Thursday, August 31, 2023

Penikmat Hukum Adat Semoga Makin Menikmat


Aku tidak mau membuatnya menjadi seperti buku harian. Aku mau menulis sesukaku. Untuk hari ini cukuplah kucatat bahwa aku bisa jadi tidur hanya dua jam. Memacu VarioSua, berhenti sebentar di sebelum pintu stasiun pondok cina demi melihat ada arem-arem dalam gerobak itu. Satu isi daging, satu isi sayur. Aku lupa berapa harganya. Seingatku tidak bisa dikata murah, namun rasanya bolehlah terutama yang isi sayur. Entah bagaimana, warnanya kuning, jadi mungkin bumbunya agak lengkap, ada kunyitnya setidaknya. Sementara, yang berisi daging standar.
Ini masih Kamis, ya, dan aku malas mengingat-ingat jika pagi ini mbak Melly sampai berhenti dulu di lenteng agung untuk membeli dunkin' donut. Astaga, aku dan terlebih lagi bang Idon diberi makan donat. Namun ternyata mbak Melly sekadar ingat pada anak-anaknya yang sekarang menjadi marinir dan pelaut, mengikuti jejak bapaknya. Tidak seperti semalam yang dipenuhi dengan syair dan lirik patriotis, siang bermendung ini aku di tepi laut ditemani secangkir besar serbat jahe jintan hitam dan kombo empat instrumen piano, bass betot, bongo, dram.

Entah mengapa, serbat jahe siang ini terasa begitu segar diseruput, meski sekarang jika terpikir kata ini, yang teringat adalah wajah Denny Siregar yang aduhai sekadar mencari uang untuk memelihara rumah yang mungkin agak lebih bagus dari rumahku, dan mungkin sebuah mobil multiguna. Namun, setelah dipikir-pikir, mungkin aku sekadar agak dehidrasi. Jika saja seruputan ini diganti dengan segegak air dingin hasilnya pasti sama saja. Namun rasa manis ini memang menyamankan. Oh ya, aku lupa. Ini bukan sekadar serbat jahe, melainkan juga teh tarik. 

Bahkan ketika aku bergeser dari tepi laut masuk ke dalam kedai kopi mewah, melodi yang menyambutku masih mirip-mirip, hanya saja dimainkan oleh suatu kombo bahkan musik kamar yang lebih lengkap instrumennya. Memang pada tempatnya jika kusebut Denny Siregar tadi, karena siang ini memang aku dijadwalkan bertemu dengan sepupunya, Japri Siregar, yang sekarang menjabat sekretaris program pascasarjana sosiologi fakultas ilmu-ilmu sosial dan politik Universitas Indonesia. Kami, meski di kedai kopi, minum teh mahal yang rasanya tak seberapa.

Setelah bertemu Japri, aku kembali ke fakultas hukum, memarkir VarioSua di parkiran motor samping, lantas shalat dhuhur di kantor bidang studi hukum administrasi negara. Aku sempat memeluk Pak Mono yang mulai besok memasuki masa pensiun, saling mendoa untuk kesehatan dan keselamatan masing-masing. Pak Damanhuri, Pak Sapuan, Ari, John Gunadi, semua tidak sempat lihat aku jadi apa-apa. Semoga Pak Mono masih sempat melihatku jadi diktator yang membersihkan negeri ini dari drubiksa-drubiksa celaka. Aku sempat makan lagi lontong dan pastel.

Seperti kukatakan di awal tadi, aku sangat kurang tidur hari ini, namun aku senang berhasil menyelesaikan apa yang harus kukerjakan. Seperti kata Cicero kepada Maximus, sebagian besar waktuku kukerjakan apa yang harus kukerjakan, selebihnya kukerjakan apa yang ingin kukerjakan. Sebagai seorang ajudan pribadi jenderal, Cicero adalah seorang legioner Romawi yang terhormat. Mungkin ia tidak lagi mengerjakan tugas-tugas garis depan karena luka-luka yang dideritanya, ketika masih menjalankan tugas-tugas garis depan. Meski sekadar pelayan, Cicero itu legioner sejati.

Akan halnya aku, seorang pengemis menjijikkan. Apa mau kaukata, aku megasihani diri sendiri. Ada gurat-gurat itu pada jiwaku entah dari mana datangnya, meski tidak akan pernah terpikir olehku untuk mengguyur seekor kucing sampai kuyup dengan bensin lantas melemparkan pemantik api padanya. Masih mungkin aku melumuri hidangan mewah sampai basah kuyup dengan air liurku, terlebih bila hidangan itu sampai kebasahan mandi lendir sendiri saking terangsangnya. Aku pengemis kotor, bau, tidak tahu malu. Aku memaki-maki diri sendiri tanpa daya apa.

Wednesday, August 30, 2023

Malam dan Siang di Kaset Tua Buluk Serasa Nikmat


Apa perlu kuceritakan pula di sini betapa setelah tidur sekitar empat jam kutunaikan niatku menyantap semangkuk penuh mie ayam donoloyo, masih dilanjut dengan oncom goreng dua potong. Dapat kubayangkan betapa selesanya membaca bacaan atau santapan para pembaca di ruang duduk atau ruang belajar sekalian. Di luar sana salju turun sedang perapian berkeretak membakar kayu kering menghangatkan, sedang dari pemutar piringan hitam--yang terhubung dengan peralatan audio stereo lengkap--melodi-melodi instrumentalia memenuhi tiap-tiap sudut ruang. 
Jika di sini juga kucatat mengenai omongan si anjing film tidak menjadi apa bukan. Ya, karena semestaku ini tidak berbatas ruang dan waktu. Namun sungguh aku takut, harus kuakui. Beda antara mengasihi diri dan memgasihani diri sendiri masih bolehlah. Akan tetapi, jika untuk menjelaskannya digunakan parabel Adam dan Iblis, ini jenial! TIba-tiba timbul pikiran congkak, anjing film pasti mendengar atau membacanya dari entah mana. Namun dari manapun ia terpikir, bahkan jika dari dirinya sendiri, tidak jadi masalah. Apa yang disampaikan ada benarnya.

Namun kausalitas yang ditariknya antara mengasihani diri sendiri dan sombong, kurasa, mengandung falasi. Bisa jadi, ketika tahu Tuhan menciptakan sesuatu dari tanah, terbersit dalam hati Iblis: tanah, ampas dari keberadaanku, untuk mencipta sesuatu. Ia yang berasal dari api tak berasap serta-merta merasa lebih mulia dari ciptaan ini. Namun ketika ciptaan dari tanah ini diajari Tuhan nama-nama, malaikat mengakui keunggulan ciptaan ini dan menurut saja ketika Tuhan memerintahkan untuk bersujud padanya. Iblis, sementara itu, tidak kuasa menahan mulutnya yang celaka dan berujar di hadapan Tuhan dan para malaikat. Aku nan tercipta dari api lebih mulia darinya, tak sudi bersujud padanya.  

Berhubung tiada tempat bagi kesombongan di surgaNya, sudah barang tentu Iblis terlempar darinya. Di situlah ia meratap-ratap mengasihani diri sendiri. Aku yang bersujud padamu ribuan tahun lamanya, disuruh bersujud pada tahiku sendiri. Tega benar Engkau Tuhan. Kauhinakan di depan umum penghambaanku yang dahsyat ini, bahkan kini Kau usir pula aku dari belas-kasihMu. Di sinilah anjing film berbuat kekeliruan. Kesombongan Iblislah yang membuatnya buta akan kasihNya, justru bersikeras mengasihani diri sendiri, merasa didzalimi, dijadikan korban.

Di sini ada sedikit legaku. Sombong itulah justru akar celaka. Akan halnya yang terlambat kusadari, salah satu perwujudan dari kesombongan itu adalah kebiasaan mengasihani diri sendiri sampai enggan mengakui, atau setidak-tidaknya lupa, betapa banyak sudah kasih yang diterima. Sombong membuat orang kufur terhadap segala nikmatNya yang tak terhingga! Ya, Allah, betapa hati ini berbolak dan berbalik cepat sekali, dan Engkaulah yang membolak-balikkannya. Meski demikian fitrahnya 'duhai Pencipta, Pemelihara, tetapkanlah hatiku pada jalan dan cara hidup yang diridhoi.

Sudah cukup bergaya alimnya. Sekarang kembali berolok-olok, karena ini tempat berolok-olok. Jika aku mengaku badut, apa salah. Bentukku tambun. Kepalaku bulat. Seringaiku kocak meski terkadang bengis. Tidakkah aku seperti itu. Bukan aku yang di selokan, melainkan katak pohon yang kuharap masih hidup. Sebagai itu, kujalani hari-hari seperti apa adanya. Jika tidak sebagai badut, aku adalah binatang peliharaan yang malas dan tolol. Bergolek-golek saja sepanjang hari pekerjaanku sambil merenungi penciptaan dunia dan segala isinya. Ahoi, betapa durhaka aku.

