Thursday, December 28, 2023

Timbul Terus Maju Jaya yang dari Dulu Didamba


Dengan entri ini, maka genaplah 2023 menjadi tahun tersegalanya dalam semesta kegondrongan ini. Ini kutandai dengan membuat folder baru bertajuk Majujaya 2024 yang bahkan dulu seingatku bilangannya tidak sebanyak itu. Ada juga sepuluh tahun lalu kemajuan dan kejayaan kudoakan karena kali pertama aku diangkat menjadi semacam manajer begitu, bisa diperiksa dalam entri-entri awal pada tahun itu (halah!). Entah bagaimana di titik ini aku seperti menyusuri Kalijodo, Kramat Tunggak dan sebagainya seakan-akan aku pernah ke sana. Betapatah aku.
Aku bahkan ditendang melambung jauh ke persambungan antara Yado I dan III di sekitar tembok spiderman, atau paralelnya yang menyambungkan Haji Sajim dan Kweni ke arah barat sana. Jendela penuh bertempel stiker, salah satunya bertuliskan RAPI yang merupakan singkatan dari Radio Antar Penduduk Indonesia. Ketika itu aku bahkan belum lagi tinggal di situ, masih baru berkunjung ke rumah kakek-nenekku. Apakah sepulang membeli cenil, gethuk, lupis, grontol dan kawan-kawannya, setelah 20 tahun kemudian berubah jadi tahu daging.

Seperti ini bentuk pikiran, ingatan, tidak runtut menurut aturan waktu atau sebab-akibat tetapi berkebat-kebit. Seperti membonceng Cantik mengelilingi boulevard Grand Depok City, ke arah sebaliknya diterjang badai; atau aku yang menerjang badai. Badai tetap di situ saja dengan titik-titik air yang besar jatuh nyaris mendatar dihembus kuatnya angin, menghantam wajah tak bervisor sampai sakit. Meski berponcho tetap saja basah kuyup sampai ke dalam-dalam, kecuali celana fromage yang relatif tetap kering, kecuali bagian pantatnya. Rincian ini teramat penting bagiku.

Rumah yang gelap tanpa satu lampu pun menyala di malam hari ketika semua penghuninya tidur adalah rumah yang hemat energi, hemat biaya. Nasi goreng menjadi spesial sekadar ditambahi telur ceplok seharga enam ribu rupiah, sedangkan Barbra menyenandung betapa ia tidak akan bertahan sehari pun tanpaku. Betapa dua orang lelaki perempuan dapat saling mencinta seperti itu, seperti aku dan Cantik. Jika ia sampai terpaksa kerembetan kecoak atau apapun, itu kesalahanku sendiri, dengan ketololan-ketololan yang masih saja kuulangi sampai detik ini. Setolol itu.

Ternyata Cantik tidak suka jika Barbra tidak bisa bertahan sehari pun tanpaku. Ia menghardik Barbra, menyuruhnya mencari lagunya sendiri untuk dinyanyikan. Tidak usah menyanyi-nyanyikan lagu orang. Kukatakan padanya, dulu semua orang begitu, banyak orang menyanyikan lagu yang sama dengan tafsir dan pembawaan masing-masing. Memang begitulah kenangan, termasuk cara kita dulu, semua tanpa Barbra mengubah bengkok hidungnya sesenti pun. Memang begitu seharusnya. Kekurangan itulah yang menjadi ciri khas, sebab cintanya belahan jiwa. 

Mulai sekarang, kau hanya seseorang yang pernah kucintai. Astaga, sedih sekali sampai mengaduk-aduk perasaanku entah sejak kapan. Ingatanku selalu set furnitur yang kalau tidak salah dibeli di Galur, dan cat yang cenderung terakota atau pernah kuning lembut. Suara irama indah mengalun memenuhi ruangan yang depannya diteduhi oleh pohon palem berbuah gatal dan dadap di luar pagar. Menyapu halaman depan yang tidak seberapa itu saja seingatku dulu cukup merepotkan, apalagi ketika setelah pindah ke Radio Dalam, yakni, ketika Barong masih belum datang.

