Monday, December 01, 2008

Mantra yang Terpenggal itu


Baiklah, saya mengaku. Saya menulis ini, dan bukannya mencoba membaca mengenai tunjangan sosial atau berlatih menggunakan perkakas analisis kebijakan publik, karena saya tidak tertarik pada hal-hal yang saya sebut belakangan itu. Saya akui juga, saya tidak berusaha sekeras yang seharusnya untuk mempelajari hal-hal tersebut. Bukan pula karena jurnal ini sekadar harus dimutakhirkan, melainkan karena beberapa hari ini saya menemui beberapa ihwal dalam surat kabar yang benar-benar mengganggu benak saya.

Pertama, penjelasan Sultan Jogja, Hamengkubuwono X kepada Surat Kabar Kompas mengenai bagaimana ia akan memimpin Indonesia kelak jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Kedua, pertanyaan Dik Witri mengenai mengapa saya begitu terobsesi pada “Mengembalikan Kejayaan Nusantara”. Ketiga, ulasan Robertus Robet, juga dimuat oleh Kompas, mengenai buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme karya Wilson, terbitan Komunitas Bambu, Depok, 2008. Ketiga penggangu benak ini saya susun secara kronologis, meski tidak mungkin diulas sedemikian.

Sultan Jogja, ketika harus memberikan jawaban ringkas dan spontan terhadap pertanyaan apa yang akan dilakukannya jika memimpin Indonesia, menyatakan bahwa beliau akan menggunakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi, dan bukan sekedar simbol seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945 hasil amandemen. Menurut beliau, jika sekadar simbol, maka bila terjadi konflik didiamkan saja. Padahal, seharusnya konsep itu menjadi strategi untuk mengintegrasikan berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa. Untuk kepentingan itu, maka cara pandang “kontinental” harus diubah menjadi “maritim” agar keutuhan wilayah tetap terjaga.

Dengan demikian, jelas Sultan Jogja merujuk pada idealisasi konsep Nusantara yang sering diasosiasikan dengan era Majapahit. Pertanyaannya kini, tafsir macam mana yang akan digunakan oleh beliau untuk menjadikan “simbol” itu suatu strategi? Kalimat lengkap yang mengandung frasa “simbol” itu dalam Sutasoma adalah “Tantrayana, bhairawa, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,” yang terjemahan sangat bebasnya adalah: apapun agama/ keyakinan (atau cara hidup)-nya yang bermacam-macam itu, tetap satu juga, (karena) tidak ada dharma yang mendua.”

Bhinneka Tunggal Ika

Dharma adalah sebuah konsep yang rumit, yang mungkin lebih mudah dijelaskan oleh moral Buddhis yang pada dasarnya menolak berbicara mengenai Tuhan, karena buat apa lagi yang sudah pasti itu masih juga dibicarakan. Buddhisme menerima “hidup bertuhan” sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya, tidak ada alternatif lain. Itulah sebabnya sistem religi yang satu ini lebih tampak sebagai ajaran moral (akhlaq/ buddhi), dan cenderung miskin segi-segi mistik-teologis. Bagi Buddhisme, yang lebih penting adalah bagaimana caranya menjalani “hidup bertuhan” itu.

Ketika seluruh alam ciptaan ini merupakan pengejawantahan dari Sifat-sifat Ketuhanan, maka meski dapat (dan harus!) dibedakan sangat tegas, membedakan Tuhan dengan “hidup bertuhan” bagi manusia menjadi tidak begitu penting—bahkan dalam banyak kasus justru berbahaya bagi manusia itu sendiri. Larangan untuk membaca Weda bagi Sudra, karena itu, menjadi dapat dipahami, karena Sudra “bertuhan” melalui hubungannya dengan bumi, mengolahnya sehingga Tuhan melalui bumi menganugerahkan kasih-sayang dan kekayaannya. Brahmana, di lain pihak, “bertuhan” dengan cara menekuni Sifat-sifat Ketuhanan, antara lain dengan membaca dan mendiskusikan Weda.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa Dharma tiada lain adalah hidup bertuhan, dan sampai pada jangkauan yang sejauh-jauhnya, Tuhan itu sendiri. Jika pengertian tentang Dharma ini yang digunakan dalam selarik dari Sutasoma tadi, maka jelaslah sang penggubah membicarakan sesuatu yang sangat transenden. Saya memberanikan diri berspekulasi, itulah sesungguhnya cara orang Jawa mengungkapkan pemahamannya tentang ketauhidan atau monoteisme. Menarik jika dibandingkan dengan cara orang Arab mengungkapkan hal yang sama, Laa ilaaha illa Allah, tiada sebab kecuali Sebab. Kedua ungkapan itu sama-sama menggunakan negasi, hanya saja yang satu lebih menekankan pada hasil (Arab) sedangkan yang lainnya pada proses (Jawa).

Orang Jawa pun memiliki ungkapan ketauhidan yang menekankan pada hasil, yaitu sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kejadian), seperti halnya beribu-ribu larik dalam Qur’an berbicara mengenai proses hidup bertuhan. Seperti halnya banyak surat dan ayat dalam Qur’an, selarik dari Sutasoma itu setelah berabad-abad berubah menjadi semacam mantra yang kebanyakan orang sudah tidak tahu lagi khasiatnya. Orang hanya tahu, itu mantra, itu kalimat at-thayyibat. Orang merapalnya untuk berbagai-bagai keperluan, yang tidak jarang satu sama lain saling bertentangan.

Tersebutlah setelah berabad-abad lamanya, dalam suatu kesempatan kekosongan kekuasaan menurut hukum antarbangsa akibat berakhirnya Perang Pasifik pada 1945, mantra sakti itu dirapal lagi. Singkat cerita, terjadilah sinkretisasi mantra tersebut dengan kebutuhan pragmatis membenarkan klaim kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda. Akhirnya, “yang bermacam-macam” bukan lagi “cara hidup” (way of life), tetapi lebih pada entitas-entitas politik tradisional dan historis berupa berbagai kerajaan kecil-kecil, baik yang masih “berdaulat” maupun tidak, di sekujur bekas Hindia Belanda.

Pemahaman ini kemudian diperluas ke arah pengertian “suku bangsa” (ethnicity), sebagai bentuk kompromi atau akomodasi terhadap entitas-entitas politik tradisional dan historis tersebut dalam konteks modern, bahkan juga agama dalam pengertian sistem-sistem religi dominan di dunia, yang kenyataannya memang telah berurat-akar di bekas Hindia Belanda itu. Semua ini dilakukan dalam rangka membenarkan keberadaan sebuah bangsa baru yang akan diberi nama “Indonesia”, yang akhirnya disepakati sebagai semua orang yang lahir dan tinggal di bekas Hindia Belanda itu. Untuk kepentingan ini, kata-kata “tantrayana, bhairawa…” dan “tan hana dharma mangrwa” menjadi tidak banyak berguna dan karena itu boleh dipenggal saja.

Tan Hana Dharma Mangrwa

Kenyataannya, mantra terpenggal “bhinneka tunggal ika” itu ketika dirapal mendorong manusia Indonesia untuk menumpahkan darah sesama manusia Indonesia. Kenyataannya, kompromi dan sinkretisme antara "bangsa Indonesia adalah semua bekas kawula Kerajaan Belanda di Hindia Belanda" dan "bangsa Indonesia adalah pengejawantahan bhinneka tunggal ika” tidak berjalan semulus yang dibayangkan, bahkan justru membawa tulah. Sedikit saja salah pengertian menggoda orang untuk mempertanyakan sampai menantang keabsahan komitmen kebangsaan yang rapuh dan kontradiktif itu. Sekadar perbedaan pendapat mengenai harus dipatuhi atau tidaknya kesepakatan Renville antara Divisi Siliwangi dan Laskar Hizbullah menjalar menjadi isu “separatis” berdalih agama.

Isu yang sama juga terpicu oleh beragam alasan, dari mulai tidak jelasnya komitmen pemerintah pusat mengenai pengukuhan status “istimewa” bagi suatu daerah tertentu dalam hal pelaksanaan Syariat Islam, sampai kebijakan pemerintah untuk mereorganisasi angkatan perang paska revolusi fisik. Belum lagi isu yang nyata-nyata separatis, yang didasari oleh hitung-hitungan ekonomi ultramodern mengenai efisiensi alokasi sumberdaya dalam suatu geopolitik arkipelagik yang sangat unik, yang diboncengi oleh angkara-murkanya kekuatan Adi Daya, membuat saudara dengan saudara tidak segan-segan saling menumpahkan darah.

Ketika kekuatan Adi Daya yang angkara-murka itu akhirnya berhasil menancapkan pengaruhnya di bumi dan air keramat Nusantara, yang motivasinya tiada lain menguras kekayaan ibu pertiwi, mereka menasihati pemimpin-pemimpin Indonesia akan pentingnya menjaga “keutuhan wilayah”. Secara geopolitik-ekonomi, ongkos eksploitasi kekayaan alam akan menjadi terlalu besar bila Indonesia dikelola oleh berbagai-bagai entitas politik. Karena itu, biar Jakarta saja yang menjadi pusat kekuasaan yang menggurita, yang mengendalikan sepenuhnya segenap wilayah kedaulatan Indonesia. Kekuatan Adi Daya itu juga menjanjikan bagian yang lumayan bagi pemerintah Indonesia dari hasil "mengelola bersama" kekayaan alam Indonesia, yang semakin lama akan semakin besar sehingga dapat dibagi merata bagi seluruh bangsa Indonesia.

Untuk sementara waktu, memang baru mereka yang berurusan langsung dengan kongsi itu yang akan menikmati hasilnya, sedangkan sebagian besar lainnya haraplah sabar menunggu sampai hasilnya cukup banyak untuk dibagi rata bagi semua. Untuk itulah mantra terpenggal bhinneka tunggal ika harus kembali dirapal, kali ini karena nasib dan taraf hidup bangsa Indonesia masih bermacam-ragam, tapi tetap harus satu juga sambil menunggu datangnya janji kemakmuran yang adil itu digenapi. Saling berkelahi hanya akan mengganggu upaya sementara saudara yang tengah berusaha memperbesar kue kemakmuran, yang kelak di kemudian hari akan dibagi-bagi itu.

Untuk mencegah agar saudara-saudaranya tidak saling berkelahi, sekelompok elit dilatih untuk merapal penggalan lainnya dari mantra itu, tan hana dharma mangrwa, yang menjadi semboyan dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), puncak pelatihan ideologi angkatan perang Republik Indonesia. Sesungguhnya, semua saja yang tergabung dalam angkatan perang sejak dini disugesti sebagai satu-satunya punggawa yang kesetiaannya tidak mendua pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan tetapi, NKRI adalah konsep abstrak yang di dalamnya masih terdapat berbagai kontradiksi tak terpecahkan.

