Saturday, February 22, 2014

Bayi, Kamu adalah Sebuah Kembang Api!


Aku baru saja pulang dari kampus sabtu-sabtu begini. Tadi dari kampus sekitar jam sembilan seperempat, malam minggu begini. Tadi aku dan John Gunadi membicarakan masalah anak dan mendidik anak. Ha ha ha... mungkin ini seperti dua orang buta saling mengajari menari cha cha; atau mungkin tidak. Mungkin John Gunadi memang punya ide mengenai bagaimana anak harus dididik. Menurutnya, Dira adalah seorang Ibu yang cuek, sementara ia sendiri bawel. Ya, ya, memang wajar. Sudah waktunya dan sudah pada tempatnya jika ia ingin membesarkan anak. Nyatanya aku memang tidak tahu apa-apa mengenai apapun. Bahkan mendisain dan menata-letak brosur saja aku sudah tidak bisa. Maka beginilah aku, sepulang dari kampus, mengetik-ngetik entah apa, ditemani hit-hit terbaik Paul Mauriat. Meja laptop yang kecil saja ini kuletakkan tepat di depan pintu belakang, dengan punggungku membelakangi pintu. Sepanjang hari, dari pagi sampai menjelang Ashar, hujan turun terus. Matahari nyaris atau memang sama-sekali tidak sempat muncul seharian ini, membuat udara terasa sejuk. Begitulah adanya punggungku yang lebar membelakangi pintu berteralis berkawat kasa, memudahkan sejuknya udara Cikumpa menembus melaluinya. Aku menghabiskan tidak kurang dari lima jam untuk menghasilkan disain brosur yang agak lumayan hari ini.

Coba, tidakkah membosankan jika aku berbicara mengenai bagaimana aku menghasilkan disain yang hanya 'agak lumayan' itu. Maka aku memutuskan untuk berbicara mengenai Khairaditta yang lelap di depanku, di tempat aku biasa tidur. Aku tadi mengatakan pada bundanya untuk menyelimutinya, karena udara begitu sejuknya sedangkan badannya begitu tipisnya. Gadis cilik kelas empat sekolah dasar yang hanya dalam kejapan mata bisa berubah menjadi Clara atau Sisi, atau bahkan lebih dari itu. Gadis cilik yang menyukai lagu-lagu yang umum bagi jamannya, yang sungguh betapa sulit bagiku untuk memahami letak bagusnya. Dulu ketika ia masih lebih kecil lagi ia menyukai Cherrybelle. Nah, yang ini agak mendingan. Bisalah aku mengikuti satu dua lagu. Bahkan Love is You sampai kumasukkan dalam koleksi MP3-ku. Akan tetapi kini ia tidak suka lagi Cherrybelle, mungkin karena tekanan sebayanya. (peer pressure) Khairaditta jadi menyenangi lagu-lagu pop Korea (Selatan) yang entah apa-apa dan entah-entah apa itu. Ampun, deh, yang satu ini benar-benar aku, kurasa, tidak akan pernah bisa mengerti. Lalu ada lagi lagu tema film kartun Frozen yang dinyanyikan oleh Demi Lovato, yang sungguh sulit kubedakan dari lagu kembang apinya Katie Perry. Ya, baiklah. Jaman memang sudah berubah dan aku tidak punya anak untuk kudidik dan kubesarkan. Jika pun demikian adanya, tak apalah; meski terbayang juga, sampai kapan aku akan terus sampai hati [pada diriku sendiri] mendongengi bocah-bocah yang terus bertambah kecil dan kecil saja setiap tahunnya.

