Tuesday, August 31, 2021

'Jret! Pasti Barusan Ada Apsari di Sebelahku


Ketololan bisa terjadi kapapun, apakah umur 30-an seperti pada Benedict Arnold, atau bahkan 50-an seperti Tunggul Ametung. Tolol ya tolol saja, meski harus segera disusul dengan permohonan ampun kepada Sang Maha Pengampun. Ketika perjalananku merintang masa kini selalu tertumbuk pada titik itu, selalu saja 'kupertanyakan lagi dan lagi, untuk apa 'kupertahankan goblog ini. Ketika bunga-bunga terus saja bermekaran di sekelilingku, aku selalu suka bunga yang sederhana saja. Bunga kecil nan amat bersahaja, penghias belukar hati, bukan mawar apatah lagi tulip.


Namun namanya bunga selalu saja begitu, bunga rumput sekalipun. Maka dari itu aku tidak suka kucing, anjing, apalagi bunga, piaraan apapun. Sudah gila apa memelihara. Lantas biar apa 'kusumpal telingaku dengan bunyi-bunyian menjengkelkan begini, ketika sumpal telinga semalam lepas begitu saja menjelang subuh. Mungkin boleh juga dicatat di sini, pagi ini entah mengapa aku haus. Apa harus 'kutenggak lagi segelas Jeruk Berdaging, akan 'kulakukan. Sungguh menjengkelkan harus memberi apostrof setiap menggunakan kata ganti sebagai awalan. Lagian. Iseng.

Ahaha, ini lebih jijiks lagi, tapi tak apalah. Bahkan dengan ditenagai kenajisan ini, aku tidak sanggup merintang masa. Sedang melompat ke depan aku tidak sanggup, dan tidak pernah ingin juga. Depanku adalah Insya Allah nanti malam aku bertemu Gerben dan Laurens secara virtual. Pemalas keparat ini menggunakannya sebagai alasan untuk menunda menulis. "Aku ingin tahu dulu pendapat mereka, sudah benarkah arahku." Alasan belaka! Malah menulisi, setelah teh halia dilanjut jeruk berdaging. Lihat, begitulah jadinya kalau Si Tolol ini coba-coba berpikir masa depan.

Sekalian saja bersimbah jijay. Agak mengerikan, 'sih. Sekarang tiap kali berusaha merintang masa, yang terbayang selalu gundukan dan gundukan sejauh mata memandang, berpatok putih, rengkah tanah di mana-mana. Sedang aku masih di sini. Sedang Dokter Jul masih dengan perkasanya memperjuangkan UUD 1945. Sedang Takwa masih berusaha mengongkritkan apapun itu. Siapa peduli pada suasana hatiku, sedang aku sendiri tidak tahu bedanya pikiran dan hati. Oh Allah, ternyata hamba sudah tidak sanggup cari uang jika alasannya adalah cari uang itu sendiri.

Di siang hari bermendung ini [...mendung melulu, 'emang iya, mau 'gimana lagi] kegabutan membuatku meminum sekira 200 ml susu dingin, sedang ketakutan terus saja menghantui. Kesepian, benarkah itu menjadi masalah selama kerja-dari-rumah. Sedang di Mushala HAN saja aku bisa kesepian. Kesepian bisa terjadi di mana-mana, dan bila sampai solusi dari kesepian, kehampaan, kenistaan adalah itu... berarti ada masalah. Semoga ini kali terakhir mencatat yang seperti ini, di hari terakhir Agustus 2021. Tidak usah ditandai, lakukan saja. Sekarang juga!

Kecup Kehidupan ini masih sedap, seperti biasa. Namun kini, tenaganya untuk melemparkanku ke masa lalu sudah lemah sekali. 'Kan sudah 'kubilang. Disain awal goblog ini sudah salah. Aku sendiri dari awal sudah salah. Namun setiap kesalahan sebenarnya dapat diperbaiki. Di sinilah aku mempelajarinya, dalam kehidupan nyata. Jika sedang memimpin beberapa resimen pasukan kaki, panah, dan kuda, mungkin ketika pertempuran sudah menunjukkan tanda-tanda kekalahan, 'kutekan saja tombol kiamat. Habis perkara. Dalam hidup sebenarnya tidak bisa begitu.

