Friday, December 07, 2012

Sedih dan Gembira adalah Drama Modern


...sedangkan ada pula drama tradisional, semisal ludruk dan ketoprak. Begitu juga, ada drama kontemporer. (Sulastianto, et.al, 2006: 145-147) Sebenarnya, in-line citation begini terlihat lebih keren pula niet slordig; dan siapa juga yang merasa bahwa Turabian itu keren?! Mungkin sekali waktu harus kuperiksa, apa kekurangan dan kelebihan masing-masing sistem sitasi itu. Aku duduk memerosot menghadapi HP 520-ku, yang semakin lama semakin keras saja geraman dan emposan napasnya. Di sisiku ada gelas dengan kantung kamomil bekas, sebentar lagi akan kutambah air panas. Aku... adalah pengecut. Aku... tidak berani masuk sastra. Baru setelah masuk hukumlah aku sok-sokan nyastra. Tidak juga begitu sih. Sebelum kuliah pun aku selalu nyeni. Hanya saja, aku tidak tahu, dan tidak pernah ada yang memberitahuku, bahwa sambil kuliah pun bisa nyeni; yaitu jika masuk Sastra.

Erotisme Agraris yang Lugu, Jujur Apa Adanya (Sumber gambar dari sini)
Aku ingin lagi menonton pertunjukan teater, di TIM mungkin ya.Aku menikmatinya. Jauh lebih nikmat daripada nonton bioskop. Tentu saja, perbandingan antara nonton teater dan nonton bioskop adalah seperti berenang di antara terumbu karang dan melihat akuarium. Wow, sedang diadakan Festival Teater Jakarta 2012 sampai 13 Desember! Jika aku berhasil menyelesaikan semua yang harus kuselesaikan, atau setidaknya minggu ini, mari kita lihat; mana tahu aku berhasil mengajak Cantik menonton teater. Ini jauh lebih baik dari berlibur, kuharap; dan sudah barang tentu lebih murah! Coba, yang mengikuti festival adalah kelompok-kelompok teater entah apa, sama seperti aku yang entah apa. Jadi, jika aku menontonnya, maka aku tak ubahnya ikan atau udang kecil yang berenang-renang di antara terumbu karang, bermain-main bersama ikan, udang, kepiting, plankton dan mahluk-mahluk lainnya di situ. Kami sama-sama mahluk kecil. Bahkan Rendra, Putu Wijaya, Dedy Mizwar, Didi Petet, Zainal Abidin Domba, menjadi kecil di terumbu karang itu!

Yah, kalau Happy Salma mau main teater, ya tidak apa-apa juga; toh, Ratna Riantiarno juga main. Namun ini adalah mengenai Sedih dan Gembiraku, atau untuk singkatnya Sedih Gembira saja, yaitu suatu minuman yang dibuat dari kuah opor dicampur air soda [gimana gak sedih disuruh minum beginian] Sedih gembiraku adalah ketika merasa telah mengambil langkah yang salah. Sedih gembiraku adalah tiada dapat dibagi-bagi; karena tidak ada yang mau berbagi kuah opor, apalagi yang telah dicampur air soda. Aku tidak larut dalam sedih gembira ini sih, karena hanya segelas; kecuali seember atau sekolam renang. Pendek kata, ini Sedih Gembira. Aku tidak sedang berpuisi, tidak sedang ber-Sapardi Djoko Damono. Aku sedang... menikmati Sedih Gembira, suatu minuman yang sumpah najis jijik rasanya! ngGilani! Ditingkahi guruh dan hujan badai, itu seakan suatu pertanda. Adakah aku takut mati? Amboi Aduhai, bukan mati benar yang kutakutkan. Sungguh, Sedih Gembira ini membunuh kuncup-kuncup pengecapku!

Tadinya aku berencana menggunakan gambar Happy Salma untuk ilustrasi entri ini, namun ternyata aku belum setega itu. Urusan ilustrasi ini terkadang sungguh menyita waktu loh; karena ilustrasi adalah suatu cara yang sopan untuk memberitahu orang mengenai apa yang kita ingin ia mengetahui. [rumit amat kalimatku] Loh... bukan berarti aku mengatakan Happy Salma tidak sopan. Tidak begitu. Aku juga tidak tahu apakah Bapak Jusuf Kalla pernah berlaku tidak sopan dalam hidupnya. Namun, rencanaku pagi ini untuk berfoto dengannya gagal total. Mungkin itulah tanda-tandanya, bahwa aku masih tidak sopan jadi orang; sedangkan Bapak Jusuf Kalla sopan. Jika saja aku lebih sopan sedikit, mungkin aku sudah berhasil berfoto dengan beliau. Tanda-tanda. Ini suatu pemukulan. Ini suatu kekerasan. Akankah, karena ini, aku meninggalkan tanda-tanda? Inikah pengganti rasa takut dan rasa sakit?

Eh, ngomong-ngomong, dua hari terakhir ini aku jadi radiator loh. Harus kuakui, aku semangat menulis kemarin itu karena berharap cumshot. Namun, melihat hasilnya, sepertinya aku gagal cumshot. Yah, aku sudah sangat terbiasa mengocok-ngocok dan tiba-tiba kehilangan selera begitu saja, tidak jadi cumshot. Lalu memang kenapa? Tidak lebih menyakitkan dari ditendang AAL gara-gara keple. Sekarang... aku semangat ngapain? Sedih gembira telah menyedot semua semangatku. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana. Paling, besok ke Bank Muamalat menabung dan mengganti kartu; [bisa tidak ya?] meski aku tahu persis tak satu kartu debit pun di dunia ini yang dapat menghapus najisnya rasa Sedih Gembira. [Hey, bagaimana kalau Sedih Gumbira saja?] Jika isinya banyak, apa masih tak terhapus? ...mmm... ...humm... Tidak! Ini terlalu memendam rasa. 

No comments: