Monday, September 28, 2015

Entri Pertama yang Ditulis di Kota Margo


Setelah sekian lama Kota Margo menggantikan kebun Wijaya Tani di Kampung Gedong, bilangan Margonda ini—sudah hampir sepuluh tahun, yakni waktu yang kurang lebih sama dengan Kemacangondrongan mewarnai Jagad Jelantara—baru kali ini sebuah entri ditulis di sini. Setelah hampir sepuluh tahun! Jagad Dewa Batara, sudah begitu lama. Aku nangkring di atas sebuah bangku putar cantik seperti yang ada di Seven Eleven, di sudut timur laut Lantai Tiga ini, di suatu tempat yang dinamakan “Charging Area.”


Meski entri ini mustahil kuselesaikan di sini, biarlah terlebih dulu kucatat bahwa pada hari ini akhirnya tunai apa yang kuniatkan hampir sebulan lalu, yakni membeli al-Wasim, mushaf Quran yang tidak saja dilengkapi dengan terjemah bahasa Indonesia tetapi juga dipotong kata per kata dan diberi transliterasi pula. Sesungguhnya, karena yang terakhir ini pula aku memutuskan membeli al-Wasim di antara begitu banyak mushaf sejenis—di samping harganya yang relatif lebih murah dari lainnya. Semoga Allah berbelas-kasihan pada hamba dengannya, Aamiin.

Adanya aku tidak bisa menyelesaikan entri ini di sini, ada Cantik. Cantik hari ini berpuasa sedangkan sekarang, pada saat aku mengetik ini, jam menunjukkan pukul 17.18. Sebentar lagi Cantik mungkin sudah selesai dengan faisalnya dan kami akan berbuka di Dapur Kekaisaran. Segala puji hanya bagi Gusti hamba, pelindung seluruh alam. Di tengah-tengah keadaan yang sulit bagi banyak sekali orang ini, tidak henti-hentinya hamba makan enak—sampai-sampai lupa sudah berapa lama terus makan enak begini. Semoga ini bukan istidraj, naudzubillah!

Berapa lama waktu menyiapkan teh susu dan sup kepiting asparagus? Maghrib masih tepat 30 menit lagi dari sekarang, dan kedua hidangan itu baru enak jika disajikan panas-panas. Baterai X450C masih 50 persen, jadi mungkin aku merapat ke Dapur sekitar sepuluh menit sebelum Maghrib, kecuali Cantik sudah menghubungiku terlebih dulu sebelum itu. Uah, tetap saja situasi seperti ini tidak ideal untuk menulis-nulis. Aku seorang seniman, jangan aku diburu-buru. Michelangelo saja melarikan diri ke bukit-bukit ketika il Papa Teribile memburu-burunya.

Selain membeli al-Wasim yang artinya tampan dan berbudi bahasa, sebenarnya ada juga aku melihat-lihat buku-buku lain di Toko Gunung Agung. Melihat-lihat, karena sudah lama sekali aku tidak tertarik membeli buku kecuali untuk alasan yang salah, misalnya, karena harganya terlihat murah. Demikianlah maka aku tertarik pada tumpukan buku diskon dan menemukan Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap (RPAL) di situ. Ada sedikit haru terselip. Satu sisi karena buku ini bernilai sentimentil bagi generasiku, lain sisi karena ia harus bersaing dengan Mbah Gugel!

Kurasa, aku pun sudah kehilangan sebagian terbesar kemampuan membacaku. Sambil membolak-balik halaman RPAL tadi terpikir olehku mengapa aku sangat terobsesi dengan tata-letak. Tata-letak yang baik membantuku mengingat. Aku biasa mengingat suatu informasi dalam sebuah buku dengan cara mengingat DI MANA letak informasi itu, apakah di kanan atau kiri, di atas, tengah atau bawah halaman. Perkembangan teknologi digital membuat kebiasaanku itu menjadi kurang berguna. Kini aku harus berusaha mengingat-ingat kata kunci dan mengandalkan alat-alat penelusur.

—tepat di sinilah aku bergeser ke Dapur Kekaisaran dan berhenti mengetik-ngetik sejenak—

Sesampainya di Dapur Kekaisaran, aku segera memesan Teh Susu Hangat dan Sup Kepiting Asparagus untuk Cantik, sedangkan untukku sendiri aku memesan—seperti biasa—tim pangsit jamur, namun kali ini supnya tahu sifud—minumnya teh Cina aroma melati . Benar saja, ketika masuk waktu Maghrib, pesanan-pesanan itu pun tiba. Akan tetapi, Cantik belum datang-datang juga bahkan setelah waktu Maghrib sudah berlalu hampir 20 menit. Aku bahkan sudah sempat pindah meja karena duduk di dekat railing itu AC-nya dingin sekali, paha kananku sampai sakit.

Wednesday, September 23, 2015

Entri Kedua yang Ditulis di Bagasnami


Ada baiknya kita senantiasa mencoba teknik-teknik baru, meski beberapa tidak terlalu baru karena sebenarnya sudah biasa dipraktekkan di masa lalu—hanya saja setelah sekian lama tidak pernah digunakan lagi. Baru saja ini aku mencoba menulis langsung di editornya Blogger, akan tetapi segera kembali ke teknik yang telah kulazimkan cukup lama belakangan ini, iaitu menulis dulu di Word, pindahkan dulu ke Notepad untuk membersihkan skripnya, baru akhirnya dirapikan di editornya Blogger.

Mengapa begitu? Karena sedekat pengetahuanku hanya Word yang mampu membuat tanda baca “—” atau double dash dengan praktisnya. Adakah kode HTML untuknya? Aku belum periksa, malas pulak. Kesukaanku menggunakan strip ganda atau panjang itu ada kaitannya dengan kebiasaanku membuat kalimat panjang-panjang, majemuk bertingkat-tingkat. Mengapa pulak aku menganalisis gaya menulisku sendiri? Tentu saja untuk kepuasanku sendiri. Swakelola.

Hari ini, jam 10.15 Adnan Bahrum a.k.a. Buyung Nasution berpulang ke rahmatullah. Beliau adalah abang dari sahabatku beda paham beda ideologi, Abdul Qodir bin Agil. Semoga Allah menerima semua amal ibadah almarhum, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan memaafkan semua dosa dan khilafnya. Aamiin. Semoga karomah dan barokah almarhum diwarisi sahabatku itu. Aamiin.