Konsep abstrak ini karena itu perlu diberi wujud, yaitu “kepemimpinan nasional” yang dahulu (harus selalu) berada di tangan “bapak pembangunan”—cara pikir yang sama sesungguhnya juga digunakan ketika “kepemimpinan nasional” masih berada di tangan “pemimpin besar revolusi”. Dengan demikian, pengertian dharma dipersempit lingkupnya menjadi hidupnya prajurit, yang tujuannya tidak boleh mendua, hanya boleh satu yaitu bersetia dan mencurahkan baktinya pada “kepemimpinan nasional”. Dalam rangka bersetia pada “kepemimpinan nasional”, sah-sah saja jika anggota-anggota angkatan perang gineung pratidina (mengkultuskan) dan hanyaken mungsu (melenyapkan musuh) pemimpin nasional, siapa pun itu, bahkan saudara-saudara sebangsa sendiri.

Tantrayana, Bhairawa, dan Lain-lain Cara Hidup Bertuhan

Dalam Pararaton memang pernah dikatakan, tiada dharma tanpa bakti pada seorang raja. Raja bagaimanapun dipahami sebagai wujud kehendak Tuhan di muka bumi. Dengan kata lain, kalau harus ada manusia yang hidupnya “paling” bertuhan, maka itu adalah Raja. Raja diharapkan memberi bentuk pada konsep ketuhanan yang abstrak, dengan sedapat-dapatnya meniru Sifat-sifat Ketuhanan, setidak-tidaknya menganugerahi siapa yang baik atau benar, dan menghukum siapa yang buruk atau salah. Raja-lah yang diharapkan menunjukkan kepada semua manusia, apa pun dan bagaimana pun cara hidupnya, bahwa Tuhan itu memang benar ada dengan segala Sifat-Nya, karena Ada-Nya Tuhan terlalu Kuat bagi manusia yang lemah—ingat kisah “pertemuan” Musa dengan Tuhan, di mana gunung luluh-lantak karena menyaksikan Ada-Nya!

Raja-lah yang diharapkan mampu “memperlembut” Kekuatan-Nya, seperti halnya di lain kesempatan “menguatkan” Kelembutan-Nya. Raja, karena itu, juga harus satu adanya, seperti halnya Tuhan Satu Ada-Nya. Semua rasul diutus sebagai satu diri, satu jiwa berjasad, meski dalam hidupnya seringkali disertai oleh orang-orang terdekat. Tetap saja ia harus mengemban sendiri tugas-tugas kerasulannya, meski kelak ia harus bertanggung-jawab setidaknya atas orang-orang yang hidup sejaman dengannya. Demikianlah kiranya kredo tiada dharma tanpa bakti pada seorang raja seharusnya dipahami.

Akan tetapi, kredo tersebut bukan merupakan esensi dari mantra tantrayana, bhairawa, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Tantrayana adalah cara hidup dan, karena itu, keyakinan kebanyakan brahmana pada jaman Majapahit. Bhairawa adalah cara hidup dan keyakinan satria, orang-orang yang diharapkan menjaga keamanan dan ketertiban hidup bersama, termasuk mengamankan masyarakat dari serangan musuh dan perusuh. Keduanya disebut secara spesifik karena memang besar tanggung-jawabnya pada hidup banyak orang, yang rata-rata “sekadar” bergantung pada belas-kasih ibu pertiwi dalam menganugerahkan perlindungan dan kekayaannya—walau pada kenyataannya sangat vital fungsinya bagi kehidupan secara keseluruhan.

Selain yang dua itu, terdapat juga cara hidup dan keyakinan yang bhinneka, karena sikap mental penduduk Nusantara yang sangat toleran pada apapun yang tidak sama dengan dirinya. Bukannya dimusuhi, cara hidup dan keyakinan yang bermacam-ragam itu dirangkul, dipahami, dimaklumi, karena pada akhirnya tiada cara hidup yang mendua ketika semua saja hidup bertuhan. Penduduk Nusantara sangat mafhum dan meresapi Sifat Tuhan yang, setidaknya, sangat toleran. Sedurhaka apapun manusia, tetap tiada putus nikmat karunia yang diberikanNya. Jika Tuhan saja begitu, mengapa manusia yang lemah ini harus berlaku sebaliknya? Jelaslah kiranya jika demikian, hidup bertuhan itulah esensi dari tantrayana, bhairawa, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa!

Mengembalikan kejayaan Nusantara, karena itu, tiada lain adalah kembali pada dharma, kembali pada hidup bertuhan, hidup yang ber-buddhi, ber-akhlaq, sedapat-dapatnya seperti Akhlaq-Nya. Hal ini, tentu saja, hanya dapat dicapai melalui olah diri yang sangat disiplin, dan diri yang paling nyata, paling wujud, bagi setiap manusia adalah dirinya sendiri. Mengembalikan kejayaan Nusantara hanya bisa dilakukan ketika semua anak keturunan para leluhur penghuni Nusantara, tiap-tiap dari antara mereka, tanpa terkecuali apa pun cara hidup dan mata pencaharian mereka, secara sadar melaksanakan wanti-wanti leluhurnya ini. Tanda-tanda kembalinya kejayaan Nusantara baru akan terlihat jelas jika tiap-tiap penghuni Nusantara telah menemukan kedengkian yang menyesakkan dada, ketika ia melihat saudaranya ber-buddhi, ber-akhlaq lebih baik dari dirinya, dan karena itu berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya.

Lantas, apa hubungan ini semua dengan membangun kekuatan maritim, fasisme, dan militerisme? Bagi saya, itu semua baru benar jika disandarkan pada keyakinan bahwa apa pun akan ditempuh, meski harus membangun kekuatan maritim, melalui neraka fasisme dan militerisme, atau apa pun, untuk mengembalikan kejayaan Nusantara, agar leluhur-leluhur kita lega menyaksikan anak-cucunya menjadi mercu-suar yang menerangi dunia dengan keluhuran buddhi-nya, ketinggian akhlaq-nya. Sementara ini, ketika masih banyak orang sesak dadanya menyaksikan kebobrokan akhlaq diri sendiri, sementara tiada sesuatu pun yang diperbuatnya, bolehlah kita yakin kalau kejayaan Nusantara masih belum akan kembali dalam waktu dekat.

Saturday, November 29, 2008

Setelah Segala Apa yang Kulalui


Jam Bostonku sudah meregister angka dua tiga tiga puluh, padahal tangan kananku sangat ingin membelai senar-senar gitarku. Dimulai dengan desahan senar bas, dilanjutkan dengan senandung senar-senar trebel, jari-jari tangan kiriku lembut menyentuh. Malam ini, aku merasa sangat ingin bernyanyi. Bahkan jika menilik dari rasa hatiku sekarang, tampaknya aku dapat menghasilkan selantun melodi yang cantik. Bukan tidak mungkin jika terus kuikuti perasaanku, melodi itu dapat kulengkapi dengan syair malam ini juga. Sungguh langka perasaan seperti ini. Sukar dilukiskan, namun teramat berharga. Kuikuti saja detik demi detik ia membawaku, mengalun, mendayu, menghanyutkanku.

Malam ini aku sedang tidak ingin cerdas, gila, atau apapun. Malam ini, aku ingin mencinta. Terserah cinta yang seperti apa saja, yang mewah maupun yang bersahaja, semua aku curahkan dengan hati terbuka. Hanya saja, cintaku malam ini begitu inderawi, dan tidak pada tempatnya jika pada jam dua tiga empat lima ini, di lantai dua Laathofpad Zes ini, aku bercengkerama dengan gitarku, satu-satunya penambat cinta inderawiku. Sebetulnya bisa saja aku meminjam kibor-kiboran yang ada di kamar Laura, lalu memainkannya sambil menyumbat telinga dengan earphone. Ya, kurasa itu pemecahan yang sempurna untuk masalah seperti ini --pemenuhan hasrat cinta inderawi di Laathofpad Zes, di tengah malam buta. Mungkin akan kucoba besok pagi, jika masih tersisa perasaan ini, dari malam ini.

Ngomong-ngomong, shoutout-nya Annelien Ronda menarik juga. Kau akan lebih cepat berteman jika tertarik pada orang, daripada berusaha membuat orang tertarik padamu, begitu kurang-lebihnya. Itulah masalahku. Jika aku mendengarkan orang, kepalaku malah sibuk sendiri sampai tiba-tiba melompatlah dari mulutku tanggapan yang sangat egois dan tidak simpatik, yang ujung-ujungnya adalah mengenai diriku sendiri, sudut pandangku sendiri. Well, kau sudah terlalu tua untuk masih saja berkutat dengan masalah seperti ini. Satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah: Berusaha lebih keras! Jadilah pendengar yang lebih baik. Ambillah pelajaran lebih banyak dari pengalaman orang lain. Beginilah jadinya kalau kurang dzikrullah. Ingat! Bahkan bumi tidak pernah ditakdirkan menjadi pusat apapun, apalagi manusia yang jauh lebih sepele!

Aku masih ingin menambah satu paragraf lagi, dan yang ini akan kudedikasikan pada perasaanku malam ini. Lalu bagaimana dengan kutukanku pada diriku sendiri? Jika kubilang, ah, itu 'kan bisa-bisamu saja, dan tiba-tiba aku ingat pada-Nya, aku takut tepat di situlah menyelinap hasrat-rendahku --meski kutukan itu juga akibat dorongan hasrat-rendahku. Hey, katanya tidak mau cerdas?! Okay, begini saja, kita lihat besok pagi apa yang terjadi. Mungkin begini jugalah sampai Pandawa Sulung suka berjudi mengundi nasib. Sentuhan, belaian, dan dekapan inderawi memang menguatkan jiwa, namun jiwa yang kuat mampu mengolah rasa yang terlatih untuk menguatkan jasadnya. Aku tidak kuat, meski mungkin hanya karena hampir tidak pernah lagi berlatih. Di jaman serba instan ini, mengapa pula masih harus repot-repot menyiapkan segala bumbu...

Woman in love needs only one man

Friday, November 28, 2008

Jika Dibawa Tidak Dipergunjingkan (Aku Jahat!)