Ah, Menciummu di Tengah Hujan, sangat mengilhami. Apakah ini yang biasa 'kulakukan, atau sekadar khayalku semata, tidak ada bedanya. Sekarang yang penting aku masih bisa mencium wangi sabun, itu sudah cukup baik. Apakah itu tahu semur yang keterlaluan rempah-rempahnya, masih bisa ditimpa dengan hati ayam berempah pula. Apakah matanya segelap gurun, aku tidak tahu pasti. Aku hanya harus memberondongkan sisa-sisanya saja. Setelah mbonjrot semua, apakah 'kulap larasnya, atau cukup 'kusiram saja dengan air kencing, sepenuhnya bukan urusanku 'lah.

Sunday, August 29, 2021

Minggu Pagi Bermendung, Mereguk Air Susumo


Judulnya kurang yes. Entah akan 'kubiarkan ia begitu atau nanti akan 'kuganti, aku tak tahu. Nyatanya aku memang sedang meneguk-neguk air susumo berkrim penuh bersimbah jahe merah dan kepala gula. Alhamdulillah pagi ini terasa nikmat, karena ada waktu-waktu ketika ia terasa terlalu manis. Pagi ini, gurih-gurih manis kehangatannya. Pada titik ini aku berhenti dulu, entah akan 'kubilas cangkir Nescafe ini, atau 'kuisi-ulang dengan air panas, belum 'kuputuskan, ketika anak Entis Sutisna menang banyak, kali ini dengan Ziva Magnolya. Rejeki orang siapa tahu.


Kini aku tidak ingin lagi memaknai kehidupan. Bukannya sudah lama kau begitu, menolak memaknai apapun. Betul juga, tapi khususnya pagi ini, aku keras menolak memaknai kehidupan. Bahkan Minggu pagi bermendung ini, biarkan begitu saja. Adakah orang-orang Batak penyembah Yesus mengenakan pakaian terbaiknya, pergi ke gereja-gereja mereka, atau entah siapa nongkrong di warung bubur ayam Cianjur, boleh-boleh saja. Bahkan sekarang bukan masalah berapa banyak Minggu pagi bermendung yang telah dan akan 'kulalui, sekadar susumo su sumo!

Terlebih ketika Andi Fajar tidak ingat padaku, aku hanya bisa mengadukannya pada Rachmat Susanto. Ini 'kulakukan setelah air susumo meng-KO-ku. Itu baru airnya belum susumonya sendiri. Maka demikianlah pagi bermendung telah beranjak menjadi siang bermendung. Tidak lapar benar, namun 'kuputuskan untuk menghabisi sampah kulkas. Belum habis benar, tapi lumayan berkurang. Membuang sampah kulkas ke dalam perut bukan kebiasaan baik, meski kulkas di sini lebih baiklah dari pada kulkasnya Hadi. Mungkin gara-gara Lyodra jadi teringat padanya.

Jangan sampai lupa. Raiq, sepupunya, dan Kay tadi pagi berusaha menghantam Kerbau Melirik dengan bola basket. "Siapa yang berhasil mengenainya, menang," tegas Raiq. Aku tidak menyimak apa jadinya Sang Kerbau, namun menjelang lohor tadi sempat 'kuintai. Kerbau masih tetap Melirik seperti biasa. Berarti mungkin memang ada yang berhasil mengenainya dan menang. Meski tidak sebanyak Kak Iki, yang mengenai Marion Jola lantas Ziva Magnolya. Itu cuma dua yang 'kutahu. Lainnya pasti ada lagi. Ah, bentuk seperti Robot memang tidak perlu disedihkan... 

