Saturday, February 27, 2021

Seporsi Roti Lapis Keju Kalkun Tengah Malam


Terpaksa harus diganti satu-satu, setelah Untuk Kehidupan yang Baik. Setelah itu baru Karenamu. Ini mengerikan. Bisakah aku langsung melukiskannya begitu saja tanpa harus berkomentar ini mengerikan. Karena memang mengerikan. Kesakitan itu, yang entah kapan sembuhnya. Aku bahkan tidak ingin sekadar membayangkan jawabannya. Ini sudah agak berbeda. Ini adalah tivi besar dan sofabed lipat tempat aku terkadang tidur. Pernah juga di kantor depan ditemani Kolonel Marinir Bambang Widjanarko yang membangun Gereja Katolik Santo Yohanes Penginjil.


Baiklah 'kubiarkan saja, biar makin terasa itu peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Mana yang ingin 'kuresapi, tepat di pinggir Jalan Radar AURI yang terkadang lewat motor dengan klakson meringkik menjengkelkan, atau Gereja Yohanesnya sekali, yang terlihat dari puncak-atap SDN Pulo. Itulah tempat-tempat yang pernah 'kusinggahi sampai mewarnai jiwaku. Masih terasa dinginnya teras dihembus angin musim penghujan awal 2006, bahkan ketika blog ini belum dimulai. Entah dari mana idenya aku merepotkan Doni Brasco sampai membuatnya menanam bambu kuning.

Memang lebih baik begini, daripada yang mengharu-biru. Apa itu di kulkas yang pernah 'kumaikrowev. 'Kurasa memang di situ pertama kali aku kenal maikrowev, yang sekitar dua tahunan kemudian menjadi magnetron; yaitu di ruang makan mungil nan bau anjing. Kepada siapa aku 'kan menggugat jika hidupku begini amat. Lantas kau mau hidup yang seperti apa. Seperti seorang anak lelaki yang menyimak cermat-cermat sambil meletakkan telunjuk di pelipis, seraya menelengkan kepala. Kau bertanya, mengapa hidup tidak bisa seperti itu saja. Jelas tidak mungkin.

Haruskah 'kucatat di sini bahwa mendekati tengah-malam di Amsterdam perutku lapar. Haruskah aku menyiapkan sekerat roti lapis keju kalkun. Nyatanya bukan sekerat, melainkan satu porsi penuh, terdiri dari tiga kerat roti gandum, dua lembar keju Gouda muda, dan dua kalkun lembaran. Ya, kalkun inilah yang mengakibatkannya jadi satu porsi penuh alih-alih sekerat saja. Biar 'kucatat agak rinci begini, biar suatu hari, Insya Allah, terbaca, sedangkan dadaku basah berkeringat. Mungkin belakang kepalaku pun berkeringat jika sedang gondrong. Begitu itulah saja hidup.

Barusan Baton Huda, seorang sersan dari Batalyon Sikatan, menjejalkan sesuap besar roti lapis keju kalkun ke mulutku, sampai-sampai menempel di langit-langit mulut roti gandumnya, sedang aku hanya dapat menggunakan geraham kiriku untuk mengunyah. Kini aku melayang-layang ke Italia. Aduh, bagaimana tidurku dengan perut penuh begini. Nyenyak. Tanpa mimpi. Bangun pagi, segar dan memberondongkan kata pada draf awal Bab Enam. Lalalala yang cantik dari kecilku, cinta pertamaku. 'Kusambung semua begitu, Al Di La, baru 'kupisah judulnya.

