Monday, January 20, 2014

Pertanda Satu Cacing Dua Bekicot Satu Tikus


Langsung saja, Pak Yon tidak berhasil disetapkan, meski aku juga belum tahu apakah Mas Mils dan John the Fuck masuk SK. Memang sudah ada pertandanya. Malam entah kapan itu, sambil mencongklang VarioSty, ketika melewati belakang Bumi Wiyata, aku bertemu dengan seekor bekicot. Ia tampak dengan santainya menyeberang jalan sambil bersiul-siul. [yang belakangan ini jelas lebay] Segera saja kuhentikan VarioSty, menurunkan standar samping dan, tanpa mencabut kunci, memungut bekicot dari jalan dan membuangnya ke pinggir jalan yang dipenuhi rumputan gondrong dan sampah. Dari situ aku meneruskan perjalanan hampir sampai sampahan Pasar Kemirimuka. Di situlah di tengah jalan kulihat seekor tikus sedang meregang nyawa. Sebagai mantan PMR, kurasa ia sudah tidak mungkin diselamatkan. Sepertinya luka dalam. Maka kutinggalkan ia di tengah jalan itu dengan hati kacau. Masih dalam perjalanan pulang yang sama, setelah sedikit melewati Gereja Bethel, kembali kutemui seekor bekicot. Sama seperti yang terdahulu, ia pun tampak santai menyeberang jalan. Segera saja kupungut ia dan kuletakkan kembali di balik pagar. Namun aku sempat kepikiran, pasti mudah baginya kembali ke jalan itu karena antara pagar dan jalan tidak ada selokan. Aku hanya dapat berdoa semoga ia menemukan tempat yang nyaman di balik pagar itu, dan tidak pernah lagi kembali ke jalan. Selain itu, aku juga membuang seekor cacing kecil yang sudah agak gepeng kembali ke tanah becek dari tritisan kantin kaca.

Sudahlah, daripada sedih, lebih baik aku mengenang sesuatu hal yang menyenangkan, yang kualami juga di sepanjang Jalan Raya Kemirimuka belakang Bumi Wiyata itu, yaitu sekitar awal Desember tahun lalu. Pada ketika itu hujan belum sering. Jalan di samping PKM masih mungkin dilewati. Pada suatu malam dalam perjalanan pulang, aku menangkap suatu cahaya terang di langit dari sudut mata kananku. Pada awalnya aku sempat mengira itu adalah pesawat terbang, namun ketika kulirik lebih jelas ternyata bukan. Aku bahkan masih sempat menyangka itu semacam balon udara yang dinyalakan dengan api. Baru beberapa kejap kemudian aku menyadari bahwa ia tidak lain adalah Kejora! Subhanallah cantiknya... Sinarnya yang cemerlang namun seperti tersaput kabut membuatnya seperti gadis yang menyembunyikan senyumnya di balik cadar beledu. Tidak, bukan gadis perawan kencur begitu. Kejora lebih seperti seorang perempuan muda yang sudah matang, mungkin di akhir usia duapuluhan. Senyum yang disembunyikannya bukan karena kemalu-maluan, bukan pula karena ingin menggoda agar hati diharu-biru cinta. Bukan. Senyum di balik cadar itu seakan menegaskan jatidirinya sebagai seorang perempuan: senyuman sejati seorang perempuan sejati. Lagipula, siapa yang membutuhkan sesungging senyum di bibir jika matanya yang besar hitam jelita itu sudah memancarkan pesona kewanitaan yang kuat namun penuh kelembutan? Oh, Kejora kau Dewi. Aku takluk dalam pesonamu. Seandainya saja VarioSty tahu mengendali diri sendiri, sudah barang tentu tak akan kulepaskan mataku darimu, demi terpuaskannya hasratku akan kecantikan yang ilahi, Duhai Kejora.

Begitulah maka aku hanya dapat mengerling padamu, dari sudut mataku, sambil berpacu di atas pelana VarioSty. Terkadang engkau tersembunyi di balik atap rumah orang atau pepohonan, terkadang di balik jalan layang atau terpal lapak-lapak pasar. Namun ketika kau muncul lagi dengan segala kegemilanganmu di langit malam yang penuh asap jelaga kendaraan bermotor... ooh... jantung hatiku serasa melompat keluar dari kurungan rusuknya! Engkau balas mengerlingku! Ketika itulah jantung serasa berhenti berdegup. Dadaku serasa kosong karena isinya telah terburai meledak, didesak oleh damba kekaguman padamu. Pada saat itulah aku harus segera berkonsentrasi mengendali VarioSty. Pandanganku harus kembali kuarahkan lekat-lekat pada jalan dan lalu-lintas di hadapanku. Namun tepat pada saat itu pulalah suatu dorongan tak tertahankan serasa mendesak bola mataku untuk melirik ke kanan, ke arahmu, oh, Kejora; dan mengerlinglah lagi engkau padaku. Duh, oleng pula VarioSty bagai biduk diterpa gelombang. Kejora, kau sungguh berbahaya bagi Umar Bakri non-PNS sepertiku, Dewiku. Setelah saling mengerling denganmu, biasanya sepanjang perjalanan mulai dari depan Mesjid UI terus sampai Pasar Kemirimuka, ketika berbelok menyejajari jalan layang ke arah pertigaan Ramanda sampai berbelok di depan Gereja Bethel, aku harus berhenti melirik-lirikmu; selain karena engkau sulit terlihat, lalu-lintasnya ramai. Begitu juga ketika menyusuri Siliwangi sampai Tole Iskandar sebelum berbelok ke KSU. Nah, pada saat menyusuri KSU itulah kesempatan terakhirku mengerlingmu dan menikmati basalan kerlingmu, untuk berjanji esok 'kan saling mengerling lagi.

Sunday, January 19, 2014

Seperti Tokichiro Memperbaiki Tembok Benteng


Minggu sore yang mendung di Jalan Radio, masih di kamar kulkas. Jika ini Minggu sore, maka Insya Allah kurang dari 24 jam lagi akan kita hadapi saat kebenaran. (moment of truth) [terjemahan yang patut baginya adalah "saat yang menentukan"] Akankah Pas Moto memberikan semua dukungan yang dibutuhkan oleh ICT-Komintern agar dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya? [eh, Leon Rosca sudah bisa ngetik belum? Tadi terpikir ketika shalat (sic) kalau masih belum bisa, maka Miles Kamil harus mengajarinya sampai bisa; jika perlu dengan bahasa Minang!] Sebenarnya ini juga bisa menjadi alat ukur sebesar apa pengaruh Gandalf Kelabu pada Pas Moto. Aku belum mencatatnya, ya. Baiklah, kulakukan sekarang. Pak Yuwono tampak smug dan aku kurang cocok dengannya, tetapi Mas Oscar kelihatannya seorang okay boy. Baiklah, aku akan ikut permainannya. Selasa ini bertemu, seperti keinginannya. Semoga John Gunadi dapat menanganinya dengan memuaskan. Mengenai urusanku sendiri, jika tanpa cepat-cepat membuat proposal urusan bisa berjalan lancar, maka tidak menjadi masalah pun. Ya, aku tahu. Awal Februari meluncur ini lebih berkenaan dengan Togar dan wiradanya dua ekor, dan aku sendiri tentunya. Ini semua dengan asumsi Leon Rosca masuk payroll. Jika tidak, maka harus diusahakan juga secepatnya proposal itu. Mengembalikannya kepada Mang Bedon jelas bukan pilihan; mendorong agar eJournal segera di-SK-kan lebih kusukai sebagai rencana pengganti.

Ini seperti Tokichiro yang lancang sesumbar mampu memperbaiki tembok benteng dalam beberapa hari saja, Tokichiro si Kepala Dapur itu. Tanda-tanganku yang relatif sederhana [dibanding Wahyu] dan kugoreskan besar-besar memenuhi, kadang melebihi, tempat yang disediakan--seperti kata Santakurosu--menandakan orang yang terlalu percara diri. Ya, aku harus hati-hati. Sering memang aku terlalu yakin pada diriku sendiri sampai-sampai tidak waspada. Entah sudah berapa kali kepada berapa banyak orang [yang terakhir baru-baru ini, Bapak] aku sesumbar bahwa pekerjaan ini mudah-mudah susah untukku. Mudah, karena aku tahu [nah, ini saja sudah menunjukkan kelengahan] bagaimana mengerjakannya. Susah, karena Pas Moto mengharapkan segera kongkrit! Awal Februari, Bro! Ya Allah, tolonglah hamba menepati kata-kata hamba. Ya Allah, tolonglah hamba menahan mulut. Hamba mohon ampun, Ya Allah. Awal Februari itu artinya tinggal dua minggu lagi dari sekarang, sedangkan minggu terakhir Januari akan kuhabiskan dengan team building entah apa-apa. Itu berarti aku hanya punya minggu ini dimulai Senin besok, sedangkan Selasanya aku akan harus berjanji dalam seweton menyelesaikan penyuntingan BBP-DJI. Tidak apa. Insya Allah, tidak menjadi apa. Ketika aku dengan lancarnya dapat menuliskan ini semua, itu berarti aku bergairah. Hatiku ikut! Alhamdulillah, ini beda dengan awal tahun lalu. Kurasa sinchia ini nanti bukan sembarang Tahun Kuda. Ini adalah Tahun Kudra karena kakinya emprat! Oh, semoga aku tidak habis terbakar antusiasmeku sendiri...

Lalu BBP-DJI. Alhamdulillah, sudah sejak beberapa lama Allah selalu menolongku menepati kata-kataku. Ini termasuk yang serius. Aku juga tidak tahu mengapa untuk yang satu ini aku jadi ekstra-antusias. Semoga tidak ada pamrih lain menyelinap selain tunainya janji. Lagipula pamrih apa? Dapatlah terbayang betapa rusuhnya jika sampai ketambahan urusan, apalagi urusan begituan. Lagipula, macam aku ibu-ibu PKK aja; dibutuhkan seorang ibu-ibu PKK untuk mampu mengurusnya. Insya Allah, kesenanganku adalah jika kelak BBP-DJI selesai pada waktunya dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Setelah itu, aku akan dengan senang hati menghilang lagi, lesap ke dalam kerumunan, dilupakan. Bukan aku tidak mau bertanggung-jawab. Bukan salah mereka pula. Kami memang diserahi cek kosong sejak awalnya. Gila! Urusan sebegini pentingnya dan ceknya kosong?! Memang itulah yang terjadi. Setidaknya, aku berusaha, Insya Allah, untuk menyampaikannya. Ada yang mau dengar, syukur. Tidak ada, ya syukur. Allah yang menanggung rejekiku di dunia ini, tidak perlu lagi kupikirkan sisanya. Bli Kompiang bicara mengenai pasrah dalam status pesbuknya. Katanya, pasrahnya masih disertai pamrih, tapi ia memohon agar pamrihnya sekadar untuk menunaikan gunanya lahir ke dunia. Sungguh, kena'apa pulak harus pusing, sedangkan di Puncak Jaya ditemukan fosil kulit kerang, demikian pula di puncak-puncak Alpen. Manusia hiruk-pikuk seakan betol sementara bumi terus saja mendaur-ulang keraknya, yang di dalam jadi di luar, yang di luar jadi di dalam, yang tadinya di atas jadi di bawah, yang tadinya di bawah jadi di atas, begitu seterusnya.

Saturday, January 18, 2014

Baru! Indomie Mi Goreng Rasa Iya Ngepet.


Sepanjang pagi dari sekitar tengah malam tadi hujan terus. Setelah menonton siaran ulang Stoke City melawan Liverpool, tepatnya setelah gol Sturridge yang dahsyat, Cantik memintaku memijat betis dan telapak kakinya. Sakit, katanya. [Astaghfirullah, aku tidak shalat Shubuh!] Maka kuurutlah dengan Minyak GPU. "Subhanallah, Suami sayang banget sama Istri. enak banget dipijetin Suami Sayang," begitu gumam Cantik. Setelah itu kami bobo. Namun ternyata malam tadi cuma aku yang tertidur cukup pulas, sedangkan Cantik terus terjaga. Katanya, gara-gara minum Toxtea yang gak enak. Maka hampir semalaman itu ia memantau berita mengenai banjir. Bahkan ketika aku benar-benar terbangun sekitar jam setengah sembilan (?!) pagi ini, Cantik tertidur sementara tivi dipanteng di TV One menyiarkan laporan-laporan banjir. Oh ya, aku benar-benar terbangun tadi gara-gara Cantik beruluk salam pada Mama melalui telepon, dan aku yang tengah tidur-tidur ayam secara refleks menjawab salam itu hahaha. Alhamdulillah, meski dikepung banjir, Kodamar tidak banjir. Cantik berkeluh-kesah karena harus berangkat mengajar pagi ini. Alhamdulillah, sekitar jam sembilan lebih hujan berhenti, maka ia menguatkan hati untuk pergi; meski tidak pakai mandi. Sebelum berangkat Cantik minta dibuatkan mie, maka kutunjukkan padanya tiga macam: mie goreng biasa, mie goreng pedas dan mie goreng iya ngepet. Ia pilih yang terakhir.

Gambar dari sini. Trims Mbak Dian KP.
Setelah mengantar Cantik ke Stadela, aku terus mencongklang VarioSty ke kampus. Setelah menambatkannya, aku melangkah menuju Barel. Sampai di pengkolan aku sempat bingung, ke kanan atau ke kiri. Banyak kali pun warung nasi, di pengkolan itu saja lebih dari lima. Akhirnya kuputuskan untuk membungkus nasi di Sasari klasik. "Bungkus. Karedok," kataku pendek-pendek, yang mungkin membuat si Eneng yang melayani bete. Setelah telor ceplok pedes, lalu tahu sayur, lalu otak-otak, ditambah tahu goreng alot, semua duabelas ribu. Bahkah ketika aku minta sendok plastik, si Eneng mengangsurkannya tanpa memandang ke arahku hehehe. Namun yang agak mengganggu, sudah dua kali aku minta sendok plastik, dan sudah dua kali itu pula mereka memberikannya dengan memegang tempat menyuap, alih-alih gagangnya. Yah, biar saja. Kembali ke kampus, aku makan sambil menonton Day of Days, episode kedua Band of Brothers. Sebelum itu aku sempat ingin membuat teh, maka kuambillah air panas dari pengser yang kata Mbak Etje milik UPMA; yang ternyata belum dicolok! Itulah sebabnya aku makan dulu sambil menunggu airnya panas. Baru setelah selesai aku membuat teh. Setelah tehnya hampir habis sambil brosing-brosing cari suasana hati, aku merasa seperti ingin ngopi; yang mana ternyata kopi di kabinetku habis. Maka pergilah aku ke Alfamart Psiko membeli Nescafe Pas dan Indocafe Coffeemix dan... Champ Sosis Siap Pakai eh Makan [iseng 'kali pun].

Begitulah maka kini aku menghadapi workstationku lagi, di hari-hari terakhirnya, [terakhir 'mulu, kapan benar-benar berakhirnya? Kata Pak Wardi, besok... besoknya orang Jawa] di Sabtu favoritku karena sepi belaka, sepoi-sepoi sahaja; meski ada gangguan sedikit berupa Dipa Nugraha Aidit dan temannya, Yohanes "Sawan" Gunadi. Tersedia beberapa pilihan kegiatan. Janjiku pada Andio Kasyfi belum kupenuhi. Aku juga bisa mengutak-atik pos anggaran "Revitalisasi Humas dan Media." Selain itu, tentu saja, janjiku sejak setengah tahun lalu yang mana clock sudah makin tickling, BBP-DJI! Sepertinya akan kuprioritaskan janji-janji dulu. Pertama mungkin Andio Kasyfi karena lebih mudah, baru kemudian BBP-DJI. Namun, terlebih mendasar lagi, kurasa aku harus mengucap syukur Alhamdulillah karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini hatiku terasa baik-baik saja, ringan-ringan saja. Ada masa-masanya ketika aku membuat janji yang sungguh sangat berat untuk ditepati; bukan karena sulit mengerjakannya, melainkan karena sambil mengerjakan itu aku harus menyeret-nyeret hatiku yang enggan ikut. Hatiku memang tidak bungah apalagi sampai antusias menyeret-nyeretku, [...hampir sih...] tetapi setidaknya ia berjalan santai kadang mengikuti di belakang kadang malah di sampingku; jadi aman. Itulah sebabnya, tawaran Arie untuk mengajar orang asing berkoperasi dan tawaran Nadia untuk mengajar PHI orang-orang OJK dengan senang hati kutolak.

Friday, January 17, 2014

Entri ini Apa Judulnya, ya? Pencapaian Estetik?


Menyelesaikan sebuah entri di sini selalu terasa seperti sebuah pencapaian. Pencapaian estetik, tentunya. Di mana lagi aku dapat melakukannya, di RKAT, proposal DIPA APBN UI, di mana lagi? Ya, tidak ada lagi kecuali di Kemacangondrongan ini. Bisa jadi, jika aku mati nanti, ini menjadi satu-satunya peninggalanku; meski aku berharap, tentu saja, ada yang lain-lainnya. Demikian juga khatib Jumat ini berbicara mengenai mati. Ketika sampai pada saat itu, maka hidup terasa seperti sepagian saja sampai dhuha, atau sesorean saja sampai maghrib. Sebentar sekali! Hidup ini seperti lilin, menyala sambil membakar dirinya sendiri sampai lama-kelamaan habis. Khatib juga bercerita mengenai suatu kisah, kalau tidak salah dari Jalaluddin ar-Rumi. Alkisah ada seseorang yang suka menanam pohon duri. Setiap hari disiraminya sampai subur tumbuhnya. Waktu tanamannya masih kecil saja, orang sekadar heran melihat kelakuannya. Namun, ketika tumbuh semakin besar, duri-duri pohon itu mulai menggangu orang lewat. Ada saja yang tertusuk, sampai orang-orang menegurnya agar menebang saja pohon duri itu. Ia pun sesungguhnya mulai terganggu oleh tanamannya sendiri, akan tetapi selalu saja ia menunda dan menunda menebang pohon durinya. Sampai pada suatu ketika, ia sudah tua renta dan lemah sedangkan pohon duri itu sudah demikian kokohnya berdiri. Ia tak lagi mampu menebang pohon itu. Pohon duri itu, saudaraku, adalah kiasan untuk perbuatan maksiat.

Satu hal yang sangat menarik dari kisah itu adalah, bahwa perbuatan maksiat itu tidak hanya merugikan untuk pelakunya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Ya, mungkin ini yang sering dilupakan orang, yang berpikir bahwa, toh, kelak di akhirat akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri. Tidak hanya perbuatan maksiat, tetapi berbagai bentuk kedurhakaan dan keingkaran lainnya, akan merugikan bagi persekitaran. Dari sini, aku teringat, entah baca atau mendengar dari mana aku lupa, kalau tidak salah dari Ali r.a., celakalah [kalau tidak salah] orang yang mencerca setan ketika di depan umum tetapi menjadikannya sahabat ketika sendirian. Naudzubillahi min dzalik tsumma naudzubillah! Jika sudah begini maka kembalilah kita [kita? lu kalik!] pada masalah pencapaian estetik tadi. Pencapaian estetik bagiku sangat penting dalam menciptakan suasana hati yang sesuai untuk bekerja. Akan tetapi, usaha menciptakan suasana hati itu seringkali, bagiku, berakhir pada tidak dilaksanakannya usaha yang sesungguhnya. Setelah suasana hati nyaman, maka ya sudah; yang penting suasana hati sudah nyaman, dan pekerjaan pun tak satu juga terselesaikan! Rumi adalah seorang seniman. Ia menghasilkan karya-karya seni bermutu tinggi, tinggi pencapaian estetiknya. Akan tetapi, abdillah yang seperti apakah dia? Sejujurnya, jika berbicara nyaman, aku paling nyaman membaca terjemahan karya-karya Syekh Abdul Qodir al-Jilani ketimbang Rumi apalagi Ghazali; meski ibnu Athaillah memang yang paling membekas sampai saat ini.

Kemudian lagi, membaca. Apa yang kudapatkan dari membaca-baca itu? Apakah aku menjadi lebih baik gara-gara membaca-baca? Insya Allah hanya itu yang kuinginkan, kudambakan. Lain tidak. Lebih apalagi. Memang gara-gara kecenderungan cingcongku, aku selalu saja sok iya menceritakan ini itu dari yang kubaca-baca; meski sekarang, kurasa, sudah jarang sekali kulakukan, karena sudah sangat jarang pun aku membaca-baca buku-buku seperti itu. Lihatlah sendiri, entri-entri di Kemacangondrongan semakin tidak ada isinya, jika pun ada paling banyak pengulangan. Sudah lama sekali aku tidak menambah apapun dari sumber itu. Mungkin memang--seperti yang pernah kukatakan pada Togar--ini adalah sekadar caraku mempertahankan kewarasan. [Lalu, apakah semakin sulit mempertahankannya maka semakin sering menulis-nulis belakangan ini, sampai setiap hari satu entri?] Dari mana datangnya gagasan dalam benakku bahwa aku adalah seorang seniman? Entahlah, yang kutahu, kebutuhanku akan keindahan besar sekali, dan--ampunilah hamba yang sok tau sok iya ini, Ya Allah. Maafkanlah kelancangan patik, Para Guru--keindahan yang paripurna adalah mengabdi kepada Allah. Jika tidak salah ini kubaca dari status pesbuknya Iman K Rahmanto: mencintai Allah adalah berusaha mengikuti semua keinginanNya, mengerjakan yang disuruh, menjauhi apa yang dilarang. Mencintai Allah adalah berusaha meniruNya, meniru akhlaqNya, meniru perbuatanNya. Itulah sejatinya estetika, Estetika Sejati!

Ya, kurasa memang Pencapaian Estetik. Bismillah.

Thursday, January 16, 2014

IC, APC, LSD, Garda '99. Semua Satu Tema. ICT?


Dengan apa semua ini kumulai? Sudahkah aku mengucap basmalah? Luruskah, ya, sudahkah kubaguskan niatku, atau masih sama saja dengan IC dan APC? Biar kuceritai kelen mengenai IC ini. Lucunya, ketika aku mulai menulis, aku hanya ingat dua itu. Sampai ketika aku akan bercerita mengenai IC, LSD dan Garda '99 begitu saja muncul di kepalaku hahaha. Baiklah, kita mulai dari IC. Ini adalah singkatan dari Invisible Corps. Sesungguhnya ini adalah bikinan adikku, bahkan ia menciptakan logonya, yang belakangan kugayakan dan sederhanakan. Sebenarnya bisa saja kugambar, tapi malas 'kali pun. Akan tetapi, yang nyata, yang kelihatan dari IC ini ya cuma logo itu; sisanya khayalan semua. Hahaha aku jadi ingat cerita wong edan Mas Helman tentang temannya jaman SD yang pandai bercerita. Meski semua saja tahu bahwa semua ceritanya bohong belaka, tetap saja setiap hari ada yang menanyakan padanya, bagaimana kelanjutan cerita kemarin hahaha. Kurasa IC ini memang yang paling keterlaluan, karena tiga orang setidaknya sampai beriman padanya. Tentang ini, aku diingatkan oleh adikku yang lain lagi, betapa berat bagiku kehilangan IC dalam kenyataan hidupku, sampai-sampai aku ngambek mbalik meja karena tidak dikasih main ke Tangerang. Jika kuingat-ingat memang pasukanku tidak pernah banyak. Setahun di 56 hampir saja aku membuat semacam IC bersama Rooseno dan Aris, saking aja Muly kurang nyambung sama mereka, terutama dengan Aris--terakhir kudengar ia berhasil mewujudkan cita-cita STM bangunannya.


Lalu di SMA. Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar ingat apa itu APC. Slim dan Apix-lah yang selalu mengingatkanku bahwa aku pencipta dan ketua geng APC. Hanya saja yang kuingat darinya adalah semacam menakut-nakuti adik kelas entah mengapa, antara lain dengan darah-darahan yang dibuat dari agar-agar merah dengan kaldu tulang ayam busuk. Selain itu sebenarnya banyak lagi, kurasa. Barbarosa adalah yang paling diingat oleh almarhum Wawa, yang karenanya ia menyalahkanku sampai dia masuk AL, sampai akhir hayatnya. Lalu tentu saja infanteri berkualifikasi kelautan hahaha. Jangan-jangan di Akabri pun penuh dengan yang seperti ini sampai-sampai aku tidak sadar dikeluarkan. Dikeluarkan dari Akabri lalu kapok? Tidak juga hahaha. Masuk Asrama UI, segera saja LSD terbentuk, yang merupakan singkatan dari Law Syndicate of Student Dormitory. Namun, mungkin, yang paling kolosal adalah Garda' 99. Hahaha sampai Acil jadi Wakil Kepala Komando Operasi, disingkat Wakakoops, Rapin jadi Panglima Garda, Wicak jadi Kepala Staf Garda, disingkat Kasgar, dan Mang Untus jadi Komandan Detasemen. Ya ampuuun... dan tentu saja formasi-formasi dinamika kelompok aseli karanganku sendiri. Belum lagi tes psikologi untuk menentukan siapa menjadi Kepala Regu dan Gugus, (Karu dan Kagus) siapa Keamanan, dan siapa yang masuk satuan elit Dinamika Kelompok. (DK) Hahaha... sampai A'at Risna jadi DK 76 dan Fully jadi DK 77 huahahah... Yaa Saalaam, benar-benar suatu keterlaluan yang kolosal! Terlebih jika mengingat waktu itu anakku menjelang lahir... Yaa Rabb... dan Arie Afriansyah, kini Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat merangkap Ketua Djokosutono Research Center FHUI, membuat pentungan yang dipakai untuk mementung dirinya sendiri hahaha...

Sekarang Unit ICT-Komintern, suatu unit elit yang terdiri dari seorang baret hijau ahli pertempuran jarak dekat dan perkelahian tangan kosong, aku sendiri; seorang marinir spesialis operasi amfibi dan penyusupan ke pantai musuh dari perairan, John "the Fuck" Gunadi; seorang ahli demolisi dan penjinakan bahan peledak, Milson "Miles" Kamil; dan, seorang petembak runduk, Leon Rosca. ICT sendiri adalah singkatan dari Interdiction and Counter-Terrorism, sedangkan Komintern ya Komintern; apa lagi kalau bukan Kominis Internasional? Jadi kami ini adalah unit khusus pencegatan terhadap terorisme dari Komintern. Jadi jauh sebelum teroris sampai pada sasaran dan melaksanakan aksinya, bahkan sebelum ia berniat menjadi teroris sekalipun, sudah kami cegat dan netralisir. Pokoknya dibuat urung dan insap. Operasi-operasi kami sangat-sangat rahasia. Bagaimana tidak sangat rahasia, kami bahkan bisa membuat calon teroris mengurungkan niatnya menjadi teroris dan insap akan niatnya yang tidak karuan juntrungan itu. Jadi kami ini sebenarnya semacam unit khusus konseling psikologi bagi remaja-remaja labil yang kehilangan arah, agar tidak menjadi teror bagi diri sendiri, masa depannya, dan terlebih penting keluarganya. Dalam melaksanakan misi-misi kami yang super-rahasia kami dikoordinasikan dan bertanggung-jawab hanya kepada satu figur misterius yang diketahui cuma dari nama sandinya: Om Topas. Berhubung dengan sifat hakikat pekerjaannya yang misterius, Om Topas ini sering juga berganti-ganti nama sandi; terkadang menjadi Sop Toma, atau Matsumoto jika sedang beroperasi di Jepang, meski jarang. Akan tetapi, dalam operasi-operasi yang sangat berbahaya di mana ia sendiri memimpin di lapangan, maka sandi yang digunakan adalah Pas Moto; jadi seperti Tukul menggunakan isyarat jari empat matanya, begitu.

Wednesday, January 15, 2014

Hari ini Cantik Berulang Tahun yang ke-37


Hari ini Cantik berulang tahun yang ke-37. Swargi Akung juga kagungan kebiasaan ini, mencatat hari ulang tahun bahkan istrinya sendiri, yang setiap hari setiap saat ditemuinya, dalam agendanya. Dapat dipahami, betapa hancurnya beliau ketika satu-satunya sahabat beliau, Uti, seda. Seperti itu jugalah Cantik untukku. Satu-satunya sahabat. Maka kriteria terpenting bagi satu-satunya sahabatku adalah memahami musikku. Begitulah, Cantik--katanya, setelah aku pergi pagi tadi--tidak bisa berhenti ber-me importas tu, y tu, y tu.

Dimulai dengan Linda Muchachita, sejak itulah kami saling tahu bahwa kami sama-sama menyukai lagu-lagu jaman dulu yang berbahasa Spanyol. Seperti pernah--dan akan selalu--kukatakan, jika kriteria ini terpenuhi maka sisanya, apapun itu, Insya Allah, akan tertahankan; karena ini bukan masalah settled, melainkan settling down. Hanya dengannya dan hanya kepadanya aku bisa mempercayakan seutuhnya diriku apa adanya; dan mencintainya sungguh tidak sulit bagiku.

Apapun yang diinginkannya--sepanjang masih dalam jangkauanku, sepanjang tidak membahayakan dirinya--kupenuhi, karena aku mencintainya. Mencintai itu sendiri sudah merupakan kegiatan yang menyenangkan, terlebih jika mencintai yang kaucintai. Jika perempuan dalam dekapanmu adalah perempuan dalam hatimu, maka telah kaumiliki segalanya. Jika kau mendekap impian yang telah kauimpi-impikan untuk mendekapnya, maka kau sekaya seorang raja.

Cantik dan Aku abis liat Binturong, 2013
Hari ini Cantik Berulang Tahun yang ke-37, dan kami merayakannya dengan berjalan-jalan berdua saja di keheningan malam di Qoryatussalam, menyusuri jalan-jalannya, bulevarnya, melihat-lihat rumah tetangga dan mengomentarinya, bergandengan tangan. Malam kemarin kami sudah meninjau Blok N, blok sebelah. Cantik bersikeras bahwa jalan Blok N lebih lega dibanding jalan Blok M, blok kami. Aku bersikeras bahwa itu adalah tipuan optik, karena kedua sisi jalan Blok N adalah rumah-rumah yang diterangi lampu-lampu di berandanya, dan carport-carport QS yang memang lapang-lapang; sedangkan salah satu sisi jalan blok kami adalah hutan bambu yang gelap. Kami memang tidak pernah sepakat mengenai yang satu ini.

Malam ini kami memulai dengan Blok Q. Berhubung malam kemarin sudah blok N, maka kami merasa perlu memeriksa blok sebelahnya, yang baru kami ketahui, ternyata Blok P! O-nya kemana? Mungkin karena O jelek, masa Blok O, begitu simpulan Cantik. Ya, lagipula seperti nol, timpalku. Dari Blok Q, sebelum ke Blok P, kami terlebih dahulu ke timur dan menemui adanya Blok R. Cantik mengamati bahwa carport-carport Blok R lebih pendek dari yang lain-lannya. Jadi R adalah huruf terakhir di QS tampaknya.

Di situ ada tiga orang bapak-bapak sedang cangkruk di depan sebuah warung darurat tempat makan tukang-tukang, ya, di sebelah bedeng itu. Tepat di depan bak sampah ada seseorang, entah tukang entah tetangga, sedang jongkok di pinggir jalan, sepertinya sedang menelpon. Ketika melewati bak sampah itulah tercium bau obat nyamuk bakar. Bau yang, entah mengapa, selalu kusuka. Rasanya sederhana, bersahaja.

Selain bau obat nyamuk bakar, aku bercerita pada Cantik, ada juga bau yang kusuka, yaitu bau asap orang merokok Minak Djinggo Nojorono; tapi harus orang lain yang merokok, harum-harumnya klembak menyan. "Mengapa begitu?" tanya Cantik. Entahlah, jawabku, tapi memang kalau merokok sendiri baunya jadi tidak enak. Baru saja ini terpikir mengapa tidak enak, mungkin karena cara merokokku dulu yang dari mulut kuhirup lagi melalui hidung, baru dihembuskan lagi. Mungkin jelaga tar dan nikotin yang menumpuk di ambang lubang hidungku yang membuat baunya tidak sedap, seperti tumpukan upil.

Dari samping bak sampah ujung timur bulevar kami berjalan menanjak ke arah barat, ke pintu keluar. Sambil menggenggam jari-jemari Cantik, aku menengadah ke langit dan bergumam, Ya Allah, tak habis-habisnya aku memujiMu dan permainya tempat ini, perumahan yang permai ini, di mana rumahku yang permai berada. Segala puji hanya bagiMu, Penguasa Alam. Aku bertanya pada Cantik, betulkah itu rumah kita. Tentu saja, tukasnya cepat sambil merapatkan kepalanya ke dadaku. "Tapi 'kan sumbanganku sedikit. Itu rumahmu, ya. Aku cuma numpang."

Entah sudah berapa kali kuulangi kata-kata ini, maka Cantik pun sudah enggan pula menanggapi kecuali sekadar "iya" tanpa semangat; namun kepala dan badannya masih dirapatkan padaku sampai kami sulit berjalan. Belum jauh pula kami beranjak, baru beberapa rumah di Blok H sepanjang bulevar dilalui, hujan turun rintik-rintik. Kami pun berbalik arah, turun di tangga depan Masjid, kembali menuju rumah kami yang merupakan titik terendah permukaan tanah di Qoryatussalam Sani, tepat di tepi Cikumpa.

Tuesday, January 14, 2014

Ketapang Kecubung di Tepi Cikumpa Malam Hari


Ini libur maulid. Enak juga ternyata libur, memang sudah kuharap-harap dari kemarin. Entah karena Jokowi berhasil memodifikasi cuaca, hari ini tak setetes pun hujan turun di Cikumpa. Sudah jam sebelas malam begini, udara dalam ruangan terasa gerah. Aku bahkan sampai minum es sirup. Tadinya sempat terpikir untuk menulis sesuatu tentang maulid, atau bahkan Kanjeng Nabi SAW sendiri. [kenapa ketika kusebut "kanjeng" terasa biasa, sedangkan jika disebut "baginda" agak mengganggu, ya? Ya, tentu saja, kamu orang Jawa, 'le] Akan tetapi niat itu segera kuurungkan karena aku merasa tidak siap untuk itu. Ada suatu masa ketika aku, mungkin, merasa lebih siap dari sekarang ini untuk berbicara mengenai hal itu... [oh, bahkan terasa canggung dan kelu] Seingatku sambil berbaring-baring di salah satu kamar kosan Babeh, seingatku yang lantainya kuning lagi kotor, [atau bukan?] aku pernah menangis karena membaca sesuatu kisah mengenai riwayat hidup Kanjeng Nabi SAW. Kini otakku dipenuhi dengan berbagai pekerjaan. Kerja, kerja dan kerja, yang membuat hati menjadi keras. Ya, karena untuk dapat mengerjakan sampai tuntas aku harus mengeraskan hati. Tentu saja kini aku jadi sulit menangis. Tangis tidak mungkin terbit dari hati yang keras. Lalu harapan. Berharap kepada selain Allah, kuyakin, juga mengeraskan hati. Akan tetapi, perbuatan itu sudah demikian lazimnya sehingga orang tidak merasa ada yang salah dengannya, Ya itu, berharap pada selain Allah.

Mungkin harus juga kubeli syarah al-Hikam yang di TGA itu, hanya Rp. 35,000. Membaca yang kupunya di rumah ini betul-betul tidak nyaman. Oh, di manakah bisa kudapatkan lagi tulisan Ustadz Labib dan Maftuhahnan. Sekarang sudah macam-macam bentuknya al-Hikam itu. Betul-betul bentuknya! Ada yang sampai seperti Quran kecil, bersampul keras berwarna keemasan segala. Ini juga kurasa tidak betol. Kurasa, orang-orang yang mencari-cari al-Hikam sama kebutuhannya denganku: ketenangan hati. Mencari uang betul-betul melelahkan, Boss; padahal nyaris tidak ada lagi alasan untuk terus membanting tulang kecuali uang itu. Aku yang fatalis ini jelas semakin apatis saja. Namun hidup begini betul-betul berat terasa olehku. Jika hati tidak tenang, jika hati merasa harus berpacu karena diri pun berpacu, karena otak pun berputar cari uang, maka makan adalah satu-satunya pelarian. Dan makan pun sudah tidak nikmat lagi. Makan sudah menjadi rutin. [Aduhai, mana udara malam ini panas sekali] Sungguh aku merasa sangat tolol pernah matur Bapak bahwa makan itu sekarang hanya enak kalau berpuasa lalu berbuka, sedangkan sulit betul bagiku memaksa diri berpuasa; kalaupun sekadar ingin makan enak. Ini benar-benar mengerikan. Aku tidak bisa melaksanakan apa yang kukatakan dengan mulutku sendiri. Sudah berkali-kali kucoba dan selalu patah di tengah jalan karena alasan-alasan bodoh. Ya Allah... Bagaimana caraku mendapatkan ketenangan hati? Bagaimana agar dapat tuma'ninah sehingga muthma'inah? Ooh... aku sudah mengantuk tapi udara panas betul.

Kembali kepada harapan itu tadi. Jika ada yang benar-benar kuharapkan kini adalah ketenangan hati yang pernah kurasakan dalam hidup dewasaku. Ketenangan hati yang kali pertama sebagai orang dewasa. Namun sejujurnya aku takut mengalami proses itu kembali, proses menuju ke ketenangan hati itu. Kala itu, aku dihancurkan sehancur-hancurnya, kedirianku. Ah, sudahlah. Mungkin memang harus begini. Mungkin al-Hikam yang di rumah tidak seburuk itu. Mungkin benar bahwa aku kini berada dalam maqam kasab. Alhamdulillah banyak betul uang yang kudapatkan, meski tentu saja kurang dan kurang terus untuk ini dan itu. Namun uangku sekarang benar-benar banyak jika dibandingkan dulu-dulu, dan Insya Allah semakin banyak. Jelaslah bahwa Allah memberikan kemudahan untuk mendapatkan hasil dan buah dari usahaku. Alhamdulillah, meski aku tidak tahu seperti apa itu jika agamaku selamat, setidaknya aku dapat memenuhi keinginan-keinginanku tanpa bergantung pada orang lain. Meski niatku tidak kunjung bagus untuk menyambung tali silaturahim, [dan meski aku tidak sepenuhnya paham apa hubungan ini dengan maqam kasab] membantu orang yang kesulitan memang, Insya Allah, sudah built-in dalam diriku. Lagipula, jika dipikir-pikir, aku memang agak senang dengan langkahku dan keadaanku kini, meski mungkin akan terasa lebih "enak dan pas" jika sampai doktor, sih, dari Leiden, misalnya. [woo... nglamak!] Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjunganku Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya. Aamiin.

Monday, January 13, 2014

Suatu Sore di Ambhara, Satu Setengah Tahun Lalu


Selamat tinggal, Cintaku, selamat tinggal. "Selama engkau masih mengenangku, aku takkan terlampau jauh darimu," batinku sambil meneguk teh pelangsing berkekuatan ganda. Perutku kenyang gara-gara makan ketoprak dengan bumbu kacang terenak yang sejauh ini pernah kurasakan. Ketoprak mana lagi yang berkesan? Ketoprak di Jalan Radio selalu berkesan, demikian juga di kandang kambing Haji Thobroni. Kurasa memang hanya dua itu. Tidak ketopraknya benar yang berkesan, tetapi suasana yang meliputi permakanan ketoprak itu. Ketoprak. Sesungguhnya aku tiada pernah benar-benar suka makanan yang tidak jelas ini. Hanya ketupat berbumbu kacang dengan bawang putih dan cabai rawit bila suka, dengan sedikit tahu, bihun, tauge dan kerupuk. Ah, aku jadi memikirkanmu. Jauh benar bedanya ketoprak dengan kalkoenreepjes met champignon. Berapa harganya dulu? Sepuluh Euro? Sedangkan ketoprak sampai hari ini masih limapuluh sen sampai kenyang bego. Kemudian, tentu saja... kibbeling dan terkadang gebakken surimi garnalen met sambal of knoflooksaus, rata-rata tiga setengah Euro, pada 2008-2009. Entah sekarang berapa. Lalu, yang agak sering juga kipfilet in zoet-pikante saus van Javaanse specerijen, of kipfilet met pittige aromatische kerriesaus, of licht gepaneerde pangafilet gewokt met Japanse sojasaus, of, yang paling mahal, garnalen met romige Japanse tuinkruiden saus. Selamat tinggal, Cintaku, selamat tinggal.

Aku belum lagi menulis email kepada Pak Adriaan, lagi. Bulan ini belum. Sedangkan aku terpaksa menjadi kuda beban tunggal PK IV, dan sepertinya juga ketambahan PK I, seperti beberapa yang kusidang hari ini. Dulu aku biasa membaginya dengan Ira. Sekarang aku memikulnya sendiri. Ini benar-benar rahasia Tuhan. Orang sekaliber Yunus Husein saja doktornya lokal. Siapa lagi? Wadek I tentu saja. Apakah aku akan berada dalam satu liga dengan Ari dan Bang Andri, atau akan berakhir seperti Bang Yunus dan Bang Haji, atau tidak sama sekali, (??) hanya Allah jua yang tahu. Aku ingat sekali suasana hatinya setahun yang lalu, ketika, kupikir, kemuakan dan sedikit dorongan mental dapat melontarkanku ke sana. Ternyata tidak. Apakah saat itu aku seyakin ketika 2008? Tidak. Pada saat itu, hanya ada itu di kepalaku. Setahun lalu, banyak sekali yang menyesakkan benakku, semua minta dipikirkan, semua minta diselesaikan; dan cukuplah puas aku dengan menyalahkan kutu kupret satu itu, yang membuatku kebanjiran kerjaan menjengkelkan yang buang-buang waktu dan tenaga saja. Tahun ini lain. Aku muak sudah tentu, tapi dorongan itu entah ke mana perginya. Semangat yang kudapat dari minum teh bersama Pak Adriaan sore-sore di Ambhara kira satu setengah tahun lalu sudah habis tak bersisa. Muak, tanpa dorongan. Jabatan sebagai Ketua ICT dan Komintern hanya membakarku jika aku berhasil memasukkan nama-nama Milson Kamil, John "the Fuck" Gunadi dan... Yonrosca ke dalam payroll FHUI. Jika tidak, apa serunya?

Kalau sudah begini, aku jadi ingin berpuisi-e-tai. Apalagi yang dapat dilakukan kecuali berpuisi-e-tai, ketika Amir Hamzah dibantai kaum revolusioner yang ingin menghapus feodalisme sekaligus imperialisme (feosim) di Sumatera Timur? Sampai mati! Diapakan, ya? Apa ditembak? Apa dibacok, ditebas? Apa digendir bae? Kata Pak Asri, yang bisa nggendir 'kan malaikat. Kata kawannya, emangnya menungsa kagak bisa? Gua bisa nggendir! Baik. Jika di kartu nama harus sesuai dengan SK, maka singkatannya saja yang kubuat sesuka John Gunadi. Unit ICT & Komintern. Sopuyan pasti merasa yang seperti ini keren. Ya Allah medioker betol orang baik ini. Buatku itu semua olok-olok. Hukum adat olok-olok, apalagi hukum koperasi. Ooh bagaimana aku mengungkapkannya? Ketika jeritan itu tertahan di antara bijip'ler. Bukan berarti aku tidak mau menahan syahwat, hanya saja ini terlalu memendam rasa. Semua saja tahu kalau dunia ini percuma, sia-sia. Siapa yang suka silakan ambil, aku tidak mau ikut. Ini memang pengecut ketika semua salah ditimpakan pada dunia. Maka aku pura-pura gila, suatu kesenian yang sungguh teramat rendah mutunya. Sasaran segala cibiran dan hujatan dan lemparan buah-buahan busuk. Sedangkan telur bila busuk berbelatung. Oleh karena itu, biarkanlah Bu Heri bercerita mengenai tikus Irian yang sangat menarik, yang mencuri telur dengan cara mengempit telur di kedua ketiaknya sementara ia telentang. Tikus lain menariknya dengan menggigit ekornya. Sungguh pemandangan yang mengerikan!

Sunday, January 12, 2014

Mampir-mampir Pegima'ksudnye, Kak?


Urusan ini masih terus saja menghantuiku. Pendek kata, aku tidak suka bepergian, jadi tentu saja aku tidak suka mampir-mampir. Tiga ratus lima puluh ribu Rupiah dan sudah itu saja. Apa kalau aku sendiri duduk di belakang roda kemudi menjadi lebih nyaman? Aku meragukannya. Nyaman, bagiku, adalah ketika duduk di belakang netbuk, dulu laptop, dulunya lagi mesin tik ijo kecil. Setelah semalam aku mapak-mapak'ke ati agar mentala pergi sejauh itu, [hahaha dasar tukang nduwel, pas! Tibang ke Serpong aja jauh] maka madep manteplah hatiku menelpon Taxiku, memesan taksi untuk besok pagi jam sepuluh, tujuan: Alam Sutera, Serpong. Malam itu aku agak sulit tidur karena maghribnya sempat tidur agak sejam, gara-gara udara hujan yang nyaman-nyaman nikmat. Maka bangun pun aku kesiangan, jam sembilan. Anak-anak belum lagi mandi, apalagi aku. Ketika taksi datang, aku masih berbalut handuk dan memegang pisau cukur. Ketika itu Faw sudah siap duluan maka ia memutuskan untuk menunggu di taksi. Terlambat sampai agak setengah jam barulah kami semua berangkat, setelah Cantik, seperti biasa, ketinggalan henpon dan harus berlari-lari kembali ke rumah. Tidak lama setelah bertolak, baru sampai Pancasila seingatku, hujan tercurah sederas-derasnya sampai-sampai jarak pandang sangat pendek, kira sepuluh meter saja; dan keadaan ini berlangsung sepanjang jalan sampai keluar tol di Pondok Ranji.

Sekeluarnya di Pondok Ranji, Cantik dan anak-anaknya bernostalgilak sepanjang jalan kenangan, menyusuri dalem-dalemnya sektor sembilan kesonoan lagi--sampai supir taksinya keder, katanya; maklum, orang Citayam--sampai Graha Bintaro, Pondok Jagung dan tiba-tiba nongol di Alam Sutera. Sesampainya di Sutera Delima 2 No. 11A, ternyata sudah ada Mama, Tante Lien dan... Bou Butet, akhirnya ketemu juga; meski, sepertinya, aku tidak seberapa menimbulkan kesan pada beliau. Oh ya, sampai lupa, segala komosyen ini adalah gara-gara Ariaghali Ahmad Nasution berulang tahun. Daripada bengong bin cengok, maka tawaran Mbak Erni untuk makan dulu tak kusia-siakan. Mbak Erni menawarkan tongseng kambing, maka adalah bahan pembicaraan karena aku tidak makan kambing [kenapa harus mengenai aku? kalau tidak, mengenai apa? Masa dandanannya Mbak Erni?] Namun ya hanya begitu saja karena memang tidak menarik, maka aku makan nasi dan sate ayam dan teri kacang buatan Mama. Beberapa cangkir teh dan air putih sampai beser, daripada salah tingkah; dan tentu saja, alasan paling jos: Shalat hehehe. Tak lama kontingen Kemang Swatama pun datang. Bersama Bang Iwan Kiting ini lah aku agak banyak omong, dan, seperti biasa, aku menguasai pembicaraan. [padahal hanya mahasiswa-mahasiswaku malang yang membiarkanku menguasai pembicaraan, itu pun lebih karena terpaksa daripada rela] Selebihnya ya pempek, lalu lontong dengan kuah tongseng dan sate ayam lagi.

Di tengah kesalahan tingkah itulah maka, dengan canggungnya aku pamit cari udara segar keliling Sutera Delima, yang memang cukup menyegarkan dengan suasananya yang muram-muram mendung. Sepulangnya kembali alasan jos dimainkan, lalu tiba-tiba Khairaditta ingin ikut jalan-jalan; maka kuajaklah Khaira, Faw dan Nadia main ayunan. Di situlah aku menciptakan mainan bagi anak-anak ini: "menggantung di udara," yang ternyata cukup besar animonya sampai-sampai tiap anak kujatah dua kali. Namun Nadia tidak mau jika sendiri. Ia selalu ingin bersama Khaira, meski Faw mencoba untuk mengajak main menggantung di udara bersama. Mendekati jam lima sore kami kembali ke Sutera Delima 2 11A, dan memang tiada berapa lama [agak lama juga sih, sampai lewat jam lima] datanglah itu taksi pesanan. Ketika kami mau pulang itulah hujan kembali deras seperti ketika kami berangkat dan nyaris tidak pernah berhenti sepanjang jalan sampai ke QS M14. Fiuh, akhirnya tugas yang melelahkan ini selesai juga. Benar-benar melelahkan, terlebih ditingkahi cuaca hujan yang ternyata berhasil menggenangi Jakarta, maka tak kuasa aku menahan kantuk, meski jam 23.10 nanti Liverpool akan dijamu Stoke di Stadion Brittania. Akhirnya, tertidurlah aku, sampai terlewat itu pertandingan, sampai terbangun pukul setengah empat dini hari. Kuambil wudhu, shalat Isya' dilanjutkan tahajud empat rakaat, ditutup witir tiga rakaat lalu menunggu datangnya Shubuh. Setelah shubuh kutulislah entri ini, dalam benakku.

Saturday, January 11, 2014

Penggembala Kesepian di Ketinggian Biscaya


Sesungguhnya ini sudah ganti hari. Selain menghadapi Pico Merah, aku juga menghadapi pertandingan antara Mencret melawan Swansea di Old Trafford. Pertandingan ini agak menarik karena, entah mengapa, aku merasa perlu memantau perkembangan Jonjo Shelvey. [Siakle ini sinyal Nexmedia kenapa jelek begini!] Ia ditakut-takuti Rodgers, selama Gerrard masih ada, ia akan selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Permainan Shelvey memang tidak (belum?) konsisten. Ia bermain sangat baik ketika sedang tidak perlu-perlu amat, dan justru membuat kesalahan-kesalahan tolol ketika harus bermain baik. Debutnya di Swansea melawan Liverpool adalah contoh yang sangat sempurna. Skor akhir 2 - 2, dengan Shelvey terlibat dalam terciptanya keempat gol. Mungkinkah ini karena ia masih muda? Aku sendiri cenderung menyukainya karena lapangan tengah Liverpool kini sangat ringkih, diisi oleh pemain-pemain yang, mungkin tekniknya bagus, tetapi berpostur kecil lagi begeng. Barusan Shelvey menunjukkan kematangannya mengumpan, meski memang tidak segemilang Coutinho. Yah, masih ada setengah musim lagi, dan jendela transfer Januari masih terbuka. Sampai kapan lapangan tengah Liverpool akan menjadi bulan-bulanan--jangankan dari lapangan tengah lawan yang penuh talenta dan berpostur ideal--dari pemain-pemain tengah berbadan tinggi besar? Baru--atau sudah?--dua musim dan Rodgers masih belum mendapatkan bahan-bahan yang pas untuk racikan yang cespleng, demi memanggil kejayaan masa lalu.

Uah! Nexmedia emang ngajakin berantem nih! Ya sudah. Biar kuterangkan mengapa aku belum tidur-tidur juga sudah hampir jam satu begini. Tadi aku sampai rumah hampir Maghrib begitu, dan lantas tertidur karena udara hujan yang sungguh amat nyaman. Mungkin juga karena aku merasa lelah. Terbangun sudah hampir jam tujuh dan rasanya seperti lapar, maka kucongklang Vario Sty ke tukang ketoprak depan. Brrr... dingin betul meskipun pelan kularikan. Sebelum pulang, aku sempat ke kandang jembel mudlarat, karena pojokanku sudah mulai dibongkar untuk dibuatkan pintu. Aku sempat juga mencoba menulis-nulis di situ, namun segera kuhentikan ketika menyadari hujan sudah reda. Segera saja kukemasi barang-barangku dan menyeberang ke Barel untuk membuatkan sampul keras bagi Yasin Fadhilah-ku yang baru. Semoga hasilnya cantik dan membuatku semangat membacanya. Akan tetapi, aku tidak dapat segera mengetahui hasilnya, karena tukang sampulnya sedang sok sibuk disiram orderan skripsi. Tidak perlu cepat-cepat juga. Aku toh masih punya di rumah meski bentuknya sangat sederhana, boleh ngopi dari punya Gus Dut lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Djis, jika entah bagaimana caranya kau sampai di sini, hentikan gaya permainanmu, 'le! Kau memang bukan manusia berperangai terbaik di dunia ini, akan tetapi tidak berarti tidak ada kebaikan sama sekali darimu. Sungguh aku tulus prihatin pada keadaanmu sekarang. Hentikan gaya permainanmu, Djis.

Yasin Fadhilah dari sepuluh tahun lalu, boleh ngopi punya Gendut-gendut ga jelas... Sama seperti ketika kutanya John Gunadi, apakah sejak 2006 sudah majujaya? Tidak, katanya. Timbulterus iya. Well, mungkin aku tidak berada pada tataran yang sama dengan para tamtama ini, banpol, jembel mudlarat ini, atau khususnya dengan John Gunadi? Dari jawabannya, tampak bahwa ia sebenarnya mengharapkan taraf dan cara hidup normal seperti orang kebanyakan, dan kalau sudah begini, aku pasti akan mencerca daya juangnya. Daya juang... ada satu kalimat bijak dari Ibnu Athaillah, yang intinya jangan menunggu sampai gangguan mahluk hilang karena yang seperti itu akan mengurangi kewaspadaan. Sungguh benar belaka, karena gangguan mahluk toh tidak akan pernah hilang, pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya dan uang semakin dicari semakin sedikit saja terasa! Lama-lama kewaspadaan tentu turun, seperti orang yang hidup di dekat bak sampah tidak mencium lagi bau sampah karena sudah terlalu terbiasa. Itulah sepertinya yang terjadi padaku. Bukan lagi al-Hikam, bukan Futhuh al-Ghaib, bukan Hakikat Takwa yang kubutuhkan kini, melainkan aksi nyata mengamalkannya! Apa yang terjadi padaku jelas adalah penururan kualitas penghambaan dalam taraf yang sangat sangat mengkhawatirkan. Sudah cukup aku diberitahu. Kini, harus kukerjakan! Ya, meski, mungkin, akan kubeli juga buku Futhuh al-Ghaib itu, karena al-Hikam aku masih punya. Wallahua'lam bishawab.

Friday, January 10, 2014

Taman Bermain Michael dan Cindy dalam Benakku


Hari ini Jumat dan tidak ada apa-apa yang terjadi. Hahaha... ini mengingatkanku pada tugas membuat buku harian dalam bahasa Inggris ketika di SMA dulu. Dari situ saja seharusnya aku sudah tahu di mana pesyen-ku. Aku semangat betul disuruh tulis-tulis begitu. Pake akal-akalan masuk Akabri segala lagi, ya metu maning hehehe. Seperti apa sih tampaknya cinta? Apa kuyu begitu menahan birahi? Apa mata menjadi sayu? Bagaimana kalau yang punya wajah si buruk rupa? Bagaimana pun kalau yang melihat juga buruk rupa? Banyak pertanyaan begini memang menyebalkan. Macam penting saja yang ditanya-tanyakan itu. Seperti bocah menulis skripsi, dan ibu-ibu dan bapak-bapak menulis tesis [eh, teringatnya, hari ini kali pertama aku menguji tesis, loh. Keren-kerenan tidak banyak berarti bagiku, yang penting duitnya banyak. Emang iya?] Sesungguhnya aku ini lah yang macam betol mengkritisi cara orang menyusun pertanyaan penelitian. Penelitian? Macam aku teliti saja. Eh, aku teliti loh. Aku memang cenderung mengabaikan detil... orang lain, tetapi detilku sendiri kuperhatikan sangat. Mengenai rincian tampaknya cinta olehku... hmm... cinta itu sekantung permen bagi bocah laki-laki. Bagi anak perempuan, cinta adalah menikah dan mempunyai bayi satu atau dua, mengajak mereka mengunjungi kakek nenek.


Dengan cinta, aku bisa tidak peduli mau Denny JA mengaku tokoh sastra berpengaruh di dunia, mau Anas digantung di monas atau pohon toge, mau apa saja aku bisa tidak peduli. Hanya cinta yang bisa membuatku begitu; tepatnya, hanya cinta yang kuijinkan membuatku begitu. Terlebih bila disentuh di pagi hari oleh cinta belia, yang masih penuh khayal dan mimpi. Aku ingin bisa berkhayal. Aku ingin bisa bermimpi. Aku menginginkan cinta belia, cinta yang segera terasa ketulusan dan kesejatiannya hanya dengan dibisikkan. Seperti seorang kekasih membisikkan kata mesra di telinga kekasihnya. Sampai-sampai bibirnya, hembusan napasnya, tak berjarak dengan daun telinga. Sampai-sampai sang kekasih menggeliat-geliat kegelian, kebasahan. Seperti itulah cinta belia. Sampai-sampai harus memakai penggaris celana dalam. Kalau sudah begitu, mau Denny JA menulis puisi, menulis esai atau menulis puisi esai sekalipun, aku tak peduli. Mau Anas makan ketoprak yang banyak monasnya sedang tidak pakai toge, aku tak peduli. Hei, jangan kau salah terima. Cinta belia tidak berarti cinta di antara anak-anak ingusan. Acapkali, yang mengerti cinta belia adalah para kakek-nenek, yang tidak pernah tahu rasanya pacaran karena sejak kecil dijodohkan. Cinta mereka belia bagaikan embun dan kuntum bunga melati. Ketika yang satu mati dibakar perkasanya matahari, yang lainnya pun tidak ingin hidup lebih lama dan luruh layu; begitu terus setiap harinya diulang dan diulangi lagi.

Itulah sebabnya aku tidak menemukan cinta belia ketika SMA. Aku tidak bisa berkhayal. Aku tidak bisa bermimpi. Khayalku adalah kenyataan. Impianku adalah kenyataan. Tidak ada bedanya bagiku. Dunia ini terlalu nyata bagiku untuk dikhayalkan dan dimpikan. Untuk apa lagi aku berkhayal, semua sudah terpampang gamblang di hadapanku? Ketika aku mendengarkan lagu-lagu kesukaan Ibuku waktu muda, aku berada dalam duniaku. Dunia yang terlalu rumit bagi cinta belia. Dunia renung-merenung. Dunia bertanya-tanya, di mana olimpiade hanya memainkan satu nomor, yaitu olahraga bertanya-tanya; dan selalu aku yang menjadi juaranya, karena hanya aku pula yang bertanding dalam nomor itu, yang cuma satu itu. Pemedali emasnya? Tentu saja aku. Kharisma? Ahaha suatu kata yang tidak kuperlukan dalam duniaku. Akulah penggemar berat diriku sendiri. Hukuman? Tidak perlu juga. Aku menghukum diriku lebih keras dari siapapun. Jika hukuman saja tidak perlu buat apa lagi ganjaran. Tongkat dan wortel? Hanya cocok untuk keledai dan sejenisnya. Ganteng? .... Pintar? Hmm... Semua tidak ada gunanya dalam duniaku. Dunia taman bermain di mana Michael dan Cindy keduanya sekaligus adalah aku sendiri! Perempuan? Aku laki-laki. Laki-laki? Kata seorang lesbi, hatiku feminin. Kata adikku, tampangku saja yang sangar, hatiku mah cemen. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasakan cinta belia ketika SMA. Itulah sebabnya aku masuk Akabri lalu keluar lagi.

Thursday, January 09, 2014

Hari ini Simone Berulang-tahun yang Keberapa?


Hari ini panas sepanjang hari. Ini Kamis. Besok Jumat, dan di benakku kini ada taman bermain. Namun kini tidak lagi, karena kau, perempuan, mengingatkanku bahwa hari ini, 9 Januari 2014 adalah ulang tahun Simone! Huh, ya, kuakui, memang Simone yang itu, meski di kepalaku ada Simone lain yang lebih kusukai [suka?] Simone yang itu? Simone yang itu menemaniku di sebuah ruang makan yang kecil saja, ketika sahur atau sudah imsak tidak tahu apa bedanya; sedangkan sup hangatnya bisa sayuran, kacang ercis, atau... mungkin kari, sedangkan tehnya harum-harum lucu bagaimana begitu. [sedangkan kini aku minum temulawak instan, di kamar belakang M14 QS, sedangkan angin meniup kencang sekali memimpin simfoni daunan bambu yang fortissimo. Seorang anak memimpin prosesi dengan genderang buatan sendiri, sedangkan Yesus tersenyum padanya, dan genderangnya yang buatan sendiri itu.] Ruang makan dengan pemanas gelombang mikro yang jam merahnya berkedip-kedip, [atau tidak] pemanas airnya, kompor beberapa tungkunya, penggoreng dalamnya, dan, terpenting, jendela dengan pemandangan ke luar yang jarang sekali kuamati. Beberapa jenis masakan kucoba di ruang makan merangkap dapur itu, huh, tentu saja aku lebih piawai. Tidak banyak yang tersisa darinya kecuali perasaan seperti kekenyangan namun sebenarnya belum makan apa-apa. Suatu kesakitan yang tumpul, tidak tajam, tidak menggigit, tetapi sakit; dan lampu kuning temaram, dan dingin sejuknya udara, dan baju rajutan, dan bau... Kau bau, Simone.

Mengenai bau ini ada lagi. [Mengapa aku masih takut juga memulai kalimat dengan "tapi" dan "dan"?] Memang salahku juga menunjukkan padanya bagaimana membangun benteng, perkubuan, lengkap dengan menara-menaranya, gerbang-gerbangnya. Sibuklah ia meniru perbuatanku sampai baunya menguar ke seantero kastil dingin tak berpenghangat udara. Dan [akhirnya...] tirai yang membatasi basah dan kering, dan tungku atau pemanggang tua, semuanya bau, seperti otakku yang bau bacin, kusam, kumal, seperti handuk merah Alfamart yang menemui ajalnya di sana. [...atau sudah jauh sebelumnya] Penyesalanku merayap ke mana-mana seperti caplak yang amoral, sampai-sampai aku tidak tahu lagi lebih amoral mana, merancap dengan lukisan Dali sebagai inspirasi, atau saling memanggil Cil dan Bi? Namun tetap saja yang tinggal adalah kesakitan. Sakitnya boncengan sepeda yang tidak berpelana di atas jalan bebatuan yang, tentu saja, tidak rata. Sakitnya kaki menendang keran yang tertanam mati di dinding hanya karena mengikuti dorongan hati. Sakitnya luka parut yang dialiri air pancuran, yang kadang terlalu panas kadang kembali dingin. Angin sudah berhenti berhembus di tepian Cikumpa sini, dan sebuah lagu kecil sudah hampir berakhir. Kesakitan itu masih terus menderaku bagai siraman sirup coklat dan taburan meses pada es krim vanila atau mint, meliputiku seperti kocokan telur pada sosis murah, gorengan jajanan anak SD. Tirai merah besar dan berat menyaksikan semua itu, aku tidak bisa berkelit. Aku sakit.

Temulawak instan juga sudah habis. HP 520 pun sudah digantikan Axioo Pico. Aku yang dulu sudah tergantikan sekarang? Aku kini adalah pekerjaanku dan uang yang kuhasilkan, serta sedikit pekikan dan erangan kesakitan yang tidak mampu lagi kutahan. Kesakitanku kini adalah tidak kunjung punya mobil, sedangkan rumah punya, kulkas punya, mesin cuci punya, pemanas gelombang mikro punya, televisi punya, pemutar visidi punya, dekoder nexmedia punya. Mobil tidak kunjung punya. Mungkin di situ strategisnya Togar Tandjung. Mungkin di situ. Aku merancang-rancang dan mengatur-atur seakan-akan aku ini seorang manajer. Padahal, tidak ada yang bisa lebih betul dari Bang Cipi ketika dia mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak pernah beranjak dewasa, hanya saja mereka belajar untuk menjaga kelakuan mereka di depan orang banyak. Ya, karena kewarasan adalah konsensus, Gar. Suka tidak suka kau harus terima itu. Kewarasan bukanlah apa yang dihasilkan oleh pikiran, melainkan apa yang dilihat orang. Tidak ada orang yang akan mengenang kata-katamu, bahwa Descartes salah. Pikiran hanya menghasilkan jelaga. Tidak akan ada yang peduli pun jika Hegel, menurutmu, salah. Gagasan tak ubahnya asap knalpot Mayasari Bakti Nomor 57 Jurusan Blok M - Cililitan. Orang lain yang menentukan dirimu waras atau tidak, bukan dirimu sendiri; dan kau tidak akan pernah berhasil mengumpulkan cukup banyak orang gila, sehingga yang gila adalah yang pada waras itu. Tidak, Gar, kalaupun ada yang mampu begitu, lebih baik dicegah. Bukan begitu, Simone?

Wednesday, January 08, 2014

Harihara Hari-hari Wara-wiri Keserimpet


Sungguh, bertuhan merupakan sesuatu yang setarikan nafas dengan hidup bernegara bagi bangsa kita sudah sejak lama, ketika Tuhan dan raja merupakan satu yang dapat dibedakan namun tidak mungkin dipisahkan. Bukan raja namanya jika tidak mampu mengeraskan Kelembutan Tuhan. Bukan raja namanya jika tidak mampu melembutkan Kekerasan Tuhan. "Ah, sudah lama aku mengatakannya. Sudah berkali-kali," desah Ki Macan sambil membetulkan letak duduknya. Entah apa sebabnya, Ki Macan muncul di sore Rebo Legi ini menjelang Maghrib. "...dan siapa bilang Hindu itu politeis!" Tiba-tiba saja ia meraung. "Wisnu adalah hati Siwa, begitu juga Siwa adalah hati Wisnu," kini suaranya penuh keteduhan. Mereka pikir, dengan mengucap dua kalimat syahadat saja lalu sudah tauhid, sudah monoteis. Apalagi sudah haji. Betapa banyak politeis di antara kalian, orang-orang modern. Modernitas justru menciptakan semakin banyak ketakutan dan harapan, dan ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan itulah tuhan-tuhanmu, seperti orang dahulu takut pada Kala, pada Kali, pada Yamadipati, berharap pada Sri, pada Laksmi, pada Kamajaya dan Kamaratih. "Kalian orang-orang kantoran, takut pada tanggal tua berharap pada tanggal muda, takut dan berharap pada pejabat dan jabatan, takut dan berharap pada macet-lancarnya pangkat dan karir. Amboi, banyak nian tuhan kalian!" tetak Ki Macan sebelum, seperti biasa, menghilang dalam kegelapan.

Memang sudah beberapa hari ini, setelah sekitar dua minggu dirundung koreksian, aku mondar-mandir sok sibuk entah apa-apa. Teringatnya, hari ini aku dilantik sebagai Pejabat FHUI, yang dalam hal ini adalah Ketua ICT dan Komunikasi Internal, (ICT Komint) yang nama jabatannya, seperti kata Sisun Julkiply Pane, seperti betol walau sungguh agak kurang yes; namun tentu saja aku harus menghormati Sop Toma yang sudah capek-capek mengarangnya. Dalam pada itu, tidaklah ada bedanya apa yang dikatakan oleh Koh Ah Jin dan Sisun Teguh Rumiyarto juga Eri Budiman. Potensiku disia-siakan. Potensi? Sia-sia? Apa itu potensi? Apa itu sia-sia? Aku tidak percaya jika Pangeran Benowo sekadar lemah dan takut berkelahi. Kurasa ia hanya malas saja berkelahi untuk kekuasaan. Berkelahi untuk berkuasa? Aduhai, macam tidak ada lagi yang lebih betol untuk dikerjakan di dunia ini. Maka ia memberikan begitu saja kekuasaan pada yang sangat menginginkannya. Apakah itu salah? Bisa jadi, terlebih bila yang mengambil kekuasaan itu adalah seseorang yang lalim. Lalu apa kau sendiri tidak lalim? Aku sendiri lebih suka mengurus diriku sendiri. Aku suka menolong. Aku seperti Kwai Cheng Caine. Namun sungguh musykil lagi memalukan jika aku mengiklankannya, menggembar-gemborkannya. Aku suka menolong, ayo, siapa yang mau kutolong. Sesederhana itu. Lagipula, tidakkah lalim jika aku membiarkan hatiku dikeruhkan oleh gambaran-gambaran dunia? Tidakkah aku mendzaliminya?