Setelah nonton the Flag of our Fathers yang bercerita tentang marinir Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan dengan menghancurkan Bonn, Vienna, dan Berlin, terus memaki-maki, aku mendengarkan harmoni Phil dan Don Everly, yang mantan marinir Amerika Serikat juga. Sekarang jam dua tiga tiga enam waktu Limburg Selatan, dan suhu di luar ruangan, kata Yahoo, sekitar empat derajat celsius. Langit agak berawan dan udara sedikit berangin. Sudah seharian ini aku menunggu untuk ngobrol dengan Macan Gondrong, karena aku tidak suka jika dalam satu hari sampai ada dua atau lebih entri. Terlihat sangat tidak rapi, seperti tidak ada disiplin militernya.

Anacani Montoya was a singer in US ABC's Lawrence Welk Variety Show, that was very famous during '60s, '70s, and early '80s. She used to sing Spanish songs.

Dulu, Pak Priyo Waspodo pernah menunjukkan kepada kami, siswa kelas I-2 TN-2, sebuah kliping koran atau majalah --seingatku dari majalah Forum ketika namanya masih Forum Keadilan-- dengan judul "Fenomena Pahalawan-Dosawan." Aku tidak ingat betul mengenai apa artikel itu, namun aku ingat pada kesempatan yang sama ia mengatakan bahwa Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo pernah tinggal satu atap di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Cerita selanjutnya sudah menjadi bagian dari sejarah, dan semua pun maklum kiranya. Ada yang tidak maklum? Aku hanya tahu yang dari Soekarno, dia mengingatkan kita semua agar jangan meninggalkan sejarah. Jadi, jangan tinggalkan mereka. Aktiflah mencari tahu, begitu kata Teddy Rusdi!

Aku bukan sejarahwan, dan aku tidak terlalu berminat pada akurasi fakta historis. Namun, kurasa aku adalah salah satu penutur "sejarah", karena kesukaanku pada topik ini. Entah sudah berapa orang saja yang kubombardir dengan "fakta-fakta" sejarah sebagaimana kusuka dan ingin kupercaya. Sialnya, aku adalah pendongeng yang baik, bahkan seringkali terlalu baik. Kutanamkan dalam-dalam berbagai fakta sejarah jadi-jadian ke dalam kepala siapa saja yang mau mendengarkan dongenganku. Meski begitu, aku tidak perlu terlalu cemas, karena mereka yang mau mendengarkan dongengku biasanya orang-orang kebanyakan yang tidak punya hasrat berkuasa. Sebaliknya, orang yang berhasrat akan kekuasaan biasanya menjauhi dongeng-dongengku. Jadi, aku tidak perlu khawatir dongengku kelak berubah menjadi "sejarah".

Malam ini, aku bertanya pada Ki Macan Gondrong, mengapa banyak orang begitu yakin pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apanya yang "kesatuan" dari subyek hukum internasional ini? Apa makna "republik" dalam selarik mantra ini? Apa pula makna nama "indonesia", yang memang terdengar modern ini? Ki Macan mengibas-ngibaskan perutnya yang gondrong sambil berdehem. "Apapun itu, ia terkutuk," sahutnya. Kita semua memang harus hidup dalam kutukan ini, sementara ini, sampai waktu yang dijanjikan tiba. Serumpun padi tidak akan selamanya hidup nista, meski waktu beratus-ratus tahun tentu saja terasa seperti Keabadian itu sendiri. Betapa tidak terasa abadi ketika yang diingat tentang bapak, dan bapaknya lagi, dan bapaknya lagi, adalah kemudlaratan hidup? Tidak semua pemangku kepentingan NKRI dahulu sepakat pada pengakhiran keabadian ini sebagai satu-satunya tujuan.

Gila juga kita membicarakan hal ini sembari mendengarkan "musik-musikan ngak-ngik-ngek gila-gilaan" --istilah Soekarno dalam Manipol atau Djarek, ya... Ki Macan menyeringai, kemudian melanjutkan, "Ketika segala macam konsep ultramodern dituangkan ke dalam kenangan dan kerinduan akan kejayaan masa lalu, inilah jadinya." Bukan macam-macam yang diinginkan rakyat djembel mudlarat dari generasi ke generasi, hanya cukup makan, tutup yang patut bagi auratnya, dan tempat berteduh dari panas dan hujan. Itulah kejayaan! Bukan sebuah imperium, bukan kekuasaan seluas dunia, bukan dominasi, bukan hegemoni, bukan keserakahan, hanya hidup yang patut bagi semua, sementara berada di bumi-Nya. Itulah kejayaan! Tantrayana, bhairawa, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa! Namun, jika kekuasaan seluas dunia dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu, kita berpantang surut!

Wuih, serius sekali entri malam ini. Ini pasti gara-gara ada Ki Macan Gondrong di sini he he he... Baiklah, terima kasih Ki Macan sudah sudi hadir di tempat sahaya malam ini. Ia pun menghilang di kegelapan. Kini tinggallah kusendiri di kamar lantai dua Laathofpad 6, memandang ke luar jendela, ke arah perbatasan Belanda-Belgia di ufuk barat. Seharian ini aku makan pisang, mie cup ABC rasa seafood, gebakken mosselen, nasi goreng gak jelas... kurasa aku kehilangan kreatifitas. Yah, mau bagaimana lagi, PPA merusak segalanya, dan memang konyol bila bergantung hanya pada satu sumber saja. Memang harus ada diversifikasi, khususnya untuk saat-saat seperti ini. Lagipula, yang benar saja... coba kau lihat dari jarak setidaknya sepuluh meter... Gila apa?!

Thursday, November 27, 2008

Pergi ke Eindhoven Bersama


Hari ini kawan-kawanku pergi ke Eindhoven bersama... Orangutan! Mereka berenam, yaitu Babatunde, Trust, Alice, Dolly, Pim, dan Witri. Sebenarnya mereka bertujuh, tapi satunya lagi Orangutan, jadi buat apa disebut. Herannya, kebanyakan mereka ramah pada Orangutan. Seperti orang Dayak, mereka menganggap Orangutan tak ubahnya orang, hanya saja ia terlalu banyak cingcong, jadi tidak berguna. Namun kebanyakan mereka tetap ramah pada Orangutan. Padahal, Orangutan sedang merasa ekstragila karena harus mengelola perasaannya lebih cermat dari biasanya.

Belum lagi ditambah beban keharusan turut serta menganalisis kebijakan transfer sosial di Bananastan, Orangutan tambah merana. Tidak adakah yang dapat mengatakan pada Francisca bahwa Orangutan sudah hampir punah maka harus dilindungi? Siapa juga yang sudi?! Orangutan tahu, setidaknya satu, tak akan pernah mau melakukannya, meski mungkin itu jugalah yang menjadi harapan Orangutan. Ia berharap agar semua ini berlalu dengan begitu saja. Masih ada setidaknya sembilan bulan dan Orangutan berharap ini semua berlalu begitu saja? Dasar Orangutan!

Baiklah. Jika pergi ke Eindhoven bersama Orangutan terdengar tidak praktis, ada baiknya jika kawan-kawanku membawa serta... Tokek! Oh, ini membawa kenangan sedih bagi Tokek. Meski tidak termasuk satwa langka yang harus dilindungi, kenyataannya Tokek pernah mendapat perlindungan yang begitu hangat dan nyaman, suatu perlindungan yang membawanya sampai pada keadaannya kini. Perutnya tetap gendut dan menjijikkan. Kepalanya tetap besar penuh pikiran mesum. Punggungnya tetap berbintil-bintil jingga membuat semua menjauh darinya.

Meski begitu, Tokek pernah merasakan hidup dalam suaka margasatwa yang teduh dan nyaman, meski ia tahu takkan selamanya di situ. Kini, Tokek harus beringsut meninggalkan keteduhan yang nyaman itu. Kini, keteduhan itu telah berubah menjadi mendungnya temaram senja, meski mendung itu Tokek sendiri juga yang menghendakinya. Tetap Tokek sedih berpisah dari suakanya, bagai awan lembayung berpisah dari ufuk barat. Takkan lagi dapat ia rasakan hangatnya suaka di terang cuaca. Tokek harus melupakannya, tapi ia tidak lupa-lupa... meski sebenarnya mudah saja. Dasar Tokek!

Okay, jika Orangutan dan Tokek bukan teman seperjalanan yang menyenangkan, lalu APA yang dapat membuat perjalanan kawan-kawanku pergi dan pulang, ke dan dari, Eindhoven menyenangkan? Malam ini, aku teringat pada "binatang hewan". Tidak! Itu masa lalu! Tidak mungkin berpaling lagi ke situ! Tidak mungkin menyandarkan apapun di situ. "Binatang hewan" sudah punah! Jika pun belum, mari mencarinya di setiap relung sanubari dan BUNUH di tempat. Sanggupkah kau membunuh sesuatu yang telah menjadi bagian yang sangat berarti bagi dirimu karena telah menghidupimu, meskipun dahulu?

Sanggupkah kau membunuh dirimu sendiri, meskipun kini?! Malam ini, aku harus sanggup. Meski sekuat apapun aku mensugesti diriku sendiri bahwa aku Tikus Comberan, aku harus sanggup. Legenda Tikus Comberan tidak akan berhenti di Maastricht atau di mana pun. Legenda itu akan terus diceritakan, sampai kesombongan luluh bagaikan kelembutan mentega dipanggang perkasanya matahari khatulistiwa. Sampai tiba waktunya, baik aku sajalah yang pergi bersama kawan-kawanku ke Eindhoven. Hari ini. Babatunde, Trust, Alice, Dolly, Pim, Witri, ...dan Bono.

Wednesday, November 26, 2008

Pergilah Gadis Kecil


Tiada sesuatu pun di dunia ini merupakan kebetulan, dan aku masih saja bercerita mengenai diriku sendiri. Tentu saja. Buat apa aku berbicara mengenai yang bukan aku, sedang aku saja belum kupahami sepenuhnya? Beginilah perawakanku, seakan dirancang untuk menanggung beban dunia, seperti yang ingin kupercaya. Beginilah raut wajahku, meluputkanku dari begitu banyak dosa, yang ini kumohonkan kepadaNya. Sungguh semua ini tak kupedulikan benar, aku tidak pernah menyangsikannya. Namun, pengaruhnya pada persekitaranku, pengaruhnya pada orang lain, itu yang terkadang mengkhawatirkanku.

