Saturday, November 11, 2023

Aku Menelepon Sekadar 'Tuk Katakan Cinta Padamu


Sudah lama bahkan mengetiki saja aku malas, apalagi menyentuh benda itu. Aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa sebenarnya aku bersamamu. Jika sedang apa maka aku bersamamu, terlebih ketika tidak ada minuman hangat bersamaku sedang udara lebih dari sekadar sejuk. Apa aku harus pergi ke warung kopinya Rapin dan membeli entah sekadar apa. Mungkin harus kulakukan mengendap-endap, karena meski kuliah 2 sks pun seharusnya sekarang belum selesai. Ah, kucoba saja, sekarang juga. Sudah. Aku memang sedang malas menulis, padahal aku sangat ingin menulis. 
Adegan pertempuran antara Bukbis a.k.a Pratalamaryam vs. Anoman (Armando Yonas)
Cintaku memang selalu pada dan untuk Cantik, tidak bisa lain, meski aku baru saja minum coklat yang tidak hangat apalagi panas. Kukorek-korek lubang-lubang hidungku sambil melamun membayangkan kemarin-kemarin, ketika bis kuning digantikan oleh kontainer hijau dan anak-anak perempuan atau lelaki tidak henti-hentinya berfoto di pelataran. Jika aku mau pulang sekarang juga sebenarnya bisa saja, namun aku sudah berjanji untuk mengisi kelas hukum administrasi negara sore nanti. Aku mengetiki seakan mengetuk-ngetuk tuts-tuts piano dengan penuh perasaan padamu.

Sepagian ini aku sudah mengasup cairan hampir satu setengah liter masih kurang satu gelas ukuran sedang. Kini bahkan sudah pagi lagi dan baru sekitar 600-an ml air sejuk kuminum. Aku masih menyanding sekitar 400-an ml air hangat di ruangan Mas Santo yang mubazir besarnya ini sambil ditemani Penelope. Ada padaku kekhawatiran, namun tepatnya beberapa sekaligus, dan itu sungguh tidak baik. Rapin ditemani anak istrinya berjalan pagi di sekeliling kampus, dan Penelope pagi ini terdengar lebih modern dan ramai. Tidak seperti biasanya, lamat-lamat.

Memang mengenang ditemani Paul Mauriat lebih sedap daripada versi manapun, kemajuan teknologi digital dan multimedia yang bagaimanapun. Maka pemutar musik, setidaknya bagiku, akan terus relevan. Sudah November di sini. Belahan bumi utara tentu sudah mulai terasa dingin. Bahkan di kampungnya Xiaodong sudah minus satu. Kurasa cinta dapat membuat orang menahankan apapun, dan aku bahkan tidak berada dalam keadaan sanggup berfilsafat atau sekadar berpikir sekalipun. Stasiun kerjaku ini memang tidak tepat posisinya, di tengah keramaian.

Aku sebenarnya sekadar ingin menikmati teh halua, malah berusaha menyelesaikan entri yang entah sudah kumulai sejak kapan. Ini bukan waktu-waktu untuk dicatat. Ini waktu-waktu sekadar untuk ditahankan. Teh halua panas ini sudah pasti akan memeras keringatku. Apakah aku harus melepaskan kaus dalam angsaku ini, kurasa tepat itu yang akan kulakukan. Makan siang roti lapis tuna mayones dengan banyak sayur-sayuran seharga EUR 2,38 membuatku bertekad untuk tidak sering-sering melakukannya, lebih baik mie ayam hijau jamur, lebih baik lagi capcay.

Haruskah kukatakan betapa sulitnya menyelesaikan entri yang satu ini. Beginilah jika kau tidak sedang benar-benar ingin mengetiki, sekadar tidak tahu lagi harus bagaimana. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan terpasung, tak terlempar-lempar dalam lompatan-lompatan kuantum. Bisa jadi aku pulang pesiar sekitar waktu ashar sambil menenteng kantung kresek penuh berisi belanjaan, biasanya mie instan dan susu kedelai bubuk. Lantas bagaimana kuhabiskan waktu sampai menjelang sore dan harus mandi dan bersiap-siap makan malam lalu belajar malam di perpus.

Aku pasti tidak sendirian ketika itu. Banyak yang sepertiku fokus pada masa depan. Tidak ada waktu untuk cinta-cintaan. Inilah yang kudapati pada masa depanku, dan aku merasa lebih baik daripada ketika itu. Aku kini ada yang mencintai, meski selimut peony itu selalu setia menemani. Kehangatan yang pernah diberikannya padaku, pada kami semua tak mudah terlupakan. Kami bertukar bau, sampai peonu berbauku namun aku tak berbau peony. Adakah ketika itu kasurku tidak berselimut, yang jelas udara Magelang selalu dingin ketika itu, terlebih ketika malam hari.