Sementara sampai saat ini saja aku masih belum berhasil menghindar dari pekerjaan mendisain brosur! ...dan bocah-bocah ini terus saja memanggilku 'Bang.' Awas, tidak akan lama lagi, mungkin tiga tahun lagi jika sampai umurku, kalian akan kupanggil 'Nak.' Tidak lagi 'Dik'! Alangkah anehnya memanggil mahasiswa dengan sebutan itu, sedangkan di ruang kelas ada anjuran untuk memanggil mereka dengan sebutan 'saudara.' Bahkan di TN dahulu murid SMA pun disapa sebagai 'saudara' oleh guru-gurunya. Aku membiasakan diri menyapa mahasiswa dengan 'kawan-kawan.' Emangnya aku tukang dongeng seperti Kak Kusumo? Jelas tidak! Kak Kusumo jelas lebih terhormat daripadaku. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai 'pendongeng' meski ada juga yang menggelarinya 'Raja Dongeng.' Pendek kata, ia tidak menyembunyikan jatidirinya dengan sebutan-sebutan sok iya seperti 'dosen,' 'pengajar,' dan sebagainya itu. Ia adalah pendongeng. Titik. Lebih gagah lagi orang ini. Ia menyebut dirinya Papinto Pendongeng. Ia juga mendaku sebagai pendongeng. Ada fotonya ia sedang mengenakan kostum. Aku ketika mendongeng mana berani memakai kostum? Aku hanya berani mendongengi anak bocah yang mengambil mata kuliah yang kebetulan ada namaku di dalamnya; dan aku pura-puranya memberikan kuliah itu! Oh, betapa pengecutnya aku... Memang aku ini hanya pendisain brosur gadungan dan tenaga kebersihan liar karena tidak terdaftar di perusahaan otsorsing manapun, tidak seperti Fajar dan Rudi... Mereka itulah para pemberani yang sebenarnya!

Friday, February 21, 2014

Materi Gelap, Energi Gelap Sehitam Kambing


Ini adalah suatu entri, seperti biasa entri pada Jumat, mengenai kotbah Jumat, yang sayangnya tidak di atas bukit, tetapi cukup sederhana saja, di tepi danau. Entah mengapa sudah sejak terbiasa shalat Jumat di Mesjid UI, aku selalu menuju ke sayap kanan. Jadi tidak tepat di tepi danau juga, yaitu Danau Salam; lebih tepatnya, atau lebih persisnya, di depan Pak Jemari. Katib bercerita mengenai materi gelap (dark matter) dan energi gelap (dark energy) yang konon membentuk sebagian besar dari alam semesta ini. Bagaimana beliau menghubungkannya dengan ajaran Islam dan ayat-ayat Qur'an atau sunah, sungguh, aku benar-benar tidak ingat, karena, selain aku, seperti biasa, mengantuk sekali, Bapak Katib ini sepertinya, tidak sepertiku, tiada seberapa pandai mendongeng. Aku cuma ingat beliau mengatakan semacam ini, bahwa segala sesuatu itu berpasang-pasangan, seperti materi dengan materi gelap. (?!) Satu-satunya hal berguna [Insya Allah] yang kuingat dari Jumat kali ini, ritualku agak lengkap. Aku datang belum terlambat, meski menunda agak lama gara-gara mencoba mengislamkan kota-kota di lain Pulau sebelum meriset metode ilmiah. Aku masih sempat berdiri menunggu adzan lalu shalat tahiyatul masjid dan qabliyah Jumat. Setelah shalat Jumat, yang mana Imamnya lupa bacaan surat al-Insyirah lalu menggantinya dengan an-Naas, kami shalat ghaib untuk tiga orang almarhum. Alhamdulillah, tidak seperti Jumat yang lalu, kali ini aku tidak terbalik, rakaat kedua membaca doa untuk mayit, rakaat ketiga malah membaca shalawat. Selesai itu, aku shalat ba'diyah Jumat.