Hah! sebenarnya 'kan sederhana saja. Sembunyikan dirimu! Hmm... tidak, tidak semudah itu, Kawan. Kalau betul semudah itu, sudah kulakukan sejak lama. Memang benar semudah itu! Kau saja yang lemah hati, mudah takluk pada diri sendiri. Ya, itu harus kuakui. Lalu? Tindakan drastis lagi? Apa kau tidak pernah tahu warna lain selain hitam dan putih? Apa kau tidak tahu angka lain selain nol dan satu? (tertunduk) Ya, aku tidak tahu. Sungguh aku butuh bantuan dalam hal itu, atau buang saja aku jauh-jauh. Insya Allah, aku rela.

Tiada sesuatu pun di dunia ini merupakan kebetulan, dan aku meratapi dunia dalam keseriusanku menanggung malu. Aku telanjang, mempertontonkan tubuhku yang tidak sedap dipandang. Tak seorang pun mau memandang, dan aku memang tidak berhasrat. Aku telanjang, karena hanya kulitku yang budukan inilah yang jujur, seperti yang ingin kupercaya. Jika aku berada di tengah-tengah khalayak, pantaskah aku disebut teladan? Tidak! Mengapa? Tidak mengapa! Sayangnya, aku masih suka menebah dada, meski hanya di dalam dada, setidaknya lebih sering dari dahulu kala.

Mama, uuhh... aku tidak mau mati, terkadang aku berharap aku tidak pernah dilahirkan, kata Freddie. Iwan menimpali, "Aku lelaki tak mungkin menerimamu bila ternyata kau mendua membuatku terluka." Ah, kalian ada-ada saja. Aku hanya mahasiswa es dua di Maastricht Graduate School of Governance. Tak banyak dari kawan-kawanku di sini yang tahu apa yang kita bicarakan, kecuali Herman AB, Witri, dan mungkin Fleur. Malam ini, aku tidak mau minum es, meski Chocomelk-nya sedingin es. [tidak ada salju di luar]

Aku bisa! ...jika aku mau. Namun, kenapa aku tidak mau-mau? Heheheh... ini saatnya, Tolol! Ini saatnya! Lupakan omong-kosongmu tentang tidak mau berkelahi melawan yang lebih lemah. Nikmati kemenangan, dan itu hanya akan terjadi jika KAU yakin pada tingkat kepercayaan seratus persen bahwa yang akan kau lawan lebih lemah! Ia sudah menelanjangi dirinya, sedikit. [tidak ada yang lebih telanjang dari kau, Tolol!] Sebenarnya tidak akan pernah ada. Emang iya?

Langkah pertamanya bahkan jauh lebih ringan dibandingkan menggeser pion di depan raja sejauh dua kotak. Oh, dunia, mengapa engkau penuh dengan dendam. Tidakkah kau tahu dendam membuat hawa menjadi panas? Kau suka berkeringat, ya? Geen probleem. Ini bukan dendam. Ini kekejaman! Kau 'kan suka kekejaman?! Siapa bilang?! Semua harus ada aturannya, termasuk kekejaman. Jangan asal kejam saja, dong. Harus artistik. Kau pernah menyembelih ayam, belum? ...Belum. [sambil malu-malu] At my signal, ...unleash hell, kata Maximus.

Tenang saja. Nanti juga berubah lagi.

Saturday, November 22, 2008

Salju Pertama di Maastricht 2008


Kemarin, Jumat 21 November 2008, adalah hari kami mengikuti ujian Risk and Uncertainty. Sebelumnya, aku dan Bang Herman shalat di Masjid al-Fath, di Gentelaan mentok (aduh nama jalannya apa ya...? ada Sint-nya gitu deh... lupa). Waktu itu angin kencang, dan kurasa pada saat itulah salju pertama tahun ini sudah turun di Maastricht.

Malamnya, ketika aku berjalan di sepanjang—monyong... lupa juga nama jalannya, pokoknya di depan tapsiun deh, sama Bang Herman juga, dari Night Shop balik ke (God help me) De Beurs Studentencafe, barulah salju menerpa wajahku, tutup kepala, dan jaket Bad Boy-ku yang terkenal tebal itu. Aku tidak bad koq, dan aku juga bukan boy (terus 'Kin mau dikemanain kalau aku boy?). Aku sudah lama tidak kepingin menyentuh khamr dalam bentuk apapun, dan malam itu juga tidak. Jangankan khamr, rokok juga aku sudah tidak berhasrat. Sepertinya aku sudah cocok masuk PKS niy ;'p

Bicara masalah hasrat... pertama, tiada lain kecuali aku memujiNya, satu-satunya yang pantas dipuji. Allah, Penambat segala kesah. Allah, Penyembuh segala gundah. Allah Illahi Rabbi, yang kasihNya melebihi ibuku sendiri, bahkan kasih ibuku dan semua ibu di alam ciptaan ini Ia-lah yang menciptakan. Rabb hamba, terurai air mataku, semoga ini adalah kerinduan hanya padaMu. Semoga mata ini tercipta hanya untuk memandangMu, dan apapun yang kupandang itu hanya Engkau. Allah Rabb hamba, jadikanlah aku hambamu yang tebal rasa malu.

Jangan biarkan hamba lupa diri lebih dari sekejapan mata, diri-rendah hamba ini, Illahi Rabbi. Demikianlah kehendakMu atas hamba dan semua manusia (anak Adam?), sebagai cerminan DiriMu yang tak terlukiskan. Langit, bumi, dan segala apa yang berada di antaranya tiada sanggup menanggungMu. Hanya hati seorang mukmin yang mukhlis-lah yang mampu. Allah Rabb hamba... dengarlah ratapan hamba pagi ini... Masukkanlah hamba ke dalam golongan itu... Semoga ini semata-mata kerinduan padaMu.

Aku mengidap Sindrom Robin Hood, kata Dik Witri. Dua kata terakhir memang aku sendiri yang memulainya, dia tinggal menambahkan satu di depannya. Betapa mengerikan jika sindrom ini dibarengi pamrih, aku berlindung pada Allah Maha Perkasa dari yang seperti itu. Aku adalah orang yang tinggi hati, dan mementingkan diri sendiri. Aku suka mengagung-agungkan diri sendiri. Sama seperti adikku yang paling kecil, aku suka memandangi pantulan diriku sendiri dalam cermin. Betapa berbahayanya! Amboi, betapa mengerikannya! Semua ini sangat mungkin menjerumuskan ke dalam kenistaan, dan itu sudah dijamin.

Jika sampai terjadi, benar-benar tak tertanggungkan. Di sini, aku mungkin masih dapat mengandalkan kesabaranku. Namun, ketika waktunya tiba, di sana, tak mungkin lagi siapapun bersabar menanggungnya. Aku berlindung pada Allah Maha Pengampun dari yang demikian itu. Illahi Rabbi, hamba mohon karunia kekuatan untuk mampu bersabar dalam memberantas semua pamrih dan menanggalkan semua atribut yang tidak pantas hamba kenakan. Mohon tangguh sebentar saja, tidak akan lama lagi.

Farewell Party February 2008 Cohort

Keindahan dunia yang menyilaukan mata, yang bagi kebanyakan orang bahkan membutakan. Menyergapmu dari segala penjuru inderawi, merasuk ke dalam alat kelengkapan kemanusiaan yang paling asasi... Tak mampu kuteruskan yang satu ini... satu paragraf ini... biarlah berlalu begitu sahaja. Apapun yang ada dalam benakmu, lupakan. Apapun yang ada dalam genggamanmu, berikan. Apapun yang ada di depanmu, hadapi. Mari bersuka-cita, karena tiada lama lagi kita akan sampai di rumah. Rumah yang hangat dan nyaman itu... yang kehangatan dan kenyamanannya saja sudah merupakan daya tarik tak tertahankan.

Di tengah rimba belantara ini, yang terus saja berganti-ganti dengan padang gurun (atau kini padang salju hehehe...), rimba belantara, padang gurun, hutan gelap, padang salju, rimba belantara, padang gurun... begitu saja seterusnya; Ini hanya pengembaraan. Hanya rumahku yang hangat dan nyaman itu yang kuinginkan, hanya itu saja yang mengisi benakku, hanya itu tujuanku! Sungguh aku menanti saatku mengucapkan selamat tinggal pada pengembaraan ini, dengan kata-kata perpisahan yang manis.

Sunday, September 28, 2008

Level-headed. Hot-headed. Serene-headed.


The concern about "state" or "government" that circles around questions like "Who should govern?" and "What must governments do?" is definitely older than any known attempts of scientification toward it. Plato used to think that states—of course with this he refers to ancient Greek city-states, not modern nation-states—should have been governed by philosophers, because, distinct from other citizens, these people are so knowledgeable that their insights surpass the unseen.

Kranenburg, a Dutch thinker, used to say that, "de eerste koning is een gelukkig soldaat", which literally translates into, "the first king is a lucky soldier." Marx used to believe that proletariat—a scientified notion of "common people"—should rule the world. Those are partial, departmental, and truncated thinking, I would say, that are typical for "western" thoughts; which were unfortunately the most familiar way of thinking for most.

In most part of the globe, however, people used to think that—and most importantly, live in a life where—there are three basic functions, i.e. (i) those who talks to God (or "gods"), so that God talks back to them; (ii) those who raise arms, whenever there are threats or dangers to anyone; and, (iii) those who commune with mother-nature, so that she will bless anyone with her bounty. These functions might have developed long ago in distant times, perhaps as early as the earliest development of distinctly huge-brained ape-like bipedal creatures.

At first, all of them, as all predators are, were used to quick rigorous actions and lots of rest—these are the hot-headed. Thus, there were some others who inclined more to routine hard work, the earliest farmers or the foragers—these are the level-headed. Finally, some others began to realize that Life is way larger than just these lofty sky and vast earth, where they were born and dead—these are the serene-headed. All these kinds of individuals nevertheless lived in the same pack.

The concept of "function" must be boldly underlined, because there is a widespread misunderstanding that these functions are hierarchical. In fact, they are three equally strong pillars that together support the whole world of creations, so that mortals can witness Absolute Truth as truths. In such a life, a priestess never thinks that she is the most important person of all, for she can hardly do anything, for instance, if a pack of hungry wolves should rampage her monastery; and surely her corporeal existence will perish should nobody provide her with alms from time to time.

A warrior has no reason to boast his muscle-bound physique, for he must constantly repair his weary soul every time after slaying anything and find legitimacy to it; and surely his muscles will wither should granaries become empty. A peasant never claims any fame for having "invented" new variety of grain that yields sooner and tastes better, for a regular consolation from drudgery is nevertheless essential to get him going; and surely he will be left helpless should barbarians trample over his fields.