Perut ini... Perutku ini juga sudah kudzalimi sampai buncit begini. Hei, sedangkan badak cilik membutuhkan lari-lari kecil setiap hari untuk kesehatan pencernaannya. Teringatnya, tadi malam aku berjalan kaki dari rumah ke depan ingin membeli ketoprak. Sampai depan ternyata ketopraknya entah tidak jualan entah sudah tutup. Setelah diaspal bulevar utamanya, Qoryatussalam Sani memang terasa seperti sebuah perumahan... yang permai! Sungguh suatu kenyataan yang harus disyukuri tinggal di tempat yang sangat permai seperti itu. Malam itu sambil berjalan kunikmati bunyi-bunyian binatang malam. Jika saja tidak karena membahananya pengeras suara orang maulidan entah di mesjid sebelah mana, malam kemarin sungguh syahdu. Malam syahdu seperti itu dapat mendatangkan kesehatan jasmani rohani, aku yakin. Akan tetapi, dapatkah aku melakukannya sambil ber-ICT Komint dan ber-BBP-DJI dan lain-lainnya itu, terlebih jika tujuannya adalah uang yang banyak? Ini bisa nanti dijawab. Satu hal, [Asep-style] membereskan rumah dapat menjadi suatu tindakan awal yang menentukan. Rumah yang bersih, rapi dan wangi, terlebih bila wewangiannya berasal dari sesuatu yang dibakar, badan bersih dan Yasin Fadhilah; bahkan petuah-petuah Syekh Abdul Qodir al-Jilani! Wow, Insya Allah, sedikit atau banyak pun ICT Komint dan BBP-DJI tidak akan berpengaruh; atau, sekurangnya, tidak akan terlalu terasa. Bagaimana dengan HAN Sektoral?

Tekuni Disiplin yang Membangun

Tuesday, January 07, 2014

Erotisme Pantat yang Tersinggung: Beruluk Salam


Apa sebuah kegaduhan atau komosyen! Namun, kini, setengah enam sore menjelang Maghrib masih di hari-hari terakhir pojokan lantai dua Dekanat FHUI Depok, semua telah sepi. Begitu saja George Baker berharap aku dapat mengerti pada volume duapuluh lima persen. Huh, ta'u'uk! Sedangkan engkau telah menyinggung pantat yang lupa beruluk salam, atau sengaja TIDAK beruluk salam. Kau belum tau kekentuan baru-baru ini, di kampung sini, heh?! Kalau kentut harus terlebih dahulu beruluk salam! Akan tetapi, pantat yang satu ini, yang tidak pernah menyimpang dari kekentuan ini, memang sangat intensip. Ia tersinggung sampai berkedut-kedut! Ya, mungkin pantat satu ini memang telah banyak menelan kegetiran hidup, atau memang sudah dari sananya sesat, maka dia justru menikmati ketidaksempurnaan. Lalu ia berfilsafat, justru dalam ketidaksempurnaan itu terdapat kesempurnaan, seperti kera berharap jadi manusia, pungguk merindukan bulan, dan katak hendak jadi sapi. (sic) [Apanya yang tidak sempurna? Semua ada, lengkap, tepat di tempatnya!] Pret dengan semua filsafat itu, 'Tat! Namun hahaha memang lucu caranya tersinggung, berkedut-kedut begitu. Jika diteruskan, jangan-jangan malah berkejat-kejat, lalu berkerjap-kerjap, seperti orang sakit flu mengenakan bulu mata palsu; padahal naik KRL, padahal meikapnya sudah meleleh dipapar panas-lembabnya Jakarta-Depok.

Garden Hall Theatre pada masa jayanya (sumber)
Sekarang tentang aku. Aku harus cari uang. Mengapa aku banyak mulut? Lebih buruk mana dari besar mulut, atau lebih beruk mana? Aku tetap harus cari uang. Banyak. Bukan, ini bukan tanda-tanda kegagalan susunan syaraf pusat apalagi tepi. Ini akibat terlalu banyak menonton filem di Cinema Paramixo. Di bioskop ini, akhir-akhir ini, banyak ditemukan bekas-bekas kondom, atau kondom bekas? Halah! Tibang coli doang pake kondom hahaha... Sekeluarnya dan sekeluarnya dari bioskop laknat itu, matanya terangkat ke arah langit sore yang mendung. Tampaklah antena-antena entah apa di atas gedung redaksi majalah-majalah Kartini dan Ananda yang [dulu] nampak begitu tinggi. Ia seperti merasa ada tetesan air menghantam dahinya. Diusap. Air... tapi koq kental? Dilihat. Tidak bening. Setidaknya, tidak semuanya bening. Ada putih-putihnya. Diusap-usap di antara jari-jari. Kental. Dicium. Bau! Seorang ibu muda yang cantik, mungkin di akhir duapuluhan atau awal tigapuluhan, begitu saja berlalu di hadapannya; dan bahkan tanpa melirik apalagi menoleh, begitu saja berkata, "itu tai." Ia menoleh, memperhatikan gaun terusannya yang agak sedikit di atas belakang lutut, sehingga memperlihatkan lipatan lututnya. Sementara ibu itu menjauh, pandangannya diangkat pada rambut si ibu yang dipotong pendek menawan, nangkring di atas risleting sepanjang punggung sampai di dasarnya. Ia tersenyum. "Burung dara," bisiknya pada dirinya sendiri.

Teringatnya, aku memesan buku di Kios Islami, Yasin Fadhilah dan... sepertinya ada satu lagi, tapi lupa. Kalau yang datang bukan Yasin Fadhilah bagaimana? Ya tidak apa-apa, pesan lagi Yasin Fadhilah ...tapi 'kan aku sedang miskin? Yah, karena aku sedang miskin, siapa tahu rejekiku mendapatkan dua buku yang salah satunya Yasin Fadhilah. Gaya-gaya'an beli Yasin Fadhilah, yang di rumah aja jarang dibaca. Lhoh, namanya juga usaha. Siapa tau dengan buku baru yang bentukannya lebih bagus, aku jadi lebih semangat mengamalkannya. Sejujurnya, Para Sanak, niatku mengamalkannya adalah agar mendapat lebih banyak uang. Bukannya cari ojekan malah yasinan, gemana sih? Sengaja nyari mungkin tidak, tapi sedapatnya yang lewat di hadapan ya diusahakan sebaik-baiknya; seperti Ratna Anjani menjalani tapa nyantuka, merendam diri di tepian telaga sambil membiarkan mulut menganga. Daun lewat daun dimakan. Lele lewat lele dilahap. [meski kuning? Tidak ada diterangkan dalam riwayat.] Ketika kulirik, jam sudah menunjukkan enam seprapat. Tentunya sudah Maghrib. Baiklah kiranya erotisme ini diakhiri dengan segera, untuk terbirit-birit melakukan ablusyen. Waktu di Maastricht aku belum tahu istilah ini, kalau tidak salah aku menyebutnya "ritual washing." Begitulah maka beberapa orang maklum, lainnya memandang aneh ketika aku mengangkat-angkat kaki masuk ke wastafel.

Aku yang menentukan kapan harus det'il
Aku yang menentukan kapan harus pentil
 

Monday, January 06, 2014

Kemayoran itu Semakin Dekat, Sudah Sangat Dekat


Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun melihat wajah Bapak begitu kuyu terakhir kali aku pulang, hati tak ayal terasa seperti diremas-remas. Tidak perlu khawatir, Bu. Insya Allah segala sesuatunya akan baik-baik saja; jauh lebih hebat, malah, dari yang mampu dibayangkan. Sudah saya niatkan sejak lama, sudah saya suwunkan kepada Gusti Allah. Kapan datangnya saya tidak tahu, siapa juga yang bisa tahu. Biarlah hidup perkawinan saya saja yang aneh-aneh, itu pun karena kelakuan saya sendiri, tetapi yang lainnya, Insya Allah, akan gilang-gemilang. Insya Allah, Bapak dan Ibu tidak akan pirsa yang lain selain segala sesuatu yang menyenangkan hati, nyaman dipirsani. Aamiin. Seindah berbagai lagu yang telah Bapak Ibu perkenalkan kepada saya, satu-satunya keindahan yang saya kenal di dunia ini. Lamplight dari Bapak, banyak sekali dari Ibu. Insya Allah akan seindah itu semua. Seindah suaranya Tante Connie, seperti itulah hari-hari Bapak dan Ibu, yang ada hanya rasa nyaman, rasa senang, rasa tenang di hati. Ringan dan menggembirakan. Memang begitulah niat saya dari awal mula sekali, tidak pernah yang lain. Semoga Allah mengabulkan semua harapan hamba, terlebih penting lagi, apa-apa yang membuat sesak dada ini, tak terucapkan, Ya, Allah Gusti hamba. Aamiin. Aamiin. Yaa Rabbal alamin.


Sekarang tinggal lagi aku; mampukah memaksa diri shalat tepat ketika masuk waktunya, seperti sekarang ini? Mampukah memberantas semua kesia-siaan yang membelit diri? Mampukah meluangkan waktu untuk berbagai kesalehan? Sekadar untuk memotivasi diri, yang tidak mampu berarti kalau tidak kurang ajar, lemah, ya bodoh. Aku jelas tidak bodoh. Alhamdulillah, takdirku lahir dari Bapak Ibu yang cerdas-cerdas. Jika aku sampai meninggalkan ketaatan dan kesalehan, justru menumpuk kesia-siaan bahkan dosa dan kedurhakaan, berarti kalau tidak lemah ya kurang ajar. Sedangkan aku yakin nenek-moyangku, leluhur-leluhurku bukan orang-orang yang lemah pada dirinya sendiri, berarti ya tinggal satu: kurang ajar! Tidak tahu malu! Sejak kapan kau diajari nglamak begini? Hamba yang tahu diri kepada Majikannya pasti tidak akan melakukan yang seperti itu, padahal ini adalah Majikan Maha Majikan, Pelindung Maha Pelindung, yang memenuhi segala kebutuhan, yang melindungi dari segala marabahaya, yang dengan NamaNya, tiada sesuatu pun dari bumi maupun langit yang sanggup memberi manfaat maupun mudharat. Hanya kepadaMu, Ya Mawla, hamba bersandar. Engkau tidak membutuhkan apa pun dari hamba; apalah hamba ini, sedang bagi bumi dan langit saja hamba tak berarti, sedang dari jasad renik hamba tak kuasa membela diri. Hambalah yang membutuhkanMu, Ya Pencipta, Pemberi dan Pencabut hidup dan kehidupan.