Astaga, dilanjut Langit dalam Satu Bait, cintaku terbaru, karena memang baru-baru ini saja. Setelah aku tua, mungkin di tepi Cikumpa atau Mushala HAN. Akan ada waktunya aku ungkep-ungkep lagi di situ. Entah aku yang di sofa, Hari Abu Luna di karpet atau sebaliknya. Atau bahkan lebih hebat lagi. Ruang sendiri sehingga ada semacam kasur lipat nyaman bila sedang butuh kenyamanan. Aduhai. Sebuah sajadah tentu, yang bukan biru berdakron atau tanpa dakron. Entah seperti apa. Bagaimana dengan jendela, mungkin ada. Apa pun, hidup ini aduhai sungguh indah.

Tinggal bagaimana menikmatinya saja sesuai selera. Apakah bergaya Napolitana, atau negeri jauh mana pun, yang penting tetap di ruangan sendiri. Uah, dapat 'kurasakan lamat-lamat apaknya, atau malah harum lembut baunya sekali. Sejuknya hawa apakah karena AC atau kelembaban alami yang nyaman. Semuanya sungguh nyata, ketika dunia sekali lagi menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, meski semua juga tahu hanya untuk sementara waktu. Itulah dambaan. Selain itu aku tidak sanggup membayangkan. Lagipula sudah cukup bagiku begitu saja, tidak lainnya.

Sunday, February 21, 2021

Esok 'Kan Masih Ada, Innamorata. Bukan Utha


Setelah memulai malam ini dengan menyapa seorang asing, sekarang malah meratap-ratap meminta kekasih untuk pulang. Edan! Malam apa ini yang dimulai dengan ini. Dilanjut dengan berselingkuh, ah, sungguh ini menyakitiku. Tidakkah kau tahu malam-malamku selalu sepi. Tidak ada yang dapat diharapkan dari mereka, maka malam-malamku menyendiri bersama kenangan-kenangan sepi. Ini, seperti mengetiki ini. Mengetiki sambil menghadap Ciliwung begini.

Betapa banyak barang-barang, betapa banyak kenangan-kenangan yang sudah tidak dapat dihadirkan fisiknya. Hanya bekas-bekasnya saja yang masih menggurat ingatan, kadang segores, kadang menghunjam dalam. Aku tinggal memilih, mau kenangan yang mana, mau yang sedalam apa. Apakah di tepi Ciliwung, Cisadane, Cikumpa atau Grogol. Ada semua. Semua tempat yang telah 'kusinggahi, entah mengapa sampai disinggahkan di situ. Dapur tempat perawatan sementara misalnya, tempatku melebur nasi dan lauk pauknya bersama sambal menjadi bubur.

Atau tikar rotan di depan tivi tempatku membatin, "aku tidak tahu mengapa aku mencintaimu, tapi aku mencintaimu." Kisah cintaku memang tidak setragis itu, dan mengapa pula aku harus peduli pada kisah cinta siapapun. Tikar rotan di depan tivi tempatku menghabiskan entah berapa malam, berapa pagi, berapa siang, berapa petang, dicintai atau diabaikan. Khayalanku akan cinta seorang perempuan sederhana yang siap-siap berangkat kerja sedang ia mendoakanku. Khayalan remaja belasan tahun yang tak berdaya, hancur hanya beberapa tahun kemudian.

Lantas ini, malam-malam hangat melintasi lapangan parkir yang telah lengang setelah anak ekstensi bubar, sedang aku sendiri anak ekstensi. Melintas entah ke arah Barel atau sebaliknya, ke dalam kampus. Belum, waktu itu belum ada Burger and Grill. Waktu itu hanya ada tas selempang berisi Bondet. Astaga, menuliskannya saja masih terasa sakit. Lalu lambungku mau sehat-sehat saja. Ya, tidak mungkin 'lah. Mau menyalahkan seseorang selain diriku sendiri. Siapa yang mau. Ruang senat dan malam-malamnya yang mengerikan, bangun entah untuk apa.

