Wednesday, August 31, 2022

Bebas Seperti Burung Tidak Bercelana


Bila burungku tidak bercelana begini, apa benar yang 'kurasakan. Adakah ini kali pertama aku menulis entri dengan Lenovo PC AIO 520, 'kurasa tidak. Hei, Lenovo ini, seperti halnya HP-ku dulu, 520. Uah, menarik, seperti yang sering dikatakan Efraim. Sekarang pun ada HP Chromebook 11 yang ternyata lebih berat dari Infinix X2 punya Cantik. Tidak mengapa, namun betapa borosnya. Aku jadi punya beberapa stasiun-kerja, satu yang statis, satu yang mobil. Sedang burungku tidak bercelana begini, berbicara mengenai alat-alat produksi, mengingatkan waktu-waktu yang telah lalu.

Coba lihat itu burungnya tidak bercelana begitu. Itu, burung yang ada di kiri gambar.
Adanya aku mengetiki di jam terakhir Agustus 2022 ini, ada perasaan meletup-letup seperti ingin mengetik yang benar. Namun apa daya, September 2022 tinggal agak sejam lagi. 'Kukatakan tadi pada Cantik, aku butuh pendinginan setidaknya sejam setelah mengetik, yang mana berarti berpikir keras. Itulah sebabnya aku mengetiki kini, yakni, yang tidak pakai berpikir. Seperti keadaan burungku sekarang, tidak bercelana, padahal ini sekarang sudah Cheyenne. Adakah hubungannya dengan Apache besutan The Shadows, mungkin perlu diperiksa. Begitulah aku selalu memeriksa fakta-fakta yang gunanya sama dengan bola biliar berbulu. Kelewatan...

Jika pun musim hujan, musim hujan kapan, 1995-1996 atau 1996-1997. Awal dua puluhan ketika itu, astaga. Sudah barang tentu aku tidak ingin kembali ke situ. Bapak pun jangan sampai dikembalikan ke situ. Betapa sedihnya Bapak ketika itu. Sampai saat terakhir aku juga tidak berhasil membahagiakan Bapak. Namun kebahagiaan jelas tidak di atas bumi ini tempatnya. Aduhai, menangis untuk sebuah bayangan ini asyik sekali. Bagaimana 'San, 'Gar, perasaan kalian ketika membacanya. 'Rid, apa kabarmu. Aduh betapa kusmasai hidupmu, bagai kusmasainya pikiranmu.

Apakah entri ini mengenai laki-laki muda seperti Farid, Sandoro, Togar, Gugum Ridho, atau yang lebih muda lagi seperti Efraim, Conrado, bahkan Zefanya. Bang Jep semuda itu sudah mengurus kelas-kelas dan materi-materi hukum lingkungan. Apakah memang seharusnya begitu, atau seperti Farid. Aku saja masih belum percaya, jika mengingat caraku hidup jaman muda, masih diberi kesempatan sehingga kini. Jelas apapun keberadaanku kini tidak ada hubungannya dengan apapun yang kuusahakan. Aku bukan orang yang mengusahakan sesuatu dari muda.

Seperti malam ini, aku membiarkan burungku tidak bercelana sampai melata-lata ke dalam tenda seorang syekh dari Arab, tepat di alinea ini. Akan tetapi, orang akan merasakan akibat dari kebiasaannya, dan kebiasaan-kebiasaanku, 'kurasa, banyak buruknya. Seperti ini, seperti yang dilakukan pemimpi adalah KRL ekonomi tak berpintu entah ke mana. Jika pun ke Bogor aku tidak ingat sama sekali apa yang 'kulakukan. Andri Sihasale pun sudah mati tidak mungkin ditanyai. 'Rid, janganlah menjadi setolol aku ketika muda, nanti menyesal di hari tua. Sungguh.

Halo, gadis mungil. Tidak pernah tertarik pula aku pada gadis mungil, meski Hari sampai tahu bahwa Astrid Sihite satu geng dengan Fitriana Gugum Ridho. Sudahlah, cium aku banyak-banyak pada muncungku cha cha boom. Sayangku, jika kau sampai meninggalkanku, maka tiap impian kecil akan terbang dan aku akan mati. Halah, mudah sekali mati seperti kecoak, sedang kecoak saja tidak mati-mati. Kecoak sudah kawin lagi belum? Cintailah aku tolong, sedang aku miskin masai begini. Tidak menjadi masalah. Aku malah sedang semangat berkarya, mencipta-cipta. 

Bagaimana caramu melakukan apa yang kaulakukan terhadapku? Aduhai cantik sekali. Tidak pernah berhenti cantik kau. Tepat pada saat ini, atau sebenarnya sudah lama sekali, mungkin semenjak memasuki umur empat puluhan, engkau tidak pernah berhenti cantik. 'Kurasa sampai kapan pun kau akan selalu cantik. Maka 'ku memohon padamu, tolong senangkanlah aku. Dengan apa aku akan disenangkan. Maka benar belakalah sabda Rasulullah, kedamaian dan keberkahan semoga selalu atas beliau sekeluarga dan para sahabatnya, kesenangan itu adanya lima kali sehari.

Saturday, August 06, 2022

Kalau Begini Saja Terus Kapan Selesainya


Waduh, sudah kelihatan miring begitu. Abunya bakal jatuh di luar mangkuk kayu berisi pasir yang diayak Mang Aisyah, sedang Masjid Jami' Nurul Yaqin sudah bersholawat bersiap-siap adzan Isya'. Nah, benar 'kan maka tadi itu aku berhenti untuk menunaikan ibadah sholat Isya' mumpung masih ada wudhu' [berarti sholat Maghribnya telat dong sampai Isya' masih punya wudhu']. Begitulah selesai sholat Isya' bukannya wiridan malah nonton TBBT sampai Cantik dan Ququq pulang, diteruskan makan malam boleh pesan McD untuk 4 (empat) orang habis hampir Rp 200,000 (dua ratus ribu Rupiah).

Bersama Ma Cherie Amour ini, aku tiba-tiba terpental ke geladak USS Carl Vinson atau John C. Stennis yag sedang memberikan penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona. Waktu itu pagi yang segar bahkan sejuk, seingatku aku sudah cukup lama tidak mandi dan ketika itu pun kurang tidur. Itu dari lebih dua puluh tahunan yang lalu. Saat ini pun aku masih belum beranjak jauh, masih memeriksa KRI Makassar lalu Semarang, gaya-gayaan berpikir mengenai landing platform dock sedangkan Sefdin Saefudin memberiku bahan bacaan. Aku memang tidak percaya pada kepakaran. Tidak pernah. 

Aku bersyukur telah mencapai alinea ini, sementara semakin banyak saja abu jatuh keluar dari mangkuk kayu seharga Rp 15,000, sedangkan sebuah kacamata hitam dan wadah cakram-keras eksternal sedang dalam perjalanan menujuku. Sedang Aminudin Albek saja seorang komandan kapal, padahal aku sempat bertemu dengannya ketika ia baru capratar, begitu pula Bang Daru Indrahadi yang kini seorang perwira Marinir. Aku, sementara itu, sekadar mengajarkan antonim yang tidak selesai-selesai. Mana 'kusangka ketika SMP aku dipanggil Berry Prima, ternyata aku mengajar perlawanan kata begini.

Apa sekarang, mau dibawa ke mana lagi, ternyata kembali ke kantin Islamic Village. Hidup sekadar dibagi ke dalam episode-episode. Dalam episode manakah aku akan menamatkan Bonoisme. Menamatkan atau mewujudkan, ketika menerbangkan biplane saja aku tidak pernah, bahkan sekadar ultralight. Semua itu sekadar khayalan yang tidak berdaya, ketika nyatanya dari seluruh Paradua hanya Yulmaizir yang tahu rasanya menerbangkan F-16, bahkan Teguh Rumiyarto pun tidak. Namun bukan itu benar yang diinginkan Bapak, jadi mungkin Bonoisme memang harus mewujud. Entah bagaimana.

Sebelum ini aku hampir saja menulis mengenai malam-malam yang 'kuhabiskan dengan menggambar menggunakan pensil. Gambar-gambar yang jelek, sejelek musik-musikku yang tiada orang sudi mendengarkan. Tulisan-tulisanku adakah yang sudi membaca, tulisan-tulisan menjijikkan ini. Ketika malam sudah cukup larut, aku bersyukur bisa tidur sebelum tengah malam karena dulu itu sangat sulit untuk dilakukan. Sudah cukup lama aku bisa tidur malam, apalagi di kamarku, ruanganku yang rapi dan nyaman, lagi wangi. Tidak ingin pula terkenang malam-malam tak bisa tidur, amit-amit sampai pagi. 

Meski ini belum alinea terakhir, aku kembali berjalan di bawah derek. Jika sudah gelap berarti akhir musim gugur menjelang musim dingin. Aku mungkin mengenakan baju hangat dr. Icang warna coklat itu. Uah, sejuknya udara menerpa wajah ternyata 'kurindukan. Ya, hanya itu. Sepinya jelas tidak, apalagi jika kembali masuk naik lift ke lorong kuning itu. Di Kraanspoor lorong kuning, di Sepurderek kuning juga, opo tumon. Masuk ke 25 D8 tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memandang ke seberang yang tak ada pemandangan juga kecuali menyakitkan, maka seperti Tukul kembali ke laptop.

