Sunday, September 28, 2008

Level-headed. Hot-headed. Serene-headed.


The concern about "state" or "government" that circles around questions like "Who should govern?" and "What must governments do?" is definitely older than any known attempts of scientification toward it. Plato used to think that states—of course with this he refers to ancient Greek city-states, not modern nation-states—should have been governed by philosophers, because, distinct from other citizens, these people are so knowledgeable that their insights surpass the unseen.

Kranenburg, a Dutch thinker, used to say that, "de eerste koning is een gelukkig soldaat", which literally translates into, "the first king is a lucky soldier." Marx used to believe that proletariat—a scientified notion of "common people"—should rule the world. Those are partial, departmental, and truncated thinking, I would say, that are typical for "western" thoughts; which were unfortunately the most familiar way of thinking for most.

In most part of the globe, however, people used to think that—and most importantly, live in a life where—there are three basic functions, i.e. (i) those who talks to God (or "gods"), so that God talks back to them; (ii) those who raise arms, whenever there are threats or dangers to anyone; and, (iii) those who commune with mother-nature, so that she will bless anyone with her bounty. These functions might have developed long ago in distant times, perhaps as early as the earliest development of distinctly huge-brained ape-like bipedal creatures.

At first, all of them, as all predators are, were used to quick rigorous actions and lots of rest—these are the hot-headed. Thus, there were some others who inclined more to routine hard work, the earliest farmers or the foragers—these are the level-headed. Finally, some others began to realize that Life is way larger than just these lofty sky and vast earth, where they were born and dead—these are the serene-headed. All these kinds of individuals nevertheless lived in the same pack.

The concept of "function" must be boldly underlined, because there is a widespread misunderstanding that these functions are hierarchical. In fact, they are three equally strong pillars that together support the whole world of creations, so that mortals can witness Absolute Truth as truths. In such a life, a priestess never thinks that she is the most important person of all, for she can hardly do anything, for instance, if a pack of hungry wolves should rampage her monastery; and surely her corporeal existence will perish should nobody provide her with alms from time to time.

A warrior has no reason to boast his muscle-bound physique, for he must constantly repair his weary soul every time after slaying anything and find legitimacy to it; and surely his muscles will wither should granaries become empty. A peasant never claims any fame for having "invented" new variety of grain that yields sooner and tastes better, for a regular consolation from drudgery is nevertheless essential to get him going; and surely he will be left helpless should barbarians trample over his fields.

In this sense, there is no need to separate "state" or "government" from anything, because the one who should "govern" is basically one self, and what should one do is basically to "govern" one self, disregarding whether one's head is level, hot, or serene. This way, human being and mankind altogether should never be understood as detached from the Nature that embraces them, because Nature and her merciful selflessness is a reflection of An Almighty Self that is the true Governor of everything, as He pleases. Some people might say that this is a "theocentric, totalitarianistic" way to perceive state. I would say that this is the only way to understand any state of affairs so as not to damage human's physiology and psychology.

Alas, some devil-inspired foul beings managed to implant "confidence" into rotten souls of corrupt clergies, disgraceful nobles, and dissilusioned peasants in Europe some centuries ago, and later they called such confidence a shift of paradigm from theocentrism to anthropocentrism. Human, as much as the earth, was never meant to be the center of anything, no wonder why we found increasing number of human physiological and psychological "disintegration" nowadays.

Sunday, September 21, 2008

Nuzulul Qur'an, Khadijah ra., Aisyah ra.


Aku berlindung kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam. Shalawat semoga selalu atas Rasulullah Muhammad SAW. beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Amma ba'du.

Pertama, harus kuakui artikel Akhi Afifudin berjudul Nuzulul Qur`an, Perempuan, dan Paradoks Keaksaraan telah mengilhamiku untuk menulis entri ini, tepat ketika aku ingin bermenung tentang Nuzulul Qur'an. Sungguh memalukan usahaku memeringati hari besar ini, tetapi kulakukan juga, sekadar daripada tiada sesuatu pun yang kuperbuat untuknya. Ampunilah hamba, Oh Allah.

Dari sekian banyak kalimat yang dihamburkan Akhi Afif, mungkin bagiku yang paling mengena adalah, "[Akan] tetapi dalam mempelajari historiografi Al-Qur`an, tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran al-Qur`an justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri." Sungguh, kalimat ini adalah klaim paling kuat dalam artikel itu. Sayang, mungkin karena tuntutan gaya penulisan, justru klaim tersebut kurang tereksploitasi. Memang sulit membuat sebuah esai, apalagi jika cakupan topiknya seluas yang diangkat Akhi Afif dalam artikelnya itu. Akhirnya, menurutku, artikel itu justru kehilangan kekuatannya —afwan, Akhi.

Betul, fakta mengenai peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an sudah terlalu sering terlewatkan, atau setidaknya, tidak mendapatkan tekanan dalam berbagai artikel maupun ceramah. Aku sekadar membayangkan. Rasulullah SAW pastilah seseorang yang lembut hati. Hatinya tentu mudah terguncang, dan pengalaman pada malam itu, seorang diri di gua Hira', tak pelak membuatnya sangat terguncang.

Sungguh Maha Halus Maha Rinci rencana Allah, seandainya tidak ada Khadijah ra. dalam keseluruhan skenario itu, entah apa yang akan terjadi pada seorang laki-laki yang lembut hati itu. Kenyataan bahwa Khadijah ra. lebih tua daripada Rasulullah SAW juga seperti sebuah kebetulan yang manis, yang memungkinkannya berperan sebagai "ibu" di saat yang sangat genting ini. Sekali lagi sekadar membayangkan, pertahanan mental Rasulullah SAW pada saat itu pasti telah luluh-lantak, dan ia berpaling pada istrinya seakan seorang anak kecil mencari perlindungan pada kehangatan ibunya.