Berarti sudah berhari-hari ini aku berasyiq wal masyuq dengan diriku sendiri, satu-satunya di dunia ini yang mengerti benar bagaimana mencintaiku. Jika pun benar aku psikopat, setidaknya aku memang pernah diresepkan haloferidol oleh dokter—dan aku tidak bangga dengan fakta ini. Catat itu! Hanya saja, hanya ini yang aku punya. Inilah adanya diriku. Seandainya saja aku dapat mencari kesenangan dengan cara lain, seandainya saja aku punya hobi, seandainya saja aku mentala mengomentari “keren” foto perempuan entah siapa-siapa di pesbuk, pasti sudah kulakukan. Masalahnya, beginilah caraku satu-satunya menyenangkan hati. Hanya ini yang kutahu.

Terlebih di ruang tamu Jl. Tangguh IV No. 17 Perumahan TNI-AL Kelapa Gading, Jakarta ini, satu-satunya ruangan di rumah ini yang berpendingin udara, di mana Istriku dan anak-anaknya tidur—sedangkan aku menghibur diri. Terlebih dengan iringan orkestra asuhan Paolo Mantovani, aku benar-benar merasa terhibur. Terlebih dengan jurus Dawai-dawai Sempoyongan yang khas beliaunya itu, aku serasa menikmatinya sendiri, benar-benar seorang diri saja, di tengah sebuah auditorium besar.  Ini seperti termangu menyaksikan dedaunan musim gugur berjatuhan.

Tentu saja termangu itu seorang diri. Boleh-boleh saja seseorang berkhayal mengenai dua orang berbeda jenis kelamin saling berhadap-hadapan. Namun itu bukan termangu namanya. Itu lebih seperti saling pandang, saling tatap, saling menyungging senyum, di mana otot-otot wajah berkontraksi. Termangu itu rileks, lepas. Memandang tiada yang dipandang. Menatap tiada yang ditatap. Menyungging senyum tiada yang tersenyum. Dalam pada itu, orkestra sudah tidak perlu, yang penting ada orkestrasinya. Auditorium sudah tidak perlu, yang penting ada gemanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha illallaahu. Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd. Inilah sesungguhnya yang harus bergema malam ini, karena besok ‘Idul Adha. Pagi tadi aku sarapan bersama Cantik di Pizza Hut. Aku tidak biasa-biasanya memesan fettuccini yang pasti bersaus krim, semata untuk menghindari telur karena rasa-rasanya kemarin aku terlalu banyak makan telur. Dengan demikian, ini juga merupakan pengakuan bahwa aku tidak berpuasa Tarwiyah dan Arafah.

Alasannya, seperti biasa, kemarau. Takut dehidrasi. Padahal masalah sebenarnya adalah sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bangun subuh. Inilah yang membuat mutu kesehatan dan kebugaranku menurun. Farid dan Togar sudah berhasil mengamalkannya. Aku belum. Mulai besok? Setelah Shubuh tidak tidur lagi karena harus langsung shalat ‘Id? Mengapa tidak? Toh kemana-mana naik taksi ini. Insya Allah. Bismillah. Malam ini, jika pun ada, yang agak kuharapkan adalah tidur malam yang nyenyak, yang nyaman penuh berkah di ruang tamu Bagasnami ini. Aamiin.

Tuesday, September 22, 2015

Seonggok Sirih, Sekuntum Pepaya Merah


Sudah lama sekali aku tidak membuat entri dengan teknik ini, iaitu, membuat judul terlebih dahulu baru menulis agar sedapat mungkin sesuai dengan judulnya itu. Uah, jet tempur ini menggangguku saja, memutus iring-iringan gagasanku, meski aku tidak benar-benar Menyukai Chopin kecuali jika ia sedang duduk-duduk di Gazebo di sore hari ketika hujan turun. Uah, sialnya segala sesuatu terasa demikian romantis, melankolis, sentimentil gara-gara mimik muka yang menjentrik seakan-akan terlatih itu. Habis sudah segala omong-kosongku.


Pepaya bisa dipetik kapanpun. Tinggalkan ia toh matang juga dengan sendirinya. Kuning di luar, merah menyala di dalam, manis sempurna. Begitulah pepaya di musim kemarau panjang ini, yang selalu saja menerbitkan dahaga, menerbitkan selera. Biar saja sampai gila, tetap saja aku tidak akan segitunya Menyukai Chopin. Hanya bayangan tentang Gazebo di remang cuaca, ditingkahi gemericik tetes-tetes air hujan saja yang membuatku bertahan. Bayangan ini membangkitkan rasa sakit yang—entah mengapa—selalu kunikmati. [Tuhan, aku masokis]

Tidaaakkk!!! Hentikan!!! Aah, yah, hmm... sekeras apapun kuberusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa rasa sakit itu tidak untuk dinikmati, akhirnya gagal juga. Rasa sakit itu... nikmat. Senikmat pepaya kalifornia yang ada kalinya dan ada fornikasinya juga, itulah rasa sakit yang kurasa sekarang. Hampir aku tak peduli pada seonggok sirih merah, karena rasanya pahit getir sungguh tidak menyelerakan, membuat mencret pula. Apa peduliku jika kata orang ia membawa kesehatan, menyembuhkan luka dalam. Sirih merah tidak enak dan membuat mencret!

Aku tersiksa oleh paradoksku sendiri. Aku merasa terlahir untuk melindungi mereka yang lemah, namun sikap pribadiku sendiri pada yang lemah adalah... memusnahkannya! Semua yang lemah, semua yang buruk rupa, semua yang tidak laku harus dimusnahkan, dienyahkan agar tidak lama-lama menderita. Aku, kurasa, Pangeran Arthas yang membantai rakyatnya sendiri karena terkena wabah. Untuk apa menunggu mereka mati menderita karena wabah jika bisa kutumpas sekarang juga dengan pedangku, musnah dengan rumah-rumah dan dusun-dusun mereka sekali!

Jangan kau kira aku akan luluh karena penderitaanmu! Aku benci kucing betina yang menggelesot-gelesot. Pasti kutendang! Jika itu kucing jantan, kumaki-maki meski kubiarkan saja. Aku menggendong-gendong kucing jantan, anakan maupun bagongan. Hanya Schmong kucing betina yang kugendong-gendong itu pun karena ia sudah lupa pada kebetinaannya. Schmong adalah kucing. Titik. Aku suka... pepaya... yang kuning di luar, merah di dalam, manis menyegarkan—meski aku hampir yakin kalau pepaya, sirih, kucing bahkan aku sendiri sama gilanya!

Satu hal yang jelas, itu semua tidak ada! Ini bukan upaya swahipnotis. Ini adalah kebenaran dari Kebenaran. Semua itu, pepaya, sirih, kucing DAN terutama aku sendiri tidak ada. Ini hanya salah satu hari dari sekian banyak hari-hari yang kausangka banyak dan beriring-iring dan berturut-turut, yang sejatinya TIDAK ADA! Dengan begini saja aku merasa sedikit lega, tidak lagi mencari-cari kenikmatan dari rasa sakit yang kubuat-buat sendiri, untukku sendiri. Pepaya dimakan manis, Alhamdulillah. Sirih merah pahit getir membuat mencret, Alhamdulillah.

Dunia yang gila ini bagaimana? Penghuni-penghuninya yang gila bagaimana? Pepaya yang merah dan manis bagaimana? Sirih yang merah dan pahit dan getir dan membuat mencret bagaimana? Bukan urusanku! Urusanku adalah apa yang tepat di hadapanku, yang selalu merupakan batas tipis antara “sekarang” dan “masa lalu”—meski bagiku sekarang selalu berlalu terlalu cepat, meninggalkan lapisan-lapisan tebal masa lalu yang berminyak-minyak berlemak-lemak bagi yang menyukainya. Urusanku adalah sekarang, sekarang, sekarang... (till fade)

Monday, September 21, 2015

Nuansa Perdana Musim Penghujan 2015


Hari Senin adalah hari menulis entri, sebagaimana telah terjadi beberapa minggu terakhir ini. Akankah kegilaan ini segera berakhir? Mengingat mendesaknya jadwal-jadwal, mau tidak mau kegilaan ini akan berakhir dengan sendirinya, dalam waktu dekat. Namun, seperti biasa, jika aku sedang menghadapi X450C di jam-jam mendekati tengah malam begini, itu berarti aku tidak peduli jadwal-jadwal. Lagipula, kupedulikan pun percuma karena aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk melakukan apapun terhadapnya dan mengenainya.


Sore ini aku mengunjungi Dapur Kekaisaran di Kota Margo. Kurasa aku memang semacam kerabat kaisar kalau bukan kaisarnya itu sendiri. Sepanjang siang aku berusaha memikirkan makanan yang membangkitkan selera di kantin, dan nihil. Ayam yang digoreng seperti gandasturi, menurut Dik Savit, tentu saja gagal total dengan gilang-gemilang menerbitkan seleraku. Sekotak pastel Mak Cik dari Bu Daly agak lebih berhasil darinya, meski dengan semar mendem yang diminta Mbak Eka. Tetap saja, seleraku baru benar-benar terbit setelah berada di Dapur Kekaisaran

Begitulah sekonyong-konyong Cantik punya ide ke Kota Margo, meski maksud sebenarnya adalah mainan blackhead. Namun kami berakhir di Dapur Kekaisaran yang dihias dengan alat-alat kukus dari bambu, sehingga agak kurang ngaisar. Seperti biasa, aku memesan hakau jamur dan sup, kali ini sup kepiting asparagus, teh hangat gula pisah. (gulpis) Cantik—seperti biasa juga—memesan tahu lada garam, meski kali ini dengan jamur enoki goreng, teh susu hangat, nasi goreng ikan asin, masih ditambah dengan es serut buah-buahan yang harganya menjadi Rp 8,000 saja.

Seandainya saja aku foodie benar-benar, seharusnya kuulas makanan-makanan itu—kebetulan memang kucicipi semua kecuali teh susu. Namun sebagaimana telah menjadi maklum, aku tidak sepenuhnya foodie meski saluran teve favoritku tetap Asian Food Channel—sedangkan Barclay’s Premier League terus saja merosot dalam klasemenku. Oleh sebab itu, sebaiknya kucatat saja di sini bahwa malam ini aku membeli Super Killer, iaitu raket nyamuk yang bisa dicas. Sepuluh tahun lebih aku telah mengenal benda ini dan inilah lompatan inovasinya.

Patut juga dicatat di sini bahwa sore ini—sambil menyongklang Vario dari Kota Margo ke rumah—langit mendung. Bahkan aku sempat kejatuhan titik air ketika sampai di kampung turunan dekat Bukit Novo. Bahkan, ketika aku menutup pintu pagar sesampainya di rumah, terdengar guruh di kejauhan. Benar saja, gerimis menemani shalat Maghribku. Padahal UI baru akan mengadakan Shalat Istisqa’ besok di Rotunda. Apakah dengan demikian entri ini harus kunamakan “Nuansa Perdana Musim Penghujan 2015”?

Bagaimana jika ternyata hujan yang sebenarnya, sebagaimana terjadi pada 2006, baru terjadi pada akhir Oktober? Bagaimana kalau gerimis tadi ternyata sekadar gerimis dan sudah begitu saja? Uah, ternyata entri ini masih mengenai Kemarau! Mumpung masih di dunia, Kawan-kawan. Insya Allah selama masih di dunia siapapun yang mampu bersabar akan dapat mengandalkannya untuk menahankan apapun yang digelontorkan kehidupan dunia kepadanya. Nanti di neraka, Kawan-kawan, tidak ada apapun yang dapat engkau andalkan untuk menahankan siksaNya naudzubillah tsumma naudzubillah!

Berbicara mengenainya, aku jadi teringat posting Bang Junaidi Madri mengenai Manhaj Daulah Khilafah Islamiyyah. Aku tadi sempat tergoda untuk mengopas posting itu di sini sepenuhnya, sempat juga terpikir untuk tidak mencatat mengenai hal ini—karena enggan berkomentar. Namun ludah baik punya sendiri apalagi orang lain tidak enak rasanya, apalagi kalau sudah bercampur debu tanah atau jalanan, maka biarlah ini tetap di sini, sebagai pengingat bagi diriku sendiri—dan orang-orang yang membaca entri ini salah sendiri kenapa membaca hahaha. Intinya, Manhaj Daulah Khilafah Islamiyyah adalah...

Sunday, September 20, 2015

Judi Judi Judi Aku Cinta Padamu


Sebagaimana telah diperkirakan, hasilnya adalah... entri hahaha. Namun bukan sembarang entri. Insya Allah selain entri-entri mutakhir, Kemacangondrongan mulai sekarang akan juga melakukan retroaksi, yaitu, menulis bahkan pada ketika blog ini belum tayang! Dalam kesempatan perdana ini maka ditayangkanlah serial “2000-an Dekade Kita Melihat Semuanya.” Sebagaimana maklum, Kemacangondrongan mulai tayang pada 2006, yaitu paruh kedua dekade 2000-an. Oleh itu, paruh pertamanya akan disajikan secara retroaksi, sehingga dari 2005 terus mundur sampai 2000 akan ada satu entri setiap tahunnya.


Sebelum terlampau jauh, haruslah buru-buru disusulkan di sini bahwa judul serial itu memang sama sekali tidak orisinil, karena merupakan terjemahan semata dari program televisi National Geographic “The 2000s: The Decade We Saw It All.” Programnya sendiri ngeselin, terutama karena sangat Amerika-sentris. [Lhah kenapa sewot, Kemacangondrongan juga Bono-sentris?] Tentu saja, National Geographic Society juga didirikan di Amerika Serikat. Namun agak lumayanlah pertunjukan itu karena membantu mengingat-ingat peristiwa apa saja yang terjadi padaku sepanjang tahun-tahun yang dikenang itu.

Sebenarnya—gara-gara acara itu—ada juga sedikit godaan untuk berkomentar mengenai perubahan dan pergeseran fundamental yang terjadi pada bentang sosial budaya dalam dekade 2000-an. Namun karena ternyata akhir minggu ini hanya entri yang kuhasilkan, kurasa tidak pada tempatnya aku menyiksa hatiku sendiri seraya membuang-buang energi mental yang sangat berharga. Lebih penting kucatat di sini, hari ini aku agak brutal karena menyikat mie instan banyak-banyak. Kini ketika kutimpa bandrek, langsung lambungku berontak membuatku bersendawa.

Masih mau bicara mengenai kemarau? Pagi ini aku mengumpulkan daun-daun bambu kering, kutumpuk jadi satu dan kubakar. Cepat sekali mereka menjadi arang saking keringnya. Tidak hanya itu, tumpukan di seberang jalan pun kusulut, mengakibatkan pemandangan menghitam yang menyedihkan dan terkesan misterius. Sambil aku menulis ini, Sopuyan sibuk aja mainan BBM mencoba mengajakku mengobrol mengenai proposal disertasi. Sebenarnya kasihan juga dia. Siapa tahu kalau aku berbuat baik dengan menanggapinya, aku akan mendapat balasan yang baik pula.

Sebaliknya, aku sedang merasa seperti ingin bertekad untuk mainan Kemacangondrongan hahaha. Jadi ini semua mainan? Apalagi kalau bukan? Ada yang berkata anak laki-laki tidak pernah beranjak dewasa, mereka hanya beranjak tua. Aku yang selalu sok serius ini sebenarnya agak tersinggung pada kata-kata ini, meski—berbicara mengenai serius—kurasa Herbert jauh lebih mengerikan. Uah, mengingatnya saja sudah seperti sakit kepalaku, sedangkan ia sudah gondrong di samping-samping dan belakangnya, berkeringat begini. Atasnya sudah tidak ada, yang mana sebenarnya alasan yang cukup kuat untuk serius berdoktor.

Malam ini aku tidak mau sok serius atau yang semacamnya. Malam ini aku ingin bermain, bersenang-senang, meski itu harus kulakukan seorang diri. Aku sudah cukup terlatih melakukannya. Bermain, bersenang-senang seorang diri—biasanya berdua saja dengan diriku sendiri, terkadang bertiga dengan masa laluku, atau berempat dengan masa lalu kami. Masa depan sangat jarang kami ajak, karena ia sebenarnya TIDAK ADA! Itu seperti memutar kepala! Itu seperti menghadapkan kepala searah dengan menghadapnya bongkah-bongkah pantat—dan itu menyeramkan!

Malam ini, aku tidak mau ada apapun yang menyeramkan, bahkan selintas pikiran sekalipun. Sungguh remeh dan patut dilecehkan siapapun yang terpikir mengenai limbo dan menerapkan pada situasinya sendiri. Daripada limbo lebih baik Limbong—semacam David Limbong begitu dengan barel-barelnya, nongkrong-nongkrongnya, seperti yang biasa kulakukan dahulu. Aku memang berada dalam bisnis yang sepi. Sepi bagiku ibarat air akuarium bagi ikan mas koki. Aku hidup di dalamnya sampai aku tidak tahu bahwa ia ada, sampai kusangka yang ada hanya aku dan diriku sendiri.

Friday, September 18, 2015

Monogami itu Nama Sejenis Kayu, 'kan?


Dengan berakhirnya minggu ini, maka genaplah sepanjang minggu aku tidak ke mana-mana kecuali ke kampus. Itulah jarak dan tujuan bepergian—demikian pula rutinitas—yang masih sanggup dipikul oleh badanku, terutama di tengah-tengah musim kemarau yang rasa-rasanya seperti takkan berakhir. Alhamdulillah sepanjang minggu ini tidak ada keluhan fisik yang cukup berarti, kecuali tadi malam tiba-tiba kepalaku pusing dan—ketika kubaringkan tubuhku—jantungku berdebar-debar. Tidak bisa lain, itu karena aku mengonsumsi CDR dua hari berturut-turut.


Meski harus kuakui dua mangkuk soto ayam Hermina terakhir terasa jauh lebih enak dibandingkan kali pertama aku merasakannya, dan lumpia isi labu siamnya juga bolehlah disebut, Insya Allah, tidak ingin lagi aku mencicipinya untuk alasan apapun. Biarlah seperti ratusan mungkin ribuan hari sebelumnya aku melewatinya begitu saja tanpa pernah melirik. Biarlah pula hari-hari berlalu tanpa terasa, dengan penuh keselamatan dan keberkahan, hingga kemarau nan perkasa menyerahkannya pada hari-hari penuh titik-titik air, awan gelap menggantung yang menghembuskan udara hujan nan menyegarkan.

Namun untuk sementara ini, marilah jalani hari-hari kemarau perkasa ini dengan rendah hati, senantiasa mengakui kelemahan diri, badan dan jiwa. Biarlah kelak—yang mungkin tidak akan lebih dari beberapa minggu saja, cukup jari-jari dari satu tangan saja bahkan kurang dari itu—akan kubaca-baca lagi entri-entri ini sambil berusaha mengingat-ingat seperti apa rasanya menjalani hari-hari ini, sedangkan badan terasa sejuk belaka dan mata terpejam-pejam menahan kantuk. Semua ada waktunya, sekehendakNya—dan memang waktu terasa perkasa sekali sampai sementara orang merasa perlu untuk memberikan perumpamaan ilahiah terhadapnya.

Bahkan Allah sering sekali bersumpah dengan waktu! Sementara itu, Andre Novan al-Fatih seakan takjub demi menyadari betapa hamba masuk surga semata karena kasih-sayangNya dan sekali-kali tidak karena amalnya. Mungkin karena penghambaanku compang-camping maka aku bergantung sekali pada kata-kata ini. Apa lagi yang dapat hamba harapkan selain belas kasihanNya? Tidak juga karena aku menipu diri sendiri dengan khayalan bahwa Allah akan memaklumi “kenakalan-kenakalan”-ku. Tidak! Naudzubillah! Sudah pada tempatnya jika hamba sahaya hina-dina berlumur dosa dan kedurhakaan merasa malu akan dirinya sendiri. Sudah seharusnya!

Diri? Diri-rendah, ada juga. Diri-rendah menjadi nirdiri pun semata-mata karena kasih-sayangNya. Itulah sebabnya, tidak ada lain yang lebih ingin kulakukan saat ini daripada mandi air dingin, semoga membawa kesegaran dan kesehatan lahir batin. Besok—mungkin setelah bertemu dengan Bang Hendry Drajat Muslim—aku akan beres-beres rumah. Bersih-bersih rumah, bersih-bersih badan, bersih-bersih pikiran. Nyaman. Nikmat. Aamiin. Bang Hendry kenapa ya ingin bertemu denganku? Ia selalu mengatakan ingin membicarakan tentang klandestin, oleh itu pembicaraannya pun mesti klandestin.

Mungkin benar juga kata Sopuyan. Jika aku berkumpul dengan orang-orang ini terus, bisa-bisa semakin menjauh aku dari rencanaku melanjutkan studi doktoral—sedangkan jika dengan Sopuyan, itu tok pikirannya. Ia mendesakku untuk menemaninya ke Wellington, karena tidak mungkin Sessy ikut dengannya. Ini pun ada benarnya. Setua ini, membayangkan diriku sendiri di negeri orang cukup membuat berjengit juga. Terlebih jika Adik bisa berangkat bersama. Mungkin dengan begitu hatiku akan jauh lebih besar.

Ya, aku sudah kelelahan—untuk tidak mengatakan muak—berurusan dengan Pancasila dan orang-orang alfa ini. Aku memang tidak pernah terlalu suka pada mereka, dan mengerjakan sesuatu yang tidak disukai bisa sangat melelahkan. Mungkin aku memang butuh menyingkir barang sejenak. [berapa jenak?] Ini sudah seminggu penuh. Mari kita lihat saja bagaimana kugunakan Sabtu dan Mingguku besok ini. Akankah menghasilkan sesuatu yang mungkin dapat menjadi alasan untuk menyingkir barang beberapa jenak, ataukah entri Kemacangondrongan lagi saja hasilnya?

Thursday, September 17, 2015

Kenangan Mematung di Bawah Lampu Jalan


Dengan mengemut Teman Nelayan rasa Mandarin dan Jahe, jarang-jarang aku menulis entri di malam Jumat Kliwon begini—terlebih jika ditemani Penelope. Bukan, bukan Penelope Cruz. Tahu tidak apa yang paling tidak kusukai dari Penelope Cruz? Ya, memang tidak ada satupun yang kusukai mengenainya—namun ada yang sangat tidak kusukai, yaitu bentuk cuping telinganya! Akhirnya aku tidak suka siapapun, laki-laki maupun perempuan, yang cuping telinganya seperti itu. It’s a big-big turn off.


Penelope pun telah berlalu, digantikan oleh Burung Mekanik Kecil. Aku tidak akan pernah ingin melupakanmu, terutama karena—entah mengapa—Ibu sangat menyukaimu. Aku mengetik di malam Jumat Kliwon yang udaranya terasa menggantung berat. Pernahkah aku mengalami yang seperti ini, atau lebih buruk dari ini? Apapun itu, Melodi Kecil ini cukuplah untuk membuat rasa hatiku mengapung, setidaknya melayang. Melodi Kecil dari masa kecil, di mana hidup seperti keran air berwarna merah marun cenderung kecoklatan. Seperti itulah.

Mengapa berkejar-kejaran? Mengapa terasa cepat sekali berlalu, kalian? Mengapa seperti ada yang bersiul di kejauhan? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan orang di malam Jumat Kliwon seperti ini. Mungkin sebaiknya aku menyeduh secangkir bandrek lebih dulu. Konon jahe baik untuk menjaga daya tahan tubuh, namun aku yakin yang terbaik—dan yang paling kubutuhkan kini—adalah berolahraga! Denganmu, Hidupku—meski engkau sedang tidur gelisah—aku merasa aman, tenang dan nyaman seperti ilalang kering dihembus angin kemarau di sepanjang landasan pacu.

Demikianlah maka secangkir bandrek disambut pergantian titinada dari Lagu Pujian untuk Cinta, sebelum memudar pergi. Cinta-cinta yang sanggup memeras air mata, seperti seorang pencuci piring memeras busa sabun dari sabut pencuci piring—iaitu, cinta ibu pada anak-anaknya, cinta Rasulullah SAW pada umatnya, Cinta Sang Pencipta pada ciptaanNya. Seandainya Ada Musim Semi Bernyanyi mengiringi cinta yang kautahu pasti palsu, itu pun takkan sanggup memeras sabut cuci sampai habis air dan busa sabunnya.

Sampai digeletakkan saja itu di wadah plastik, sampai dibiarkan saja itu kering oleh beratnya hawa musim panas, kautahu pasti cintamu palsu. Pada ketika itulah Nelayan-nelayan Mutiara mengayuh sampan-sampan mereka lambat-lambat, seakan menyesali, seakan dirundung malunya kepalsuan cinta—meski kemaluan dan kemaluan belum saling bertemu. [atau karena itukah kemaluan-kemaluan tidak bertemu?] Inilah elusan ragu-ragu pada kepala durjana, sedang elusan itu ragu karena memendam cinta—cinta yang masih terbagi antara kehendak alam dan kehendak diri!

Uah, meski hapsicord digantikan piano, takkan hilang kecap-kecap rasa spaghetti haluoleo menemani Janji Seorang Pedagang Telur. Dari semua narasi, mengapa yang kuingat hanya perbuatan baik berupa membantu melepaskan beban anjing jantan yang tengah birahi, dengan mengonani penisnya? Lalu apa bedanya dengan perbuatan Dedy Nurhidayat, S.H., ketika itu belum M.Kn. terhadap Bule, sedangkan bujang di gudang Babe Faishal pun diusir gara-gara tertangkap basah sedang onani?! Aku dapat merasakannya, kemaluan itu, seperti kemaluanku sendiri.

Inilah cara melukis termurah! Tempo hari sempat juga kupandang-pandangi manikin dan berbagai perabotan lukis lainnya di Toko Gunung Agung Margo City—Ya as-Salaam mahalnya. Aku bukan Dr. Belinda Rosalina yang punya hotel-hotel Amaroosa, yang bisa mendisain suite-suite—bahkan mendisain brosur atau sampul buklet saja aku tak mau lagi melakukannya. Begitulah adanya, Dik Fabian Rahim. Jika saja aku secantik mawar, mungkin aku lebih suka melukis dengan teknik-teknik terkini. Namun karena aku sekantung semar, maka aku menulis entri.

Wassalam ini hitam begini

Saturday, September 12, 2015

Persembahan Jariah Pincang, Buntung


Entah bagaimana caranya, ["entah bagaimana caranya" sering sekali kugunakan ketika aku harus mengungkapkan perasaan hatiku, mungkin karena aku seorang fatalis eksibisionistik] ketika aku tengah menyiapkan suasana hati untuk mengetik entri ini, terpikir olehku, jangan-jangan aku sudah tidak sanggup menghasilkan apapun yang lebih serius dari entri-entri konyol ini. Suatu pikiran yang mengerikan, meski entah mengapa, seperti biasa, ada terbersit perasaan tidak peduli—perasaan pura-pura panik padahal biasa saja. Entah bagaimana caranya, entah sejak kapan aku menjadi fatalis seperti ini.


Entri ini terutama adalah mengenai musim kemarau raya, kemarau yang gagah perkasa. Setelah Bapak menunjukkan, baru kuperhatikan bahwa daun-daun bambu di depan rumah tertunduk kering begitu. Cantik juga menambahi bahwa yang entah di mana itu malahan lebih parah daripada yang di depan rumah. Aku pasti sibuk sekali beberapa waktu terakhir ini, sampai hal sedemikian penting luput dari pengamatanku. Ini adalah El Niño yang hampir sama, atau bahkan lebih kuat dari El Niño pada 1997.

Apa yang kuingat darinya? Memasuki semester ketigaku di FHUI, sayup-sayup memang teringat olehku hari-hari panjang yang panas, malam-malam yang berpeluh keringat, angin yang menerbangkan debu, dan tentu saja bencana kebakaran hutan hebat yang kali pertama kuamati dalam hidupku. Musim kemarau, siapa yang menyukainya, tetapi siapa yang berani terang-terangan mengatakan tidak suka padanya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil membumbungkan harapan-harapan, namun terang-terangan mencacinya, memang aku ini siapa? El Niño yang perkasa, konon kabarnya seorang diri meruntuhkan peradaban Maya.

Jika pun ada yang kulakukan, mungkin ia kujadikan alasan mengapa kesehatanku memburuk. Alhamdulillah, periksa darah lengkap menunjukkan hasil yang baik. Melegakan namun tidak menjelaskan, sehingga Mas Aru Ariadno menyuruhku USG abdomen. Di sini saja kuluapkan betapa aku tidak suka dokter, rumah sakit dan obat. Siapa juga yang suka? Satu-satunya hal yang memberatiku untuk melakukan USG abdomen ini adalah biayanya, meski 80 persen sudah ditalangi oleh asuransi Bintang Medika dari Ikatan Alumni Teknik Informatika ITB.

Terlepas dari apapun, aku lebih suka membicarakan mengenai Sang Kemarau nan Perkasa. Aku lebih suka menghabiskan waktuku mengaguminya, mengagumi Penciptanya. Jika Kemarau saja dapat seperkasa ini, betapatah Penciptanya! Aku tidak bisa memastikan apakah kemarau pada 2002 itu sama perkasanya dengan 2015 ini. Hanya saja, sungguh membekas olehku harap-harap cemas menunggu adzan Ashar, di bekas kamar kami, di pavilyun. Selain shalatnya itu sendiri, lingsirnya matahari ke ufuk barat seakan-akan mengangkat sedikit beban, menghapus peluh.

Pada saat seperti itulah, aku biasa mendekat-dekat pada Ibu yang sedang memberi makan beberapa belas kucing dengan isper, terkadang knalpot. Cuaca yang sudah ramah, keteduhan yang diberikan Ibu hanya dengan berdekat-dekat dengannya. Ah, itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sekarang Ibu sudah jauh lebih sepuh dari ketika itu. Pada saat itu, Ibu baru saja beranjak sepuh, meninggalkan kemudaperkasaannya. Sepuluh tahun lebih kemudian, apa yang sudah dapat kulakukan bagi Ibu yang sudah sepenuhnya memasuki usia sepuh?

Medoakan Ibu setiap habis shalat fardhu saja kulakukan seadanya, seringkali tanpa hati yang hadir, tanpa sedikitpun usaha untuk menghadirkan wajah Ibu dalam doa itu. Shalatku pun kurasa belum beranjak jauh, atau justru lebih buruk dari sepuluh tahunan yang lalu. Naudzubillah. Sepuluh tahunan yang lalu, kini pun aku bertemu kembali dengan Ibnul Qayyim dengan perumpamaan beliau mengenai shalat yang tidak khusyuk, bagaikan mempersembahkan jariah atau hamba sahaya perempuan yang buruk rupa, pincang lagi buntung kepada Sang Raja.

Monday, September 07, 2015

Engran Sarapan Ketiga [Ya Salam Kunonya]


Seperti minggu lalu, Senin pagi ini pun aku mengawaki battlestation-ku. [battle ‘pala lu adem] Bedanya, hari ini tidak berpuasa, maka pagi ini aku sarapan di ndalemnya Bude Ning. Sarapannya terdiri dari sedikit nasi, dua potong kentang semur, sesendok tumis buncis dan tumis sardencis. Adanya saya bisa sarapan di ndalemnya Bude Ning itu, ada tape Bondowoso. Tape itu kagem Bapak, sedangkan Bapak sepertinya sedang enggan tindak-tindak. Jadilah aku menjemput tape sebesek itu dan mengantarkannya ke Jalan Radio, Insya Allah, agak sebentar ini.

