Friday, December 31, 2010

Di Bulan Kulihat Wajahmu, di Apapun


Kali ini aku akan sulit menemukan ilustrasi untuk entriku ini; Insya Allah, entri terakhir di 2010 ini. (Ya Allah, sudah banyak sekali bilangan tahunnya) Sulit. Serba sulit. Sekadar "tidak ada yang menandingi kecantikanmu" tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. Wajah cantikmu kulihat pada apapun. Kumelihat wajah cantikmu di setiap bunga, mata indahmu di bintang-bintang di atas sana. Engkaulah segalanya, dan tidak ada lagi yang penting kecuali cinta yang kaubawa. Engkaulah segalanya, demi memandangmu di pagi hari dengan matamu yang besar, berbiji coklat. Bagaimana caraku mengilustrasikannya? Bahkan kata-kata terasa kelu. Tidak. Tidak mungkin kutemukan caranya. Aku hanya mungkin mengalaminya, tapi tidak mungkin menceritakannya. Ini bukan sesuatu yang bisa dibagi kepada siapapun, apapun. Ini hanya bisa kualami sendiri, dan tinggal dalam benakku. Tidak mau pergi. Tidak akan pernah pergi. Mari, marilah, Kasih, bersama kita mereguk kenikmatan dan sejuta kemesraan. Wouwohohoho... agar resahnya hati tersirami peluh kita yang berderai, dan mengucap bahagia... ooh... Bahagia! Bahagia! Bahagia! (Hahaha... akhirnya aku tahu bagaimana mengilustrasikannya!)

Malam ini sungguh panas sekali udaranya, dan aku memunggungi surga... Aah... tidak mungkin kutemukan pencitraan yang tepat untuk itu! Aku nyaris frustrasi... Ingin kulukiskan dalam citra... itu pun tak mampu aku. Lihat, begitu banyak titik-titik, menunjukkan betapa galau namun risaunya aku. Ingin sekali kuungkapkan rasa hatiku, tapi kepada siapa? Yang kumiliki ini entahlah apa. Ini nyata! Kaulah belahan jiwaku! Kau nyata! Kau ada! ...tapi tiada. Ya, kini aku memunggungi surga, dan kaulah bidadarinya. Bukan. Kaulah surga itu sendiri (Memangnya surga itu apa? Bidadari itu apa?) Aku frustrasi! Aku frustrasi! Bukan, Sayang. Aku frustrasi karena aku tidak menemukan citra yang sesuai untuk melukiskan perasaanku, yang selalu saja seperti itu. Aku diliputimu. Kemanapun kupalingkan wajahku, kemanapun kuarahkan pandanganku, hanya ada wajah cantikmu. KAMU CANTIK BANGET SIH... Aku mendesah dalam sepi, di tengah peluh yang membanjir didera panasnya udara malam ini. (Setelah kupikir-pikir... aku kehilangan rasa humorku, yang tadi akan kugunakan sebagai ilustrasi)

'Ku tak mampu dan tak mampu lagi menahan gejolak ini, Semakin terasa hasratku kian menggebu, fu fu fu... dipacu hasratku 'tuk menciptakan suasana romansa bagi dirimu dan aku 'kan menyatukan asmara bahagia. Alhamdulillah, sepanjang sore sampai larut senja tadi aku memacu Vario-ku di jalan-jalan Jakarta. Makan di tempat jajan sebelah Plasa Menteng. Aku makan bubur ayam yang sama-sekali tidak istimewa, begitu juga Sofyan. Namun, aku masih ada tahu gejrot lagi, dengan satu cabai rawit, dan segelas Indocafé Coffeemix. Aku dan Sofyan minum teh manis hangat. Rendy minum air hangat, yang disamping gelasnya ada kantung teh. Sama-sekali tidak istimewa. Baguslah itu bertemu Rendy. Selebihnya, aku tidak merasa seperti ingin menulis apa-apa yang kami bicarakan tadi. Sesungguhnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Sedikit. Semoga tidak apa-apa. Semoga baik-baik saja. Ya Allah... hapuslah kekhawatiranku ini. Seharian ini udara panas sekali dan aku selalu haus. Depok, Pengadegan... dan aku selalu haus. Aku memang agak kurang sehat, seperti hampir flu.

Sekarang sudah lewat jam satu. Sepertinya, setelah menulisi blog ini, aku ingin mandi. Atau berbaring saja di lantai ya? Kurasa itu lebih baik. Yang jelas rambutku sudah panjang, dan harus segera dicukur. Aku tahu, tidak banyak dalam hari-hariku belakangan ini yang betul-betul membuatku merasa bahagia. Namun tidak juga hampa, karena aku punya harapan, dan khayalan, dan kenyataan. Seenak jidatnya saja Sofyan ngomyang, "Gue bilang lu jadi dosen, bukan administrasi." Kami sudah tua. Kami bertiga, tigapuluhan pertengahan, dan masih bermimpi. Apa pula yang kami impikan? Rendy menunjukkan sebuah edisi Forbes, orang-orang terkaya di Indonesia. Tahu tidak? Aku hanya mengimpikanmu, meski aku tahu, mungkin, akan lebih cepat menjadi kenyataan impian itu, bila aku juga mengimpikan diriku masuk Forbes sebagai salah satu orang terkaya. Ah, tidak. Aku masih tetap menginginkanNya. Kamu pun aku yakin menginginkanNya. Hanya saja, mungkin, kita memahaminya dengan cara yang agak berbeda. Aku tidak yakin dengan pemahamanku kini. Jadi, kenapa aku tidak mencoba caramu?

Kuraba-raba dadaku ini. Kuraba dan raba lagi. Nikmat terasa, naluriku berkata... fu fu... ada cinta. Getaran-getaran seluruh tubuhku. Api memerah setitik senyumku yang telah lama dilanda dahaga. Tahukah kamu? Berkali-kali aku menuliskan doa di sini, dan berkali-kali pula kuhapus. Aku merasa... tidak pantas. Bukan. Bukan akunya yang tidak pantas menuliskan doa. Hanya saja... itu sangat pribadi. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju jika agama digunakan sebagai alat kekuasaan, dalam bentuk apapun! Aku tidak akan terima! Entah apa pulak yang kumaksud dengannya, aku sedang tidak ingin membicarakannya. Hey, masih belum ada ilustrasi nih. Apa ya? Biar kuberkhayal sedikit di sini... Tidak... ternyata tidak berhasil. Tadinya aku ingin berkhayal mengenai pulang ke rumah, setelah seharian bekerja. Istriku sudah di rumah terlebih dulu, dan ia menyambutku di muka pintu. Senyum mengembang di wajahnya yang cantik, dan aku pun memeluknya, mengecup-ngecup wajahnya. Anak-anak kami memandangi. Kuraih juga mereka. Kukecup anak-anak perempuanku. Kuacak-acak lembut kepala anakku laki-laki.

Okay. Baiklah. Kututup saja entri tutup tahun ini dengan menyinggung Enjang. Enjang Dana Resi menulis status begini di Facebook: "hope so many big-good things happen in 2011." Biarlah aku jujur di sini. Aku tidak suka padamu! Aku tidak masalah dengan orang yang bersikap dan berlaku superior terhadapku, jika dia memang punya cukup alasan untuk itu. Tapi kamu?! (tuh kan aku sampai melanggar EYD) Yah... mungkin memang dia punya alasan. Ya sudahlah, tidak penting juga hahaha... Eniwei, langsung ku-copy saja statusmu itu 'Njang. Sama! Persis! Amin. Insya Allah. No hard feeling. Lock and Load. Dog and Toad. Sebentar lagi sudah kembali Januari, semakin dekat saja ajalku. Bono, Sofyan dan Rendy. Rendy ingin mengajak teman. Aku bilang Ige. Maksud Rendy Ira. Ira menjual lebih baik. Aku memang masih seperti yang dulu menunggumu sampai akhir hidupku. Kesetiaanku tak luntur, hatiku rela berkorban, demi keutuhan kau dan aku. (lama-lama aku bisa jadi Toni Blank kalau terus-terusan begini) Enjang! Semoga banyak hal baik yang besar terjadi di 2011. Apa itu yang baik dan besar? Kutitipkan semuanya pada Allah. Kamu cantik banget siiih... (cium... cium... cium...)