In this sense, there is no need to separate "state" or "government" from anything, because the one who should "govern" is basically one self, and what should one do is basically to "govern" one self, disregarding whether one's head is level, hot, or serene. This way, human being and mankind altogether should never be understood as detached from the Nature that embraces them, because Nature and her merciful selflessness is a reflection of An Almighty Self that is the true Governor of everything, as He pleases. Some people might say that this is a "theocentric, totalitarianistic" way to perceive state. I would say that this is the only way to understand any state of affairs so as not to damage human's physiology and psychology.

Alas, some devil-inspired foul beings managed to implant "confidence" into rotten souls of corrupt clergies, disgraceful nobles, and dissilusioned peasants in Europe some centuries ago, and later they called such confidence a shift of paradigm from theocentrism to anthropocentrism. Human, as much as the earth, was never meant to be the center of anything, no wonder why we found increasing number of human physiological and psychological "disintegration" nowadays.

Sunday, September 21, 2008

Nuzulul Qur'an, Khadijah ra., Aisyah ra.


Aku berlindung kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam. Shalawat semoga selalu atas Rasulullah Muhammad SAW. beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Amma ba'du.

Pertama, harus kuakui artikel Akhi Afifudin berjudul Nuzulul Qur`an, Perempuan, dan Paradoks Keaksaraan telah mengilhamiku untuk menulis entri ini, tepat ketika aku ingin bermenung tentang Nuzulul Qur'an. Sungguh memalukan usahaku memeringati hari besar ini, tetapi kulakukan juga, sekadar daripada tiada sesuatu pun yang kuperbuat untuknya. Ampunilah hamba, Oh Allah.

Dari sekian banyak kalimat yang dihamburkan Akhi Afif, mungkin bagiku yang paling mengena adalah, "[Akan] tetapi dalam mempelajari historiografi Al-Qur`an, tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran al-Qur`an justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri." Sungguh, kalimat ini adalah klaim paling kuat dalam artikel itu. Sayang, mungkin karena tuntutan gaya penulisan, justru klaim tersebut kurang tereksploitasi. Memang sulit membuat sebuah esai, apalagi jika cakupan topiknya seluas yang diangkat Akhi Afif dalam artikelnya itu. Akhirnya, menurutku, artikel itu justru kehilangan kekuatannya —afwan, Akhi.

Betul, fakta mengenai peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an sudah terlalu sering terlewatkan, atau setidaknya, tidak mendapatkan tekanan dalam berbagai artikel maupun ceramah. Aku sekadar membayangkan. Rasulullah SAW pastilah seseorang yang lembut hati. Hatinya tentu mudah terguncang, dan pengalaman pada malam itu, seorang diri di gua Hira', tak pelak membuatnya sangat terguncang.

Sungguh Maha Halus Maha Rinci rencana Allah, seandainya tidak ada Khadijah ra. dalam keseluruhan skenario itu, entah apa yang akan terjadi pada seorang laki-laki yang lembut hati itu. Kenyataan bahwa Khadijah ra. lebih tua daripada Rasulullah SAW juga seperti sebuah kebetulan yang manis, yang memungkinkannya berperan sebagai "ibu" di saat yang sangat genting ini. Sekali lagi sekadar membayangkan, pertahanan mental Rasulullah SAW pada saat itu pasti telah luluh-lantak, dan ia berpaling pada istrinya seakan seorang anak kecil mencari perlindungan pada kehangatan ibunya.

Tersebutlah ketika Rasulullah SAW didera keguncangan mental yang hebat, Khadijah ra. mengatakan dan melakukan sesuatu yang, sekali lagi, sungguh seperti kebetulan yang manis. Rasullulah mengira dirinya telah berubah akal, atau menjadi seperti kebanyakan penyair Arab pada masa itu, yang bersyair karena "dituntun" oleh mahluk tak-kasat-mata—sesuatu yang tidak disukainya. Khadijah ra. segera menukas, "Tenanglah, Sayang. Tak mungkin Allah mempermalukanmu begitu rupa. Engkau selalu menjaga silaturahmi, berkata benar, membantu meringankan kesusahan orang lain, dan beramah-tamah pada tamu."

Setelah ia membangun kembali perkubuan mental suaminya, maka ia mencoba memperkokohnya dengan argumentasi rasional, dengan membawanya kepada saudara sepupunya, Waraqah, yang dikenalnya memahami kitab-kitab. Demikianlah maka Waraqah memperkuat dan memberi bentuk rasional pada kesimpulan Khadijah ra., bahwa Muhammad bin Abdullah ini memang benar Rasulullah. Subhanallahu Akbar!

Jika sampai di sini saja kisah ini sudah demikian menggetarkan, kurasa kita yang awam ini tidak banyak menyadari, bagaimana caranya sehingga kisah ini sampai kepada kita sekarang. Ini pun suatu kebetulan yang manis, karena narasi ini disampaikan oleh—siapa lagi kalau bukan—Aisyah ra., "saingan" Khadijah ra. Samar-samar sampai ke telinga kita, bahwa Aisyah ra. tidak pernah cemburu pada istri-istri Rasulullah SAW yang lain, kecuali pada satu yang ia bahkan tidak pernah hidup sebagai sesama madu, yaitu Khadijah ra.—Rasulullah SAW menikahi Aisyah, dan istri-istri lainnya, sepeninggal Khadijah ra.

Bahkan ada sementara kisah, ia terkadang menyebutnya sebagai "perempuan tua" saking cemburunya. Aku sekadar berandai-andai, jika pun Aisyah ra. cemburu pada Khadijah ra., itu lebih karena keluguan emosional seorang perempuan muda. Namun, dari narasinya tentang peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an—ini pun sekadar berandai-andai—tersirat kekaguman dan penghormatan yang tulus pada madunya itu. Sungguh mereka perempuan-perempuan utama yang ditentukan untuk mendampingi kekasihNya—Aku tidak menyebut "laki-laki" lho. Tidak bias jender, 'kan?-- di dunia yang fana ini. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Sungguh, betapa mengerikan pengorbanan mereka bagi umat manusia, membiarkan diri-diri mereka—dan kisah hidupnya—dijadikan contoh bagi umat manusia sehingga akhir jaman. Mereka "sia-sia"-kan hidup mereka, Rasulullah SAW dan keluarganya, demi memberi tuntunan yang terpraktis dan terinstan bagi manusia yang paling tidak cerdas sekalipun.

Bayangkan, betapa menderitanya seorang laki-laki Arab di masa itu, yang tidak pernah memiliki keturunan laki-laki. Betapa memiriskan nasib perempuan-perempuan Arab pada masa itu, yang tidak boleh dinikahi lagi oleh siapapun sepeninggal suaminya. Namun mereka merelakannya, hidup mereka sendiri. Allahu al-'Aliy al-'Alim menganugrahkan kepada mereka "penglihatan" mengenai apa jadinya kisah-kisah hidup mereka, di kehidupan yang ini, dan di kehidupan yang nanti. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Adakah masih terusik lamunan kita, oleh peringatan Allah tentang seburuk-buruknya jalan, yang bahkan mendekati saja sudah dicegahNya? Adakah masih tergetar sanubari kita, ketika Rasulullah SAW sampai harus dihibur oleh Allah dengan janji tentang kebaikan yang berlimpah-limpah, karena diolok-olok sebagai "yang terputus"?

Adakah masih bebal kalbu kita, sehingga menjadi orang-orang yang paling bakhil hanya karena tidak pernah memohon belas-kasih Allah bagi orangtua-orangtua kita, sebagaimana mereka berbelas-kasih pada kita ketika masih kecil? Adakah masih luput dari kesadaran kita, betapa sentralnya ketokohan anak yatim dalam epos ini, sedangkan Rasulullah sendiri adalah yatim seyatim-yatimnya? Adakah masih tergelitik nalar kita, ketika Rasulullah SAW meninggikan derajat ibu-ibu kita sebanyak tiga kali dibandingkan bapak-bapak kita? Adakah itu semua diadakan tidak untuk apa-apa?! Adakah itu semua, meski manis, hanya kebetulan saja?!

Tiada upaya dan tiada daya kecuali dengan Allah Maha Tinggi Maha Mulia. Maha Suci Allah, Pengayom kita semua, Pengayom yang Perkasa atas segala yang disifatkan. Keselamatan semoga atas para Rasul. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam.

Thursday, September 18, 2008

Sayur Lodeh a la Kak Hindry


Ketika Jeffrey begitu saja ber-eenie meenie, ketika itu jugalah ingatanku sampai pada Kawan Lutvi. Amboi, apa benar kabarnya? Well, Kawan, tidak banyak yang bisa kita lakukan, bukan? Seandainya waktu mengijinkan, mungkin kita dapat menemukan sinergi yang lebih bermanfaat. Akan tetapi, kini aku harus menemukan sinergiku dengan Herman AB, seorang kawan juga sepertimu, bagiku, dengan kisah ceritanya sendiri. Ijinkanlah aku mengakui segala keburukanku. Semoga engkau, kalian, kawan-kawanku, saudara-saudaraku, dapat menutupinya.

Adikku, ketahuilah, aku pun sering berdoa untukmu. Mungkin tidak secara khusus. Namun kau boleh yakin, setiap kali ingatanku sampai padamu, begitu saja sepotong dua doa menyelonong. Aku sayang padamu lebih dari saudara-saudaraku yang lain, bahkan adik-adik perempuan kita. Hey, hanya kau yang kupanggil "Adik". Lidahku tidak kelu untuk meminta maaf kepadamu, terutama atas segala ucapan dan perbuatanku yang tidak mengena di hatimu. Kita memang tidak terbiasa menunjukkan afeksi di antara kita sendiri. Biar malam ini, di sini, kutunjukkan padamu.

Sayur lodeh Kak Hindry memang unik. Cita rasanya tentu saja membuatku lebih nyaman beberapa derajat dari udara Maastricht yang kini anjlok sampai enam derajat celcius. Untuk suhu segitu, itu memang sayur lodeh. Ibu pasti akan menambahkan ini itu, dan yang sudah pasti garam. Namun aku memang tidak begitu suka rasa yang terlalu tajam, rasa apapun itu. Oleh itu, sesungguhnya aku cocok di sini, di mana segala sesuatu terasa tanggung di lidah. Apa kabar Ta'Mbun dan Ya'Mbem ya? Hidup di mana pun, bagi siapa pun, pasti terasa monoton. Semoga mereka diserbu banyak pembeli selama Ramadhan ini, baik sahur maupun buka.