Tersebutlah ketika Rasulullah SAW didera keguncangan mental yang hebat, Khadijah ra. mengatakan dan melakukan sesuatu yang, sekali lagi, sungguh seperti kebetulan yang manis. Rasullulah mengira dirinya telah berubah akal, atau menjadi seperti kebanyakan penyair Arab pada masa itu, yang bersyair karena "dituntun" oleh mahluk tak-kasat-mata—sesuatu yang tidak disukainya. Khadijah ra. segera menukas, "Tenanglah, Sayang. Tak mungkin Allah mempermalukanmu begitu rupa. Engkau selalu menjaga silaturahmi, berkata benar, membantu meringankan kesusahan orang lain, dan beramah-tamah pada tamu."

Setelah ia membangun kembali perkubuan mental suaminya, maka ia mencoba memperkokohnya dengan argumentasi rasional, dengan membawanya kepada saudara sepupunya, Waraqah, yang dikenalnya memahami kitab-kitab. Demikianlah maka Waraqah memperkuat dan memberi bentuk rasional pada kesimpulan Khadijah ra., bahwa Muhammad bin Abdullah ini memang benar Rasulullah. Subhanallahu Akbar!

Jika sampai di sini saja kisah ini sudah demikian menggetarkan, kurasa kita yang awam ini tidak banyak menyadari, bagaimana caranya sehingga kisah ini sampai kepada kita sekarang. Ini pun suatu kebetulan yang manis, karena narasi ini disampaikan oleh—siapa lagi kalau bukan—Aisyah ra., "saingan" Khadijah ra. Samar-samar sampai ke telinga kita, bahwa Aisyah ra. tidak pernah cemburu pada istri-istri Rasulullah SAW yang lain, kecuali pada satu yang ia bahkan tidak pernah hidup sebagai sesama madu, yaitu Khadijah ra.—Rasulullah SAW menikahi Aisyah, dan istri-istri lainnya, sepeninggal Khadijah ra.

Bahkan ada sementara kisah, ia terkadang menyebutnya sebagai "perempuan tua" saking cemburunya. Aku sekadar berandai-andai, jika pun Aisyah ra. cemburu pada Khadijah ra., itu lebih karena keluguan emosional seorang perempuan muda. Namun, dari narasinya tentang peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an—ini pun sekadar berandai-andai—tersirat kekaguman dan penghormatan yang tulus pada madunya itu. Sungguh mereka perempuan-perempuan utama yang ditentukan untuk mendampingi kekasihNya—Aku tidak menyebut "laki-laki" lho. Tidak bias jender, 'kan?-- di dunia yang fana ini. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Sungguh, betapa mengerikan pengorbanan mereka bagi umat manusia, membiarkan diri-diri mereka—dan kisah hidupnya—dijadikan contoh bagi umat manusia sehingga akhir jaman. Mereka "sia-sia"-kan hidup mereka, Rasulullah SAW dan keluarganya, demi memberi tuntunan yang terpraktis dan terinstan bagi manusia yang paling tidak cerdas sekalipun.

Bayangkan, betapa menderitanya seorang laki-laki Arab di masa itu, yang tidak pernah memiliki keturunan laki-laki. Betapa memiriskan nasib perempuan-perempuan Arab pada masa itu, yang tidak boleh dinikahi lagi oleh siapapun sepeninggal suaminya. Namun mereka merelakannya, hidup mereka sendiri. Allahu al-'Aliy al-'Alim menganugrahkan kepada mereka "penglihatan" mengenai apa jadinya kisah-kisah hidup mereka, di kehidupan yang ini, dan di kehidupan yang nanti. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Adakah masih terusik lamunan kita, oleh peringatan Allah tentang seburuk-buruknya jalan, yang bahkan mendekati saja sudah dicegahNya? Adakah masih tergetar sanubari kita, ketika Rasulullah SAW sampai harus dihibur oleh Allah dengan janji tentang kebaikan yang berlimpah-limpah, karena diolok-olok sebagai "yang terputus"?

Adakah masih bebal kalbu kita, sehingga menjadi orang-orang yang paling bakhil hanya karena tidak pernah memohon belas-kasih Allah bagi orangtua-orangtua kita, sebagaimana mereka berbelas-kasih pada kita ketika masih kecil? Adakah masih luput dari kesadaran kita, betapa sentralnya ketokohan anak yatim dalam epos ini, sedangkan Rasulullah sendiri adalah yatim seyatim-yatimnya? Adakah masih tergelitik nalar kita, ketika Rasulullah SAW meninggikan derajat ibu-ibu kita sebanyak tiga kali dibandingkan bapak-bapak kita? Adakah itu semua diadakan tidak untuk apa-apa?! Adakah itu semua, meski manis, hanya kebetulan saja?!

Tiada upaya dan tiada daya kecuali dengan Allah Maha Tinggi Maha Mulia. Maha Suci Allah, Pengayom kita semua, Pengayom yang Perkasa atas segala yang disifatkan. Keselamatan semoga atas para Rasul. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam.

Thursday, September 18, 2008

Sayur Lodeh a la Kak Hindry


Ketika Jeffrey begitu saja ber-eenie meenie, ketika itu jugalah ingatanku sampai pada Kawan Lutvi. Amboi, apa benar kabarnya? Well, Kawan, tidak banyak yang bisa kita lakukan, bukan? Seandainya waktu mengijinkan, mungkin kita dapat menemukan sinergi yang lebih bermanfaat. Akan tetapi, kini aku harus menemukan sinergiku dengan Herman AB, seorang kawan juga sepertimu, bagiku, dengan kisah ceritanya sendiri. Ijinkanlah aku mengakui segala keburukanku. Semoga engkau, kalian, kawan-kawanku, saudara-saudaraku, dapat menutupinya.

Adikku, ketahuilah, aku pun sering berdoa untukmu. Mungkin tidak secara khusus. Namun kau boleh yakin, setiap kali ingatanku sampai padamu, begitu saja sepotong dua doa menyelonong. Aku sayang padamu lebih dari saudara-saudaraku yang lain, bahkan adik-adik perempuan kita. Hey, hanya kau yang kupanggil "Adik". Lidahku tidak kelu untuk meminta maaf kepadamu, terutama atas segala ucapan dan perbuatanku yang tidak mengena di hatimu. Kita memang tidak terbiasa menunjukkan afeksi di antara kita sendiri. Biar malam ini, di sini, kutunjukkan padamu.

Sayur lodeh Kak Hindry memang unik. Cita rasanya tentu saja membuatku lebih nyaman beberapa derajat dari udara Maastricht yang kini anjlok sampai enam derajat celcius. Untuk suhu segitu, itu memang sayur lodeh. Ibu pasti akan menambahkan ini itu, dan yang sudah pasti garam. Namun aku memang tidak begitu suka rasa yang terlalu tajam, rasa apapun itu. Oleh itu, sesungguhnya aku cocok di sini, di mana segala sesuatu terasa tanggung di lidah. Apa kabar Ta'Mbun dan Ya'Mbem ya? Hidup di mana pun, bagi siapa pun, pasti terasa monoton. Semoga mereka diserbu banyak pembeli selama Ramadhan ini, baik sahur maupun buka.

Btw, tadi sore aku jalan-jalan ke San Wah di St. Antoniuslaan dan menemukan... Crispy Gouramy Fish! Ohoho, tersedia dalam tiga rasa: Original, Combination, Tom Yum. Bentuknya mirip potongan-potongan gurame goreng kering, tetapi yang ini kering sekali sampai seperti kerupuk. Rasanya asiiin! Seratus gram seharga EUR 3,85, atau dalam IDR menurut kurs kompas.com hari ini 51.700. Selain itu, aku juga beli Prepared Shredded Squid. Ha ha ha, lihat yang ini BazzBeto bisa gila! Juhi asli! Bukan juhi-juhi-an (maaf, maksudnya squid fillet) seperti yang dijual di AlfaMart Psiko!

Apapun yang kaurasakan, Kawan, ingatlah Guadalcanal, Tarawa, Saipan, Tinian, Iwo Jima, Okinawa. Tetap pegang teguh doktrin "maju perlahan-lahan" alias "tread lightly". Kalau berat bagimu memandangi dinding pantai apalagi bunker-bunker dengan sarang senapan mesinnya, tundukkan saja pandanganmu. Rendahkan badanmu, tetapi terus maju, inci demi inci, yard demi yard, sambil terus menembak, jika sasaranmu jelas terlihat. Jangan hamburkan amunisi untuk musuh yang tidak kelihatan, apalagi sarang senapan mesin. Hindari! Kecuali kau sudah sedekat itu sehingga jaraknya sepelemparan granat, jangan kau kontak dia!

They don't ask you to live when you join the Corps, but we need living and fighting grunts! We need plenty of them! Can't use them dead grunts nohow! Bertahan hidup itu seni tersendiri. Sainsnya memang sudah ada, tetapi bertahan hidup itu sendiri akan selalu menjadi kerajinan (craft) yang hanya mungkin dikuasai dengan berlatih dan berlatih. What doesn't kill you only make you strong. Itu filosofinya. He he he, jadi ingat Into the Wild. Alexander Supertramp, you're a candle in the wind on a cold dark winter night...

Mempertahankan Kewarasan


Entri ini kutulis di Loteng Belajar milik Maastricht Graduate School of Governance, semoga entri-entri lainnya yang kutulis di tempat ini menyusul kemudian. Untuk apa aku berharap begitu? Dunia ini adalah tempat kemalangan, kehilangan, kesedihan. Kenapa harus begitu benar caraku memandang dunia? Ketika sesuatu yang kuanggap paripurna di dunia ini, ternyata tidak sempurna, kurasa pada saat itulah... Pada saat itulah, kenapa lagi aku harus berharap sesuatu dari dunia ini? Setapak demi setapak, itu saja yang masih bisa dilakukan. Selangkah demi selangkah, maju dengan hati-hati, seakan yang kupijak ini sungai lava.

Memang sungai lava! Apalagi kalau bukan itu? Kebutuhan akan kepastian, atau lebih tepat Keabadian, memang merupakan kenangan primordial manusia, yang dibawanya dari kampung halaman. Ke sanalah kita semua akan kembali, ke Keabadian! Sementara ini... yang ada di hadapanku adalah sungai lava, di belakangku sungai lava, di sekelilingku sungai lava. Tidak ada bedanya. Oh Gusti, mengapa begini benar aku memandang sekelilingku? Adakah ini kehendakMu, atau diri-rendahku? Oh Gusti...

Ini sangat berpengaruh pada diriku. Bagaimana aku bisa peduli pada kepemerintahan, penyusunan kebijakan, penetapan agenda, demokrasi, globalisasi, apapun itu, apapun maumu... bagaimana aku bisa peduli, jika yang kupedulikan hanya goro-goro, apapun itu? Sudah tidak banyak gunanya segala macam perbentengan argumentasi bagiku, sudah lama pula aku tidak berlatih untuk melakukannya. Kubiarkan saja. Rapuh atau kokoh, sudah tidak banyak bedanya. Jika begitu, bagaimana aku dapat berargumentasi dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Indonesia saja sudah lama kutinggalkan?