Betapa nikmat menyantap masakan mewah bak di hotel-hotel berbintang yang pusing tujuh keliling, yakni, yang porsinya kecil-kecil. Tidak seperti porsi tukang gali atau kuli angkut atau apapun sejenisnya yang biasa kusantap, yang membuatku tambun bukan buatan. Kecil-kecil porsinya, cantik-cantik penampilannya. Membuat kenyang tentu tidak. Membuat si penyantap merasa istimewa, berkelas, lebih utama dari selebihnya, terlebih para tukang gali, kuli panggul, dan profesi-profesi kasar lainnya, itu yang menjadi tujuan. Masakan mewah hanya kotoran gigi. Tidak lebih. 

Tuesday, August 29, 2023

Balada Cakra Kusuma 507 Dilanjut Sinar Jaya 97 RD


Ketika entri ini ditayangkan, entah sudah masuk wilayah Cirebon atau belum. Jelasnya, sekitar dua puluh empat jam yang lalu aku mungkin sudah terlelap di nyamannya kasur pegas yang mantap menyangga tubuhku. Kumiringkan ke kanan dan ke kiri tidak membuat tulang belakangku tertekuk terpaksa. Bantalnya pun nyaman menopang kepala pada telinga kanan atau kiri, dengan jarak yang pas sampai ke lengan bertelekan kasur, membuat tulang leherku nyaman. Namun aku terbangun kegerahan sekitar jam dua tiga puluhan. Kunyalakan pun pendingin udara.
Itupun sekitar jam empat kurang aku tertidur lagi dalam sejuknya ruangan berpendingin udara. Dalam sekitar satu setengah jam itu tidak ada yang kuhasilkan, satu entri pun tidak kecuali mungkin judul, pemegang tempat, dan gambarnya. Apakah ketika itu aku justru menonton konser atas-atapnya The Beatles atau rendisi REO Brothers dari Tlacoban terhadap Sirius dan Eye in the Sky-nya Alan Parson Project, aku tak ingat pasti. Tertidur lagi sampai sekitar jam tujuh aku langsung menuju ke Joglo Bugenvil. Supnya kali ini berolade dan gorengannya pun tempe bertepung.

Cantik tidak mau sarapan karena kuponnya direncanakan untuk Ququq, namun ia mengeluh lapar. Maka kubelikan nasi gudeg telur dan ayam sayap di Bu Darto. Tak lama Ququq datang dan minta diantarkan mengambil sarapan. Cantik tidak habis maka aku kena menghabiskan. Setelah itu ibu dan anak perempuannya ini tidur sedang aku berjaga mendengarkan percakapan pasien-pasien sang spiritualis Pak Joko di sebelah. Setelah mandi dan bersiap-siap, kami pun meninggalkan Cakra Kusuma 507, seraya memesan taksi daring menuju McDonald's Jombor.

Di McD Jombor makan siang kecil-kecilan sambil menunggu waktu Ququq masuk kelas jam dua, sedang kami berjalan ke Terminal Jombor setelahnya. Sebelum masuk terminal, Cantik mampir ke kedai bakpia kukus Tugu membeli oleh-oleh untuk tetangga-tetangga. Setelah menunggu agak setengah jam di kursi beton belepotan debu dan abu rokok dilanjut kursi plastik agen, datanglah Sinar Jaya 97 RD. Kami segera naik menduduki kursi masing-masing; aku di 3 samping lorong, Cantik di 4 samping Jendela. Tak lama tertidur, sampai tak sadar bertolak ke utara.

Ketika kesadaran sepenuhnya kembali, ternyata sudah sampai Grand Artos. Menyusuri sisi selatan dan barat Kota Magelang, mampir sebentar di Terminal Magelang, membeli koran dari seorang tua yang setengah mengemis untuk sekadar makan, perjalanan dilanjutkan sampai Terminal Secang. Di sinilah aku baru sadar bahwa rute yang akan ditempuh adalah Magelang, Temanggung, Wellery, baru bablas tol ke Jakarta. Seandainya perjalanan dimulai pagi hari, mungkin pemandangan sungguh sangat bisa dinikmati. Namun karena mulainya petang, maka kelok-kelok saja terasa. 

Layanan makan di Restoran Sari Rasa Wellery Kendal milik Perusahaan Otobis Sinar Jaya sekitar jam dua puluh tiga puluh, tanpa banyak cakap kupilih nasi soto dengan sambal tabur yang bahkan lebih segar dari yang kumakan kemarin di Pusat Jajan Lembah seberang Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Modhot. Masih sempat sholat maghrib dijama' takhir disambung isya' diqashar, bahkan masih sempat selfie-selfie dengan latar belakang armada 97 RD, sekitar jam dua puluh satu perjalanan pun dilanjutkanlah. Kapten  mengambil-alih kemudi dari perwira pertamanya.

Meski sudah waktu tidurku, aku terus terjaga. Berhubung porsi nasi sotonya bercanda, kulahap burger sapi dan goreng-gorengannya yang tadi sempat dirambati kecoa bayi. Kuakui, aku memang tidak selalu terjaga. pasti ada waktu-waktunya aku terlelap, namun itu tentu sebentar-sebentar dan membuat pusing. Terlebih setelah memasuki Cikampek, aku nyaris tidak pernah terlelap, maka kutahu ada pemuda bingung, tidak paham mau turun di mana. Oleh Kapten diturunkan di Karawang, dan disuruh naik angkot balik ke arah Cikampek. Aku juga subuh baru sampai Jatijajar.

Menggeleng-gelengkan Kepala dengan Muka Memelas

Monday, August 28, 2023

Tiada Seberkas Kecoa Pun Kutepuk Sebelah Tangan


Bahkan ada cicak, tadinya di dinding sebelah barat, lantas pindah ke atas unit dalam-ruangan pendingin udara. Lama ia di sana, untuk seekor cicak. Apakah jika kuceritakan di sini aku hampir membunuh seekor katak pohon, itu hanya harapanku saja, ketika sebenarnya aku terbawa ke Jalan Deperdag IV. Biar hujan asal jangan kebasahan, biar kemarau asal jangan kepanasan. Tidak mengapa pula bukan jika Pak Mono menawar-nawarkan dua kotak penuh kue-kue jajan pasar yang dikatakan ia yang membelinya. Terlihat murah, terasa murah, tapi tentu tidak begitu bagiku dan baginya.
Ini masih Senin, woy. Ayo disiplin ruang dan waktu. Disiplin mana juga tak terwujud jika kukata di hadapanku ada tasbih dengan biji-biji dari logam disangkutkan pada penggulung tali tirai bambu. Bahkan jika pun kukatakan kamar 507 biasa dipakai praktek oleh spiritualis bernama Pak Joko, itu juga masih tidak disiplin ruang waktu. Uah, betapa tak sabar kumenunggu entri ini selesai hanya untuk dibaca dalam bahasa Inggris. Entah mengapa kesenangan kecil ini selalu kudamba-damba setiap waktu. Pada volume empat puluh stereo nirkabel sejati ini tenggelamkan banci. 

Lihat, akhirnya terhubung gambaran dengan isi bukan, ketika kukatakan tenggelamkan tadi. Remang-remang lampu kuning temaram dengan pendingin udara diatur pada suhu dua puluh empat derajat selsius, dengan kipas paling lemah dan pengayun pada posisi mendatar penuh. Sungguh tiada apapun yang menggeremet di kamar 507 ini, namun yang paling kusukai tentu kasur dan bantalnya. Kasur pegas ini hampir sama dengan yang biasa kupakai di Uilenstede. Bantalnya pun cocok menyangga mantap kepalaku ketika badan dimiringkan baik ke kanan maupun ke kiri.

Aku memilih ranjang yang paling dekat dengan jendela dan segera saja terlelap seraya mendengkur keras-keras. Tidak banyak ranjang, kasur, dan bantal penginapan yang sanggup melakukan ini padaku. Satu hal yang sudah jelas, aku tidak pernah suka pada kotamu, kota di mana mamanya Awful menyimpan kenangan mendalam sampai merenggut nyawanya. Aku sudah tidak suka apakah itu pulang atau pergi bahkan sejak aku belum kenal mamanya apalagi Awful. Aku tidak pernah sengaja pesiar ke situ atas kemauanku sendiri. Aku tidak suka kotamu, tak rindu setangkup pun.

Mas Ongki Tongki dipakaikan pakaian dinas upacara satu tentara nasional Indonesia angkatan laut terlihat betapa palsunya, dengan kumis yang tidak membuatnya lebih gagah; persis seperti baliho tempat perawatan kulit Natasha di ujung Margonda. Maka meski jasadku tertambat di kamar 507 ini, jiwaku melayang pulang ke Kemayoran, ilham utama dari keseluruhan situs web harian ini. Betapa dahulu aku selalu punya buku yang kutulisi entah apa-apa seperti ini, dengan tulisan tanganku sendiri. Aku lelaki tambun paruh baya membeli gudeg bu Darto yang tidak murah.

Cintailah aku dengan segenap hatimu, begitu kaukata sambil mengulurkan tangan kepadaku sementara kereta mulai bergerak membawaku ke medan pengawasan kursus konsultan hak kekayaan intelektual. Sempat menjaga di atas rektorat lama atau kelas magister ilmu lingkungan sementara badan kemasukan parah, bahkan tidur di ruang entah apakah kajian gender berkarpet hijau horor. Itulah waktu-waktu ketika aku masih jauh lebih muda dari sekarang, empat belas tahun yang lalu. Aku kembali ke joglo bugenvil bernasi goreng bergudeg diambili telur dan sambal goreng.

Ada setangkup haru dalam rindu namun tidak pada kotamu. Aku bahkan tidak rindu pada dukuh Barepan tempat aku menghabiskan waktu hanya tiga tahun. Impian apapun sepanjang mengenai dunia, seperti apapun yang berjasad akan lapuk membusuk, hancur tak berbekas. Kuterjunkan badanku kepala di bawah, meluncur deras di sela-sela dinginnya udara malam berkesiuran melembutkan kesadaran. Telaga sunyi di bawah sana tiada sampai-sampai juga, sampai aku tertidur. Jika sampai tercebur, dinginnya air telaga semoga membangunkanku dari tidur yang melenakan.

Sunday, August 27, 2023

'Nyak Chafshoh. Alterego Bang Madun dan Bekicot


Duar! Huahaha... Ohok ohok... hoek... Cuih! akhirnya terciptalah suatu judul yang teatrikal apokaliptik... atau apokrifal... di tengah malam buta di sekitaran Depok, Sleman sini. Akan halnya entri ini dibuka dengan adegan masuknya jin parsi disertai begundal-begundalnya jin hijau, ungu, dan coklat susu. Tadi terhenti di sini karena secangkir mie goreng yang baunya memang spesial sekali. Sudah hampir sejam ditinggalkan ternyata baunya masih mengambang di dalam ruangan. Kasihan istriku sayang harus tidur dalam ruangan berbau mie goreng spesial. Aku mengetik dini hari begini.
Jangan memindahkanku dari rutinitasku. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Aku suka hidup yang berulang-ulang membosankan. Berapa kali pun kuulangi ini tiada pun 'kan mendengar karena rata-rata orang hanya suka mendengarkan diri sendiri; termasuk dan terutama aku. Seberkas cahaya kuning lampu beranda menembus ke dalam dari celah antara tirai dengan tepi pintu, seperti dari puluhan tahun lalu. Aku benar-benar mengetik pada pangkuanku, di bawah temaram lampu tidur yang tentu saja kuning hangat pendarnya; keramik dihembus pendingin udara.

Pada titik ini, aku tidak ingin mengulangi khayal jangankan untuk kedua kalinya; setengahnya pun tiada sudi. Slompretan sok cerdik ini dari masa kurus hitam belum terkena deru mie instan secara teratur. Aku bahkan tak ingat rutinitasku pada saat itu. Hanya teringat temaramnya lampu, tidur hanya bercelana dalam tak berselimut tak berseprai karena segala sesuatunya dicuci, melodi instrumental tema filem mafia terkenal mengapung di dinginnya udara. Hanya tiga tahun saja dibandingkan sepuluh tahun lebih di tepi Cikumpa, sekitar itu juga di tepian Margonda.

Gurih-gurih sedapnya jajanan pasar yang aku tidak ingat namanya, apakah sama dengan kerupuk yang biasa dimakan bersama pecel, aku tidak pernah merasakannya. Kepasrahan yang membiarkan dirinya dilanda gelombang dengan alun berima berirama; membiarkan setiap jengkal, setiap relung lekuk tubuhnya dijamah tanpa terkecuali. Dosa apa yang dilakukan bapaknya sampai harus menanggung kengerian dunia, direnggut dari peluang terbesarnya menikmati secauk susu madu langsung dari sungainya, secauk sesuai keinginannya; yang tiada henti menghantui.

Sebesar apapun pusat perbelanjaan tidak akan sanggup menggantikan persawahan, perkebunan, terlebih hutan alami meski bukan hutan hujan tropis. Tiada lagi yang pernah tahu lautan rumput gajah yang tingginya, sesuai namanya, bisa setinggi gajah; ideal bagi macan gembong untuk bersembunyi mengintai mangsa. Di sebuah pendopo mungil berperabot klasik paduan kayu keras dan anyaman rotan kali pertama kuakui, memang mengasyikkan melihat kepala hitam dan kepala putih dikeluarkan dari pori-pori tersumbat. Hari mendekati baru bagi paganis.

Kembali pada gendar tadi, bahkan ketan hitam dikukus ditaburi parutan kelapa yang belum terlalu tua bisa gurih-gurih penuh bercita-rasa. Sedap-sedapnya dikecap-kecap lidah yang saling bersilat ketika kedua bibir bertangkup menyatukan dua rongga mulut. Gurih-gurihnya gigi-geligi, harum-harumnya nafas para pecinta. Anggota-anggota badan yang tidak terlalu panjang bahkan cenderung pendek, dengan semua tonjolan pada tempatnya masing-masing semenonjol mungkin; agak di luar ukuran justru menambah selera. Kenakalan menyembur hangat sekujur wajahnya.

Hanya tidur yang nyenyak, nyaman, menyehatkan harapku kini. Sudah berlalu waktuku menikmati berbagai jajanan pasar, sudah terlalu banyak pula. Secerah apapun pagiku, kubuat mendung tanpa ampun; apakah pagi orang lain juga. Kugemborkan awan mendung ke segala penjuru sebagaimana terus kulakukan sekarang. Orang-orang menggapai-gapai mendamba terang cuaca. Jangan kaubohongi nuranimu, kebanyakan kita masih bermendung kelabu. Nikmati jajanan pasarmu di tanah becek berlumpur, bahkan di sana-sini berbelatung. Itu betul nan menyelerakan. 

Saturday, August 26, 2023

Mata yang Terang, Menyala Bagai Api. Mata-matamu


Aku tidak pernah menggarap sawah, dan mungkin dalam hidupku yang ini aku takkan pernah tahu rasanya menggarap sawah. Sawahku dilanda kemarau ketika hampir panen, sampai puso, sebagaimana halnya sawah-sawah menghilang dari Depok di Sleman maupun Bogor. Lihat kelakuan orang ini. Sungguh tidak senonoh! Memegang-megang, mengelus-elus padi bunting, yakni, padi yang beralih dari fase vegetatif ke generatif. Padi yang dibuahi. Aku membuahi dengan sekotak plastik buah-buahan potong. Jus jeruk yang rasanya seperti air jeruk. Dingin tidak. Manis tidak.
Meski 'ku takkan pernah tahu rasanya menggarap sawah, aku suka roda bunga ini. Dibilang hotel, bukan. Dibilang bukan, hotel. Namun jika ini harus diretroaksi jadi salah rasanya. Seharusnya aku bercerita mengenai pengalaman menunggang kuda bercula satu selama sembilan jam. Akan tetapi, aku bertekad tidak akan mengomentarinya sampai 'ku bertemu lagi dengan kasur biru dekil berjamurku. Ya, sudahlah. Lebih baik aku berlarut-larut dalam kesedihanku demi melihat padi-padi bunting besar, 'gera 'kan meletus mengeluarkan air ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusat.

Namun demikian, padinya sendiri puso, hampa. Tidak ada padinya. Artinya, takkan ada yang 'kan meruwat Kilatmeja, Ramadipati, Ramadaya, dan Pulasio, karena Anomannya ternyata tidak ada. Oh, Jagad Dewa Batara, lakon apa yang Engkau mainkan bagiku ini. Selamanya keempat saudara itu akan menjadi prajineman di Alengka angkara murka tanpa pernah menyatu dengan pusatnya yang puso. yang hampa, dan itu aku. Kurang tidurku, berat rasa kepalaku, hampa rasa dadaku, meski indahnya pita merah senandung buluh perindu dari balik atas angin sana 'ku berada.

Tidak perlu ditulis di sini, kenangan naik kapal cepat di lautan yang marah, mengamuk gelombangnya, selama sembilan jam tentu tidak akan mudah terlupa. Selebihnya, aku akan kembali meratapi padiku, anomanku yang puso, karena tiada sawah yang sudi kugarap. Hanya pantai-pantai mengantuk inilah yang tersisa untuk kutekuri, kutelusuri lekuk-likunya bagai perempuan di puncak masa suburnya memasrahkan tubuh ranumnya untuk kugumuli. Namun kini aku tidak lagi muda. Terlalu banyak pahitnya hidup kugelegak kukremus dengan dera amarah di dada.

Aku bukan lagi kuda jantan menandak pada kedua kaki belakang. Aku kerbau tua bertanduk patah, badanku tambun namun kulitku gombyor berkeriput seperti badak berhidung belang. Aku berlalu meninggalkan pantai-pantai itu, kembali ke kandangku tempat aku memuntahkan rumput yang kujejal-jejalkan pada perutku, mengunyah-ngunyahnya lagi sambil bersantai merenungi siang yang berganti malam. Ular melata di sebalik punggungku aku tak peduli. Apatah lagi ular berbisa, kijang kencana pun takkan sanggup menggerakkan pantatku yang sebesar dunia.

Sungguh tiada bedanya bagiku, ladang tegalan kering, sawah tadah hujan, ladang tebasan hutan, sawah pasang surut, tak satupun pernah kutahu rasanya mengolah menggarapnya. Hanya kupandangi botol plastik bekas diberi berair untuk menumbuhkan entah tanaman apa, entah oleh seorang ibu muda, ibu tua, atau perawan tingting sekalipun. Sesia-sia itulah hidupku, sebotol tanaman menantang angkuhnya belantara beton kota-kota besar yang mengaku ibukota, padahal jahatnya melebihi ibu tiri. Aku tidak pernah tahu ibu suri jahat atau tidak, seperti di keraton-keraton itu.

Maka kuucap sayonara, selamat tinggal, sampai berjumpa pula di kehidupan selanjutnya. Entah kugunakan palu perang untuk menetak ubun-ubunnya yang celaka, seperti ancamanNya pada mereka yang mengganggu kekasihNya: dibetot ubun-ubunnya. Apakah ini maksudnya stroke? Aku berlindung kepadaNya dari yang seperti itu. Seperti halnya kini, kuucapkan selamat tinggal pada kemarau. Bukan aku tak suka padamu. Terima kasih telah hadir kembali dalam kehidupanku. Terima kasih telah membiarkanku tetap sehat, tetap semangat jalani hari-harimu.

Friday, August 25, 2023

Lagu-lagu Rahasia di Ubin Kuning Bawah Bufet


Banyak pengetahuanku tidak ada gunanya di akhirat. Sedikit sekali pengetahuanku yang berguna bagi akhirat. Aku senang jika akhirnya semua lengkap. Gambaran, judul, pemegang tempat untuk semua paragraf. Tinggal lagi aku mengetik entah cepat entah lambat. Terlebih jika di judul tiada satupun kata ganti kepemilikan. Jadi, meski satu album penuh tidak ada suara Paul, semuanya suara mirip John, kaset oom Alvaro Yulian ini menyamankan Sabtu pagiku. Jelas tidak mungkin dikonfirmasi. Oom Novaro dan bapak telah berpulang bersama semua lagu rahasia ini.
Meski seorang dukun, dengan dandanan yang jika dipakai sekarang pasti disangka orang gila, aku tidak harus menunggang seekor zebra 'kan. Aku yakin beberapa puluh tahun lalu suara-suara John dan Paul memenuhi tiap gang kecil di seputar Amsterdam Centraal, di De Wallen, di Nieuwmarkt. Suara-suara itu telah diganti oleh Pharrel Williams, itu pun di Jumbo Buitenveldert. Jikapun seperti dilakukan para pemimpi, itu lebih di kereta rel listrik sepanjang perjalanan ke Bogor. Aku pun tak ingat mengapa begitu, meski hujan di Amsterdam selalu bersama istriku sayang.

Ini untukmu malah lebih absurd di sekitar kubis, petai, dan sayur-mayur pasar Blok A. Sebegitu membekasnyalah lagu-lagu rahasia oom Alvaro Yulian pada bocah lelaki di awal usia remajanya; bahkan ketika ia masih suka pada kura-kura ninja mutan remaja dan ketiga centurion, yakni Jake Rockwell yang perkasa, Max Ray yang brilian, dan Ace McCloud yang pemberani. Setelah ini ia betul-betul akan melompat ke masa ketika sudah berlumur malu sebagai pecatan kadet angkatan laut bermental lemah. Bukan karena tidak berani, tapi memang tiada guna menyapa gadis kecil.

Bebas seperti seekor burung memang meditatif, kontemplatif; cocok untuk ia yang mencari kebijaksanaan dalam damainya pelukan dini hari, bersimbah obat kumur pedang Wilkinson yang hanya bercelana dalam. Disusuri kembali malam-malam ketika ia memanggil-manggil setan minta diajak berbuat maksiat. Nasi goreng yang terlalu lembek di pagi hari tidak mengusir kesakitannya. Sebotol rum hampir habis sedang ia terhindar dari malu. Mungkin ia mendapat kemaluan besar di jakarta empat ketika mengendus-endus telur ceplok, jadi batal puasa wajib yang tak diniatinya.

Terlepas dari semua bahaya yang menghadang, dilalui dengan lenggang kangkung. Siang hari bermendung yang membuat badan lengket begini entah sudah berapa banyak dilalui. Bertelanjang dada ketika perut masih tidak terlalu banyak sampai melimpah-ruah begini. Haleluya, aku sangat mencintainya, namun ia tidak pernah berwajah tak berbentuk. Baru belakangan ini ia berwajah cantik berbentuk menggemaskan maka kucintai teramat sangat. Dulu-dulu aku meraba-raba dalam pekatnya kegelapan dosa bergubal tinta cumi-cumi; si bocah lelaki di pohon jambu. 

Jangan pula kauajari aku tentang hari-hari yang dibuang percuma, dilalui seperti tiada harganya, hanya mengutak-atik mengelupasi keropeng koreng yang tak kunjung kering. Luka hati lebih mengerikan daripada luka diabetes, kurasa. Tanya saja pada yang mengalaminya. Bagaimana dengan mereka yang punya dua-duanya, kurasa cepat mati atau malah sekalian bunuh diri. Jika kemaluan dioser-oser di muka sampai belepotan najis, kau akan berharap lebih baik kehilangan muka saja karena tidak mungkin disembunyikan. Mengemisku ke sana ke mari menoreh luka dalam sekali.

Menangis atau berteriak untuk sebuah bayangan selalu sedap dentam-dentamnya. Disela oleh kedatangan truk sampah sama jengkelnya dengan disela iklan, terlebih jika celana formal hitammu tidak dapat ditemukan di mana-mana. Adakah yang lebih mengerikan dari jeda antara dipermalukan karena bermental lemah dan diterima di sekolah hukum tertua di negeri ini. Lelah hatiku jika harus mengingat semua kengerian yang telah kualami, sedang kengerian sekarang ini saja entah kapan berakhir. Kengerian mengemis; apa kurang hemat, apa masih bisa diperas.

Thursday, August 24, 2023

Rumah Istriku dan Sungai. Mungkinkah Ini Aku


Mengapa ketika mulai mengetik malah bertanya mungkinkah ini aku, membelai lembut jiwa nurani seperti selalu saja. Seandainya kulakukan di Lenovo, kuhilangkan latar putihnya, pasti jauh lebih menyelerakan kecoa sungai ini. Namun ini tidak ada hubungannya dengan judul di atas. Hanya saja memang istriku sudah terlelap, sedangkan aku, meski hanya sekejap terlelap sebelum maghrib tadi, belum bisa tidur juga. Entah sudah berapa malam kuhabiskan memandangi jalan menanjak sedikit dari sisi timurnya, sedang titik-titik hujan terus menjatuhi kepalaku meski kemarau begini.
Aku bersamamu jika aku sedang merasa kesepian, dan semakin ke sini semakin sering aku merasa begitu. Terlebih jika di kantin, terlebih masih libur begini. Kurasa, meski minggu depan sudah mulai kuliah pun, aku masih akan tetap merasa kesepian di kantin itu. Tepatnya, kampus seperti tidak menerimaku lagi, seperti memang tidak pernah selama aku berada di sana. Aku memang tidak pernah menerima siapa-siapa, lantas bagaimana bisa berharap diterima siapapun. Jari tertebas putus pasti lama sakitnya. Disabeti dengan selang plastik juga, seperti pantat dipukuli gagang sapu.

Pantas saja, lagu cinta ketimuran membuatku memejamkan mata merasakan perutku yang bengkak. Betapa senangnya ketika berkelana menjelajahi padang rumput berbunga-bunga yang seakan tak habis-habisnya. Bertualang dengan tutup kepala rusa jantan lengkap dengan tanduk-tanduknya masih utuh, bertelekan tongkat bertuah yang sanggup melakukan berbagai-bagai sihir baik jika saja ingat caranya. Untunglah kami semua dibekali kitab mantra yang kami bawa ke mana-mana, terkadang juga untuk mencatat mantra-mantra baru jika sudah mampu.