Sementara Georgy memaki-maki orang pajak, Porgy menangisi orang-orang kesepian. Siapakah mereka, para penghuni biara. Ah, jangankan biara. Coba kauhuni kepalamu sendiri. Ya, di dalam kepalamu sendiri. Sepi 'kan. Menakutkan tidak? Riuh tapi sepi, rendah tapi senyap. Rama MacKenzie menulis kotbah yang tiada seorang pun ingin mendengarnya. Ah, memikirkannya saja sudah membuatku orgasme. Penghinaan itu. Sedang susah-payah Rama MacKenzie mengerahkan semua cipta, rasa, dan karsanya, memilih kata agar indah itu gaya bahasa. Semua sia-sia.

Sedang aku sudah shalat ashar, cuaca tidak banyak berubah dari sepagian ini. Aku tahu kalimat itu tidak benar, namun siapa peduli. Malah rasanya seperti kemasukan. Sulit sekali membuatku terjaga, pelupuk mata terus saja terpejam. Maka sebelum ashar tadi kukepret sedikit gandapura ke telapak tanganku, kuusap-usap tengkukku hatta shalat. Masya Allahu Ahad, panas tengkukku terbakar! Namun cukup membuatku agak segar, meski anganku melayang ke jalan-jalan Maastricht ketika cuacanya tak ubahnya kini. Aku tetap lebih suka Cikumpa. Bersama Cantik di sini saja.

Rasa hina, nista ini terus menemani. Ia menetap tinggal tak mau pergi, meski suara deburan air laut seperti memukul lambung atau dermaga atau apa. Dingin jangan, panas juga jangan. Secukupnya saja agar otak dan jantungku berdenyut nyaman. Bisaku hanya menulis, entah apa yang akan 'kutulis. Mencari uang dengan cara menulis itu sinis. Menertawakan diri sendiri itu sarkas. Kapal selam kalau sudah kuning keemasan berarti memang sudah matang. Siap ditiriskan, dipotong-potong agar terlihat kuning telurnya. Disiram cuka, diberi mie kuning, timun, pula taburan ebi.

Friday, August 13, 2021

Tanda Tanya, Terima Kasih. Sudah Sana Pergi!


Susu kedelai bijirin-jamak dicampur dengan ekstrak jahe merah berkepala gula bersusu skim memang aduhai manisnya, terlebih ketika lelaki menjadikan dirinya jembatan di atas air bergolak bagi dunia. Di Jumat pagi bermendung ini, badan berkeringat karena minuman hangat, dan belum 'kuputuskan muslihat apa yang 'kan 'kugunakan untuk membingkai kata-kata. Sungguh cara biasa itu memuakkan, bagai melodrama yang sudah tertebak alurnya. Meski lebih menggelikan lagi bisikan sembrono seorang terapis lanang di telinga calon guru besar: "Selamat beristirahat."


Tidak pula akan 'kubiarkan entri ini dikhususkan bagi Raden Loetan Adisastra yang malah membadut memutar-mutar pinggul dan pantatnya seperti baling-baling, sehingga begitulah ia dinamakan oleh Paidjo: Baling-baling. Terkadang kita tidak tahu kisah apa yang 'kan merundung benak. Kisah ini menjengkelkan, dan aku, seperti biasa, tidak pernah memilihnya. Siapa benar yang memilihnya, apakah ruang makan kumuh sederhana di antara kamar tidur dan dapur yang tak kalah kumuhnya, di mana pernah 'kuhasilkan suatu risalah (halah!) mengenai partai buruh.

Takkan pula 'kubiarkan entri ini mengenai kisah-kisah tolol apa yang merundungku, membentukku. Lantas kalau bukan itu, ini entri mengenai apa. Ini yang jelas bukan entri mengenai senandung saksofon yang mengilhami masa mudaku. Ini bukan pula entri mengenai kisah-kisah cinta. Begitu saja aku tertumbuk, terantuk pada kenangan-kenangan yang menerangi sudut-sudut kesadaranku. Apakah ini pavilyun ketika sudah dirombak Rifa Jidat, sehingga pintu masuknya sebesar pintu lemari. Kenangan kini tidak lagi nyaman, justru mengerikan. Selalu 'kuhindari.