Btw, tadi sore aku jalan-jalan ke San Wah di St. Antoniuslaan dan menemukan... Crispy Gouramy Fish! Ohoho, tersedia dalam tiga rasa: Original, Combination, Tom Yum. Bentuknya mirip potongan-potongan gurame goreng kering, tetapi yang ini kering sekali sampai seperti kerupuk. Rasanya asiiin! Seratus gram seharga EUR 3,85, atau dalam IDR menurut kurs kompas.com hari ini 51.700. Selain itu, aku juga beli Prepared Shredded Squid. Ha ha ha, lihat yang ini BazzBeto bisa gila! Juhi asli! Bukan juhi-juhi-an (maaf, maksudnya squid fillet) seperti yang dijual di AlfaMart Psiko!

Apapun yang kaurasakan, Kawan, ingatlah Guadalcanal, Tarawa, Saipan, Tinian, Iwo Jima, Okinawa. Tetap pegang teguh doktrin "maju perlahan-lahan" alias "tread lightly". Kalau berat bagimu memandangi dinding pantai apalagi bunker-bunker dengan sarang senapan mesinnya, tundukkan saja pandanganmu. Rendahkan badanmu, tetapi terus maju, inci demi inci, yard demi yard, sambil terus menembak, jika sasaranmu jelas terlihat. Jangan hamburkan amunisi untuk musuh yang tidak kelihatan, apalagi sarang senapan mesin. Hindari! Kecuali kau sudah sedekat itu sehingga jaraknya sepelemparan granat, jangan kau kontak dia!

They don't ask you to live when you join the Corps, but we need living and fighting grunts! We need plenty of them! Can't use them dead grunts nohow! Bertahan hidup itu seni tersendiri. Sainsnya memang sudah ada, tetapi bertahan hidup itu sendiri akan selalu menjadi kerajinan (craft) yang hanya mungkin dikuasai dengan berlatih dan berlatih. What doesn't kill you only make you strong. Itu filosofinya. He he he, jadi ingat Into the Wild. Alexander Supertramp, you're a candle in the wind on a cold dark winter night...

Mempertahankan Kewarasan


Entri ini kutulis di Loteng Belajar milik Maastricht Graduate School of Governance, semoga entri-entri lainnya yang kutulis di tempat ini menyusul kemudian. Untuk apa aku berharap begitu? Dunia ini adalah tempat kemalangan, kehilangan, kesedihan. Kenapa harus begitu benar caraku memandang dunia? Ketika sesuatu yang kuanggap paripurna di dunia ini, ternyata tidak sempurna, kurasa pada saat itulah... Pada saat itulah, kenapa lagi aku harus berharap sesuatu dari dunia ini? Setapak demi setapak, itu saja yang masih bisa dilakukan. Selangkah demi selangkah, maju dengan hati-hati, seakan yang kupijak ini sungai lava.

Memang sungai lava! Apalagi kalau bukan itu? Kebutuhan akan kepastian, atau lebih tepat Keabadian, memang merupakan kenangan primordial manusia, yang dibawanya dari kampung halaman. Ke sanalah kita semua akan kembali, ke Keabadian! Sementara ini... yang ada di hadapanku adalah sungai lava, di belakangku sungai lava, di sekelilingku sungai lava. Tidak ada bedanya. Oh Gusti, mengapa begini benar aku memandang sekelilingku? Adakah ini kehendakMu, atau diri-rendahku? Oh Gusti...

Ini sangat berpengaruh pada diriku. Bagaimana aku bisa peduli pada kepemerintahan, penyusunan kebijakan, penetapan agenda, demokrasi, globalisasi, apapun itu, apapun maumu... bagaimana aku bisa peduli, jika yang kupedulikan hanya goro-goro, apapun itu? Sudah tidak banyak gunanya segala macam perbentengan argumentasi bagiku, sudah lama pula aku tidak berlatih untuk melakukannya. Kubiarkan saja. Rapuh atau kokoh, sudah tidak banyak bedanya. Jika begitu, bagaimana aku dapat berargumentasi dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Indonesia saja sudah lama kutinggalkan?

Entah sudah berapa tahun lamanya aku hidup dalam sepi yang mendendam. Orang mungkin tidak percaya, karena aku banyak bicara. Padahal, yang kumuntahkan, yang kuludahkan, semua amarah! Sungguh aku tidak seperkasa serumpun padi yang kuat menangung kenistaan hidup abadi di tanah penuh berlumpur. Sungguh, tidak tahu diri aku jika mengira aku "berbicara" atas nama mereka. Aku hanya banci yang tidak kuat menanggung nista! Aku memang pengecut yang masih saja tidak berani mengakui kepengecutannya. Namanya juga pengecut... bisa diharap apa?!

Depresiku menjadi polusi bagi persekitaranku. Cerobong-cerobong mengemposkan jelaga dengan sekuat tenaga, tak satu pun mampu menghindar darinya. Bahkan ketika aku diam, ia masih memancar. Haruskah aku dikurung—seperti dulu—agar tidak mencemari persekitaranku? Ada orang-orang yang kehadirannya membawa keceriaan dan kebahagiaan. Aku sebaliknya! Aku membuat orang merasa tertekan. Kemarahanku yang terpendam, akibat berlatih bertahun-tahun, menguar bagai bau badan dari tiap-tiap pori kulitku. Sudah begitu, aku sombong. Berbangga-diri tidak pernah mau pergi dariku. Bahkan ketika aku diam, ia makin meruyak di dalamku, menggerogotiku.

Oh Gusti, Maha Sempurna pekerjaanMu, Maha Rinci perhitunganMu. Inilah sahaya, demikianlah ketentuanMu bagi hamba. Hanya berserah diri yang tersisa bagi hamba, dan harapan sekiranya mampu menanggung ini semua, seperti rumput yang merelakan dirinya digilas salju musim dingin, atau dipanggang kekeringan panjang. Hamba tercipta bukan sebagai rumput, tetapi ciptaanMu Maha Sempurna. Hanya kepadaMu sahaya menghamba, dan hanya kepadaMu sahaya memohon. Semoga.

Sunday, September 14, 2008

Hari-hari Terakhir Musim Panas di Maastricht


Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai." Sam yang tidak terkejut oleh gelitik jari-jari di tengkuknya, kali ini benar-benar terbangun dari tidur-tidur anjingnya. "Apa katamu?" juga dengan tenggorokan yang belum sepenuhnya bersih dari lendir. Ketika tidak ada jawaban, Sam pun mendongakkan kepalanya. Apa yang dilihatnya adalah kekosongan. Jari-jari tangan yang tadi menggaruk-garuk tengkuknya kini terkulai lemas. "Oh, sekarang kau tertidur," dengus Sam, yang segera memutuskan untuk tidur kembali juga.

***
Sam, aku sayang padamu. Heh, heh, aku juga sayang padamu, Tolol, lalu kenapa? tukas Sam sambil menyeringai memamerkan deretan gigi-giginya. Tidak, aku cuma ingin berkata aku sayang padamu... err, tidakkah kau juga ingin mengatakannya padaku? Ya, dan bukankah baru saja kukatakan begitu? Oh... ya. Keduanya terdiam memandangi rerumputan yang rebah oleh hujan sepanjang pagi. Rumput-rumput ini tidak begitu cantik, begitu batin Sam. Jika berguling-guling di atasnya pasti jadi gatal-gatal.

Kenapa pakai "Tolol", dan kenapa pakai "kenapa"? Sam menelengkan kepalanya dan membuat mimik seperti sedang mengejek. Lalu kau mau kupanggil apa? Dan tentu saja kenapa, kenapa juga kau masih bertanya? Memangnya ada yang lain di sini, selain rumput-rumput gatal ini? Di sini hanya ada aku, lalu kau. Kalau kau sayang padaku, tentu aku sayang padamu. Masa aku sayang pada rumput-rumput gatal ini? Dia menghela napas dengan mata berkaca-kaca, sambil tersenyum dikulum, untuk kemudian melempar kepalanya menghadap Sam. "Dan "Tolol"-nya, kenapa kau panggil aku begitu?" Oh, itu cerita yang lain lagi.

Aku tahu apa yang kau maksud dengan "sayang". Jangan sampai aku menyampaikan pendapatku ini dalam bahasa Belanda aksen Limburg yang kita sama-sama tahu, karena itu akan membuatmu merah padam. Lebih baik, untuk yang ini, aku menggunakan bahasa yang di-install olehNya di dalam kalbu semua saja ciptaan. Setidaknya, dengan begitu kau akan merah jambu, ha ha ha... ha. Ketika menyadari leluconnya tidak begitu lucu, terbukti dengan tatapan yang masih saja kosong dan berkaca-kaca, Sam pun memasang muka serius.

Menurutku, ehem, lanjut Sam sambil menelan lendir yang menyumbat tenggorokannya, apa yang kau sebut dengan "sayang" itu bukan sayang seperti yang seharusnya. (Oh, ada toh sayang yang seharusnya?) Biasanya, yang begini saja sudah sanggup memicu ledakan kata-kata, tapi kali ini matanya justru terlihat tambah berair. (apa karena angin yang dingin ini?) Sayang yang kau maksud adalah sayangnya jasad yang mudah busuk, yang mudah mengundang lalat bahkan sebelum mulai membusuk, dan akhirnya menjadi persemaian calon-calon lalat. (setidaknya masih ada gunanya)

Kini, sudah pada tempatnya jika aku bertanya, pantaskah, menurutmu, kau menyayangi dengan cara itu? Jika kau menyayangi dengan cara itu, adakah kau masih bisa sayang pada calon-calon lalat yang bersemi pada jasadmu? Heh heh heh, maafkan aku kalau menggunakan bahasa Belanda, tapi aku yakin seratus persen kau tidak akan rela. Jangankan sayang, rela pun tak. Sam menghentikan gonggongannya sejenak untuk melirik. Kini ia tidak tahu apakah itu mata atau mata air, karena airnya tampak makin banyak saja. Haruskah kuteruskan gonggonganku?

Bagaimana kalau nanti berubah menjadi lolongan? Kalau aku melolong, aku masih sanggup mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, kalau Si Tolol ini sampai melolong, hal mana sangat mungkin karena ia selalu saja begitu, meniru-niru apa yang kuperbuat, wah, aku tidak sanggup bahkan sekadar membayangkannya. Cukup lama Sam menimbang-nimbang haruskah ia terus menggonggong, terus menyalak, walau risiko yang harus ditanggung sangat berat. Ketika itulah ia melihat seorang ibu melintas bersama dengan anak laki-lakinya.