Entah sudah berapa tahun lamanya aku hidup dalam sepi yang mendendam. Orang mungkin tidak percaya, karena aku banyak bicara. Padahal, yang kumuntahkan, yang kuludahkan, semua amarah! Sungguh aku tidak seperkasa serumpun padi yang kuat menangung kenistaan hidup abadi di tanah penuh berlumpur. Sungguh, tidak tahu diri aku jika mengira aku "berbicara" atas nama mereka. Aku hanya banci yang tidak kuat menanggung nista! Aku memang pengecut yang masih saja tidak berani mengakui kepengecutannya. Namanya juga pengecut... bisa diharap apa?!

Depresiku menjadi polusi bagi persekitaranku. Cerobong-cerobong mengemposkan jelaga dengan sekuat tenaga, tak satu pun mampu menghindar darinya. Bahkan ketika aku diam, ia masih memancar. Haruskah aku dikurung—seperti dulu—agar tidak mencemari persekitaranku? Ada orang-orang yang kehadirannya membawa keceriaan dan kebahagiaan. Aku sebaliknya! Aku membuat orang merasa tertekan. Kemarahanku yang terpendam, akibat berlatih bertahun-tahun, menguar bagai bau badan dari tiap-tiap pori kulitku. Sudah begitu, aku sombong. Berbangga-diri tidak pernah mau pergi dariku. Bahkan ketika aku diam, ia makin meruyak di dalamku, menggerogotiku.

Oh Gusti, Maha Sempurna pekerjaanMu, Maha Rinci perhitunganMu. Inilah sahaya, demikianlah ketentuanMu bagi hamba. Hanya berserah diri yang tersisa bagi hamba, dan harapan sekiranya mampu menanggung ini semua, seperti rumput yang merelakan dirinya digilas salju musim dingin, atau dipanggang kekeringan panjang. Hamba tercipta bukan sebagai rumput, tetapi ciptaanMu Maha Sempurna. Hanya kepadaMu sahaya menghamba, dan hanya kepadaMu sahaya memohon. Semoga.

Sunday, September 14, 2008

Hari-hari Terakhir Musim Panas di Maastricht


Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai." Sam yang tidak terkejut oleh gelitik jari-jari di tengkuknya, kali ini benar-benar terbangun dari tidur-tidur anjingnya. "Apa katamu?" juga dengan tenggorokan yang belum sepenuhnya bersih dari lendir. Ketika tidak ada jawaban, Sam pun mendongakkan kepalanya. Apa yang dilihatnya adalah kekosongan. Jari-jari tangan yang tadi menggaruk-garuk tengkuknya kini terkulai lemas. "Oh, sekarang kau tertidur," dengus Sam, yang segera memutuskan untuk tidur kembali juga.

***
Sam, aku sayang padamu. Heh, heh, aku juga sayang padamu, Tolol, lalu kenapa? tukas Sam sambil menyeringai memamerkan deretan gigi-giginya. Tidak, aku cuma ingin berkata aku sayang padamu... err, tidakkah kau juga ingin mengatakannya padaku? Ya, dan bukankah baru saja kukatakan begitu? Oh... ya. Keduanya terdiam memandangi rerumputan yang rebah oleh hujan sepanjang pagi. Rumput-rumput ini tidak begitu cantik, begitu batin Sam. Jika berguling-guling di atasnya pasti jadi gatal-gatal.

Kenapa pakai "Tolol", dan kenapa pakai "kenapa"? Sam menelengkan kepalanya dan membuat mimik seperti sedang mengejek. Lalu kau mau kupanggil apa? Dan tentu saja kenapa, kenapa juga kau masih bertanya? Memangnya ada yang lain di sini, selain rumput-rumput gatal ini? Di sini hanya ada aku, lalu kau. Kalau kau sayang padaku, tentu aku sayang padamu. Masa aku sayang pada rumput-rumput gatal ini? Dia menghela napas dengan mata berkaca-kaca, sambil tersenyum dikulum, untuk kemudian melempar kepalanya menghadap Sam. "Dan "Tolol"-nya, kenapa kau panggil aku begitu?" Oh, itu cerita yang lain lagi.

Aku tahu apa yang kau maksud dengan "sayang". Jangan sampai aku menyampaikan pendapatku ini dalam bahasa Belanda aksen Limburg yang kita sama-sama tahu, karena itu akan membuatmu merah padam. Lebih baik, untuk yang ini, aku menggunakan bahasa yang di-install olehNya di dalam kalbu semua saja ciptaan. Setidaknya, dengan begitu kau akan merah jambu, ha ha ha... ha. Ketika menyadari leluconnya tidak begitu lucu, terbukti dengan tatapan yang masih saja kosong dan berkaca-kaca, Sam pun memasang muka serius.

Menurutku, ehem, lanjut Sam sambil menelan lendir yang menyumbat tenggorokannya, apa yang kau sebut dengan "sayang" itu bukan sayang seperti yang seharusnya. (Oh, ada toh sayang yang seharusnya?) Biasanya, yang begini saja sudah sanggup memicu ledakan kata-kata, tapi kali ini matanya justru terlihat tambah berair. (apa karena angin yang dingin ini?) Sayang yang kau maksud adalah sayangnya jasad yang mudah busuk, yang mudah mengundang lalat bahkan sebelum mulai membusuk, dan akhirnya menjadi persemaian calon-calon lalat. (setidaknya masih ada gunanya)

Kini, sudah pada tempatnya jika aku bertanya, pantaskah, menurutmu, kau menyayangi dengan cara itu? Jika kau menyayangi dengan cara itu, adakah kau masih bisa sayang pada calon-calon lalat yang bersemi pada jasadmu? Heh heh heh, maafkan aku kalau menggunakan bahasa Belanda, tapi aku yakin seratus persen kau tidak akan rela. Jangankan sayang, rela pun tak. Sam menghentikan gonggongannya sejenak untuk melirik. Kini ia tidak tahu apakah itu mata atau mata air, karena airnya tampak makin banyak saja. Haruskah kuteruskan gonggonganku?

