Monday, September 24, 2018

Ebiet G. Ade: Kata Orang Cinta Musti Bergetarrr...


Ini belum pernah terjadi, menulis entri sambil mendengarkan Ebiet G. Ade. Lagipula, hari-hari yang telah berlalu tidak untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri, betapa Allah telah begitu baiknya kepada kita, sedangkan betapa durhakanya kita kepadaNya. Nah, yang seperti inilah yang membuat paragraf-paragrafku kacau ketika seharusnya tidak. Ini, pilihan jawaban F yang artinya baik pernyataan maupun alasan salah namun menunjukkan hubungan sebab-akibat berupa multikolinearitas sempurna atau heteroskedastisitas. Wakwaw! Entri ini harus selesai karena sudah dimulai, bagaimana juga!


Betapa anehnya menulis entri sambil mendengarkan Ebiet G. Ade, karena mendengarkan lagu-lagu religi dari Wali saja terasa mengerikan, meski sekarang badanku sudah hangat karena sudah makan. Alhamdulillah. Hahaha, coba Gerben membaca kalimat-kalimatnya Syekh Abdul Qodir al-Jilani atau putranya. Bisa tahu rasa dia! Itulah mungkin mengapa kata sambung “sedangkan” sering kugunakan. Lucu sekali cara Gerben menggambarkan kebiasaan burukku membuat kalimat majemuk bertingkat alias ngantet tapi teu sadarajat. Ya Allah, hilangkan atau redamlah kebiasaan itu meski sebentar.

Aku benar-benar tidak dapat melukiskan suasana yang ditimbulkan oleh lagu-lagu Ebiet G. Ade ini. Apakah lantas anganku diterbangkan ke Kemayoran di awal ’80-an, aku tidak sedang ingin terbang-terbang. Pikiranku sebenarnya fokus ke masa depan, yaitu sekitar minggu depan, atau 2-3 bulan ke depan, sedangkan aku sudah terlewat sekali Kursus Teori Sosial Tingkat Lanjut. Masa depan, seperti hari-hari yang telah lalu, Insya Allah, biidznillah, akan berlalu baik-baik saja. Aamiin. Jadi tidak perlu khawatir. [...khawatir sih tidak]

Nah, kupu-kupu kertas. Ini entah bagaimana lumayan lekat. Berbeda dari Aku Ingin Pulang yang gara-gara Adik, ini tidak gara-gara siapa-siapa. Setidaknya seingatku. Uah, dari 1995. Benar-benar tidak ada petunjuk aku bagaimana ia bisa lekat. Apakah ia menyelinap di hari-hari nistaku di TPS, aku benar-benar tidak ingat. Masa-masa ini mengingatkanku pada Bapak Ibu. Aku baru benar-benar sanggup lepas dari Bapak Ibu kapan ya. Yah, mungkin tahun 2000-an adalah masa transisi. Paruh pertamanya belum, paruh kedua lepas.

Lalu Elegi Esok Pagi. Widis, ratapan. Ini kata yang aku tidak pernah yakin artinya. Baru saja aku menelusur untuk memeriksanya. Ratapan atau dukacita. Tidak! Naudzubillah, hamba berlindung kepadaMu ‘duhai Maha Perkasa, Maha Penyayang. Hamba di negeri asing begini, sudah tidak terlalu muda lagi, maka hanya berlindung kepadaMu harapan hamba. Kasihanilah kami para perantau ini, Rabb, baik yang disertai keluarga maupun yang tidak seperti hamba begini. [...kemudian Nyanyian Rindu ini juga entah bagaimana akrab di telinga]

...meski dududu-nya tidak cantik. Mang Ebiet memang bukan Art Garfunkel, meski siapa juga yang tidak mengakui kedahsyatannya. Apakah aku harus mulai menyanyikan lagu-lagunya, sudah setua ini. Tidak perlu, kurasa. Semua lagu ini perlahan-lahan Insya Allah harus diganti. Aku memang tidak membacanya sendiri, namun setidaknya kudengarkan dan sedapat-dapatnya kuresapi. Sudah kumulai sebelum ke sini, di KRL, di Metromini S63 lanjut Miniarta M04. Sekarang kadang di Trem 26 lanjut Metro M51, atau lebih seringnya sambil keliling Zeeburgereiland.

Teh Earl Grey kira-kira masih seteguk lagi, sedangkan yang sedang dimainkan ini aku tidak kenal. Kapankah kuakhiri, sekarang atau menunggu yang terkenang. Terlambat, ia terus berputar. Kurasa ia akan terus berputar sampai entri ini diterbitkan. Sempat terhenti di sini, tapi aku bertekad untuk menyelesaikannya sampai terbit. Entah mengapa akhirnya malam ini jadi juga menulis entri, sementara dorongan demi dorongan sudah meletup kadang membuncah berkali-kali dalam beberapa minggu ini. Sekarang inilah saatnya. Akhirnya jadi juga. Fiuh.