Aku tidak bisa memberimu apapun kecuali cintaku sempat sekelebat mengilhamkan cinta, meski langsung menguap demi mengingat muka berkeringat. Maka kulanjutkan pengembaraanku bersama centaurus, kurcaci, kuda sembrani, pohon berjalan, kuda bercula satu, dan tentu saja naga hijau. Naga hijau cukup satu regu saja, kuda bercula satu agak sepeleton, sisanya entah berapa batalyon berapa resimen. Susah sebenarnya mengembara diikuti sebegitu banyak mahluk-mahluk mitologi, namun mau bagaimana lagi. Tak pelak lagi, aku butuh mereka.

Terkadang kolonel-kolonelku kusuruh menyingkir jika, seperti sekarang ini, di bawah guyuran hujan dan dentuman guruh petir, aku ingin berdua-duaan saja dengan Michele. Masalahku sama dengan Denny Luqman al-Hamzah: tidak pernah ada mukanya. Mau Michele mau Jaminten sama saja. Mungkin Michele kecil mungil, Jaminten montok sintal, tapi selebihnya kami tidak tahu, apalagi mukanya seperti apa. Paduan suara ini membarengi ensembel violin dan viola, semakin melembutkannya. Kugedikkan tongkat saktiku membuat langit bumi berderak menggeletar. 

Peri-peri penunggang kuda sembrani berpedang petir, kurcaci-kurcaci berpalu gada dan godam, centaurus-centaurus bertombak, pohon-pohon berjalan terhuyung-huyung. Kapten-kapten mereka menghardikkan perintah dan aba-aba. Kolonel-kolonelku sibuk meneropong-neropong dan memberi sinyal-sinyal dengan bendera-bendera. Penyompret dan penambur membunyikan alat-alat masing-masing, bersahut-sahutan riuh-rendah. Kukirimkan jutaan lebah, membuat balatentara setan kuburan dan mayat hidup bergubal berhembalangan. Mereka lari sebelum kelahi.

Kulihat seorang jenderal mayat hidup dari antara mereka memutar-mutar pedangnya memapas batang-batang leher pasukannya sendiri yang masih berkepala sambil berseru-seru parau, "kepala-kepalamu tak berguna!" padahal ia sendiri masih berkepala. Ia tidak peduli jutaan lebah merubunginya. Kurasa lebah-lebah pun enggan menyengat kulitnya yang sudah lebam melepuh, membusuk berwarna abu-abu kehijauan. Kuperintahkan semua berhenti mengejar. Kukirimkan naga-naga hijau untuk membakar kebusukan yang merajalela. "Bakar semuanya jadi abu!"

Saturday, August 19, 2023

Dari Hari ke Hari Habis Kecoklatan. Kehangatan


Diganti oleh secangkir merah air panas, bukan kebimbangan atau kemenerawangan. Malaikat jibril tinggal dalam sebuah gorong-gorong kubus yang belum dipasang, di tepi jalan. Dapat kubayangkan jika hujan ia memeluk kaki-kakinya agar tidak terciprat air becek hujan. Namun ini musim kemarau, dan jalan tempat ia berada di tepinya tampak lengang. Ia melakban kedua tangannya, mengenakan kupluk hijau, sedang misai jenggotnya tampak rapi. Memang di situ ia patut berada, tidak di istana kerajaan tuhan di sekitar senin sana. Keberagaman 'pala lu bau menyan. 
Kau sungguh sombong kau mungkin mengira lagu ini mengenaimu. Kau pikir aku takut pada abangmu yang korps teknik di jakarta empat itu, tapi tidak perlu sombong juga. Kepedulianku pada tiada apapun membawaku berjalan melintasi kebun di ujung atau pangkal jalan jayapura yang menghubungkannya dengan cimone beta, yang bila malam telah gelap tentu agak menantang bahkan untuk bocah kelas delapan. Betapa ringkihnya badanku kini, menjelang lima puluh, dibanding tiga puluh tahun lalu; Pisau utilitas korps pasukan intelijen tempur di s'tentang dada.

Jika pun ada mungkin setelur mata sapi saja, maka kuucapkan selamat tinggal, cintaku, selamat tinggal; meski nyatanya engkau yang meninggalkanku. Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu seperti halnya engkau pun begitu. Hanya selalu dan selatan perbatasan yang tersisa darinya, serta rasa malu membawa-bawa gitar dan ukulele dalam bagasi taksi entah kemana; tidak dimainkan pula. Tiada seorang wanita pun mau diajak mencari esensi, bahkan esens pandan atau kelapa-pandan sekalipun, di zaman makanan enak bertebaran di sembarang tepian jalan.

Sayunya mata menatap sendu, merah meronanya pipi selalu, aku tidak pernah tahu. Jikapun kuhirup dari kejauhan yang tercium aroma campuran tahi-tahi dan sop daging sayur-sayuran. Lariku, latihanku dengan beban tubuhku sendiri setiap selesai tur tugas atau serigala udara, pandanganku ke langit malam yang memerah berawan mendung. Apakah kukepalkan jari jadi tinju, kuarahkan ke angkasa menyumpah dan berdoa, "ya atau tidak, tidak ada bedanya, komandan!" Seperti itu bermimpi menjadi prajurit apalagi perwira, memang tak pernah benar-benar ingin.

Dari liga-liga yang lebih rendah tiada kurang-kurangnya, sedang liga tertinggi sekadar adu banyak-banyakan uang. Ada lagi boneka shanghai yang seperti nama minuman es atau kacang, berakhir dengan seorang jawa berkumis beranak-pinak. Itulah semua sakit-sakitnya penyakit cinta. Ingin rasanya kutinggalkan menghambur pada berondongan peluru berkaliber besar, mengoyak tubuhku jadi serpihan-serpihan kisah hidup yang selalu merana, tidak pernah kenal, tidak pernah tahu rasa dan arti cinta. Cinta, padahal, cuma semangkuk soto panas berkecap bersambal. Habis perkara.

Bukan jarang ingin kutunjukkan besar nyaliku, besar buah-buah pelirku; seandainya saja sikap masa bodoh tak menahanku. Semangkuk nasi bertabur iris-irisan daging sapi berjaringan ikat ditumis dengan bawang bombay berbumbu manis atau gurih saja, seperti itulah kebanyakannya. Harimau di antara kambing-kambing tidak membuat pusarku kembang-kempis apatah lagi cuping-cuping lubang hidung. Tiada penyesalan padaku jika kemarin menjelang sekali lagi, membawa dengannya belaian sayang yang menyamankan jiwa pada kedalamannya; Kerapuhan rasanya.

Salahku adalah mengira aku bisa lain sendiri di tengah-tengah embikan riuh-rendah, yang mereka sangka auman seekor singa. Di rimba aku raja bukan hantu, begitu pula di laut, di udara, tidak di jalan raya. Tiada kehangatan kurasa dari belaian entah sesiapa, kucengkam tengkukku sendiri agar tidak menggigit ke mana-mana. Alam pikiranku seperkasa tuan-tuan jagad raya meski tanpa puri tengkorak kelabu. Tiada pedang kuamangkan sambil berseru: "Aku punya kekuatan!" Tiada macan hijau yang kuubah jadi semacam badak purba. Adaku hanya berkerut keningku. 

Friday, August 18, 2023

Segala Sesuatuku Selalu Tentang Kemayoranmu


Mudah saja bukan, jika sudah habis sisi A maka balik saja untuk memutar sisi B; kecuali pemutar kasetmu ada pembalik otomatisnya. Bagaimana tepatnya bersedia menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsa. Apakah termasuk kemungkinan mati konyol gara-gara sebab-sebab yang konyol, sedang kau dibesarkan dengan kisah-kisah seperti kancil yang cerdik dan turangga cipta si kuda kayu. Ini  semprotan nyamuk yang dipompa dengan tangan, yang di depannya ada tangki, awal-awalnya dari kaleng kemudian plastik yang mudah dibuka-tutup. Tak lain.
Ing Madya Metallica dari kiri ke kanan: Poniyah (gitar ritem/ vokal utama), Tuminem (bass/ vokal latar), Prihatin (dram), Sriyatun (gitar utama)
"Kalau kau membiarkan dirimu mati konyol, itu artinya kau tak sayang padaku," begitu kata istriku sayang. Benar itu. Saigo yang bukan Takamori saja berjanji, meski tidak pada istrinya, tetapi pada anak yang dikandungnya, ia akan pulang. Ia tidak membiarkan dirinya mati konyol. Ia bertahan hidup meski dengan cara-cara yang mungkin dianggap konyol oleh teman-temannya, bahkan pengecut. Seonggok daging tetap saja seonggok daging, mau belum atau sudah mati; tetap saja bau. Kukayuh tangan, kutendang kaki agar melaju tubuhku seperti kodok di daun salam.