Kalau terjadi kesalahan, ini dia yang bersalah.
Kemudian daripada itu aku makan siang dibayari Mas Gitos, bersama Mas Mils dan John the Fuck yang sudah mendului ke kantin. Akan halnya aku terlambat itu karena kedatangan Bang Sonny dan Mbak Fit menjenguk ruanganku. Kebetulan ada Clara dan Sisi pula, kata Mbak Fit, dan pula ditingkahi Mbak Meira, aku pandai memilih siapa yang ada di dalam ruanganku. Kukatakan pada mereka, aku berencana memasang hijab di antara kami awak ICT dan mereka awak WPU. Lagipula, bukanlah aku yang memilih mereka, melainkan Togar; dan adalah tugas Togar untuk menertibkan adik-adiknya ini, yang udah pada ngerti pacaran ini. Padahal, kukatakan pada Mas Mils, dulu ketika masih kuliah jika ia hilap maka akibatnya adalah bocah-bocah ini. Ya, setelah makan mie ayam rudal spesial tauge dan kembali ke ruangan, ternyata malah tambah ramai dengan kedatangan Juned, lalu Mbak Sisie, kemudian Hadi, sementara Bang Son dan Mbak Fit dan Clara dan Sisi masih juga di ruangan. Aku berusaha menutup telingaku dengan lagu-lagu Beatles yang sama dari kemarin, akan tetapi mereka sungguh ributnya sampai-sampai aku hanya menatap nanar KAK situsweb buletin tanpa mampu menambahkan satu kata pun padanya. [hei, mungkin dapat kulakukan sekarang...] Tak seberapa lama, meskipun bagiku rasanya seperti seharian penuh, mereka pun bubarlah. Hei, lama juga tauk, orang kuingat ketika menengok jam dinding sudah setengah empat! Setelah mengambil wudhu, untuk menenangkan hati kunyanyikan Hark! the Herald Angel Sing, Glory to the New Born King! yang membuat Sisi merasa ingin bernyanyi L.O.V.E.

Agak lebih sore lagi Nadia selesai mengajar dan membawa anak-anaknya ke ruangan Mbak Meira. Kepalaku pusing dan ia mencoba menasihatiku agar tidak pusing. Sejurus kemudian, Mbak Yanti memberitakan bahwa makanan di lobby sudah siap. Sebenarnya aku tiada seberapa ingin makan. Akan tetapi kepalaku sedemikian pusingnya sehingga sedikit selingan kupikir tak apalah. Maka mengantrilah kami, termasuk Togar dan Farid, makanan prasmanannya DOLC. Tepat di depanku sedang mengantri adalah Astrid Sihite, maka kucoleklah Togar yang tidak membuang tempo barang sekejap langsung menyelakku agar tepat berada di belakangnya. Begitulah karena memang aku tidak ingin makan, nasi goreng entah apa kuambil sedikit, lalu ada sup entah apa kuambil baksonya, kentang balado kuambil telur puyuhnya, ditambah sesuatu yang mirip ikan asam manis lalu bihun goreng, sudah. Itu saja. Semua serba sedikit-sedikit. Aku memang sempat kembali lagi mengambil jus jambu dan pastel kerdil, bahkan kulakukan dua kali karena Farid ingin menambah salad. Tak beberapa lama setelah Maghrib, Cantik mewasap sudah sampai Kampung Rambutan karena menumpang Bu Wahyu dan sekarang sedang naik angkot menuju Depok. Kutanyakan mau makan malam di mana, di Food Hall katanya. Maka kutunggu ia di depan KFC dekat Margo. Pas ketika aku sampai di situ, Cantik baru turun membayar ongkos angkot. Maka pergilah kami makan di MM Juice yang mahal itu, Cantik makan siomay, aku makan pempek. Selesai itu kami agak belanja-belanja sedikit lalu pulang. Hari sudah cukup larut ketika kami sampai di rumah, sudah agak setengah sebelas malam.

Thursday, February 20, 2014

Kemacangondrongan adalah Semacam Serendipity


Sebulan penuh tidak menghasilkan apa-apa. Apa-apa? Sama sekali? Tidak juga sih. Masih ada juga. Buku Materi Rapat Staf Pengajar FHUI Semester Genap 2014 itu misalnya, lalu Kerangka Acuan Kerja (KAK), juga pengetahuan bahwa jika ingin ikut pengadaan harus ada Sertifikat Pengusaha Kena Pajak... semua itu dan yang sejenisnya untuk sebulan penuh. [...kalau aku lebih lebay lagi dari ini, maka badanku akan gemetar menahan marah] Ini tanggal 20 juga, sama seperti ketika terakhir kali aku meninggalkan Kemacangondrongan. Kemacangondrongan itu, Kawan-kawan, semacam serendipity, apalagi jika sambil mendengarkan Baby It's You begini, di siang hari yang terik begini. Entah bagaimana caranya, meski sejak bayi aku mendengarkan Beatles, seingatku aku baru tahu lagu ini ketika SMP di Cimone Gama I. Siang-siang juga, tetapi seingatku tidak terik. Justru mendung. Begitu juga Hello Goodbye, begitu juga Ain't She Sweet, A Taste of Honey, Hold Me Tight, You Really Got a Hold on Me... apa maning ya... Kalau Do You Want to Know a Secret sudah agak lebih dulu, tapi sudah di Radio Dalam. Sampulnya ada kuningnya ada hijaunya, Beatles-nya lagi tos gitu... Kalau I'm Happy Just to Dance with You sudah dari jaman Kemayoran... [sampai di sini hatiku sendu...] Memang, Kemacangondrongan adalah serendipity.