Friday, November 03, 2023

Varikokel. Varises di Kantong Menyan Budak Kuasa


Tolol! Tidak di sini seharusnya kau menulis. Aku ingin menulis berbagai-bagai buku, risalah-risalah yang merupakan hasil pemikiran mendalam, yang filsafati. Gara-gara si tolol ini versi asli Harvey Malaiholo jadi sulit ditemukan. Orang seperti apa ini, yang sudah jadi jenderal masih merasa juga penyanyi, pelukis atau apalah. Mungkin aku pun harus sudah mulai melupakan kecenderungan artistikku dan menyibukkan diri dengan mengejar pangkat, jabatan, dan sebutan. Pikiran ini semakin membuatku ingin meminum sesuatu yang panas, kental, namun tentu bukan semen.
Mau jadi apa dunia ini jika yang jadi dekan terus-terusan orang biasa, orang normal macam Arie Afriansyah atau Choky Ramadhan. Bu Ismu jelas salah telah mengangkat-angkat model Jati Setiawan, Rudi Saladin, Wicahyo Ratomo. Hahaha menyebut nama-nama begini, biarlah mereka tertumbuk pada comberan ketika menelusur nama-nama mereka. Masih ingat rasanya ingin jadi rembulan, namun kembali ke masa-masa itu, tidak ingin lagi. Aku sudah dekat dengan dunia sejuta rembulan, sejuta bintang-gemintang. Untuk apa lagi  jadi rembulan. Aku hanya harus menunggu.

Ini pun aku tidak ingin, kembali ke masa Gita Gutawa memekik melengking-lengking. Segala kesehatan dan kebugaran, entah berapa banyak uang kupunya. Kurasa pada saat itu jangankan mobile banking, rekening bank saja aku tak punya. Bagaimana dan dari mana aku dapat uang ketika itu, adakah kuterima agak satu setengah juta rupiah dari Bang Andhika. Bagaimana caranya itu bisa cukup untuk berbagai kebutuhan, ketika itu aku sudah sering naik taksi. Awal 2008 itu seingatku aku tidak ada pekerjaan. Astaga, waktu itu awal tigapuluhan umurku. Betapa tolol. 

Tidak. Aku tidak merindukannya. Untuk apa makan sahur bersama dengan bapak ibu dan adik-adikku. Namun aku ingat waktu itu pavilyun betapa lapangnya, dengan kasur lipat biru tempatku berbaring menenangkan diri setelah digigit khusus. Akankah kuhapus begitu saja semua kenangan itu dari benakku, ketika aku berseru "Eh!" sambil menuding ke sembarang arah sebelum berjalan-jalan sore-sore, yang  mengejutkan Gundo, Reza, dan Herman; entah sungguhan atau pura-pura. Teringat olehku petualangan kami dari Long Bawan ke Macronesia.  

Kini pun aku bersama lagi dengan Syukur Tulus Ikhlas Sianipar dengan janjinya kepada Elvis: "It's a matter of time". Betapa lucu mengingat bagaimana lelaki remaja mencoba saling berteman di antara mereka. Aku tidak pernah merasa bersalah jika mengatakan aku tidak ada lagi urusan dengan satupun dari mereka. Jikapun aku sampai jadi kepala sekolah, itu semata khayalan belaka karena sampai detik ini pun aku malah main-main mengetik begini; sedang jelas syarat untuknya tidak juga kukerjakan. Entah mengapa teringat sabun mandi dan cuci, mesin cuci tabung dua itu.

Jika pun kini udara sejuk melingkungiku, ruangan remang karena lampu menyala hanya di depan pintu, aku pun masih bukan siapa-siapa. Masih seperti ketika Harvey merasa resah di pertengahan delapan puluhan itu. Akankah kebatan berkebit hati beberapa orang menentukan nasib berjuta-juta orang selebihnya. Benarkah demikian ketentuanNya, membuatku semakin menginginkan minuman hangat semacam kopi susu atau coklat susu. Apakah memang saat-saat seperti ini kantuk menyerang seperti ketika terkena pengar jet, gayanya seakan sering bepergian ke luar negeri.

Maka kembalilah aku ke dalam ruang kerja dokter Harmin yang ketika itu masih berpangkat mayor. Ia pernah menjadi dokter bedah di batalyon marinir entah yang mana. Mungkin ia pun pernah diberangkatkan ke Timor Timur. Mungkin juga ia pernah berusaha menyelamatkan nyawa beberapa orang marinir yang badannya tercabik-cabik peluru atau pecahan granat, mortir, atau ranjau. Namun ketika itu, ia menaruh kaset Chrisye di kantornya yang berperangkat stereo itu, yang ada komputernya sehingga bisa kugunakan mengetik-ngetik entah apa. Aku penulis risalah.