Apapun kau namai seonggok dagingmu, Margaret, Margriet, atau Margarita, mau makan margarin atau mentega, atau kau beri beberapa butir telur untuk diceplok, jika kena peluru meriam sama saja. Mata terbelalak dalam rigor mortis atau terpejam damai hanya menakut-nakuti Theo dan Michael, meski orang yang jadi hantu-hantu. Masih segar dalam ingatan, seakan baru tadi siang, betapa truk dikemudikan keluar- masuk pool yang entah mengapa berliku-liku; mungkin itu setelah mengampanyekan keluarga berencana. Ada zebra baru tumbuh ekornya. 

Tentu saja permainan-permainan terlarang itu, tidak pernah ingat bila mulainya, tak berhenti pula sampai detik ini. Aku kepak-kepakkan kedua lenganku untuk memastikan masih ada tenaga padanya. Hanya beberapa menit saja seperti kehabisan nafas, untunglah melaju di atas sepeda motor yang berpacu menembus malam. Meski udara panas, kecepatannya cukup membuat angin berkesiuran. Coba kalau berdiri atau duduk diam, terlebih dalam kendaran yang padat, ditutup pula pintu-pintunya, tanpa pendingin udara juga. Begitu turun, tahulah aku kaki-kakiku nan lemas pun gemetar.

Jika begitu seonggok daging, apatah lagi dua kerat jaringan lemak. Terkenang olehku tablet yang sudah seperti laptop mini bagiku. Dengan itu pula kuselesaikan disain penelitianku, entah ada waktuku untuk sedikit membanggakannya atau tidak. Hanya ibuku mengaminkan berbagai doa tumpuan harapanku, bukan laut biru apalagi partai-partai politik berwarna biru. Tinggi di atas awang-awang semata kiasan yang tak tepat, sebagaimana tidak di situ tempat tuhan. Aku tidak pernah jadi bergajul nekat. Aku ini sekadar berpikir terlalu mendalam namun tidak berdisiplin.

Jika memejamkan mata begini, menjelanglah bunga asoka beberapa kuntumnya. Kemeja putihnya sederhana berkancing di depan, dan mungkin rok selutut entah warna apa. Ditampakkan sekejap perhiasannya hanya untuk disembunyikan lagi di awal musim kemarau seperti ini, karena puncaknya membakar kulit wajah dan kepala sampai terkelupas; disembunyikan dinginnya angin lembah pegunungan. Memang enak hidup sambil memejamkan mata begini, asal jangan terpaksa karena membelalak pun gelap belaka; telingaku dibelai merdu senandung malam.

Di sini, di sana, dan di mana-mana. Itulah seharusnya yang mengawali sebagaimana kebiasaan kaset-kaset bajakan dahulu. Urut-urutan diacak-acak entah sesuai selera peraciknya atau untuk menghindari pelanggaran hak cipta, namun apa hubungannya. Petik-petiknya senar gitar listrik dilambari deham-dehamnya senar gitar bas dicolek-colek lembut seperti pecinta mencoba memuaskan dahaga birahi kekasihnya. Belum lagi alat-alat tiup kuningan menghembus lembut seperti nafas pecinta di tengkuk kekasihnya, ketika bibir menelusuri anak-anak rambut tiap-tiap helainya. 

Tuesday, August 15, 2023

Badai Petirku Berbadai Saljumu. Kisahmu Cintaku


Sungguh aku merasa di usiaku sekarang ini sudah tidak pada waktunya untuk cerdas barus. Waktu-waktu yang lebih muda telah kupaksa untuk mencerdaskan kehidupan sendiri, karena memang sudah menjadi kebutuhan bagiku entah sejak kapan. Genteng di sepanjang gama satu deretan citra kasih, kedua rumah kosong yang mengapit nomor dua enam, sebelah kanan bagus, sebelah kiri hancur, adalah salah satu tempatku memacu rasio sekencang-kencangnya. Segala sesuatu harus masuk akal dan keluar perasaan. Tiada tempat bagi cinta monyet, kadal, undur-undur.
Bagaimana dengan matahari terbenam, bagaimana dengan keesokan hari setelah karnaval yang kautiupkan sesyahdu dan sesendu mungkin sampai mengharu-biru perasaan remajamu. Itulah satu-satunya romansa bagiku, yang memang penuh cinta. Kutiupkan lamat-lamat dengan hadiah sunatku, yang bahkan sampai kubawa ke Magelang untuk berbicara cinta dengan lembut di hadapan anak-anak gundul lulusan terbaik sekolah menengah pertama se-Indonesia. Jika sekarang merekah perutku, mendendam hatiku, tak lain terusan itu semua, gama satu dan seterusnya.

Sedikit atau banyak kelezatan sudah pernah terasa, penyesalan pula yang tersisa, ketakutan akan tak terampuninya dosa. Apakah itu di Gang Sawo bilangan Margonda atau di sebelah manapun seputar UI, malam-malam hangat bisa saja dihabiskan di warung kopi, mereguk kopi susu atau entah apa, menghisap rokok kretek kesayangan entah dari mana uangnya. Apakah ketika itu Dwight Yorke menyundul dari balik ketiak Paolo Montero, membuat Angelo Peruzzi kagok mengantisipasi arah bola. Itulah waktu-waktunya, telah kulalui semua kelapangan itu; cukup sudah bagiku.

Markas di tepi Ciliwung itu, di mana Kiboud minta klarifikasi apakah yang tergantung di dinding itu gambar Lilis Suganda, mungkin tempat terakhir ditemukannya daftar pelan teratas. Begitu juga meja tulis Bapak yang pernah pula berada di atas tebing Ciliwung agak lebih ke hilir. Kini aku lebih ke hulu tetapi masih di Ciliwung juga, yang perkasa, yang meski mengering namun akan bergolak lagi. Tidakkah hidup begitu saja, menahankan panas, menahankan terpaan titik hujan pada wajah, nyaman, meriang dingin, meriang panas, nyaman lagi. Begitu saja seterusnya, 'kan?

Satu setengah kebab meledak dalam perutku belum beberapa keping slondok udang katanya, sedang malam sudah tepat berada di tengah-tengahnya. Ada waktu-waktunya meski aku tidak ingat benar kapan, ketika tengah malam seperti ini aku pun berada pada puncak lelap tidur. Berarti aku memulainya ketika malam masih sangat muda. Ada waktu-waktu seperti itu, ada pula waktu-waktu seperti ini. Kau takkan pernah tahu mana bagianmu, bila datangnya. Apapun lebih baik daripada malam-malam resah penuh kebingungan tanpa kantuk menyapa, bertahun-tahun.

Namun kini mungkin mulai terasa olehku betapa waktu tersisa harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Apakah ini janji akan kehidupan yang baru atau setidaknya episode baru dalam kehidupan yang tentu hanya satu. Apapun itu, badai petir menderu membahana di telingaku, seperti badai salju berhari-hari menerpa jendela lapis dua berderak-derak. Dapatkah dalam keadaan seperti itu aku keluar membeli kapsalon, atau malah memesan aneka rasa ramen dan udon, masakan tahu telur mahal dan nasi dan mie gorengnya yang pucat. Meski takkan kualami, tak pula kudamba.

Berjalan bisa di mana saja, di dinginnya malam stasiun pusat Amsterdam atau selatan, menembus dinginnya malam berganti trem, atau truk pengangkut pasukan, atau sesederhana kereta rel listrik membawamu pulang. Asalkan jangan taksi membawamu kesakitan meski berangsur-angsur reda. Anggur merah, anggur obat, anggur putih atau apapun yang pernah kutenggak membuatku tengadah memandangi langit malam. Aku tidak menggugat atau mengeluh. Aku hanya mengadukan perihalku sebaiknya pada diriku sendiri:  hidangan warung nasi yang kunikmati pun.

Thursday, August 10, 2023

Jangan Menulis Kata yang Tiada Arti. Kalimat Boleh


Tiada kusesali barang seupil pun. Aku memang tidak pernah mempedulikan apapun kecuali cara-cara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, meski sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana caranya. Jika caranya adalah menyanyi dan menari, bermain peran dalam film, mengiklankan pencuci rambut bahkan ketika bangsa ini tengah dilanda perubahan besar, maka tiada urusanku dengan yang begitu itu. Kurasa yang kutunggu tiada lain adalah cinta sejati, sejatinya cinta. Selama belum kutemui, aku rela hidup seadanya, kepal jari jadi tinju: UI!
Kemudaan yang didera demam berdarah dilanjut tifus telah digantikan susu beruang dingin bersimbah sirup kelapa pandan cantik warna kesumba merah pupus. Sedingin es melalui kerongkongan didera panas membakarnya anak lelaki kecil osilasi selatan bergandengan tangan dengan samudera Indonesia dwikutub, hanya kudoakan tidak menyakiti badan tambun nan ringkihku. Ayam bakar kremes masih ditabur stik penyedap rasa dan mungkin sepercik keju olahan parut tiada membangkitkan selera. Seperti kemarin, ingin pulang ke pelukan Suhu Yo.