Ternyata aku sudah biasa melalui malam-malam seperti ini. Bahkan inilah hidupku. Aku sampai tidak ingat bagaimana seharusnya malam dilalui. Setelah apel malam, malam-malam terkadang masih panjang dengan dentingan gitar dan senandung lirih. Setelah ronda malam, malam-malam bisa sangat panjang dengan tindakan, atau bahkan setelahnya. Ketika malam menjelang, semua kesakitan itu bisa saja datang lagi bertubi-tubi. Hidupku memang tidak pernah lepas. Bahkan setua ini aku masih melalui malam-malam seperti ini. Menyakiti. Tidak. Hanya saja harus ditahankan.

Malam-malam tanpa cinta yang sedang 'kulalui ini, entah sudah berapa ribu. Bisa jadi di malam-malam bercinta terhidang sate ayam atau indomie goreng jumbo rasa ayam panggang, namun itu sangat jarang. Sampai-sampai menjadi kenangan indah. Katakan padaku bagaimana cara mengucap selamat tinggal saja bisa jadi di bawah temaram bohlam 40 watt menembus gelapnya kebun durian, atau dinginnya malam menjelang musim dingin di Maastricht. Bisa juga bersiap-siap tindak nang ndaleme Uti, atau mungkin sepulang dari sana ke tempat terindah dalam hidupku.

Mungkinkah bertahan dengan cara ini. Jika kau paham, ini di Amsterdam, di tengah-tengah pandemi korona. Aku sampai tidak tahu lagi harus apa dan bagaimana. Kekhawatiran, ada. Ketakutan, tidak sampai. Kemaluan, tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Dari seperempat abad yang lalu, dari Asatron yang sulit diatur volumenya, yang sudah rusak tunernya karena tidak pernah digeser-geser. Stasiun lagu lama terbaik di kota tidak akan pernah kembali lagi, sehebat apapun aku berusaha merekonstruksinya. Namun 'kuyakin kebahagiaan masih akan terus selalu menjelang. Semoga.

Monday, February 15, 2021

Keesokannya Setelah Hari Kasihku Tersayang


Pas foto dinasku sebagai seorang Jenderal Zombi dalam pertempuran merebot Azeroth
Pagi ini aku terbangun dengan ingatan bahwa tehku sudah habis, yang rasa jahe-jeruk itu. Begitu saja aku bersyukur kepadaNya yang telah mengaruniakan kesehatan lahir batin padaku yang hina-dina ini. Para anggota paduan suara Ray Conniff 'kuminta untuk menurunkan kekerasan suaranya sampai dua belas saja pada Asus VivoBook-ku, agar syahdu pagi ini. Betapatah tidak syahdu, dengan roti-sabit keju dan roti-wajik keju, masih ditemani dengan teh hijau harum bunga melati.

Setelah sebelumnya mengambil tisu bekas kapsalon untuk menyeka dahak yang terlempar ke lantai ketika bersin tadi, [Alhamdulillah] hatiku kembali dibuai cantiknya Mawar-mawar Kertas. Perihnya seperti hatiku demi melihat tetangga-tetanggaku bertukar liur dalam rangka hari kasih-sayang. Bahkan sampai 'kumundurkan lagi, sampai kembali ke 'Kutemukan Seseorang Untukku Sendiri. Ini bahkan lebih dahsyat lagi gelegaknya. Gelegak kerinduan pada kemudaan yang bahkan bukan milikku sendiri, namun bagaimanapun membentuk diri dan kedirianku.

Uah, kembali lagi Mawar-mawar Kertas, tepat ketika 'kusadari pada segigit terakhir roti-wajik ada noda darah, mungkin dari gusiku. Pengalaman mengenai kemudaan mengajariku untuk tidak terlalu peduli padanya, dan itu tidak sulit untukku yang masa-bodohan ini. Bahkan ketika Bernie Mengandung Bayi Howie, aku tidak mendengki, meski tidak pernah ada yang mau mengandung bayiku. Memang hidupku tak pernah lepas... dari tali kama, apakah itu sutra atau goni sekalipun. Hidupku punya tujuan yang jelas, punya maksud, dan itu sudah sangat memadai.