Anak itu merengek-rengek minta digendong. Aku lelah, katanya. Ibunya seperti tidak peduli, terus saja melangkah. Jika tadi setengah menyeret anaknya, kini ia benar-benar sepenuhnya menyeret, karena anak itu memutuskan untuk tidak melangkah lagi. Rengekan berubah menjadi tangisan. Heh, kau menangis?! Kini ibu itu berbalik badan menghadapi anaknya, berkacak pinggang. Anak itu diam berdiri di tempatnya, menunduk tidak berani menentang mata ibunya. Napasnya tersengal-sengal lebih karena ia berusaha menahan tangis, bukan karena langkah ibunya yang sebenarnya tidak seberapa sulit untuk diikuti.

Ibu itu seperti tengah menimbang-nimbang, cukup lama. Apa pun maksudnya, waktu itu cukup bagi anaknya untuk menguasai diri. Kini bahunya sudah tidak berguncang-guncang lagi, napasnya sudah lebih teratur. Kau memang masih kecil, kata sang Ibu, tapi kau laki-laki. Kelak jika Ibu sudah tua dan tak kuat berjalan lagi, kepada siapa Ibu akan meminta tolong untuk melakukan ini dan itu? Itu masih mudah. Bagaimana jika ternyata kau harus menolong yang lain-lainnya juga?

Sepotong adegan ini juga cukup bagi Sam untuk membulatkan keputusannya. Okay, aku akan terus menggonggong. Akan kutanggung akibatnya, apa pun itu. Dengar, bagimu, dan bagiku juga tentu, sayang adalah seperti matahari di akhir-akhir musim panas. Biasanya ia memang membelai apa pun yang ada dalam naungannya dengan kehangatan yang melembut, tetapi ada kalanya ia bersembunyi di balik mendung yang demikian tebalnya. Pada saat itu, semua membatin, oh, adakah matahari tidak lagi sayang padaku. (Aku tahu kau sering membatin begitu. Jangan lupa, kita berdua sama-sama berbicara bahasa yang sama)

Tidakkah seharusnya kita semua berterima kasih kepada matahari yang sudi menyembunyikan diri barang dua tiga hari, sebagai latihan jika ia harus menyembunyikan diri tiga bulan lamanya bahkan lebih? Nah, sayang seperti itulah seharusnya antara kau dan aku. Sayang yang meretas batas-batas tempat, waktu, dan keadaan, yang jika sudah begitu, buat apa lagi dikatakan. Hey, kau tahu persis kau tahu persis, maka dari itu ketika kau masih bertanya, salahkah aku jika kau kupanggil "Tolol"? Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai."

Emotional Roller-Coaster


Sial! Sudah dua entri berturut-turut judulnya dalam bahasa asing! Akan tetapi, yang satu ini memang tidak mungkin diganti, karena hanya ungkapan itu yang cocok untuk menjadi judul entri ini --setidaknya, hanya itu yang kini terpikir olehku. Bukannya mengerjakan SWF malah nulis gak penting! Biar saja! Lebih baik menulis daripada tidak sama-sekali. Ada jejak yang kutinggalkan, untukku sendiri, untuk kuevaluasi, dan aku memang harus mengevaluasi. Ini sudah kelewatan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi kenyataan: Emotional Roller-coaster!

Ya, ampun... Setua ini masih saja mainan begituan?! Meski ini tampaknya tidak berhubungan dengan masalah tua atau muda, tetap saja bagiku mengherankan. Masih aja gua kepatil! Kampret! Dari pengalaman yang dulu-dulu, yang beginian nih kalau diteruskan hasilnya jadi berabeperasaan lu udah bilang deh beberapa hari yang lalu... Emang iya, Goblok! Maka dari itu, baekan buru-buru loncat dah keluar dari situ! Mainan ini tidak akan berhenti, kecuali kau memasrahkan dirimu padanya. Lama-kelamaan, ketika energinya sudah berkurang, maka yang kau rasakan adalah mengambang di awan. Namun itu masih lama sekali, dan kau TIDAK PUNYA WAKTU untuk itu!

Ha ha ha, sepertinya satu entri ini akan kuhabiskan untuk judul ini saja: Emotional Roller-coaster. Hah! Emangnya gua bocah, yang masih kena dikelece'in ama yang begituan?! Ayo, lawan lebih hebat lagi. Sangkal! Kau tahu betapa mengasyikannya permainan itu. Memang, ketika dia memuntirmu, atau membiarkan darahmu mengumpul di kepala karena ditarik gravitasi, rasanya... mendebarkan, menggemaskan, mendongkolkan, menjengkelkan... Akan tetapi, ketika kau berhasil melampauinya, apalagi ketika ia mulai kehilangan cengkeraman pada rel emosionalnya... he he he... kau masih ingat 'kan bagaimana rasanya...? (Si Anjing ini —bukan Sam— terkekeh menjijikkan) Asyik! Lebih dari sekadar asyik, nyaman!

Keliaranku melampaui yang sekadar asyik, tapi kebutuhanku akan rasa nyaman, mapan, besar sekali. Nyaman... di tengah panggung gelap, sendiri, perlahan disorot lampu, mencangkung, termangu, tersenyum dikulum (karena sekarang aku tidak merokok lagi). Kalau masih merokok, mungkin menghisap dalam-dalam asap celaka itu, menghembus perlahan dengan mulut sambil ditarik kembali melalui hidung... Ooohhh... Selembar selimut hangat disampirkan lembut pada bahuku, selembut nafasmu... Gusti, ampunilah hamba. Gusti, sungguh hamba lemah di hadapan nafsu hamba sendiri... [mengguguk, mana ada kata ini dalam Bahasa Indonesia].

Betapa jauh hamba dari tujuan hamba. Betapa jauh hamba dari kampung halaman. Oh Gusti, malu hamba memanggilMu. Hamba coreng-moreng, kotor. Bukan hamba tidak tahu diri, Oh Gusti, tapi kemana lagi hamba harus menyeru? Sungguh tidak pantas hamba menghadapMu dalam keadaan begini. Akan tetapi, dalam keadaan yang bagaimana lagi hamba lebih pantas menghadap? Oh Gusti, hamba malu pada kelakukan hamba sendiri, semoga tulus rasa malu ini. Hamba biarkan kuda itu berlari kencang menuju tepi jurang. Kini, ketika kaki-kaki depannya menggaruk-garuk bibir jurang, hanya ekornya yang terpegang oleh hamba. Kuda itu toh mahlukMu juga, Oh Sang Perkasa.

Kedua lengan hamba apalah? LenganMu-lah Duhai Maha Perkasa, yang kuasa menghentak, menyeret kembali kuda hamba ke pijakan yang aman. Benar-benar menjijikkan tidak tahu malu hambaMu ini, kini ia meminta agar sudilah kiranya jangan diseret. Sudilah Sang Maha Lembut, Sang Pengiba, membelai-belainya agar jinak, mengelus-elusnya agar tidak binal. Gusti hamba, kasihanilah hamba yang dibutakan oleh asap jelaga. Segala daya upaya hamba tak berarti untuk menghapusnya, hanya Engkaulah Maha Kuasa, Maha Lembut, Sang Pengiba Pencipta rasa iba, mampu membersihkannya dari cermin hambaNya. Gemilanglah cahayaMu dipantulkannya, duhai Cahaya Maha Cahaya!

Tuesday, September 09, 2008

Un Homme et Une Femme


MyMathLab yang lucu. Dirk pasti sudah susah-payah membuatnya, seperti John sudah susah payah mempelajari Joomla dan Drupal. Mungkin, kalau tidak diwajibkan, MyMathLab akan sama saja nasibnya dengan www.lphm.info. Wow, aku masih harus bertanggung-jawab atas Nelayan Teluk Jakarta dan SWF. SWF sih ga begitu masalah, kutanggung sendiri, tetapi Nelayan?! Kalau dulu aku jadi daftar ISS, itu berarti International Political Economy and Development.

Namun kini aku sudah di MGSoG, dan di sini ada Sustainable Development. Masa aku lepaskan begitu saja dan berbalik ke Globalization, Trade, and Development? Memangnya ada utang apa aku pada sustainable development? Nama lembaganya pun sudah berubah, ora keren blas. Ya, dan aku tidak bisa mengandalkan siapa pun. Ini impianku sendiri. Impianku sustainable development? Gak salah tuh? Tidak baik itu. Jangan terlalu nihilis, lah. Posmo, aja. Posmo? Kayak yang kebanyakan energi aja!

"Tho' yesterday seems surround you with a warm and precious memory. Maybe, for tomorrow, we can build a new dream for you and me."

Kemarauku membeku karena kutub utara menghela napas terlalu keras. Dalam kebekuannya, kemarauku merengkah, menganga, menguarkan dahaga akan siraman hujan khatulistiwa yang bersahaja. Itu semua sudah tiada. Kehampaanku terlalu dini sehingga meninggalkan bekas-bekas amarah yang mengerak oleh panasnya mendamba. Kupikir aku sudah hampa. Belum. Tidak begitu yang namanya hampa. Itu damba. Kemarau dan Penghujan tiada sesuatu pun kuasa menolaknya.

Demikian ketentuan Sang Perkasa, Yang Tahu Segala. Kemarauku, aku nyaris tak kuasa menanggungnya. Engkau tahu betapa kering-kerontangnya sumber-sumber yang Kau amanatkan padaku, pun Engkau tahu aku tidak tahu apa-apa. Lalu betapalah jadinya aku? Terasa benar di situ. Sedapnya harum udara ketika debu terlena dibelai hujan pertama, terasa begitu jauh dari pelupuk mata, yang ada di dalam dada. Yang tinggal hanya jelaga. Oh Kasih, dengan jari-jariMu tolonglah Kau gelitik ruas-ruas tulang belakangku. Biar aku menggelinjang!

Ini namanya "permainan menunggu" (waiting game). Sementara begitu banyak lainnya yang bisa kutunggu, exam akhir bulan, misalnya, atau teguran dari Pak Guntur apalagi Pak Udin, atau sirene darurat dari Bang Idon, aku menunggu datangnya musim dingin. Malam ini, ketika aku menulisi kemacangondrongan, udara sungguh nyaman. Panas tentu saja tidak. Dingin juga tidak. Nyaman. Tidak ada sesuatu pun yang dapat dikeluhkan, kecuali... yah, ampun deh yang satu ini. Akan tetapi, masih ada yang lebih "ampun" lagi.