Monday, September 03, 2018

Badiyo, Njoget ing September!


Memulai September dengan KeniJi adalah suatu penanda kegatotan Agustus yang memang tidak delapan tetapi juga tidak satu. Memulai dengan semug teh jeruk Jaipur dan roti gandum dipuntir-puntir rasa keju, mengembalikan karya klasik Koentjaraningrat untuk menggantinya dengan kumpulan cerpen, ternyata apa yang disukai adikku aku tidak. Adikku John aku Paul, dan seterusnya. Entah mengapa aku tidak pernah tertarik dengan Emha. Jangan-jangan aku memang tidak pernah tertarik pada apapun kecuali diriku sendiri. Aku hanya tertarik khayalanku sendiri.


KeniJi yang medley begini memang membuatku tidak tahu judulnya satu persatu. Apakah ini idenya seperti lobi apapun yang sejuk nyaman sedang hatiku pun nyaman dan tentu saja badan mudaku, bisa jadi. Aku tidak respek pada diriku sendiri dan siapapun yang sepertiku, hanya bisa corat-coret lantas mengaku seniman apalagi budayawan. Kenyataan bahwa aku seorang bapak, sudah itu saja; dan itu dibuat lawakan berdiri?! Dapat kurasakan kesakitan bapak itu dan mungkin juga anak perempuannya. Oh, betapa dunia!

Hari ini juga anak perempuanku memulai kuliahnya yang benar-benar kali pertama, Ilmu Negara. Bulan ini juga kedua anak perempuanku bi idznillah akan berulang tahun. Sembilan belas dan empat belas tahun masing-masingnya, Illahi Rabbi; dan aku, bapaknya, masih saja tolol sampai detik ini. Sedangkan Havana mengalun-alun begini mengingatkan betapa ketololan itu masih saja terpelihara baik sehingga kini. Rabb hamba, sungguh hamba tak berdaya sedangkan engkau Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Hamba mohon lindungilah anak-anak perempuan hamba.

Jadi lawakannya begini: Seorang Bapak menasihati anak perempuannya di New Jersey, sedang ia sendiri di Timur Tengah entah sebelah mana. 'Nak, jadilah seorang muslimah yang baik, agar kita dapat berkumpul di surga. “Surga,” gumam anak perempuan pada diri sendiri, “sedang di New Jersey sini saja kita tidak pernah berkumpul.” Masya Allah! Betapa dunia penuh kesakitan dan aku memohon pada Yang Gagah Lagi Mulia akan karunia kesehatan lahir-batin; baik kiranya kumohonkan hal itu untuk bapakku saja.

Mengapa entri di awal September ini jadi mengenai bapak? Togar Tanjung pun seorang bapak bagi Duma. Astaga, dan Fawaz Nitisemito pun suatu hari bi idznillah menjadi bapak! Kudengar September sudah mengguyurkan hujan yang lumayan lebatnya di kampung sana. Kampung halaman. Di manakah kampung halamanku? Benarkah aku merindukannya, dengan kelakuanku yang seperti ini? Benarkah aku memanggil-manggilNya, atau sekadar menipu diri selama ini? [Aduhai serius sekali kalimat-kalimat tanya ini sampai ada tandanya begini] Saksofon sopran meratap-ratap...

Bisa jadi ini pertigaan BBM di mendungnya langit, apakah mencongklang atau duduk gelisah di bangku samping pak supir gokar. Jika mencongklang apakah tujuannya Paragon di pagi yang dingin bagiku. Setelahnya bisa jadi makan siang sega mawut magelangan bo’ong-bo’ongan sementara Fawaz dengan tekunnya nithili giant fried chicken. Rabb hamba, waktu berjalan terus, hamba mohon ampun. Apa daya hamba, Rabb, kecuali denganMu Nan Maha Tinggi Lagi Agung. Berakhirnya musim panas, menjelangnya musim gugur ini pun bukti KekuasaanMu.

Ini saksofon kenapa umek begini, kalau tidak salah judulnya Pulang. Setidaknya ada memang yang judulnya begitu. Di mana pun di atas bumi Allah ini, di belahan dunia mana pun jika memang ada belahannya, aku sekadar musafir. Apa arti hidupku, begitu tanyamu. Tidak ada, kecuali aku menghamba kepadaNya sebaik-baik yang aku sanggup, demi Hikmah dan KekuasaanNya. Jangankan arti, aku tidak ada! Hanya Allah Azza wa Jalla. Allah. Allah. Allah. Allah Maha Besar. Gusti, hamba rindu panggilanMu.