Sepanjang perjalanan mencongklang Pario terjadi perdebatan batin. Apakah aku langsung ke Jalan Radio atau mampir dulu ke STR. Akhirnya kuputuskan untuk mampir dengan tujuan sekadar mendapatkan cerita-cerita baru dari Takwa, siapa tahu menjadi tambahan amunisi. Sudah jam sepuluh lewat dan Pak Dirut belum kelihatan. Kalaupun ternyata hari ini dia tidak muncul, aku bersyukur sudah memutuskan untuk mampir di STR, karena battlestation-ku di sini betapa permainya. Dengan lantai yang tertutup karpet, rasanya hampir seperti loteng belajar MGSoG.

Entah bagaimana caranya, tadi waktu sarapan di ndalemnya Bude Ning sampai lupa minum. Akhirnya ketika melalui pintu perlintasan rel Pondok Cina aku mampir di gerobak rokok beli Aqua. Mampir lagi di depan kantin RIK pasang penyumbat telinga, berhenti lagi di depan parkiran mesjid untuk makan sebutir Teman Nelayan, sampai akhirnya mengantri bensin sebelum Deptan. Apapun itu, sekarang aku di battlestation-ku sedangkan di sisi X450C sebentuk mug porselin bertuliskan “Gazz” berisi teh Tong Tji hangat—sedangkan di telingaku mengalun Jejak-jejak Cinta.

Tadi ketika melalui Plaza Eleos [awas, bukan “eloes” ya...] sempat terlintas sedikit mengenainya. Uah, lagu ini siakle betul! Lirik dan melodinya seakan sepakat bekerja sama untuk melembekkan hati. Ehsikampret Winamp shuffle ini ternyata juga ikut-ikutan berkonspirasi dengan menyusulkan Sebuah Rumah bukan Sebuah Rumah—karena orang Indonesia tidak membedakan antara house dengan home. House ya harus home. Hanya itu guna satu-satunya. [Bagaimana dengan rumah pemotongan hewan, rumah sakit, rumah makan?] Uah, bisa jadi entri gak makna nih kalau diterus-teruskan begini.

Seselesainya entri ini, kalau belum ada sahutan dari Takwa, ada baiknya aku mulai mencari Engran. Astaga, ternyata sekarang sudah sangat sulit mencari Engran. Iya lah. Kurasa jaman keemasannya adalah akhir ’70-an, hampir sama dengan jaman keemasan lagu-lagu yang mengalun-alun di telingaku ini. Pada saat itu, Pak Harto tengah berada pada usia 50-an, seperti Pak Jokowi sekarang. Ya, jaman memang sudah berubah jauh. Aku generasi ’90-an. Togar generasi ’00-an. Mahasiswa-mahasiswaku kini generasi ’10-an. Khairaditta dan Faw generasi ’20-an, Insya Allah.

Ya sudahlah, daripada Arjan Brass terus meratap memanggil-manggil Leony, baik dilanjutkan saja dengan... Quiereme Mucho oleh Tante Connie! Namun sebelum itu ada baiknya jika tehku ditambahi air panas lagi. Ketika aku ke pantri tadi ada bungkus Goodday Chococino yang tidak masuk ke dalam keranjang sampah, salah satu hal yang Insya Allah sudah berhenti menjadi bagian dari hidupku, Insya Allah sampai ia berakhir. Semoga semakin banyak kebiasaan buruk yang berhenti menjadi bagian dari hidupku sampai akhirnya.

Bagaimana kalau sampai lohor Takwa tidak muncul juga. Ya tidak apa-apa, Insya Allah aku langsung saja lanjut ke Jalan Radio. Semoga matahari sudi menyembunyikan diri agak sebentar siang ini. Setua apapun aku, meski sudah seperti bapak-bapak seperti kata Mas Andik tadi, tetap saja aku Boni jika bertemu dengan Bude Ning, bersama Bapak dan Ibu. Begitu itulah hidup. Begitu jugalah mungkin dahulu Pakde Binto almarhum dan Pakde Lentu dengan Akung Uti.

Sunday, September 06, 2015

Suatu Entri [Nyaris] Tanpa Masa Lalu


Pertama-tama, baiklah aku memuji Tuhanku dan berterima-kasih kepadaNya atas rasa nyaman yang tengah kurasakan kini. Demikianlah aku, duduk menghadap ke timur, menghadapi Asus X450C di atas meja komputer yang mini lagi bergoyang-goyang ini. [betapalah ia akan menahan beban monitor CRT tempo doeloe] Apapun itu, tidak akan kubiarkan merusak perasaan nyamanku malam ini, meski koleksi Richard Clayderman ini tidak seberapa endeus, meski namanya Romantic Melodies. Tetap saja aku mengetik-ngetik untuk menyenangkan hatiku sendiri.


Bahkan Bandrek Xtragin plus Jahe Merah saja terasa nyaman malam ini, sedangkan makan malamku adalah Nasi Karinya Loteriwa masih ditambah burger ikan. Tadi sebenarnya sudah minum es teh manis yang ngakunya Loteriwa Tea. Mungkin karena itulah, seharian ini aku terlalu banyak minum teh kurasa. Maka bandrek dengan jahe merah ini tidak ada salahnya. Maha Suci Allah. Jika perasaan hati dan badanku seperti ini, rasanya aku bisa melakukan apapun. Rasa-rasanya, Negeri Awan Putihnya orang-orang Maori pun sanggup kusambangi.

Malam ini jangankan masa lalu, bercerita mengenai diriku sendiri saja terasa malas. Apa ini berarti aku harus bercerita mengenai masa depan, angan-angan, cita-cita? Masih adakah cita-cita bagi seseorang yang sudah hidup selama empat puluh tahun penanggalan bulan? Masih adakah yang sanggup menarik minatnya? Sementara ada saja orang yang cukup longgar waktu, tenaga dan perhatiannya untuk mengamati jam tangan Bapak Setya Novanto, yang ternyata sama dengan jam tangan Jenderal Moeldoko. Aku pun baru tahu bahwa Pak Moeldoko konon pernah membanting jam tangannya itu.

Jadi, kata Bapak yang menulis mengenai jam tangan kedua bapak-bapak itu, moge (motor gede) pun sudah tidak memadai sebagai lambang gengsi, karena yang bisa punya banyak. Nah, ini ada jam tangan yang sengaja diproduksi sedikit agar pemiliknya merasa eksklusif. Sedangkan aku hanya ingin meningkat rumah. Ini saja mungkin tidak akan terjadi karena rumah yang akan kutingkat bukan rumahku. Lalu, apakah aku harus punya rumah? Atas namaku sendiri? Atau untuk anakku Fathia Rizqy Khairani, kubuatkan rumah begitu, dengan SHM atas namanya?