Bagaimana kalau nanti berubah menjadi lolongan? Kalau aku melolong, aku masih sanggup mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, kalau Si Tolol ini sampai melolong, hal mana sangat mungkin karena ia selalu saja begitu, meniru-niru apa yang kuperbuat, wah, aku tidak sanggup bahkan sekadar membayangkannya. Cukup lama Sam menimbang-nimbang haruskah ia terus menggonggong, terus menyalak, walau risiko yang harus ditanggung sangat berat. Ketika itulah ia melihat seorang ibu melintas bersama dengan anak laki-lakinya.

Anak itu merengek-rengek minta digendong. Aku lelah, katanya. Ibunya seperti tidak peduli, terus saja melangkah. Jika tadi setengah menyeret anaknya, kini ia benar-benar sepenuhnya menyeret, karena anak itu memutuskan untuk tidak melangkah lagi. Rengekan berubah menjadi tangisan. Heh, kau menangis?! Kini ibu itu berbalik badan menghadapi anaknya, berkacak pinggang. Anak itu diam berdiri di tempatnya, menunduk tidak berani menentang mata ibunya. Napasnya tersengal-sengal lebih karena ia berusaha menahan tangis, bukan karena langkah ibunya yang sebenarnya tidak seberapa sulit untuk diikuti.

Ibu itu seperti tengah menimbang-nimbang, cukup lama. Apa pun maksudnya, waktu itu cukup bagi anaknya untuk menguasai diri. Kini bahunya sudah tidak berguncang-guncang lagi, napasnya sudah lebih teratur. Kau memang masih kecil, kata sang Ibu, tapi kau laki-laki. Kelak jika Ibu sudah tua dan tak kuat berjalan lagi, kepada siapa Ibu akan meminta tolong untuk melakukan ini dan itu? Itu masih mudah. Bagaimana jika ternyata kau harus menolong yang lain-lainnya juga?

Sepotong adegan ini juga cukup bagi Sam untuk membulatkan keputusannya. Okay, aku akan terus menggonggong. Akan kutanggung akibatnya, apa pun itu. Dengar, bagimu, dan bagiku juga tentu, sayang adalah seperti matahari di akhir-akhir musim panas. Biasanya ia memang membelai apa pun yang ada dalam naungannya dengan kehangatan yang melembut, tetapi ada kalanya ia bersembunyi di balik mendung yang demikian tebalnya. Pada saat itu, semua membatin, oh, adakah matahari tidak lagi sayang padaku. (Aku tahu kau sering membatin begitu. Jangan lupa, kita berdua sama-sama berbicara bahasa yang sama)

Tidakkah seharusnya kita semua berterima kasih kepada matahari yang sudi menyembunyikan diri barang dua tiga hari, sebagai latihan jika ia harus menyembunyikan diri tiga bulan lamanya bahkan lebih? Nah, sayang seperti itulah seharusnya antara kau dan aku. Sayang yang meretas batas-batas tempat, waktu, dan keadaan, yang jika sudah begitu, buat apa lagi dikatakan. Hey, kau tahu persis kau tahu persis, maka dari itu ketika kau masih bertanya, salahkah aku jika kau kupanggil "Tolol"? Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai."

Emotional Roller-Coaster


Sial! Sudah dua entri berturut-turut judulnya dalam bahasa asing! Akan tetapi, yang satu ini memang tidak mungkin diganti, karena hanya ungkapan itu yang cocok untuk menjadi judul entri ini --setidaknya, hanya itu yang kini terpikir olehku. Bukannya mengerjakan SWF malah nulis gak penting! Biar saja! Lebih baik menulis daripada tidak sama-sekali. Ada jejak yang kutinggalkan, untukku sendiri, untuk kuevaluasi, dan aku memang harus mengevaluasi. Ini sudah kelewatan. Apa yang kutakutkan akhirnya menjadi kenyataan: Emotional Roller-coaster!

Ya, ampun... Setua ini masih saja mainan begituan?! Meski ini tampaknya tidak berhubungan dengan masalah tua atau muda, tetap saja bagiku mengherankan. Masih aja gua kepatil! Kampret! Dari pengalaman yang dulu-dulu, yang beginian nih kalau diteruskan hasilnya jadi berabeperasaan lu udah bilang deh beberapa hari yang lalu... Emang iya, Goblok! Maka dari itu, baekan buru-buru loncat dah keluar dari situ! Mainan ini tidak akan berhenti, kecuali kau memasrahkan dirimu padanya. Lama-kelamaan, ketika energinya sudah berkurang, maka yang kau rasakan adalah mengambang di awan. Namun itu masih lama sekali, dan kau TIDAK PUNYA WAKTU untuk itu!

Ha ha ha, sepertinya satu entri ini akan kuhabiskan untuk judul ini saja: Emotional Roller-coaster. Hah! Emangnya gua bocah, yang masih kena dikelece'in ama yang begituan?! Ayo, lawan lebih hebat lagi. Sangkal! Kau tahu betapa mengasyikannya permainan itu. Memang, ketika dia memuntirmu, atau membiarkan darahmu mengumpul di kepala karena ditarik gravitasi, rasanya... mendebarkan, menggemaskan, mendongkolkan, menjengkelkan... Akan tetapi, ketika kau berhasil melampauinya, apalagi ketika ia mulai kehilangan cengkeraman pada rel emosionalnya... he he he... kau masih ingat 'kan bagaimana rasanya...? (Si Anjing ini —bukan Sam— terkekeh menjijikkan) Asyik! Lebih dari sekadar asyik, nyaman!

Keliaranku melampaui yang sekadar asyik, tapi kebutuhanku akan rasa nyaman, mapan, besar sekali. Nyaman... di tengah panggung gelap, sendiri, perlahan disorot lampu, mencangkung, termangu, tersenyum dikulum (karena sekarang aku tidak merokok lagi). Kalau masih merokok, mungkin menghisap dalam-dalam asap celaka itu, menghembus perlahan dengan mulut sambil ditarik kembali melalui hidung... Ooohhh... Selembar selimut hangat disampirkan lembut pada bahuku, selembut nafasmu... Gusti, ampunilah hamba. Gusti, sungguh hamba lemah di hadapan nafsu hamba sendiri... [mengguguk, mana ada kata ini dalam Bahasa Indonesia].

Betapa jauh hamba dari tujuan hamba. Betapa jauh hamba dari kampung halaman. Oh Gusti, malu hamba memanggilMu. Hamba coreng-moreng, kotor. Bukan hamba tidak tahu diri, Oh Gusti, tapi kemana lagi hamba harus menyeru? Sungguh tidak pantas hamba menghadapMu dalam keadaan begini. Akan tetapi, dalam keadaan yang bagaimana lagi hamba lebih pantas menghadap? Oh Gusti, hamba malu pada kelakukan hamba sendiri, semoga tulus rasa malu ini. Hamba biarkan kuda itu berlari kencang menuju tepi jurang. Kini, ketika kaki-kaki depannya menggaruk-garuk bibir jurang, hanya ekornya yang terpegang oleh hamba. Kuda itu toh mahlukMu juga, Oh Sang Perkasa.

Kedua lengan hamba apalah? LenganMu-lah Duhai Maha Perkasa, yang kuasa menghentak, menyeret kembali kuda hamba ke pijakan yang aman. Benar-benar menjijikkan tidak tahu malu hambaMu ini, kini ia meminta agar sudilah kiranya jangan diseret. Sudilah Sang Maha Lembut, Sang Pengiba, membelai-belainya agar jinak, mengelus-elusnya agar tidak binal. Gusti hamba, kasihanilah hamba yang dibutakan oleh asap jelaga. Segala daya upaya hamba tak berarti untuk menghapusnya, hanya Engkaulah Maha Kuasa, Maha Lembut, Sang Pengiba Pencipta rasa iba, mampu membersihkannya dari cermin hambaNya. Gemilanglah cahayaMu dipantulkannya, duhai Cahaya Maha Cahaya!

Tuesday, September 09, 2008

Un Homme et Une Femme


MyMathLab yang lucu. Dirk pasti sudah susah-payah membuatnya, seperti John sudah susah payah mempelajari Joomla dan Drupal. Mungkin, kalau tidak diwajibkan, MyMathLab akan sama saja nasibnya dengan www.lphm.info. Wow, aku masih harus bertanggung-jawab atas Nelayan Teluk Jakarta dan SWF. SWF sih ga begitu masalah, kutanggung sendiri, tetapi Nelayan?! Kalau dulu aku jadi daftar ISS, itu berarti International Political Economy and Development.

Namun kini aku sudah di MGSoG, dan di sini ada Sustainable Development. Masa aku lepaskan begitu saja dan berbalik ke Globalization, Trade, and Development? Memangnya ada utang apa aku pada sustainable development? Nama lembaganya pun sudah berubah, ora keren blas. Ya, dan aku tidak bisa mengandalkan siapa pun. Ini impianku sendiri. Impianku sustainable development? Gak salah tuh? Tidak baik itu. Jangan terlalu nihilis, lah. Posmo, aja. Posmo? Kayak yang kebanyakan energi aja!

"Tho' yesterday seems surround you with a warm and precious memory. Maybe, for tomorrow, we can build a new dream for you and me."

Kemarauku membeku karena kutub utara menghela napas terlalu keras. Dalam kebekuannya, kemarauku merengkah, menganga, menguarkan dahaga akan siraman hujan khatulistiwa yang bersahaja. Itu semua sudah tiada. Kehampaanku terlalu dini sehingga meninggalkan bekas-bekas amarah yang mengerak oleh panasnya mendamba. Kupikir aku sudah hampa. Belum. Tidak begitu yang namanya hampa. Itu damba. Kemarau dan Penghujan tiada sesuatu pun kuasa menolaknya.

Demikian ketentuan Sang Perkasa, Yang Tahu Segala. Kemarauku, aku nyaris tak kuasa menanggungnya. Engkau tahu betapa kering-kerontangnya sumber-sumber yang Kau amanatkan padaku, pun Engkau tahu aku tidak tahu apa-apa. Lalu betapalah jadinya aku? Terasa benar di situ. Sedapnya harum udara ketika debu terlena dibelai hujan pertama, terasa begitu jauh dari pelupuk mata, yang ada di dalam dada. Yang tinggal hanya jelaga. Oh Kasih, dengan jari-jariMu tolonglah Kau gelitik ruas-ruas tulang belakangku. Biar aku menggelinjang!