Tujuan itu tiada lain adalah untuk menghadirkan kembali Kompleks Angkasa Pura Apron Timur K.28, jikapun hanya untuk sekali lagi, jikapun hanya sekejap mata. Semoga Allah suka akan tujuan itu dan memberkahinya, menunjukkan jalan yang lempang, selempang landasan utama, lancar, dan dimudahkan dalam melaluinya. Pada ketika ini, 'kupandangi Bapak dan Ibu dari sekitar lima-belasan tahun lalu. Tidak, aku tidak takut pada berpacunya waktu, karena waktu memang selalu berpacu sejak pertama diciptakanNya, karena waktuku adalah WaktuNya.


Betapatah aku takkan terbuai, menyandarkan kepala botakku pada buah dada yang penuh dan lembut, sedang botak-botakku dielus penuh kasih, seakan ia ciptaan terindah di dunia. Bahkan aku tidak botak, meski sejak bayi rambutku memang selalu dicukur pendek. Bukan, ini bukan buah dada pelacur, meski buah dada pelacur seringnya harum dan ranum juga. Harum-harumnya pun bukan kosmetik murah, yang meski 'kusuka, namun bukan itu. Apalagi parfum mahal yang sengaja disemprotkan pada belahan di antara buah-buah dada, pun tiada bandul kalung atau apapun.

Jiahaha, ternyata tikus buah hati seorang anak yang jadi korban kekerasan seksual, yang, karenanya, tidak pernah beranjak dewasa, dan melampiaskan kesakitannya pada anak-anak lain. Naudzubillah. Amit-amit, ini sih tidak ada buah dadanya. Kalau begini, bahkan buah dada Anna Nicole Smith pun aku ogah. Bukan itu semua. Ini buah dada tak berkepala, tak berwajah, meski dapat kurasakan gembung perut di bawahnya, halus, lembut. Belahannya agak berkeringat titik-titik, karena memang bohlam lima watt pun cukup untuk menambah hangat bilik kecil.

Sepoinya Angin Musim Panas menerpa wajahku, apakah di jalan apron timur atau sepanjang Margonda. Wajahku tetap wajahku yang dulu, meski buah-buah dada tidak pernah berwajah. Seperti apapun bentuknya, buah dada tidak pernah berwajah, tidak bernama. Hanya bocah tolol yang butuh wajah apalagi nama, mendamba "GFE" hahaha. Aku memutuskan untuk tidak tolol, seperti seorang jenderal zombi yang tidak membutuhkan kepala-kepala zombi dalam balatentaranya. "Apapun yang bertengger di atas leher tidak berguna!" raungnya; sedang di atas lehernya ada kepala.

Sunday, February 14, 2021

Selamat Hari Kasihku-Malang Tersayang-sayang


Mengapa harus memaki. Mengapa tidak mengiba. Mungkinkah aku tidak melihat ke arah jendela. Hei, itu jendelaku sendiri. Mungkinkah aku tidak melihat ke luarnya. Semakin tua, semakin tidak lucu entri-entri di sini. Semakin tidak bermakna, namun ditulis juga. Lantas apa, mau mengasihani diri sendiri. Tidak ada, jelas-jelas tidak ada yang kasihan padamu. Mengapa harus dikasihani, sedangkan Siti Nurhaliza dari bertahun-tahun yang lalu, sedangkan pianonya sudah di lobi kampus. Sedang aku tidak punya rumah. Sedang aku tidak punya kenangan begini.


Apa yang kaudapati ketika menyibak tirai. Kesakitan. Mengapa sakit. Apakah ketuaanmu yang bacin dan lethek menyakitimu. Aduhai, padahal kau harus membiasakan diri. Jangan banyak mulut kalau masih merasa sakit, begitu saja. Ini Hari Palentin. Hari kasih-sayang. Wajar jika di hari ini, di malam ini, orang saling mengasihi-menyayangi. Coba kausayangi rempah-rempah Bengali itu, mungkin akan kaurasakan kasih-sayangmu dibalasnya, lengkap dengan gurih-gurihnya liur dan bau nafasnya. Setua apapun, masih berhak atas kasih-sayang koq. Coba saja jika tidak percaya.