Setan di hatinya... ooh... baris-baris bassnya itu loh... uuh... Jian... dengan inilah aku dibesarkan. Sekarang aku lumayan fasih memainkan baris-baris itu sendiri, dengan bass listrik tentunya, meski bukan Hofner betulan. Sambil bernyanyi tentunya, lagu-lagu dan bagian-bagian yang dinyanyikan Paul tentunya. Di siang hari yang terik begini, racikan tertentu beberapa lagu Beatles memang, seperti Kemacangondrongan, adalah serendipity. Aku bisa merasakannya ketika berjalan bersama Mas Mils dari Fasilkom ke Rektorat di bawah terik matahari. Tidak ada bedanya. Aku masih aku yang dulu juga, yang menyusuri saluran-saluran irigasi di belakang Kompleks Islamic Village, yang menjelajahi Gandaria Utara dengan sepeda, yang mencangkung mengawasi cakrawala ke arah utara dari cabang favoritku di pohon jambu. Aku masih aku yang dulu, yang berlari-lari ke mesjid atau mushala Kompleks Baru untuk shalat Maghrib, yang berani-beraninya mengaku John Benson karena Ben Johnson ternyata terkena kasus doping, yang hanya sekali mencetak gol ke gawang beneran di lapangan Islamic. Terlebih lagi dari itu semua, aku masih aku yang dulu, yang berpikir bahwa suaranya mirip Nat King Cole, tetapi setelah mengenal Matt Monro merasa lebih mirip dengan yang belakangan. Ketika akhirnya aku, yah, boleh dikata lancar bermain gitar, pengalaman pertamaku ngeband malah membawakan lagu-lagu Sex Pistol, aku masih aku yang dulu.

Lalu, kini The Long and Winding Road. Kini, tahun ini, aku berusia 38 tahun. Sudah 25 tahun berlalu dari waktu ketika aku menyusurinya, hampir Maghrib ketika itu. Bapak. Ibu. Dunia. Hidup. Mati. Hanya yang terakhir ini pasti. Ya Allah... Sekarang sudah setengah empat. Sebentar lagi aku, kami, boleh menghambur keluar rumah untuk main sore. Kini, sudah setengah empat, pasti sudah masuk waktu Ashar. Jika begini, ingin rasanya aku menghambur, sama seperti 25 tahun lalu aku menghambur main, namun kali ini ke keran air. Kini, ruanganku di lantai dasar, yang dahulu bekas Mas Mulyadi. Kini keran terdekat adalah WC di samping LKBH, yang baunya jijiks. Akan tetapi, WC lantai dua pun sudah ditutup jalan udaranya sehingga bau juga. Paragraf ini sudah hampir selesai, dan ketika selesai benar, hanya keran itu sajalah tujuanku. Semoga setelah kubasuh anggota-anggota tubuhku, kugelar sajadah, tiada lagi terpikir olehku apakah itu KAK atau apapun yang sejenisnya. Semoga ketika sudah kuhadapkan wajahku ke kiblat, begitu juga hatiku menghadap kepadaNya, Tuhan, Rabb. Hidup ini sudah begini saja adanya, hidup di dunia. Tidak akan lama. Percuma pula. Ya Allah, Tuhan hamba, ampunilah dosa hamba dan dosa Bapak Ibu, kasihanilah mereka sebagaimana kasih mereka pada hamba sewaktu masih kecil.

Selesai. Menghambur.