Sekarang sudah di sini, meski tanpa sejuknya udara, maka kerjakan dan selesaikan! 'Kububuhi tanda seru di situ, maka tidak mengapa jika sebentar mampir di yang sekarang menjadi kantor Mas Narno, lantas pojokan Sekretariat Fakultas itu, lantas ruang ICT-Komintern, sampai kubikel pengungsi korban rezim, perjalananku sebagai dosen. Terasa benar suasana ruang praktek dr. Hardi Leman, seperti ini juga remang-remang lampu kuningnya, namun ketika itu sejuk. Adakah aku pernah merasakan kegerahan seperti ini sebelumnya, ataukah ini memang krisis iklim. Ya Allah, ampunilah.

Friday, August 05, 2022

Suatu Hari, Suatu Tempat Kita 'kan Bertemu Lagi


Sore ini bukan sesuatu yang istimewa, udara mendungnya, dadaku yang berkeringat meski perutku ketika itu tidak segendut sekarang. Themistocles mendendangkan syair-syairnya dalam iringan irama Laut Tengah, tidak seperti nyanyian Jenderal Hoegeng yang diiringi irama Lautan Teduh. Namun tempatnya sama di situ-situ juga. Adakah aku sudah lahir ketika itu, entahlah. Di pojokan itu, seperti saat ini, aku menulis-nulis seakan sesuatu yang penting, yang tidak pernah 'kukerjakan apatah lagi diselesaikan sampai hari ini. Entah.

Akan halnya malaikat subuh membelai-belai penciumanku sore ini, aku tidak punya alasan khusus untuk itu; sementara peramal cuaca daring membarui prakiraannya. Alasanku memang tidak pernah jauh-jauh dariku, selalu lekat di hati. Apakah aku sedang menyusuri trotoar di depan Plasentol atau Sensi, alasanku selalu hanya sebetik ingatan. Apapun bisa membuatnya mengalun-alun lembut membelai jiwa, meski dengan vokal Themistocles yang terdengar seperti orang tercekik. Alasanku selalu bersama denganku di mana aku berada.

Meski sedikit tersedak serbat uwuh, aku terus mengetiki mengenaimu yang merupakan satu-satunya kesenanganku, ilham manisku, segala sesuatu yang 'kuharap terjadi. Engkaulah pagi yang menjelang padaku, angin musim panas dari laut. Ah, kawanku Sang Bayu, memang ada beberapa Bayu dalam hidupku, namun bukan itu benar yang ingin 'kukenang. Aku justru teringat pada wangi sabun semerbak di sore hari dari sebuah penatu di bawah jalan layang Arif Rahman Hakim. Kembali pada kehidupan seperti dulu, mustahil.

Dari Jesse menjadi Silai, untunglah Kolonel Laut (E) Yesayas TM Silalahi, seperti 'kukenal sejak dulu, adalah seorang yang baik. Ia masih mengizinkanku memanggilnya Jesse, panggilan kesayanganku padanya. Aku tidak akan memanggil Ery Budiman dengan panggilan kesayangan yang pernah 'kuberikan dulu. Aku hanya ingin mengenang lamat-lamat sejuknya udara malam di sekitar alun-alun Magelang ketika pesiar Sabtu malam. Berhubung kini aku dapat memandang lurus ke sepanjang jalan Blok M, aku jadi tahu Kay baru saja menerombol keluar. 

Harus benarkah aku membeli pengisi-daya cepat yang bisa dipasangi dua kabel, satu untuk henfon, satu untuk tablet. Jika pun sampai 'kubeli, tentu dengan kabelnya sekali, karena kabel abu-abu ini biarlah bersama TP-Link, menggantikan kabel putih Miniso terdahulu yang sudah bengkok colokannya. Perempuan menawan dari Arkadia ini apakah akan menunggu Themistocles untuk kembali kepadanya, aku tidak pernah tahu. Adakah perempuan yang sudi menungguku, aku sudah tidak peduli lagi; Aduhai mengetiki rampak.

Apanya yang sama dengan suatu sore di salah satu kamar rumah dinas wakil direktur Rumah Sakit Jiwa Pusat Magelang. Rokok jelas ada, bahkan sebotol rum di kulkas habis 'kutenggak. Mengapa yang seperti ini terus terkenang, mengapa tidak lebih baik saja kenangan-kenanganku. Di seberang rumah sakit itu seingatku ada pengrajin batu nisan dan kijing, seperti halnya di belakang asrama ada sedikit hutan sebelum mencapai jalan menuju yonzikon. Pagi, siang, sore, malam, bila-bila semua selalu indah di mana pun. Tinggal disyukuri.

Bahagia di sebuah pulau bermandi cahaya matahari. Asal banyak tetumbuhan 'kurasa udaranya akan tetap sejuk, sedang Cantik tidak henti-hentinya mencocok-cocokkan potongan teka-teki. Aku mengantuk padahal di sore yang seindah ini ditingkahi pukulan-pukulan lembut pada marimba. Adakah lebih menyenangkan musim panas di Amsterdam, yang terakhir kali 'kurasakan sekitar dua tahun lalu. Aku tidak mau lagi, terlebih mengenang troli belanja seharga hampir duapuluh Euro. Maka 'kuucapkan selamat tinggal.