Ini namanya "permainan menunggu" (waiting game). Sementara begitu banyak lainnya yang bisa kutunggu, exam akhir bulan, misalnya, atau teguran dari Pak Guntur apalagi Pak Udin, atau sirene darurat dari Bang Idon, aku menunggu datangnya musim dingin. Malam ini, ketika aku menulisi kemacangondrongan, udara sungguh nyaman. Panas tentu saja tidak. Dingin juga tidak. Nyaman. Tidak ada sesuatu pun yang dapat dikeluhkan, kecuali... yah, ampun deh yang satu ini. Akan tetapi, masih ada yang lebih "ampun" lagi.

Aku sudah gila jika aku menunggu yang satu ini. Against all odds, kalau kata penjudi berbahasa Inggris. Gilanya, aku sering menemui diriku tengah mengundi nasib, jika sedang menunggu. Jangan! Okay?! Dengarkah engkau? Jangan! Kendalikan dirimu. Ini sama sekali "bukan permainan," untuk mengutip syair lagu yang dinyanyikan Dik Gita. Main-main dengan yang ini... lalu sampai kapan kau tidak mau belajar dari pengalamanmu sendiri, hah?!

Sunday, September 07, 2008

Mengantisipasi Seseorang untuk Memeluk


Goklas pagi ini bicara tentang semangat. Ia juga suka sekali bicara tentang korps. Aku selalu membayangkan korps-nya Goklas ini --yah, korps-ku juga-- seperti korps santri. Setelah lulus, maka bertebaranlah. Babat hutan. Da'wah. Bil hal, bila perlu bi lisan. Akan tetapi, sebagian besar dari kami mungkin tidak begitu wawasannya. Aku selama ini sering mencela mereka sebagai kumpul-kumpul pensiunan. Eksklusivisme positif, atau sekadar silaturahmi? Entahlah. Aku memang suka menyendiri, itu saja.

Oleh karena itu, betapa nyamannya kamarku di lantai dua rumah Oom Jerry Sassen ini, di bilangan Malberg. Tenang. Sepi. Sendiri. Maafkan aku, 'Klas. Aku tidak bisa menukas jika inti dari semua ini adalah keep in touch. Mungkin kita sekadar dua orang yang berbeda. Kulihat kau sudah menemukan jalan menuju Tuhanmu, aku pun begitu. Kita menjadi dua orang yang sama. Sudahlah. Maafkanlah aku. I'll try my best to always be in touch.

Siska... aku tidak mau berkomentar mengenai dirinya. Mengapa jadi seperti ini riwayatku dengan perempuan? Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena satu-satunya pelabuhan jangkarku adalah orangtuaku, idealisasiku mengenainya. Aku sekarang malah terpaksa menyebutnya sebagai tanggung-jawab kesejarahan. Lalu aku membual juga mengenai kewajiban yang harus selesai dalam hidup yang kali ini juga.

Hidup itu seperti garis lurus, tak pernah kembali ke titik semula, begitu kata Sam. Aku juga tidak pernah menyesalinya. Apa pun yang kurasakan mengenainya tidak dapat disebut sebagai penyesalan. Apakah aku mengutuk diriku sendiri? Ampunilah hamba jika memang demikian, oh Allah. Apalah arti kutukanku dihadapan ketentuanMu. Jalan di depanku, jika ada, tolonglah hamba agar tidak memusingkannya. Jangan jadikan hamba, oh Allah, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bangkrut dan merugi. Aamiin.

...tapi... Aku butuh dipeluk. Aku butuh memeluk yang membalas pelukanku. Itulah sebabnya teletubbies suka berpelukan. Itulah sebabnya dua ekor kukang muda yang dijual orang di pinggir jalan saling berpelukan, karena memeluk itu mengantisipasi untuk balas dipeluk. Itu semacam hasrat, seperti riak air di danau kecil yang ditiup semilir angin musim panas. Bayi terbentuk sistem kekebalan tubuhnya karena dipeluk, didekap oleh ibunya, dielus perlahan --tidak karena sekadar disusui. Semua mahluk begitu, tidak terkecuali manusia, muda maupun tua.

Demikianlah kehendakNya atas yang berjasad. Jika penguat jiwa adalah berserah diri, penguat jasad adalah pelukan yang berbalas. Hey, aku bisa saja memeluk sebatang pohon dan "merasakan" betapa ia membalas pelukanku, tetapi bukan itu benar masalahnya. Ini adalah masalah jasadiyah --ada nggak ya kata ini? Bukan rasa di jiwa, melainkan rasa inderawi. Di Belanda yang dingin ini, yang jarang terdengar kalimat al-thayyibat ini, wajar jika keenam indera meronta-ronta.

Aku menginginkanmu

Saturday, September 06, 2008

Ramadhan Baru Enam, Lima Untukku


Akan kutunggu beberapa hari lagi. Tidak. Terlalu cepat. Mungkin beberapa minggu lagi, atau beberapa bulan? Sungguh tak berarti aku di putaran bumi dan peredarannya terhadap matahari. Sungguh, betapa berartinya itu semua bagiku sekarang. Sindiran Matt memang sangat mengena, "Si Tolol yang terburu-buru." Si Tolol pasti selalu terburu-buru. Lebih parah lagi, Tolol yang satu ini bangga sekali kepada dirinya sendiri --satu watak yang sangat terkutuk bagi sekerat budak, termasuk, tentu saja, pada ketololannya.

Dalam ketololan ini, akan kutunggu hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Setahun! Akankah semua ini berakhir pada saat itu? Lalu, kata Matt lagi, mengapa tidak sekarang? Kutinju Matt pada lengannya, lalu kurengkuh dia. Keparat kau, kataku bercanda. Yang seperti ini tidak pernah bisa menunggu, dan besok mungkin sudah terlambat. Kali ini aku hanya tersenyum kecut, kehabisan kata-kata, seperti biasa. Sial kau! Kenapa tidak sekarang? Menggaung menggema memantul-mantul di antara dinding-dinding benakku.

Insya Allah, aku sudah lumayan terbiasa berpuasa enambelas jam. Sixteen hours, mind you. Hari pertama aku gagal, dan aku tidak berencana, God speed, untuk menggantinya terlalu lama, Insya Allah. Tadi malam, Tante Hindry beerhasil memaksaku memasak Kangkung Hoisin. Hoisin, mind you, not Tauco. Propertinya sih agak-agak mirip, ada kedelainya juga, tetapi jelas sangat berbeda. Kata wikipedia, hoisin biasanya digunakan untuk celupan (dipping sauce). Sejak kapan orang makan lumpia dicelup tauco. 'Gak pernah dengar 'kan?

Mungkin sama juga dengan ini. Sejak kapan kangkung ditumis dengan hoisin. Setidaknya sejak malam kemarin. Akan tetapi, rasanya tidak terlalu buruk. Aku justru cenderung suka rasa manisnya, seperti saus barbekyu. Oleh karena itu juga aku segera terpikir untuk menambahkan daging cincang. Tidak terlalu jauh, 'kan? Jadi seperti kangkung cah sapi tapi dengan nuansa oriental barbeque 'gitu. Mantap lah! Dengan begitu, makan sama sekali bukan masalah bagiku. Dalam istilah Tante Hindry, itu namanya "beruntung." Mungkin aku lebih baik menyebutnya: Segala puji hanya bagi Allah!

Anakku membutuhkanku. Itu jelas! Mustahil sebaliknya! Dengan ini, aku tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa, atau menggugat siapapun, atas kata-katanya dahulu. Aku sepenuhnya paham. Itu pun kesalahanku dahulu. Namun, lebih penting lagi, anakku membutuhkan sebuah keluarga yang utuh. Hey, watak melankolisku, sentimentalku, pasti menurun kepadanya, Subhanallahu Akbar! Oh, aku sendiri pasti tidak akan sanggup menanggungnya jika jadi dia, anakku. Tidak ada yang lebih berhak atas curahan kasih sayangku selain kamu, 'Nak.

Itulah sebabnya engkau terlahir sebagai anakku. Akan tetapi, bagaimana aku melakukannya? Jika aku teringat padamu begini rupa, tidak ada lain dalam benakku kecuali kesediaan untuk menyia-nyiakan seluruh umurku, demikian beberapa orang berkata padaku, demi menyayangimu. Aku sendiri siap melakukannya, Insya Allah. Namun, sekali lagi, sampai sini pun tidak pernah kurencanakan sebelumnya, lalu kenapa aku harus merencanakan untuk ke mana pun? Bapak sayang padamu, 'Nak. Bapak tahu, engkau tahu itu.

Friday, September 05, 2008

Sudah Jatuh Tertimpa Cinta


Aku pasti tidak sendirian di dunia ini, yang menyangka bahwa kebutuhannya akan cinta dipenuhi dengan cara yang tidak lazim. Aku juga pasti bukan satu-satunya manusia dengan kecerdasan yang boleh juga, sehingga menyelimuti fakta sepele --seperti jatuh cinta-- dengan argumentasi-argumentasi yang pura-puranya abstrak. Akan tetapi, memang demikianlah perjalanan kehidupan percintaanku, setidaknya seperti yang aku ingin percaya. Seperti ketika Neil bercerita tentang derai tawa di bawah guyuran hujan, seperti itulah kisah cintaku. Sungguh indah tiada tara, setidaknya seperti yang kuyakini. Semua itu ada di dalamku, dalam suaraku yang merdu, dalam kemampuan artistikku yang kentara, dalam benakku yang seluas samudra. Pendek kata, aku mencintai diriku sendiri.

Benarkah begitu? Tidakkah aku pernah mencinta selain diriku? Tidakkah karena itu semua aku jadi mudah terjerembab? Dapatkah aku sekadar mengakuinya saja, kalau aku memang mudah jatuh cinta? Lalu, apakah salah bila aku mudah jatuh cinta? Salah! Salah satu dikotomi favoritku, benar-salah. Pertama memang harus benar-salah, baru baik-buruk, kemudian berguna-tidak berguna. Mudah jatuh itu salah, karena harus berhadapan dengan satu pilar yang tak mungkin goyah, setidaknya seperti yang ingin kupercaya. Kerapuhanku memang harus disangga pilar-pilar kokoh, jika aku tidak mau terus terjerembab, terperosok entah ke kedalaman yang mana. Pilar yang satu ini, aku tidak mau itu tergoyahkan. Hanya aku yang dapat memastikannya selalu begitu, karena semua ini mengenai aku.

...tetapi aku... jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada dunia yang mudah busuk ini. Aku jatuh cinta pada rapuhnya dunia, justru karena rapuhnya itu. Aku jatuh cinta padamu. Mustahil aku terus-menerus mencintai diriku sendiri. Mustahil aku sembuh dari luka-lukaku jika terus menerus jatuh, dan luka, dan jatuh, dan luka lagi, dan jatuh lagi. Sampai kapan aku menikmati rasa sakit ini, pedih yang menyayat, sesak yang menekan, tetapi membangkitkan gejolak birahi ini? Ketika Sarah tiba-tiba saja menyelonongkan, "Lihatlah aku," ketika itu juga aku merasa membuncah tak tertahankan. Aku mencapainya, kenikmatan ini. Rasa sakit ini. Aku seperti merdeka, padahal tidak. Aku seperti tuan, tentu saja bukan... aku hanya... jatuh cinta.