Jika demikian, lantas apa guna goblog ini, ketika ia merekam kenangan-kenangan. Akankah waktu menyembuhkan, seakan aku yakin entah kapan dalam waktu dekat ini tiba-tiba saja jebol itu bendungan. Aduhai, haruskah 'kusudahi, atau 'kutunggu saja waktu menyembuhkan, seperti begitu saja aku entah bagaimana menyandinya. Jika sedang tidak kreatif begini jangan dipaksakan menulis entri. Begini jadinya. Lantas bagaimana, kreatifitasku asalnya dari kenangan-kenangan, sedang kini aku tidak berani mengenang melampaui api, melampaui batas. Betapatah 'ku takut.


Nyatanya bendungan memang jebol, dan aku belum berhasil menenagai kreatifitasku dengan selain kenangan-kenangan. "Apa yang tidak membunuhmu hanya membuatmu lebih kuat" sesungguhnya berpumpun pada siap-siap terbunuh, atau ini masalah setengah isi atau setengah kosong. Mungkin selama ini aku berpumpun pada "membuatmu lebih kuat" untuk terus maju menjalani hari-hari. Mungkin itu yang benar, bahkan Gitar Gutawar pun sudah menghentikan nyanyiannya, entah apa yang dilakukannya sekarang. Aku tidak bisa berhenti dari menulis entri.

Aku masih gagal move on dari SupraFit, atau itukah caraku untuk terus maju, mengenang-ngenang betapa aku menyintas hari-hari yang telah lalu, terutama yang tidak terlalu menyenangkan. Apa yang 'kuingat dari masa itu, tempelan Deseptikon yang entah kemana sekarang. Hahaha apa menariknya bagi lelaki empat puluh lima tahunan. Jika Rancid Raditya merasa dia lebih Autobot daripada Deseptikon, aku bahkan tidak tahu atau tidak ingat dia itu Autobot atau Deseptikon. Kesenian menulis dan mengaransir lagu sampai menjadi sedap memang dari dulu selalu begitu.

Ternyata sampai hari ini aku masih diharu-biru Primadona. Tentu bukan Siti Kedjora apalagi Rama Oembara. Raden Loetan Adisastra a.k.a Baling-baling. Hahaha Nano membuatnya menjadi semacam Charlie Chaplin namun heroik. Aku jadi penasaran bagaimana Prijo S. Winardi memainkannya, meski tak ayal terlintas pula di benakku, seperti yang terpikir oleh Cak Tarno: Apakah teater, seperti halnya buku, tidak jaman lagi? Kini di jaman Netflix dan Mola? Hei, tanda tanya, ke mana saja kau selama ini, mengapa tiba-tiba muncul? Terima kasih. Sudah sana pergi!

Thursday, August 05, 2021

Haruskah 'Kuteteskan Air Mana di Pipit dududu


Hahaha mau di kubikel penampungan sementara pengungsi korban rezim, flexkammer, atau di depan tempat ular ganti kulit, sama saja kelakuannya: Menulisi. Mengetiki. Aku sudah jelas bukan Hoot yang sok-sok'an bilang "Ini Senin, berarti sudah minggu yang baru." Jangankan minggu, sekarang bulan yang baru, dan seperti kata Tante Lien tadi ketika sarapan nasi kuning: "tinggal dua bulan lagi." Aku tidak sedang mempersenjatai-ulang diriku dengan perabotan khas infanteri ringan, meski semalam 'kutonton juga liputan mengenai tim aerobatik Jupiter.


