aku terlahir dari Bapak Ibu yang terlahir sombong. Untuk apa? Mengapa? Jih, pertanyaan ini sama saja dengan mengapa aku terlahir miskin dari bapak ibu yang terlahir miskin. Ya, sama saja!

Miskin ‘kan keadaan, sedangkan sombong itu watak. Di situlah letak kesalahanmu, Culun. Aku miskin sih tidak, meski Parioku semakin hari semakin bututnya. [Maaf ya Pario. Sungguh mesinmu bunyinya halus. Aku suka] Aku sombong, dan Allah tidak akan menolerir bentuk kesombongan yang seperti apapun. Bagaimana dengan kesombongan untuk berpegang teguh pada akidah? Ah, macam aku tahu apa akidahku benar atau tidak. Tidak ada pula usahaku untuk memverifikasinya. [keren ‘kan istilahnya] Lagipula sudah sinting apa? Aku apa? Segala yang kuketahui tidak banyak gunanya, kecuali untuk menghasilkan uang yang... setidaknya lebih banyak daripada berjualan lem Korea.

Dasar lebay tukang mendramatisir, kukatakan pula pada John Gunadi apa yang kurasakan ini seperti yang dirasakan Ira Hayes. [Atau Andrew Laeddis? Atau Edward Daniels?] Aku selalu berkata aku lebih suka jaman dulu ketika tidak ada orang mengetahui siapa aku. Sekarang anak-anak bocah ini, cukup banyak di antara mereka, menganggukkan kepala dengan sopan, bahkan cium tangan padaku. Bahkan, ada juga yang mengucapkan Selamat Hari Guru. Bahkan, Bang Yudhie Haryanto mengaplot foto kami dan menjudulinya “Bertemu Sang Guru.”

Guru dari Hong Kong?! Yah, meskipun aku takut juga merusak pesta ini. Meskipun tidak berani juga aku membayangkan jika pesta ini sampai berakhir. Meski 640 skor TPA-ku, tidak menjamin pesta ini akan terus berlangsung. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menari mengikuti irama tetabuhannya. Toh aku tidak tahu apakah tabuhan ini seirama atau tidak dengan tabuhanNya. Daripada sok tau seperti biasanya kulakukan, lebih baik aku terus menari. Misalnya, dengan mengoreksi. Yakin sudah benar mengoreksi? Bagaimana dengan gerak dan gerik lainnya? Sudah benar tarianmu?

Emang Enak Dicepat?!