To See You in the Morning with Those Big Brown Eyes

Tuesday, December 28, 2010

Madre es Despiadado, Bebe Café


Kenapa aku menulis entri ini ya? Karena sesungguhnya aku selalu ingin menulisinya setiap hari. Aku senang menulis. Sungguh. Jauh lebih senang daripada cingcong. Masalahnya, aku tidak selalu bisa menulis yang aku senangi. Lebih sering, bahkan hampir selalu, aku harus menulis sesuatu yang aku tak peduli (kalimat macam apa ini!), atau lebih parah lagi, kubenci! Hey, kenapa harus benci? Kenapa sulit sekali bagiku bersikap biasa saja terhadap "hak asasi manusia"? Kebebasan berekspresi? Kebebasan pers? Kebebasan?! Baiklah, sebelum kebablasan, harus kukatakan di sini, aku menulis entri ini, setidaknya, karena aku pernah berkata, sebelum berakhir 2010 ini, setidaknya adalah satu dua entri di bulan terakhirnya. Kemarin sudah satu, ini berarti yang dua. Tidakkah kuperhatikan beberapa entri terakhir judulnya selalu tidak dalam Bahasa Indonesia? Aku juga tidak punya penjelasan untuk itu. Aku memang seorang amatir dalam menyembunyikan apapun, apalagi berbohong. Kata Sapardi Djoko Damono, berpuisi, bersyair itu maunya begini bilangnya begitu. Hahaha! Yaa... mungkin aku ceritanya sedang bersyair dengan judul-judul itu.

Banyak buah pikiran menggelegak meluap-luap dalam otakku, sudah sejak lamaaa sekali. Sejak kecil. Namun ramuan dasarnya kurasa dapat ditengarai. Khayalan mengenai kejawaan, nasionalisme yang akut, religiositas Islam yang mistis dan punya kecenderungan fanatik. Kurasa aku tidak sendiri. Jadi, kubiarkan saja mereka yang punya aspirasi sepertiku mengejar ambisinya. Ya, kurasa aku tidak cukup berambisi untuk mewujudkannya menjadi nyata. Akan tetapi, aku selalu ingin menuliskannya. Aku suka menulis. Untuk apa? Tidak tahu. Silakan menyebutku fatalis, akan tetapi, jujur, kurasa aku sudah menyerah. Menyerah, karena aku tidak memaksa diriku, bahkan pikiranku, ke arah sana. Aku ingin punya anak-anak, dan tentu saja aku menginginkan dunia yang aman dan berkecukupan bagi mereka. Apakah aku menginginkan kehancuran? Hmm... aku memang hobi eskatologi. Yaa... hancur atau tidak, semoga Allah menjadikanku termasuk dalam golongan hambaNya yang ikhlas. Aku dan keluargaku. Apa itu dunia yang aman dan berkecukupan? Seperti apa? Aku tidak tahu. Wallahua'lam bissawab.