Itu dari tiga hari yang lalu. Kini selepas jam dua siang dan hujan masih rintik menderas sejak lohor tadi, sedang prakiraan mengatakan agak berawan (sic!). Entah dari mana idenya, aku akhirnya membeli daring Primadona, Sebuah Roman, bahkan masih dapat katalog pementasan Opera Primadona asli dari 1988. Masya Allah, masih ada iklan Suara Irama Indah. Makin lama aku akan semakin tidak relevan bahkan bagi anak-anakku sendiri. Benar-benar terpulang pada mereka mau mempedulikanku atau tidak, aku tak tahu bagaimana mendidik mereka.

Semakin lama semakin terasa fana dunia, sefana baterai Asus VivoBook yang bahkan tidak sampai dua tahun. Semakin terasa betapa dalam permainan ini kita harus benar-benar cerdik dan jangan sampai dilenakan oleh apapun. Seperti goblog ini, aku hanya menunggu sampai kapan kebuntuan ini melanda. Tidak ada yang bisa memaksa Alexeyev Petrovsky untuk menulis jika ia sedang buntet buntu. Yang ia butuhkan adalah seorang Siti Kedjora yang berlarian mengejar capung dan kupu di padang rumput di selatan Surabaya. Ah, sialan khayalan Si Nano ini. Mencekam.

Seperti ketika anak-anak manis itu dengan semangat menyajikan hasil penelitian mereka, seperti itulah aku ber-lalala sambil menari-nari berkitar-kitar di sekeliling melati di atas bukit. Benar-benar anjir penokohan Petro oleh Nano. Apakah itu Nano sendiri, atau sebenarnya aku yang menyama-nyamakan diri dengannya. Terkadang aku ingin tahu apa benar yang mendorong Profesor Andri menjalani hidupnya, atau Sopuyan mengejar kegurubesaran. Hei, aku mengejar Kemacangondrongan dan tidak dapat! "Salah sendiri begituan dikejar."

Di sini aku merasa, yang jelas tidak hari ini. Bahkan aku tidak yakin esok. Tidak boleh begitu. Ini sudah kemajuan. Mengetiki meski entri, meski badan lengket dan bau. Memang ini siang berhujan yang aduhai manisnya, semanis suara Rita Effendi. Kalau Basuki Effendi entah apanya yang manis. 'Kurasa akan terus seperti ini saja. Tiada yang 'kan sia-sia, kecuali memang sengaja kau sia-siakan. Segala sesuatu sekadar perintang waktu, maka jangan itu pula yang kau kenang-kenang. Maju terus! Pandang mata lurus ke depan, dengarkan aba-aba! Lihatlah kami, taruna Akabri Laut!

Aku yang sok nyeni ini, lantas bagaimana. Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Sedang Bang Ben Sang Maestro saja masih minta duit bakal beli cendol sama enyaknya, aku seenaknya mengorek-ngorek upil dari lubang kiri hidungku. Apalagi Bang Raden Haji Oma Sang Raja Dangdut. Kemasyhuran jangan sampai kau inginkan. Bila sampai dikaruniakan, banyak-banyaklah istighfar. Ini jelas omongan kodok budug sok tau. Sudah nikmati saja kesenian yang digubah Bang Ben dan Bang Haji di antara waktu-waktu sholat. Ketika datang, maka bersegeralah. Itu sudah.

Apa yang dipikirkan Paul Tibbet ketika menamai B-29nya Enola Gay, nama ibunya. Inilah hari-hari itu, yang kesannya seperti penanda-penanda penting. Padahal tidak ada yang penting kecuali hari yang itu, yang entah bagaimana caraku mempersiapkannya. Apa gunanya aku tahu nama ibunya Paul Tibbet, bahkan Paul Tibbetnya sekali. Terserahlah mau Petro atau Rama Oembara, bahkah Loetan Adisastra sekalipun, semua musnah tak berguna. Ahai hohohoi, masa beginian yang 'kan 'kutinggalkan buat 'ponakanku Ega Windratno, sedang sekarang saja tiada yang laik sukreb.