Buat apa gadis sampul baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris jika di rumah sudah setiap hari menyanding remaja ceria yang menggemaskan selalu membuat geregetan. Keterpanggangan ini tak ayal membuat kepala tengadah, senyum pasrah, membumbung puji-pujian pada Sang Maha Perkasa. Jika bendung katulampa saja sudah kering-kerontang di bawah nol, bebatuan di dasar Ciliwung sudah tampak seperti rusuk-rusuk menonjol pada dada sapi kurus. Menari, menyanyi, bermain film terasa sungguh tidak relevan, lebih lagi demokrasi berkeadilan sosial.

Sapi-sapi kurus menari dan menyanyi di pelupuk mataku, bukan sapi-sapi tambun melenguh malas. Betapa orang suka membanding-bandingkan sapi-sapi, pernahkah kau dikencingi, diberaki. Entah bagaimana aku kembali ke 10 Oktober 2002 ketika terkapar di Pusat Kesehatan Mahasiswa, sebagaimana 10 Oktober 1995 terkapar di Ruang Karantina Penyakit Menular. Aku masih ingat berjalan agak gagah keluar darinya. Aku tak ingat apakah langsung naik taksi pulang ke Radio Dalam atau bagaimana, uangnya dari mana. Tiada yang peduli mau kumati sekalipun.

Jika kau tidak tahu aku sekarang juga, kau tidak akan megetahuinya, uuh. Apa itu main kuda-kudaan gadis sapi atau terbalik, sapi lagi. Menggantung berat begitu, nakal begitu, hangat begitu. Di sini aku bingung mau kubuang ke mana pandangku, terlebih jiwa lelahku, apatah lagi badan tambunku. Lima belas tahunan lalu pepes jamur, pepes tahu, dan sayur asam tidak akan pernah gagal membangun suasana hati, bahkan setelah-setelahnya. Sebelum Asmirandah bekerja sebagai pelayan menuliskan nomor teleponnya dengan saus sambal pada roti baget panjang. Itulah.

Tiada yang mempersiapkanku untuk kemarau panjang ini, tak juga kenangan-kenangan mengenai kemarau panjang dalam hidupku; kecuali suatu kemarau yang membakar tarmac pada apron timur dan barat bandar udara Kemayoran, dari mana nama blog ini berasal. Itupun aku nyaman terlindung dalam rumah mungil berubin kelabu sejuk nyaman. Bapak Ibuku muda perkasa, tiada yang kutakuti meski halelepah makan daging mentah sekalipun. Suatu hari nanti, di suatu waktu, aku muda perkasa memeluk Bapak Ibuku sayang yang juga muda perkasa. Amin.

Kini masalah pepes jamur, pepes tahu, dan mungkin sayur asem atau ujung-ujungnya nasi merah lauk entah-entah. Aku harus bekerja karena sudah kuterima uangnya. Malunya tak tertahankan, di pojokan penuh buku bau apak ini setelah tarian mengumandang, seperti lebih dari dua puluh tahun lalu di lembaga kajian hukum dan teknologi yang bahkan sampai hari ini masih kucemooh; apalagi wirausahawan inovatif hukum. Aha, entri ini sudah semakin mirip entri-entri semasa mudaku, menyebut-nyebut nama, hal-ihwal, untuk dicemooh. Tak ada yang keren kecuali aku.

Wednesday, August 09, 2023

Bersendal-gurau dengan Bapaknya Yeyen Siang Ini


Bapaknya Yeyen memang tidak berkata sepatah pun. Dengan gigi-gigi depannya yang sama hilang, mungkin ia jadi enggan berkata-kata. Namun, dengan perbuatan ia berkata padaku: "apapun yang sanggup kaulakukan. Lakukan." Jangan kebanyakan pikiran Donbangi Dontiba tidak mau ikut dan sebagainya, tulis saja mengenai "Dari komunitas hukum ke komunitas khayal. Asal-muasal kenegara-bangsaan Indonesia" yang kaurencanakan itu. Jangan kaupikir akan ada gunanya atau tidak, terlebih menghasilkan uang atau tidak. Itu bukan urusanmu. Kerjakan saja itu kesanggupanmu.
Sementara itu, di hadapanku terpampang meja-meja dan kursi-kursi kosong seperti yang beberapa kali kulihat di lantai dua martabak kubang, sedang tiga lantai ke bawah parkiran mobil juga kosong. Apa betul Yogya dapat memecah kemacetan di sebelah barat pertigaan Kemakmuran seraya membaginya dengan sebelah timur sini. Adakah Yogya melakukannya seperti Bapaknya Yeyen yang asal Salatiga, sekadar melakukan saja tanpa banyak pertimbangan. Mengapa pula leherku mulai pegal-pegal. Di hadapanku Jalan Gama Raya bergalau debu di siang terik.

Memang betul kukerjakan saja, namun bukan calon risalah itu, melainkan entah-entah. Cantiknya iringan orkestra ini tidak pernah berubah setitik pun dari empat puluh tahunan lalu. Aku menyelonjorkan kaki ke kursi di seberang. Ah, sungguh nyaman tempat kerjaku ini, yang jelas bukan ladang bekas gambut. Ketika anak-anak perempuan harus mencari sayur-mayur liar dari tepi-tepi ladang bahkan hutan untuk dijual di pasar, sekadar untuk menambah uang entah untuk apa, ketika itulah Bapaknya Yeyen enggan membeli sepatu baru. Aku yang membeli celana kerja baru.

Banyak yang sudah hilang: Mawar, tugas Bali, dewi Indonesia, panas berbakat; meski ada juga beberapa yang bertemu lagi. Kau ucapkan selamat tinggal setelah kuduplikasi kaset pasokan udara milik Ciplik, membuatku ingin menurunkan kakiku karena pinggang belakangku sakit. Beberapa utas kentang goreng dan dua geluntung kroket kentang isi entah apa seharga sekitar sepuluh yuan menemani sekadar agar boleh berlama-lama di stasiun kerja ini. Jika rasa badan tiada berapa segar, ingatlah mie rebus buatan Pak Sachid...  lebih tepatnya kubis rebus banyak ada mienya.

Ternyata berlindung dalam ruangan berpendingin udara tidak membuatku terbebas dari serangan kantuk, sedang mengunyah kentang hanya akan membuat baju dan celanaku tambah sesak lagi sempit. Di bawah sana musik lokal membahana, mungkin untuk mengiklankan pengeras suara. Ayam saja makan gorengan-gorengan ini bisa jadi rikishi alias pegulat sumo apalagi aku. Tempat ini sepi tetapi tidak berarti tidak ada yang berdatangan meski satu-satu. Seringnya keluarga dengan beberapa anak, atau seorang ibu saja dengan anak-anaknya, satu atau beberapa. Aku saja.

Astaga, ia benar-benar melolong di bawah sana. Untung saja aku bisa menunggu selamanya jika kau kata akan di situ juga. Begitu banyak karya-karya klasik yang belum kusentuh. Apakah masih betah aku membaca buku di kertas buram. Akankah kacamata bacaku membantu membuatnya lebih nyaman. Bagaimana dengan penerangan lampu betawi yang kuning hangat remang-remang itu. Aku tak bisa percaya mataku, ketika badanku kuluruskan agar perut tambunku tidak terlipat menyesakkan dada. Sedang kentang goreng masih banyak, belum lagi kroket. Kutumpahkan sini saja.

Lebih bagus terasa terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, seperti orang Indonesia bagus. Belum pernah aku segelisah ini akan masa depan, maka begitu saja kuputuskan untuk kembali ke Havana, ke sejuk-pengapnya warung internet berbau puntung rokok. Aku pun merokok di situ seringnya, jarum super. Mereka ini tidak pernah tahu kengerian dunia, dan aku berdoa semoga mereka tidak pernah harus mengetahuinya. Doa yang sama pula bagi seluruh anak perempuan di dunia ini, agar menjadi tiket masuk surga bagi bapak-bapak mereka; Seperti Yeyen bagi bapaknya.