Mempelajari Kediktatoran Proletariat

Semalam, Mas Ige mengangkat topik nasionalisme ketika kami berbicara mengenai sepak terjang tim nasional sepak bola di Piala AFF Suzuki 2010. Mas Ige itulah contohnya. Kurasa ia pun tersusun atas ramuan yang kurang dan lebihnya sama denganku. Bukan kebetulan dia I Gusti Ngurah Gede dan beragama Islam pulak! (Ibunya boru Sinaga, loh) Entah dari mana aku mendapat ide ia akan menjadi kontributor par excellence bagi buku "Hukum Koperasi Indonesia". Katanya semalam, "Nah, seharusnya seperti ini wujud nasionalisme!" Insya Allah, karena ini hukum koperasi INDONESIA. Dengan nama apapun ia disebut, kami paham apa yang kami maksud. Sofyan seakan-akan menunjukkan aspirasi yang sama, begitu juga Hadi. Akan tetapi, Indonesia mereka tidak sama dengan Indonesia Mas Ige. Antara Farid dan Sandoro, sejujurnya aku mulai membeda-bedakan mereka. Aku tidak suka ini, tapi aku sulit menahannya. Aku merasa Sandoro lebih Indonesia daripada Farid. Entahlah. Mungkin juga tidak. Ya, karena mengerjakan "Hukum Koperasi Indonesia" harus didorong oleh motif itu. Jika tidak, pasti sulit sekali. Sofyan punya motif itu. Meski berbeda dariku, sejujurnya, motifnya lebih besar.

Pusaka memutuskan untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya. Bahkan untuk "Ikan untuk Nelayan" saja, aku belum terbayang dari mana aku akan mendapatkan sepuluh juta biaya cetaknya. Jelas ini bukan bisnis yang menguntungkan, namun kuberharap setidaknya jangan sampai rugi. Semoga balik modal dengan satu dan lain cara. Aku bukan pebisnis, apalagi pedagang. Aku punya tugas lain. Insya Allah, jika kujalankan tugasku ini dengan sebaik-baiknya, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhanku dan keluargaku. Hey, sudah lama aku tidak Yasin Fadhilah-an! Lagipula baca Qur'an masa cuma Yasin? Ini saja sudah Dzuhur dan aku masih belum juga bangkit ambil wudhu. Kuselesaikan dulu entri ini. Aku masih punya tugas tambahan dari Prof. Safri untuk menempelkan kembali kutipan-kutipan ke tempatnya semula. Sungguh menjengkelkan, tetapi kalau tidak dimulai tidak selesai-selesai. Aku juga masih harus membereskan proposal Sandoro. Aku bahkan belum meng-sms Mbak Meli, baik untuk yang dimintanya kemarin, maupun untuk kepentingan mengajukan hibah riset ini. Belum lagi, aku harus mengawasi Agam mengerjakan berbagai kelengkapan administrasi...

Aku tahu produktifitasku masih rendah. Apakah kulkas akan meningkatkannya? Apa hubungannya? Kondisi keuangan belum membaik. Tidak ada kepastian kapan uang berikutnya akan masuk. Aku masih harus menahan pengeluaranku untuk berjaga mendukung Pusaka. Jangan sampai kejadian gaji tertunda. Kurasa aku harus melecut mereka untuk bekerja lebih keras lagi. Tiada waktu untuk menoleransi PYMM kalau dia bertingkah lagi. Sofyan semangat sekali dengan TKBM ini, terkadang aku tidak habis pikir bagaimana jalan pikirannya. Namun, apapun itu, pasti sederhana. Aku harus membuat perencanaan yang lebih baik untuk meninggalkannya. Pertama, untuk diriku sendiri. Kedua, baru untuk Pusaka. Untukku... wow, masih banyak juga yang harus kukerjakan. Hukum Koperasi Indonesia, Adat Law, Kepulauan Seribu, pusaka.info, Sengketa Tanah Adat, Pelaku Informal, Nelayan Teluk Jakarta... Cicil satu persatu! Aku harus keluar dari semua ini! Farid dan Sandoro, awas saja kalau kalian berpangku tangan. Kalian harus mampu mengambil alih tugas-tugasku sesegera mungkin! Awas saja kalau kalian santai-santai! Baiklah sebegini saja dulu entriku. Mungkin ini akan menjadi entri terakhir di 2010.