Aku seekor anak domba yang tersesat di hutan, namun aku selalu yakin akan baik-baik saja selama ada gembalaku, karena ia akan menemukanku dan menyatukanku kembali dengan indukku sayang. Di titik ini, aku berada di ruang flex memandangi garis langit Amsterdam yang kelabu. Udara seperti biasa dingin, namun sejuk saja dalam ruangan ini. Bahkan sangat bisa jadi aku menyanding secangkir besar teh beraroma, roti bawang, croissant keju, atau semacamnya. Terpenting, sup instan berbagai rasa yang sering kutinggal di mejaku, kunikmati kapan kumau. Begitulah.

Wednesday, December 27, 2023

Kembalikan Belah Rotan Waigeoku Padaku, 1983


Dari 40 tahun yang lalu! Maka malam ini agak lain. Aku mengetiki dulu, baru kemudian dipasangi gambar, atau tepatnya, ditempeli perangko. Bahkan, mungkin, malam ini pun aku tidak perlu peduli rata kanan kiri, ya, gara-gara ditempeli perangko itu. Sebelum memulai ini, sempat terpikir untuk memulai entri dengan tuduhan-tuduhan kepada siomay atau boncabe level 30. Namun ternyata belah rotan waigeo lebih memukauku. Betapatah tidak, dari 40 tahun yang lalu. Aku masih kelas 2 SD, berangkat sekolah sekitar jam sembilan pagi kurang. Mungkin adikku sudah pulang, karena kelas 1, 2, dan 3 memang bergantian saja memakai kelas...

Paginya indah, siangnya indah, sorenya indah, malamnya pun indah asalkan Bapak tidak dinas malam. Apalah susahnya hidup bagi anak umur 7 tahun, kecuali jika harus tidur sendiri di kamar belakang. Sedangkan di antara kamar bapak-ibu dan kamarku dan adikku ada hiasan-hiasan dari porselin bergambar kepala orang Afrika. Lelakinya coklat agak miring berahang kukuh agak menyamping, sedangkan perempuannya hitam berwajah oval menghadap penuh ke depan. Lama-lama dipandangi seram juga, akhirnya aku tidak tahan dan mengetuk-ngetuk, setengah menggedor, pintu kamar Ibu, sedang adikku sudah dari tadi tidur di situ...

Uah, akhirnya aku bersama lagi dengan belah rotan waigeoku, seperti ketika Maestria Iopilatula melaungkan ratapannya agar Balinya kembali padanya. Kantor pos di pojokan gedung olahraga (GOR) itu, yang tidak pernah memberiku kebanggaan apalagi kemasyhuran... dalam berolahraga. Namun aku pernah membuat satu GOR membentur-benturkan kepala mengikuti gebukan drumku, menghitamkan satu GOR bersama Biodeath. Demikian pula ketika kugulung pipa-pipa lengan dan celanaku, menghitung-mundur ke kepunahan dan aku lebih membencimu.

Memang tidak semua ide dapat diwujudkan, maka biarkan saja. Sebungkus Indomie Jumbo biru diberi berkuah menjadi lauk makan malam, masih ditambah beberapa lembar pisang goreng bertabur kental manis, gula semut, dan parutan keju. Jangan heran bila asam lambang naik ke kerongkongan, sampai terasa mengganjal di tekak. Tidak ada yang mengherankan dari ini semua. Mungkin karena kebiasaanku congok dari muda. Aku masih ingat di pavilyun bicara mengenai masa depan bersama Bapak sedang isi dan asam lambungku rasa seperti mau melompat keluar.

Perry Kingkong, selain menjadi Cody Allen, ternyata juga menjadi Toby Temple. Ah, tidak sesuai dengan bayangan. Memang trio Joe Penny anak Depok, Perry Kingkong, dan Thom Byar sungguh legendaris sampai diabadikan di lembaran bergambar (lembergar). Aku berjalan di sekitaran Rembrandtplein, tapi makanku tidak makanan mahal yang banyak dijual di situ. Makananku tetap kapsalon karena hari sudah malam. Aku tidak pernah ingat makan kibbeling di malam hari. Selalunya ketika hari masih terang. Terlebih udang surimi dan kerang, rasa-rasa nan lekat terkenang.

Bahkan roti lapisku kini terkenang-kenang, tiga kerat roti gandum kasar, selembar filet kalkun, selembar keju muda, beberapa oles salad kentang, saus kari, masukkan pemanas gelombang mikro sebentar, siapkan sup instan, bisa sup ayam atau tomat Cina, atau apapun. Selalunya memang ada yang harus diurus, yang merepotkan, yang jika tidak bisa membahayakan. Selalu seperti itu. Ditunda-tunda, ketika waktu sudah nyaris habis atau bahkan jauh terlewat, segala kesulitan menerpa seperti sejuta topan badai. Aku suka kemudahan. Aku enggan repot dan pusing.

Bahkan bakmie goreng di sebelah kanan jalan ke arah persimpangan Bendungan Jago selalu terkenang-kenang. Bahkan gudeg murahan yang tahunya sudah cuwil pun, entah mengapa begitu kenanganku. Otot-ototku tidak dempal seperti Galeng yang petani, atau Kala Cuwil yang prajurit. Bahkan bentukku semakin seperti semar bolong di depan pecel Mbak Ira. Seenaknya saja ia menyompret di telingaku, dilanjut menghembus-hembus, sedang piano tidak berhenti ber-kethuwal-kethuwil. Malam telah kelewatan tengah-tengahnya, seperti biasa, tiada makna kata yang terucap.

Tuesday, December 26, 2023

Sebentar Lagi Jatuh Cinta, Sedikit Saja Menjijikkan


"Hanya masalahnya, asaptaga, semua ini khayal belaka," gumamnya lirih tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Betapatah aku akan berkarya, mengungkap dan menyatakan kebenaran, jika di hadapanku gudang penuh bergelantungan celana dalam dan pembalut wanita berkali pakai. Oh, anakku wanita yang tidak sayang padaku. Semua cintaku serasa sia-sia mengenang betapa cantiknya ia membelai-belai hati, perasaan, dan khayalku sejak muda remaja. Di atas loteng dapur panggung itu, sedang rawa menguar metana dan amonia. Bahkan air mandi pula hijau berbau.
Seorang tukang daging yang berpikir bisnis akan menjalankan dirinya sendiri sedang ia akan sibuk berpuisi, sedang puisinya tidak bergaya miskin selera, sedang kelaminnya kecil enggan tegak. Benar-benar kurang ajar si tukang ngibul kelas dunia ini. Apalah bedanya dengan Ria atau Rani yang sungguh aku lupa bagaimana ceritanya, hanya ingat betapa ia menyemburkan makanan kecoak. Tidakkah baunya kemana-mana ketika itu, sama bodohnya seperti mencoba menghapus bau asap rokok dengan berkumur pasta gigi. Semua ketololan itu, siapa sudi kembali ke situ, 'Lol.

Suasana ini tak kutemukan padanannya. Sejuk-nyamannya udara pagi yang sudah sangat larut menjelang siang. Aku butuh udara setidaknya sebebas ini, semenghirup ini, meski saat ini botakan hutan tidak menguarkan hawa-hawa pelarian lautan. Ini mungkin lebih baik daripada dupa yang jelas-jelas menghasilkan asap jelaga. Ini uap yang mungkin tidak terlalu merugikan kesehatan asal tidak dihirup langsung, sedang kusanding sejebung besar teh jawa manis jambu. Sungguh aku berharap seandainya ini kopi meski secangkir kecil saja... Untuk apa lagi ada cinta.

Sungguh aku tertantang seperti kentang ketantang dan berbagai resep lainnya untuk merayakan ulang tahun Femina yang entah keberapa; termasuk kue kaget 'nyemprot, suzie cola, entah apa lagi. Betapa anehnya hidup tanpa Bapak, betapa anehnya hidup tanpa John Gunadi. Semua orang mencari mainan baru sambil menyesali ketololan mengapa gaya-gayaan, ketika Pak Adijaya saja meninggalkan dunia fana tanpa pernah doktor. Bapaknya Madison berpulang pada Penciptanya setelah profesor penuh. Aku malah mengetiki seakan waktu takkan pernah ada akhirnya.

Cara-cara lama sudah tidak akan berhasil, aku tahu. Satu yang belum pernah benar-benar kualami, mengerjakan segala sesuatu karena ingin, tidak karena harus. Selama ini aku hanya mengerjakan keharusan, jika tidak kukerjakan maka hal-hal buruk akan menimpa. Mengapa tidak jika kukerjakan maka berbagai kesenangan akan susul-menyusul menerpa. Mengapa tidak begitu saja. Dunia modern ini, bisa jadi setelah tiga, lima, atau bahkan tujuh abad terakhir ini, sudah pasti antikristus itu sendiri. Orang selalu butuh sedikit sihir, sekelumit saja keajaiban dalam hidupnya.

Oh, Donat yang tidak pernah benar-benar kusuka dalam hidupku, kecuali sedikit krim Boston. Aku lupa adakah pernah kubeli donat kampung bertabur gula halus yang dijual dalam kotak kaca dipanggul di bahu. Jikapun pernah kurasa tidak jauh-jauh dari kolam renang. Aku cukup senang pernah mengalaminya, namun mengulangi jelas tidak mau. Apa coba yang kudapat dan kulakukan sepulang dari kolam renang. Dari mana aku dapat uang jika tidak diberi Ibu. Kini uangku begitu saja masuk rekening bank meski aku bekerja lumayan banting lemak setiap harinya.  

Dorongan terkuat yang kurasakan di paragraf terakhir entri ini adalah berbaring-baring sambil membaca bualan tukang kibul kelas dunia. Jangan-jangan dulu kulakukan di kos Qodir entah siapa di ujung Gang Kober itu, yang benar-benar sudah dekat sekali dengan kober. Adakah tiap hari aku kesitu, sedang rumahku ada meski kontrakan, mungkin belum dibayar. Atau tidak. Ini adalah waktu kumbang-kumbang di taman dan malam-malam bersama Mas Oho dan Mbak Feni, Mbak Eksi, entah siapa lagi. Siang aku membaca-baca, malam berbual-bual, tidur entah di mana. 

Monday, December 25, 2023

Melodi Kecil Keran Marun. Harpsikord-ku Sembalo


Adakah aku berada di mana membuka suatu entri dengan cara begini. Apakah entri selalu mengenai kenangan masa muda, sedang kenangan itu terus saja bermain di depan mata. Kenangan akan markas militer yang suasananya tidak ramah meski hujan mengguyur padang rumput hijau dikelilingi pepohonan. Bagaimana dengan tempat kerjaku sendiri yang merupakan lembaga pendidikan dihajar teriknya matahari tiada ampun, sedang mug vakum aluminium berisi seduhan jahe wangi sido muncul dua saset sekaligus, masih dengan sekantung teh benderanya wangi sekali eee.
Aku seorang bapak. Seorang bapak macam apa bukan urusanku, melainkan urusan semua orang lain kecuali aku. Apakah aku bapak pucung atau lalat kuda atau kunyuk sekalipun, aku tidak bisa protes. Aku hanya harus menerima saja. Sementara seorang bapak sungguhan yang jauh lebih langsing dariku dan tampak lebih sehat sedang membeli roti pisang dua potong diikuti anak-anak perempuannya, aku di sini berteman lalat kuda, di meja yang bergoyang-goyang menjengkelkan ini. Terbang, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi, sambil menjilat-jilat permukaan meja.

Kini seorang bapak yang setidaknya setambun aku atau bahkan lebih lagi duduk di hadapanku menghadap ke timur seperti candi-candi jaman Medang. Dari depan tadi ia tampak seperti Agus bapaknya Theo dan Mikail, namun dari samping sini justru seperti khayalan Muhammad Yamin mengenai Gajah Mada. Astaga, bukan hanya lalat kuda, melainkan lalat hijau dan lalat biasa sekaligus beterbangan di sekitarku. Meski berada di keteduhan bahkan berpendingin udara, panas dari luar tak ayal menerobos dari pintu utama yang terbuka lebar. Entah sedang apa aku ini.

Lebih entah lagi, madu telah bersamaku tak tahu sejak kapan, meski mungkin mulai sangat akrab di Cimone. Seingatku, ia bersama dengan Julie dan Laura tidak kuajak ke Magelang. Maduku di Magelang justru bersama dengan kasihku yang pergi kerja naik bis sambil mendoakanku. Ah, waktu-waktu itu tentu ia belum kerja karena aku pun masih sekolah. Namun madu, kasihku, dan tatapan cinta mewarnai hari-hari remaja tanggung, bahkan di antara G17 dan G19, di malam yang sejuk itu. Ah, malam-malam memang selalu sejuk ketika itu, meski berkeringat apelku.

Sungguh aku gagal mengingat sampulnya. Apakah ia di sebalikmu, sinar mentari hidupku, sungguh aku lupa. Hanya kuingat dua putri Leia samar-samar itu. Bahkan harmoni tiada bersampul, hanya ada tulisan tangan ibuku. Aku juga ingat suatu sore bermendung, aku kembali ke kelas berteman keindahan-keindahan ini sampai ruang kelas gelap karena sudah hampir maghrib. Kelakuan seperti ini masih mungkin di Magelang, tidak sebagai calon prajurit, sampai kopral taruna di Surabaya. Ketika itu lain lagi, mencipta lagu tanpa alat musik, hanya membayangkan nadanya.

Akankah tiba masanya lompatan-lompatan kuantum ini tak bermakna. Dalam tahun-tahun yang telah berlalu ada saja rumpang, terkadang demikian panjang, di sana-sini. Jadi bukan kehilangan makna secara permanen, namun memang tergantung waktunya. Jelasnya, inilah temanku satu-satunya kepada siapa aku bisa berbagi apapun yang berkebat-kebit. Ah, ya, begitu aku sampai Phoenix tidak selesai karena pitanya habis. Hahaha, walau mungkin setelah-setelahnya memang tidak berapa cantik. Jaraknya pun lumayan jauh, 1973 ke 1968. Begitulah ianya.

Ketika entri ini kutayangkan sudah hari natal 2023. Astaga, tidakkah natal seharusnya 1982 dan tahun barunya 1983 atau semacam itu. Wajar saja jika udara terik membakar atau pengap merebus. Pantas saja jika Masjid Jami Nurul Islam demikian megahnya, meski seperti dahulu masih sempit dan aneh bangunannya karena dipaksakan menghadap kiblat. Apa yang kulakukan dulu sampai beberapa kali shalat di situ siang-siang hari, ketika matahari belum semarah ini dan badanku belum selemah ini. Suara keheningan yang tak pernah kudengar karena memang tak pernah sampai.