Aku malu pada kelomang kalau begitu. Kelomang saja, kurasa, tidak pernah membuatkan rumah untuk anak-anaknya. Ia percaya begitu saja kepada Allah Sang Pemurah yang akan begitu saja memberikan rumah untuk anak-anaknya. Apalagi kepada Cipto Junaedy. Ah, ia sekadar mencari uang, sama sepertiku. Pancasila? Masyarakat Pancasila? Aku harus mempancasilakan oom-oom yang masih suka main formasi-formasian membentuk angka di bawah terik matahari? Tuhan beri hamba kekuatan. Mungkin tinggal Negeri Awan Putih itu yang bisa menjadi cita-citaku.

Tidak juga. Ternyata masih ada beberapa buku [tentang agama. Kalau tentang segala macam lebih banyak lagi] yang belum kubaca secara patut. Buku-buku ini seharusnya istimewa, seperti kotbahku pada Togar agak seminggu lalu. Buku-buku ini seharusnya seperti teman yang saleh, yang Insya Allah akan membuat kita terpengaruh kesalehannya. Daripada telfon cerdik berinternet, kurasa buku-buku ini jauh lebih banyak manfaatnya, meski dalam telfon itu ada juga audio Quran beserta terjemahan Bahasa Indonesianya sekali.

Aha, ini dia! Jadi kapan kubeli Quran yang besar dan dipotong-potong kata per kata itu? Membaca di telfon membuat mata pedas, demikian juga membaca Quran saku yang sebenarnya ringkas itu. Kekurangan terbesar dari Quran besar itu tentu saja ukurannya yang besar, tidak praktis dibawa ke mana-mana. [halah, macam ke mana-mana baca Quran saja. Macam mau ke mana-mana] Hei, dengan perasaan hati dan badan seperti sekarang ini, kurasa aku berani ke mana-mana.

Saturday, September 05, 2015

Pertunjukan Harus Tetap Berlangsung!


Aduhai, entri terakhir adalah dari Senin sedangkan sekarang adalah hari terakhir minggu ini. [Bilakah suatu minggu diawali, pada Minggu atau Senin?] Bila Senin itu aku menulis di lantai 2 STR, pagi ini aku menulis di lantai 4 Gedung D FHUI. Jika kutolehkan kepalaku ke arah kiri dan memandang lurus ke selatan, bukan lagi puncak-puncak pepohonan—dan kaki langit yang tak-tampak karenanya—yang kelihatan, melainkan bangunan-bangunan tinggi! Awal 2006 di arah yang sama hanya terlihat ujung Depok Town Square yang sok cerdik itu.


Kini di belakangnya, ke arah barat sudah berdiri apartemen entah berapa lantai. Lebih ke barat lagi, di dalam lingkungan Universitas Indonesia ada bangunan the Development of the World Class University. (sic!) Latar depan pemandangan ini, yaitu di sebelah selatan Masjid Ukhuwah Islamiyah terdapat bangunan mangkrak yang kalau tidak salah adalah sekolah seni yang tidak jadi. Dari arah selatan, jika pandangan diputar ke arah kiri atau timur, maka akan tampak Hotel Margo yang berdiri di bekas lapangan futsal Margo City—yang tampaknya tidak laku.

Hei, bahkan Gunadarma Pondok Cina pun kini punya bangunan tinggi! Tidak usah jauh-jauh. Aku masih ingat dari jendela selatan JHP ini dahulu aku masih bisa memandangi rumpun bambu di belakang mesjid yang lumayan rimbunnya. Lalu ada hutan Jati Super Monfori yang ditanam di tanah kosong tempatku dulu mencetak beberapa gol. Dulu. Selalu saja dulu, sedang yang kubicarakan ini adalah dari sepuluh tahun lalu ketika dampak perubahan iklim belum seterasa ini. [atau ini sekadar aku yang sudah bertambah tua sepuluh tahun?]

Bukan aku tidak percaya perubahan iklim, Bang Andri. Bukan begitu. Aku percaya perubahan iklim sedang terjadi. Aku termasuk golongan orang-orang yang bersikap, “tentu saja begitu,” bukan yang “ah, mustahil—secara aku jadi orang fatalistik-eskatologik. Nah, sesuai dengannya pula, yang aku tidak percaya adalah jika perubahan iklim ini terjadi semata karena sebab-sebab antropogenik. Iklim bertambah panas karena manusia terlalu banyak membakar bahan bakar fosil? Berikan padaku patah! Sampai kapan kalian manusia masih akan berpikir bahwa kalian bisa mengendalikan apapun?

Mengapa aku jadi bicara mengenai bangunan-bangunan tinggi dan perubahan iklim, padahal niat awalku adalah merekam apa-apa yang terjadi sepanjang minggu pertama Semester Gasal 2015/2016 ini? Minggu pertama dari 16 (enam belas) minggu, begitu kata Cantik tadi malam. Baiklah kucatat di sini, Rabu dan Kamis kemarin aku demam meriang panas, mirip dengan minggu lalu ketika subuh-subuh aku mengantar Cantik ke Tapsiun Depok Lama gara-gara ia pengen maen ke Pulau Pari, (lagi?!) kali itu bersama Riza Lestari.

Namun jika dirasa-rasa memang untuk apa itu semua dicatat. Cukuplah segala sesuatu yang telah berlalu disyukuri kepadaNya dan dimohonkan ampunanNya. Seperti sekarang ini, aku mengetik telanjang dada meskipun hanya kedua ketiakku yang terasa basah. [sebenarnya aku berharap agak sekujur dada dan punggung bagian atas, setidaknya, basah. Namun bagaimana bisa jika kerjaku sepagian ini hanya duduk?] Entah ilham dari mana, pagi ini aku mengetik-ngetik sambil mendengarkan lagu-lagu Queen dari Pukulan Terbesar Pertama dan Keduanya.

Jauh lebih patut dicatat, jangan sampai kita tertipu, terlena mencari kesenangan, mencoba menyenang-nyenangkan diri sendiri karena merasa perlu jeda dari penatnya hidup. Ini saja sudah senang, mengetik-ngetik begini, maka cukup dan cukupkanlah! Puji Tuhan, sungguh mengagumkan Cantik yang bisa bersetia dengan shalat dhuhanya. Aku setia dengan apaku? Wiridku sehabis shalat saja asal-asalan, apalagi shalat sunat rawatibnya. Hidup memang penat dan umur memang sudah cukup banyak untuk lebih sering dan lama merasa penat. Terima saja semua itu dengan Syukrulillah. Aamiin.

Tepat Betul Lima Ratus Lima Puluh!