Namun aku menolak percaya. Aku terlalu masa bodoh untuk percaya pada apapun, meski sebelum ini 'kusempatkan menjenguk Togar Tanjung dan Adrianus Eryan. Untung Pak Greg Sallatu mengalihkan perhatianku dengan pertanyaan mengenai kompor dua tungku. Aku mengetiki seorang diri, pernahkah aku lebih seorang-diri lagi dari sekarang ini. Terkenang olehku waktu-waktu berokibi-bedokiki sampai ke Alfamidi di samping Sederhana, sedang, seperti biasa, berpikir yang tidak-tidak, hanya untuk kembali ke kamar kosan Jang Gobay. Lengang. Sepi. Hangat berkeringat.

Lantas kamar hotel di Palembang! Nah, itu malah lebih tematik. Itu juga lengang, sepi, namun mungkin dingin. Masih ingatkah tolol-tololan main sotosop, padahal bukan itu yang dibutuhkan. Biar 'kutulis di sini. Bulanan. Hahaha, tidak berani. Jadi pengalaman ini bukan baru. Sudah selalu 'kurasakan entah sejak kapan. Sudah tentu lebih lama dari kamar hotel lengang lagi sepi nan dingin di Palembang, malah tolol-tololan sotosopan. Nyatanya aku selamat sampai sekarang, semata karena Belas-kasihNya. Tiada lain! Jadi biarlah kenangan melayang ke bawah toren di Cimone...

Seperti yang 'kurasakan sejak bangun tidur pagi ini, bukan kali pertama. Sudah beberapa kali pula bahkan sambil mengetiki, kalau tidak percaya lihat-lihat saja entri-entri yang lalu. Pagi-pagi sudah bergosip dengan Hari Prasetiyo, salah satu adik yang akhirnya menjadi kesayanganku, keesokan paginya setelah malam Palentin yang syahdu, bagi tetangga seberang halaman. Alinea ini kuteruskan setelah sebelumnya menyiapkan secangkir susu kedelai dikotori seciprat kopi a la macchiatto, sedang cangkirnya dibuat di Oslo, Norwegia. Coba kurang keren bagaimana lagi aku hahaha.

Setelah itu masih disambung ngobrol lumayan lama dengan Mentor Riauwan. Betapa aku menyayanginya, terlebih ditingkahi Setelah Bercinta oleh tetangga seberang halaman. Mentor Riauwan memrentahkan membuat sebuah video obituari dalam memperingati seribu hari wafatnya Pak Teddy Rusdy. Selain aku juga Letkol CHB Sandy Maulana Prakasa diprentahkan dari Paradua. Begitu itulah bentuk kasih-sayangku, di hari kasihku-malang-tersayang ini, kepada Mentor Riauwan dan Kawan Sam, tanpa berdekapan bertukar liur, tanpa mengelus-elus belakang kepala.

Sebelum itu sempat juga berbalas pesan instan dengan dr. Inarota Laily, yang menanyakan ihwal kakiku. Namanya selalu mengingatkan pada lagunya Dino Martino. Begitulah pagiku setelah malam hari kasihku-malang-tersayang, ketika tatap-mataku sendu, seakan kasih sebening kaca. Nasib tak pernah 'kuratapi, 'kuterima dengan tawa. Kehidupan 'kuolah bagaikan menggarap sawah, mumpung tahun kerbau logam. Namun logamnya mulia, jadi lembek. Jadi tidak mungkin jadi garu apalagi luku. Mungkin sawah itu semacam investasiku, a la tuan tanah. Begitu.