Saturday, August 05, 2023

Logika: Diremas Keras. Lemas. Apapun Jenismu


Berbagai nyanyian kode melompat-lompat dalam rongga kepala, atau dada, atau entah di mana, dari mulai dokter hewan sampai gambar di bawah ini, yakni, tari lencir kuning. Kalau ini tidak nyanyian kode, tetapi benar-benar kopi sareng Aceh meski sasetan. Hanya satu harapku ia tiada menyakiti lambung. Kuminum dengan cangkir bola 200 ml yang kemungkinan besar milikku. Aku yang membelinya hampir sepuluh tahun lalu. Apa lupa rasanya seperti akan berpisah dengan dunia ini setelah minum campuran kopi indo. Bahkan tulang keringmu terasa dingin kini. 
Aku juga masih ingat betapa ketika berak tadi terpikir judul di atas tidak pernah lucu, ya, seperti kelakar awful. Aku pun tidak tahu mengapa tak kunjung kusumpal telingaku dengan bunyi-bunyian penyaman jiwa. Mungkin karena organ tunggal di bawah memainkan melodi-melodi yang akrab dengan jiwa, dengan cukup bagus pula. Ini seperti Siauw Tung berkata: "orang Indonesia bagus". Kembali ke laptopnya dokter hewan tadi, bahkan dalam keadaan berbeda kuyakin takkan terjadi, karena takkan kulepas dirimu kekasih oh yeah eeyay eeyay hey; seperti kampret. 

Begitu organ tunggal memainkan lagu melayu a la perusahaan pelayaran mengenai hidup di bui, tanpa ragu segera kukenakan inti suara A20i. Tatapku nanar berusaha keras menghilangkan bayang-bayang sarang laba-laba yang agak tebal, padahal laba-labanya aku sendiri yang membesarkan. Jika saja aku tahu menunggang kuda pada punggungnya, mungkin tak kukenakan jubah panjang sampai menutupi pantat kudanya. Bisa jadi Shalahuddin al-Ayyubi tidak bersuara dalam dan berat, tetapi renyah ringan sepertiku. Jangan-jangan beliau seorang qori andal pula. 

Perut bengkak ini bukan baru-baru ini saja. Entah sudah sejak kapan kurasakan. Jika mengingat ada waktu-waktu perut rata dan nyaman, tetapi justru kepala atau dada yang terasa sesak menyakitkan, maka kuelus-elus saja perut bengkakku, seperti kumengelus seekor kucing jantan yang sudah bagong garong pula. Itulah menurut istriku sayang, yang kepalanya bisa membagong jika tidak ulat ya kucing. Uah, album menyek yang disusun sepanjang Uilenstede sampai NDSM memang nyaman. Terbukti tidak melodinya benar, tetapi suasana hati yang menimbulkan dan ditimbulkannya, meski itu pun tidak benar-benar ada. 

Jika kauputuskan ini tidak diretroaksi, mengapa yang sebelumnya begitu. Entahlah, mungkin karena euforia malam Sabtu. Tahu lah kau, malam Sabtu bagi muda-mudi. Apa benar arti malam Sabtu bagiku ketika masih muda selaku juru mudi kapal latih taruna atau setelah-setelahnya. Hanya berjalan di sepanjang sawo ke arah utara, ke mulutnya di samping restoran padang siang malam, sekadar untuk menyeberang. Rantai emas menguntai di antara gumpalan lemak justru menurunkan selera, atau tatapan dan senyum dari samping sekarung gelas dan botol plastik bekas. 

Keseruan seruakan dingin dan gelombang panas berganti-ganti sepanjang tahun, dari tahun ke tahun. Tahun berganti tahun tidak perlu divisualisasikan dengan awan-awan bergerak cepat melintasi bentang kosong. Memang menyek bagusnya dicampur-aduk dengan jijik sampai berbaur-padu, sampai hitam warnanya seperti tahi yang mengandung cernaan darah dari luka lambung. Seikat gila dengan segelas sinting adalah keseharian yang memasung atau kebebasan yang memeriahkan suasana hati. Apapun, aku tidak bisa membela diri dengannya: Pemalas.

Tidak. Sudah cukup kemarin itu diretroaksi, karena memang ada niat untuk mengabadikan betapa tahannya kebab besar sampai dua porsi untuk sarapan. Jika yang pertama cukup dengan air dalam kemasan, keduanya dengan teh manis hangat dalam termos sampai kopi sareng dingin dan terasa aduhai manisnya. Apa aku terlalu sering menggunakan kata mabuk dan jijik di sini, itu karena minum sampai mabuk jadi muntah. Muntahan minuman beralkohol, terlebih bila sampai tercampur nasi goreng kebun sirih setengah dicerna, tentu jijik 'kali; berceceran di mobil.

Tuesday, August 01, 2023

Hasil Penyerbukan Bastar: Haram Jadah. Baru Tahu


Haruskah entri ini diberi judul, seperti tujuh tahunan lalu, lelaki, ketahanan nasional, grand sahid hotel, kurasa tidak. Maka seperti itulah judulnya, suatu kenangan dari umur sepuluh tahunan ketika mencoba menekuni manusia dan alam sekitar: penyerbukan bastar. Setelah hampir tiga puluh tujuh tahun baru kusadari kalau hasil penyerbukan seperti itu adalah haram jadah. Sebuah toko buku kecil di gang kecil ke arah Kemayoran Theatre, beberapa eksemplar buku teratur rapi pada rak-raknya yang sederhana, himpunan pengetahuan umum dan sebagainya.
Tahukah bahwa aku lelah merintang masa, menjajah waktu. Tahukah kau bahwa aku sedang agak bergairah mengkhayalkan... masa depan hahaha. Cukuplah diingat seperti apapun bentukmu, asalmu air mani yang hina, dipancarkan dari lubang yang juga mengeluarkan air kencing. Uah, sangat mencerahkan, sungguh menyamankan. Maka dengan ini aku bisa berlenggang-kangkung, meski mungkin akan kena damprat Haji Mandra, kena cibir Ayah Ojak; toh aku memang bukan orang Betawi. Menatap keluar, ke kebun Istriku yang penuh dengan daun jurasik, kata Mbak Erni. 

Adakah dulu aku berani membiarkan tirai pavilyun terbuka bila malam telah turun atau bahkan larut mendekati tengah-tengahnya. Apa yang akan kulihat ketika itu, masih adakah pohon nangka. Aku betul-betul lupa, ketika adikku masih semester satu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, aku pecatan kopral taruna. Mana kutahu jika ternyata aku dan adik bungsu kami pun Universitas Indonesia. Hanya adik nomor tiga Institut Pertanian Bogor. Jika disebut-sebut begitu memang terasa agak gagah, meski aku tahu tidak begitu adanya. Biarlah itu yang dikenang Ibu.

Adakah malam-malam kuhabiskan di Mal Pondok Indah sebelum ada nomor-nomornya. Apa benar yang kulakukan selain memunguti puntung-puntung panjang rokok dari asbak publik di depan bioskop atau mencuri sekalian sebungkus dari supermarket hero. Bilakah aku berangkat ke sana, apakah ketika hari masih terang atau sesudah gelap. Berarti aku tidak pernah shalat ketika itu. Aku ingat berpuasa di Akademi Angkatan Laut, namun tidak pernah ingat shalat, demikian pula waktu aku masih tergabung dengan Resimen Chandradimuka. Terompet lirih diselompret.

Apa yang kupikirkan ketika melihat gadis-gadis sampul berkongkow ria di bakmi gajah mada, apakah dengan pasangan-pasangannya. Mengapa waktu itu aku tidak berdisiplin memelihara kebugaran fisik, bahkan melatihnya lebih keras, sehingga cocok membawa-bawa belati korps pasukan intelijen tempur dan sepucuk revolver. Namun aku tidak suka yang pura-pura. Sejak tumbuh kesadaranku, aku tidak berhenti mencari kesejatian sehingga kini. Jika itu dulu kulakukan, mungkin aku sudah jadi pembunuh sejati; tentu tidak seperti robot gedek, lebih seperti baret hijau.

Aha, melodi-melodi lembut ini memang benar-benar lembut dan sangat Belanda. Dapat kurasakan dingin sejuknya udara musim semi, musim gugur, bahkan musim dingin sekali menerpa wajahku ketika pintu trem atau metro terbuka. Perempuan-perempuan kaukasian berambut pirang naik-turun darinya, kenapa hanya perempuan yang kausebut. Kencingku masih lurus, sahutku asal. Entah apa yang membuatnya sangat Belanda, adakah harmonikanya. Pulang ke Amsterdam tenggara dari Amstelveen di sebelah selatan, pada 2018 masih sekali saja naik Metro 51 'nuju Centraal.

Tidak pernah terbayang olehku di sebalik tembok pemakaman kamboja itu aku akan sampai ke Belanda. Segelap suasana di situ, segelap pikiran dan perbuatanku, segelap itulah masa depanku ketika itu. Bahkan tak pernah terbayang aku bisa berkuliah di Universitas Indonesia yang kusia-siakan begitu saja. Entah 'nyangkut di nisan siapa celana yang kubuang ke sebalik tembok, atau di dahan kamboja, sampai malu hati. Entah apa yang terjadi pada anak Mas Manto, yang ibunya membawa sepotong tongkat logam pendek berkrom berbintil. Entah akankah, ya, bila dosa-dosa terampuni.