Tuesday, December 07, 2010

Perdonami, Amore. Io Sarò Ricco


Ini adalah saat yang tepat untuk menulisi Macangondrong. Sebenarnya sudah dari kemarin aku ingin menulisinya. Entah kenapa, ketika aku menengoknya, ia begitu menantang. Yah, setidaknya sebelum tutup tahun 2010 ini, ada-lah satu dua entri, di bulan Desember ini. Baiklah, kawan-kawan, saat ini aku sedang berada di lantai 8 Hotel Shangri-La Jakarta... dan aku merasa sangat nyaman! Hahaha... Biarlah kuakui di sini, di Macangondrong ini. Sungguh tidak tahu malu aku. Kurasa Ki Macan sedang tidak ada dekat-dekat sini... Terus terang, aku malu padanya kalau sampai ketahuan menikmati kemewahan ini. Tapi aku memang sedang menikmatinya. Aku sedang sangat menikmatinya. Hahaha... Kemewahan ini, memang nikmat. Di ketinggian, memandang gedung-gedung di sebelah utara Hotel ini, tampak Hotel Mandarin. Tigapuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kanak-kanak, gedung itu merupakan salah satu tandamedan (landmark) bila memasuki kawasan selatan Jakarta. Kini... hahaha... kini... kasihan betul kau Hotel Mandarin... masa aku harus turut bersedih-sedih denganmu? Tidak! Aku sedang menikmati kemewahan ini, dan aku sedang sangat menikmatinya!

Well, selera musikku sangat bagus. Jadul, tapi sangat bagus. Berkelas. Lagipula, aku lebih dari sekadar burjuis. Aku seorang aristokrat, dan aku selalu memanfaatkan kesempatan untuk mengungkap kenyataan itu, dengan sebaik-baiknya. Bahkan, seringkali, ketika kesempatan itu tidak ada, maka kuciptakanlah. Apapun itu, tetap saja aku terlahir dari golongan aristokrat, dan kenyataan itu percuma saja disembunyikan. Terlihat dengan sendirinya, koq. Seorang aristokrat harus mempertahankan kehormatannya. Ya, kehormatannya, bukan sekadar ke-'berada'-annya. Akan halnya, di akhir jaman ini, salah satu unsur (penting) kehormatan adalah berada, maka itu pun harus dipertahankan. Aku, seorang aristokrat, memang harus mendapat tamparan seperti yang kudapat tadi malam (Walau aku sangat berharap sekali Si Penampar merasa menyesal telah menamparku). Dunia ini perlu bukti, Milord! Dunia ini visual! Dan anda adalah seorang satria, Milord! Maaf, tapi jangan cengeng. Maka buktikanlah! Kalau anda memang harus makan di Mbak Yem tiap hari (maksudnya ga boleh lagi ada Mie Berkat, Burger and Grill dan sebagainya), then so be it!

Dan rice-cooker kecil! Well well, that's exactly just what I need now! Jadi, Gober Bebek, ketika kali pertama merantau meninggalkan kastil keluarganya di Skotlandia sana, untuk mencari emas di Klondike, Alaska, bertemu seekor bebek-betina penghibur. Alkisah sahibul hikayat, bebek-betina ini bertanya kepada Gober, apakah dia sudah makan. Gober menukas ketus, "Sudah! Seminggu yang lalu!" "Tapi itu sudah lama sekali." "Makan teratur hanya untuk bebek lemah!" dan Gober meneruskan perjalanannya. Sayangnya, meski bukan bebek, aku lemah. Perutku lemah. Sebenarnya aku bisa saja memperjarang makan, tetapi lambungku semakin jebol saja nanti. Dan memang tidak boleh (baru saja aku meneguk habis secangkir kopi, oh, harusnya tidak boleh...). Yah... meski makan teratur, aku harus melakukan sesuatu yang setara dengan apa yang dilakukan Gober; sekali lagi, meski aku bukan bebek. Kurasa memang benar itu, rice-cooker kecil! dan aku harus bersetia padanya, sebagaimana aku setia kepada Istriku Sayang. Apalagi kalau aku sampai bisa membeli kulkas... Ya Allah... semoga USAID membayarku banyak untuk pekerjaan Papua ini (wait... mungkin aku harus nambah iuran listrik sama Bang Gojay...)