Sunday, December 10, 2023

Terkadang Rasanya Aku Seperti Berteriak Beraknya


Minggu bermendung, berudara lembab, pengap sudah kulalui entah berapa kali dalam hidupku, meninggalkan Minggu-minggu yang terik membakar, memanggang jiwa sampai kering-kerontang. Ada hari-hari seperti ini di rumah petakan di pinggir kebun coklat, ketika seperti sekarang ini, aku berkeringat bertelanjang dada, hanya bercelena pendek tanpa celana dalam, mengepul-ngepulkan asap djarum coklat atau sampoerna king, atau sekadar losta masta. Mungkin, seperti sekarang ini juga, aku menyanding secangkir kopi, mungkin hitam pahit tubruk begitu.
Begitu pula ini bisa jadi sekadar kegabutan Minggu, berjalan dari daerah Malberg sampai Centrum, mungkin tidak mampir Markt tapi langsung ke Zwanenstraat. Aku menyebut tempat-tempat seakan-akan orang-orang gedean yang pernah tinggal di berbagai negara. Padahal ke Zwanen mungkin aku sekadar minta makan, atau ditemani ngobrol oleh Budi. Bahkan setelah pindah ke Sint Antoniuslaan udara sudah hangat, musim semi sudah hampir habis, begitu juga dengan beasiswaku. Aku telah menghabiskan begitu banyak uang dalam hidupku. Seekor anjing kencing.

Demikian juga, rasa sakit ini bukan tidak pernah kurasakan. Aku ingat betapa sakit tangan kiriku ketika berjalan dari Statensingel ke arah Centrum, begitu pula bertebaran dalam blog ini catatan mengenai myalgia. Lebih baik kusugesti diriku sendiri, bahwa suatu hari kita 'kan bersama dan berbagi cinta ini selamanya. Itulah yang kurasakan jika memandangi Cantik dan apapun yang dilakukannya, apakah itu makan bubur ayam Cianjur dengan patkwa padi banyak-banyak, atau minta susu mbok Darmi sekalipun. Justru alpukat dan permen karet jadinya, masing-masingnya.

Lantas ke mana aku kembali jika kehidupan barat kesepian begini. Minggu bermendung begini memang cocok tapi apa sekelilingku, apakah usahaku untuk menangkap siaran Delta FM 99.5 the best oldies station in town masih dengan Aiwa. Mengapa badanku bau saos sari sedap begini. Mengapa kuganti saluran dakwah politik menjadi kotbahnya Evelyn Nadeak bersama bapa John Hartman. Lebih baik aku kembali lagi ke lantai dua Laathofpad enam di akhir-akhir musim dingin, sebelum Sam mencuci dengan air panas di siang hari bolong, ya, kawanku Sam yang itu.

Bisakah gangguan jiwa tetapi tidak marah-marah, tetapi sekadar mandi, tetapi tidak memerlukan air malah mengeluarkan air, ya, itu mandi cudong-cudong bukan cibang-cibung. Suasana senyaman ini dicemari oleh Stuart and Denise, pelaksana halus ini, suasana musik populer kota di sepanjang jalan pesisir California ke arah utara sampai ke pangkalan rongsok Jones. Minggu bermendung seperti ini pula ketika kali pertama berkenalan dengan tebing menyala di Rancho Valverde. Entah berapa judul album cerita ternama pernah kukoleksi, mengapa selalu ingat Robur.

Kau membuatku tersenyum lagi setiap saat dan setiap waktu, Cantik. Terutama karena kenakalan-kenakalanmu yang seakan tak ada habisnya, karena memang kecil sekali, mengertinya belum banyak. Entah mengapa aku tiba-tiba di lantai empat Gedung D atau di tempat lain di kampus pada Minggu yang sepi bermendung, atau semacam libur hari raya begitu, atau entahlah. Seperti ketika Nokia 2100 sering menerima pesan singkat bertuliskan "loe sekarang ada di mana", yang sering kutambahi "enak lo sekarang ada di mana" dari waktu-waktu ketika John Gunadi masih hidup.

Setelah cukup lama, hampir sebulan, akhirnya ada entri baru. Tidak ada yang perlu disayangkan, yang ada adalah yang perlu disayangi, disirami dengan cinta. Seperti ketika menyusuri Borobudur Raya di Cibodasari, Tangerang sana, tiada sesuatu apa dalam hati kecuali keinginan untuk membahagiakan bapak ibuku. Suatu tekad yang sangat bulat dan kuat untuk melakukannya, meski harus merantau ke Magelang. Jika memang dibutuhkan oleh perjuanganku, dengan sendirinya akan datang dia yang menyiramiku dengan cinta yang kudamba. Itu keyakinanku sampai kini.