Aku sudah gila jika aku menunggu yang satu ini. Against all odds, kalau kata penjudi berbahasa Inggris. Gilanya, aku sering menemui diriku tengah mengundi nasib, jika sedang menunggu. Jangan! Okay?! Dengarkah engkau? Jangan! Kendalikan dirimu. Ini sama sekali "bukan permainan," untuk mengutip syair lagu yang dinyanyikan Dik Gita. Main-main dengan yang ini... lalu sampai kapan kau tidak mau belajar dari pengalamanmu sendiri, hah?!

Sunday, September 07, 2008

Mengantisipasi Seseorang untuk Memeluk


Goklas pagi ini bicara tentang semangat. Ia juga suka sekali bicara tentang korps. Aku selalu membayangkan korps-nya Goklas ini --yah, korps-ku juga-- seperti korps santri. Setelah lulus, maka bertebaranlah. Babat hutan. Da'wah. Bil hal, bila perlu bi lisan. Akan tetapi, sebagian besar dari kami mungkin tidak begitu wawasannya. Aku selama ini sering mencela mereka sebagai kumpul-kumpul pensiunan. Eksklusivisme positif, atau sekadar silaturahmi? Entahlah. Aku memang suka menyendiri, itu saja.

Oleh karena itu, betapa nyamannya kamarku di lantai dua rumah Oom Jerry Sassen ini, di bilangan Malberg. Tenang. Sepi. Sendiri. Maafkan aku, 'Klas. Aku tidak bisa menukas jika inti dari semua ini adalah keep in touch. Mungkin kita sekadar dua orang yang berbeda. Kulihat kau sudah menemukan jalan menuju Tuhanmu, aku pun begitu. Kita menjadi dua orang yang sama. Sudahlah. Maafkanlah aku. I'll try my best to always be in touch.

Siska... aku tidak mau berkomentar mengenai dirinya. Mengapa jadi seperti ini riwayatku dengan perempuan? Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena satu-satunya pelabuhan jangkarku adalah orangtuaku, idealisasiku mengenainya. Aku sekarang malah terpaksa menyebutnya sebagai tanggung-jawab kesejarahan. Lalu aku membual juga mengenai kewajiban yang harus selesai dalam hidup yang kali ini juga.

Hidup itu seperti garis lurus, tak pernah kembali ke titik semula, begitu kata Sam. Aku juga tidak pernah menyesalinya. Apa pun yang kurasakan mengenainya tidak dapat disebut sebagai penyesalan. Apakah aku mengutuk diriku sendiri? Ampunilah hamba jika memang demikian, oh Allah. Apalah arti kutukanku dihadapan ketentuanMu. Jalan di depanku, jika ada, tolonglah hamba agar tidak memusingkannya. Jangan jadikan hamba, oh Allah, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bangkrut dan merugi. Aamiin.

...tapi... Aku butuh dipeluk. Aku butuh memeluk yang membalas pelukanku. Itulah sebabnya teletubbies suka berpelukan. Itulah sebabnya dua ekor kukang muda yang dijual orang di pinggir jalan saling berpelukan, karena memeluk itu mengantisipasi untuk balas dipeluk. Itu semacam hasrat, seperti riak air di danau kecil yang ditiup semilir angin musim panas. Bayi terbentuk sistem kekebalan tubuhnya karena dipeluk, didekap oleh ibunya, dielus perlahan --tidak karena sekadar disusui. Semua mahluk begitu, tidak terkecuali manusia, muda maupun tua.

Demikianlah kehendakNya atas yang berjasad. Jika penguat jiwa adalah berserah diri, penguat jasad adalah pelukan yang berbalas. Hey, aku bisa saja memeluk sebatang pohon dan "merasakan" betapa ia membalas pelukanku, tetapi bukan itu benar masalahnya. Ini adalah masalah jasadiyah --ada nggak ya kata ini? Bukan rasa di jiwa, melainkan rasa inderawi. Di Belanda yang dingin ini, yang jarang terdengar kalimat al-thayyibat ini, wajar jika keenam indera meronta-ronta.

Aku menginginkanmu

Saturday, September 06, 2008

Ramadhan Baru Enam, Lima Untukku


Akan kutunggu beberapa hari lagi. Tidak. Terlalu cepat. Mungkin beberapa minggu lagi, atau beberapa bulan? Sungguh tak berarti aku di putaran bumi dan peredarannya terhadap matahari. Sungguh, betapa berartinya itu semua bagiku sekarang. Sindiran Matt memang sangat mengena, "Si Tolol yang terburu-buru." Si Tolol pasti selalu terburu-buru. Lebih parah lagi, Tolol yang satu ini bangga sekali kepada dirinya sendiri --satu watak yang sangat terkutuk bagi sekerat budak, termasuk, tentu saja, pada ketololannya.

Dalam ketololan ini, akan kutunggu hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Setahun! Akankah semua ini berakhir pada saat itu? Lalu, kata Matt lagi, mengapa tidak sekarang? Kutinju Matt pada lengannya, lalu kurengkuh dia. Keparat kau, kataku bercanda. Yang seperti ini tidak pernah bisa menunggu, dan besok mungkin sudah terlambat. Kali ini aku hanya tersenyum kecut, kehabisan kata-kata, seperti biasa. Sial kau! Kenapa tidak sekarang? Menggaung menggema memantul-mantul di antara dinding-dinding benakku.

Insya Allah, aku sudah lumayan terbiasa berpuasa enambelas jam. Sixteen hours, mind you. Hari pertama aku gagal, dan aku tidak berencana, God speed, untuk menggantinya terlalu lama, Insya Allah. Tadi malam, Tante Hindry beerhasil memaksaku memasak Kangkung Hoisin. Hoisin, mind you, not Tauco. Propertinya sih agak-agak mirip, ada kedelainya juga, tetapi jelas sangat berbeda. Kata wikipedia, hoisin biasanya digunakan untuk celupan (dipping sauce). Sejak kapan orang makan lumpia dicelup tauco. 'Gak pernah dengar 'kan?

Mungkin sama juga dengan ini. Sejak kapan kangkung ditumis dengan hoisin. Setidaknya sejak malam kemarin. Akan tetapi, rasanya tidak terlalu buruk. Aku justru cenderung suka rasa manisnya, seperti saus barbekyu. Oleh karena itu juga aku segera terpikir untuk menambahkan daging cincang. Tidak terlalu jauh, 'kan? Jadi seperti kangkung cah sapi tapi dengan nuansa oriental barbeque 'gitu. Mantap lah! Dengan begitu, makan sama sekali bukan masalah bagiku. Dalam istilah Tante Hindry, itu namanya "beruntung." Mungkin aku lebih baik menyebutnya: Segala puji hanya bagi Allah!

Anakku membutuhkanku. Itu jelas! Mustahil sebaliknya! Dengan ini, aku tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa, atau menggugat siapapun, atas kata-katanya dahulu. Aku sepenuhnya paham. Itu pun kesalahanku dahulu. Namun, lebih penting lagi, anakku membutuhkan sebuah keluarga yang utuh. Hey, watak melankolisku, sentimentalku, pasti menurun kepadanya, Subhanallahu Akbar! Oh, aku sendiri pasti tidak akan sanggup menanggungnya jika jadi dia, anakku. Tidak ada yang lebih berhak atas curahan kasih sayangku selain kamu, 'Nak.

Itulah sebabnya engkau terlahir sebagai anakku. Akan tetapi, bagaimana aku melakukannya? Jika aku teringat padamu begini rupa, tidak ada lain dalam benakku kecuali kesediaan untuk menyia-nyiakan seluruh umurku, demikian beberapa orang berkata padaku, demi menyayangimu. Aku sendiri siap melakukannya, Insya Allah. Namun, sekali lagi, sampai sini pun tidak pernah kurencanakan sebelumnya, lalu kenapa aku harus merencanakan untuk ke mana pun? Bapak sayang padamu, 'Nak. Bapak tahu, engkau tahu itu.

Friday, September 05, 2008

Sudah Jatuh Tertimpa Cinta


Aku pasti tidak sendirian di dunia ini, yang menyangka bahwa kebutuhannya akan cinta dipenuhi dengan cara yang tidak lazim. Aku juga pasti bukan satu-satunya manusia dengan kecerdasan yang boleh juga, sehingga menyelimuti fakta sepele --seperti jatuh cinta-- dengan argumentasi-argumentasi yang pura-puranya abstrak. Akan tetapi, memang demikianlah perjalanan kehidupan percintaanku, setidaknya seperti yang aku ingin percaya. Seperti ketika Neil bercerita tentang derai tawa di bawah guyuran hujan, seperti itulah kisah cintaku. Sungguh indah tiada tara, setidaknya seperti yang kuyakini. Semua itu ada di dalamku, dalam suaraku yang merdu, dalam kemampuan artistikku yang kentara, dalam benakku yang seluas samudra. Pendek kata, aku mencintai diriku sendiri.

Benarkah begitu? Tidakkah aku pernah mencinta selain diriku? Tidakkah karena itu semua aku jadi mudah terjerembab? Dapatkah aku sekadar mengakuinya saja, kalau aku memang mudah jatuh cinta? Lalu, apakah salah bila aku mudah jatuh cinta? Salah! Salah satu dikotomi favoritku, benar-salah. Pertama memang harus benar-salah, baru baik-buruk, kemudian berguna-tidak berguna. Mudah jatuh itu salah, karena harus berhadapan dengan satu pilar yang tak mungkin goyah, setidaknya seperti yang ingin kupercaya. Kerapuhanku memang harus disangga pilar-pilar kokoh, jika aku tidak mau terus terjerembab, terperosok entah ke kedalaman yang mana. Pilar yang satu ini, aku tidak mau itu tergoyahkan. Hanya aku yang dapat memastikannya selalu begitu, karena semua ini mengenai aku.

...tetapi aku... jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada dunia yang mudah busuk ini. Aku jatuh cinta pada rapuhnya dunia, justru karena rapuhnya itu. Aku jatuh cinta padamu. Mustahil aku terus-menerus mencintai diriku sendiri. Mustahil aku sembuh dari luka-lukaku jika terus menerus jatuh, dan luka, dan jatuh, dan luka lagi, dan jatuh lagi. Sampai kapan aku menikmati rasa sakit ini, pedih yang menyayat, sesak yang menekan, tetapi membangkitkan gejolak birahi ini? Ketika Sarah tiba-tiba saja menyelonongkan, "Lihatlah aku," ketika itu juga aku merasa membuncah tak tertahankan. Aku mencapainya, kenikmatan ini. Rasa sakit ini. Aku seperti merdeka, padahal tidak. Aku seperti tuan, tentu saja bukan... aku hanya... jatuh cinta.