Dan menabung setiap awal bulan di Muamalat untuk anakku tertua! Ya, itu juga salah satu cara untuk membuktikan pada Gober bahwa aku tidak lemah, meski aku bukan bebek. Setidaknya itu! Aku juga bingung kenapa semalam jadi bertengkar gara-gara ini. Aku tahu, sih. Bagaimana pun pekerjaan itu melelahkan. Amore, perdonami. Aku tahu persis tanpa ada diskon sama sekali, Il Mio Tesoro, betapa berat beban yang tengah kaupikul. Ancora una volta, perdonami, Amore. Aku memang berlebihan. Aku memang keterlaluan. Insya Allah, itu akan kulakukan, semoga Allah menolongku. Sungguh benar caramu berpikir. Sungguh, aku mengaguminya. Sungguh, engkaulah yang sangat kubutuhkan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menuju ke arah itu. Kaulah yang menunjukkan caranya. Benar, aku harus membuktikannya, aku harus melatih diriku, dan itu dimulai dengan menabung untuk anakku tertua. Sungguh, aku memang selalu ingin melakukannya, Mio Vita. Aku ingin... yah... menanggungnya. Ibu juga selalu mengatakannya. Aku harus menunjukkan pada Ibunya Kin bahwa aku sembada, sesuai namaku. Namun, sejujurnya, aku tidak pernah tahu bagaimana caranya, atau tepatnya, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Kini akan kumulai, Il Mio Sole.

Setengah jam lagi aku akan makan malam. Aku masih menikmati kamarku, kamar 0806 Hotel Shangri-La Jakarta. Sudah beberapa hotel kukunjungi, tetapi entah kenapa, kali ini benar-benar menikmatinya. Vorrei che tu fossi qui con me, Il Mio Chiaro di Luna delicato. Aku belum tega untuk mengatakan bahwa aku menyukai kehidupan semacam ini, kehidupan yang... mewah? berkelas? Bagaimana aku menerjemahkan good life? Fine life? Namun, honest to God, aku, setidaknya sekarang, sedang menikmatinya. Tahu tidak? Di sini sangat sepi. Aku jadi ingat kamarku waktu di Belanda dahulu. Mungkin aku sebenarnya menikmati hidup di sana. Coba kuingat-ingat dulu... Hmm... Menikmati tidak ya...? Biarlah kuingat malam musim panas itu, di Maastricht Centrum, langit cerah dan sebuah bintang jatuh membelah angkasa dengan penuh keagungan (No, I'm not being lebay). Kubisikkan permohonan itu. Kumohonkan pertolongan kepada Sang Perkasa, Sang Pengiba. Ibu mendoakan pula, dan, tampaknya, sebagian terpenting dari permohonan itu sudah menunjukkan tanda-tanda akan terkabul. Tu sai cosa voglio dire, La Mia Speranza per la Vita. Biarlah kututup entri ini dengan syair gubahan Pakde Burt dan Hal.

If I could catch a star before it touched the ground
I'd place it in a box, tie ribbons all around
and then I'd offer it to you
A token of my love and deep devotion
The world's a better place
with you to turn to
I'm a better man
for having loved you

And now, at last, I face the future unafraid
With you here by my side, how fast the shadows fade
And there is hope inside my heart
'cause I have someone wonderful to live for
The world's a better place
with you turn to
I'm a better man
for having loved you

And as I am today
That's how I'll always stay
A better man for having loved you
A better man for having loved you