Kemayoran itu, meski begitu, semakin dekat. Sudah sangat dekat, sampai terasa pada pori-poriku, tercium oleh lapisan lendir dalam hidungku. Kemayoran itu, tempat segala kenyamanan, tenang dan aman, di bawah lindungan pohonan kelapa hanggar Mandala, tempat penjual gado-gado. Mengintip ke depan dari bawah sofa boleh beli di Galur, memandang ke langit sebelah selatan, terkadang gelap terkadang terang, dalem Jalan radio, daleme Akung Uti. Keluar pagar, menoleh ke kanan, di sanalah pintu besi dua tangkup yang mudah dipanjat. Memanjatnya, maka terbentanglah ke arah barat hijau rumputan di sisi timur landasan pacu utama, dengan bangunan-bangunan batu yang sangat aneh berjajar sampai ke ujungnya. Indah. Nyaman. Terlebih jika ke belakang rumah, memanjat pohon jambu kluthuk yang dahan dan cabangnya berjalin berkelindan dengan pohon asam. Ada satu dahan favorit yang melintang, cocok untuk bertengger, ke arah utara sana terlihatlah layar drive-in di Ancol dan belakangan ferris wheel Bianglala. Indah. Nyaman menenangkan. Silir anginnya, tenang jika F-28 atau DC-9 sudah lepas landas, atau taxiing ke tarmac... pada titik ini aku sudah tidak mampu lagi menahannya, Ya Allah... katakanlah, bisikkanlah, ilhamkanlah, jelangkanlah dalam impian, bahwa Kemayoran memang benar sudah dekat... sangat, sangat dekat... Ya Allah... desingan mixer Ibu, bunyi talenan atau piring tempat Ibu mencacah daging... Ya Allah... Ya Allah...

Sunday, January 05, 2014

Togar Tandjung. Suatu Analisis Psikotelematika.


Togar Tandjung adalah nama seorang kawanku. Jika saja aku tidak menenggak Antangin tablet sekaligus empat baru saja ini, mungkin tidak akan pernah aku terpikir untuk menulis suatu analisis mengenainya. Togar Tandjung adalah nama seorang kawanku yang masih muda. Muda, karena jaman Because I Love You-nya Shakin' Stevens ngetop aja dia belum lahir. Pun demikian, ia tahu Sam Cooke! Ya, tidak mungkin seseorang semuda itu mengenal Sam Cooke jika tidak punya profil psikotelematika seperti beliau ini. Sungguh suatu spesimen yang unik! Suatu artefak! ...dan Togar Tandjung adalah nama yang keren. Jika saja pagi ini begitu terbangun aku tidak langsung menyapa anak tiriku yang laki-laki sedang menonton kartun, mungkin aku tidak akan pernah peduli pada profil psikotelematika siapapun. Seperti sudah menjadi mafhum, psikotelematika adalah suatu pseudo-sains yang terlahir dari konvergensi psikoanalisis dan teknologi informasi dan komunikasi ...dan Togar Tandjung--bersamaku sendiri, tentunya [ehm..ehm... sambil tersipu-sipu kemaluannya] adalah salah satu pelopornya. Jika kami adalah pelopor, maka Gegana-nya, Densus 88-nya adalah Yang Sangat Terpelajar Kangmas Dr. (Honoris Casusa) Toni Edi Suryanto, SH., LL.M, ACCS. Memang pernah terjadi pencemaran pada disiplin semi-ilmiah kami, ketika orang menyebar desas-desus bahwa Vicky Prasetyo adalah JUGA salah satu murid Mas Toni. (mengenai ini sudah saya konperensikan secara pressed bantahannya di Pesbuuk)

Dalam disiplin semi-ilmiah psikotelematika ini ada juga aliran-aliran. Togar Tandjung mendirikan Aliran Wina-Perancis yang sangat kesohor di seantero benaknya sendiri dan juga di seputaran balada layangan putus. Aku sendiri, Bono Priambodo, hanya berkutat pada ...bukan aliran, sekadar Tetesan Jawa-Jerman yang pengikutnya cuma aku sendiri, dan itu pun masih di bawah asuhan Ki Macan Gondrong. Aliran Wina-Perancis asuhan Togar Tandjung ini memang tersendiri, tidak bisa disamakan dengan sekadar Sartre apalagi si Maho Foucault; meski ciri-ciri ke-Perancis-annya masih dengan mudah tercecap. Sedangkan Wina--kita sudah tahu--adalah sarangnya orang-orang yang menentukan baku kewarasan sendiri, seakan-akan kewarasan adalah semacam ambien. Di sinilah kedua aliran kami bercabang menempuh jalan sendiri-sendiri, karena kami dari Jawa-Jerman ini sampai hari ini masih bersikukuh bahwa kewarasan itu adalah emisi, jelaga proses berpikir; seperti pernah dikatakan oleh filsuf paling fenomenal dari abad lampau, Rocco Sifredi, Coitus Ergo Sum! Itulah sebabnya pengikut Tetesan Jawa-Jerman, sampai hari ini, tidak bisa menyimpang dari kekentuan, padahal uang-nya dan cher. Sementara itu, pengikut-pengikut Togar Tandjung, mungkin karena kemudaan perkakasnya, uang-nya masih kental menyembur-nyembur. Bagaimana? Jadi sudah terang 'kan perbedaan antara Aliran dan Tetesan? Antara dan cher dan kental menyembur-nyembur. Persamaannya? Masa kalian tidak perhatikan... ya itu. Sendiri alias swalayan.

Namun, memang harus diakui, disiplin semi-ilmiah psikotelematika pernah mengalami masa-masa gelapnya, yaitu ketika para penggiatnya dikejar-kejar oleh Garis Mati dan diharu-biru cinta dan Cinta. Bagi kebanyakan orang, berhadapan dengan Garis Mati sekadar masalah dapat uang atau tidak. Bagi penggiat psikotelematika, Garis Mati seringkali berpengaruh pada hidup dan mati itu sendiri, meski kami semua terbiasa berlatih--untuk mengasah intelektualitas--bermain trampolin di atas seutas tali kolor. Togar Tandjung adalah seorang pahlawan, seorang jagoan dalam masalah berhadapan dengan Garis Mati ini. Memang, berhadapan dengan Garis Mati, seorang Psikotelematik sejati seperti beliau biasanya menunjukkan kekenduran syaraf yang sangat mengagumkan. Kami bukan orang-orang yang mundur jika berhadapan dengan kematian, meski kami juga tidak mencari-carinya. Akan tetapi, masalahnya lain dengan cinta dan Cinta. Meski semua psikotelematik menunjukkan afinitas yang tinggi pada baik cinta, Cinta, maupun keduanya, Togar Tandjung adalah seorang pecinta yang intens. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang sudah kesohor di benaknya sendiri. Cinta yang kerap dan tegang, kelihatannya, adalah kesukaannya. Ia seorang pahlawan menghadapi Garis Mati, namun di hadapan cinta, ia bagaikan seorang anak yang dengan rakusnya melahap semua yang mampu dikhayalkan R.L. Stine. Jika sudah demikian, aku hanya dapat membayangkan; seorang anak laki-laki berambut keset welkom, sendirian di kamarnya merinding-rinding kengerian. Akankah ia menghambur ke pelukan ibunya, seperti yang selalu dilakukan anak tiriku?

Saturday, January 04, 2014

Seorang Dosen Koprofil Berjubah Genggang


Ngopi itu asalnya memang keisengan, atau kecemasan, atau kegelisahan, atau pun... atau Pond's bodi losyen. Lhah, lucu 'kan, ketika jantung sudah berdentam-dentam malah ditambahi kafein. Kemudian dari pada itu memang tepat jika merokok Djarum Super, karena nikotin merupakan obat pengubah suasana hati, (mood-altering drug; MAD) katanya. Terlebih jika ditambahi produksi asam lambung yang berlebih, mengguliri, merambati sariawan-sariawan, dan koreng-koreng, dan bisul-bisul di dinding lambung; terasa seperti interlud berupa lead gitar yang diberi sedikit overdrive. Namun, di atas itu semua, rum dan wiski, minuman sejati orang pelaut; [atau minuman orang pelaut sejati?] meski aku nyaris yakin bahwa itu semua hanya dalam khayalku saja, karena aku tidak pernah minum grog. Aku hanya dengar-dengar, katanya persediaan air di kapal, agar tidak berganggang berlumut, ditetesi sedikit rum atau wiski. Sebetulnya 'kan tidak apa juga berganggang, berlumut; paling rasanya nanti seperti supnya orang Jepang--meski dengan demikian tidak selalu orang Jepang itu pelaut dan juga sebaliknya. Oh, betapa sulitnya menjadi dosen tanpa obat pengubah suasana hati. Dosen butuh suasana hati yang sebaliknya. Maksudnya, jika suasana hati sedang sendu, maka dosen harus udnes.

Ular picung. Bukan yang ini. Ini yang masuk rumah.
Lagi, dan lagi dan Lagi. Lagi-lagi Lagi. Aku selalu ingin lupa tapi aku takut, karena hati-hatilah pada apa-apa yang engkau inginkan. Jika saja ada sesaat itu... Berandai-andai pun tidak boleh karena temannya setan, dan setan bukan teman yang suka berandai-andai. Aku lebih baik berteman kucing-kucing dan anjing-anjing... Kucing, anjing, tidak juga. Aku... berteman diriku sendiri, yang sebaiknya kuberi nama; dan namanya adalah... Ahmad Yani. (?!) Tidak lah. Aku berteman dengan... tai! Betapa lucu kata ini jika dituliskan. Mengapa orang suka memaki dengan namamu, Kawan? Padahal engkau sungguh lucu, tiga huruf begitu, t - a - i. Bahkan, namamu terdengar seperti nama perempuan. [hei, kau tahu 'kan apa itu perempuan?] Kau perempuan, 'kan? Mari sini kulihat. [kuangkat ekornya] Huh, kau perempuan! Mencret pulak! [sambil mencampakkan kembali ke tanah] Aku tidak suka padamu, karena kau suka genit menggelesot-gelesot. Bukan karena bulu-bulumu, aku tidak suka genitmu yang menggelesot-gelesot begitu! [bisa kaubayangkan, digelesot-gelesoti tai?] Bisa mampus dihujat dijijiki feminis aku begini... yah, semoga dada kalian tidak saja membusung tetapi juga melebar untuk mampu menampung rasa sakitku--yang sama sekali tidak maskulin apalagi macho ini, duhai, para feminis--karena aku hanya seekor koprofil.

Ini seperti berpelukan di bawah gerimis menderas. Ya, tepat seperti itu, di tepi hutan. Meski seekor ular picung yang cantik melata melingkari kaki, pelukan tidak mengendur tidak terburai; justru mengeras, menguat, mengeraskan pula yang di bawah situ, membasah pula yang setentangnya, agak ke bawah sedikit. Cantik, ular picungnya, dengan kepala hijau seperti permen fox, dan lehernya yang merah seperti bibir perawan. Namun, ketika bibir, keras kering menghitam, berbau tembakau mengoles-oles rambut basah, kepala tengadah dengan bibir minta dipagut. Terbuka sedikit, menjulur lidahnya; seperti lidah ular picung namun tidak berbelah, karena lidah ular dan kadal gunanya untuk mencium bukan mencecap. Maka berpagutlah, bibir dan bibir bertangkup, mengatup, sedangkan lidah menjalar-jalar kian kemari saling bersilat, membentur gigi-geligi, langit-langit mulut, terkadang dinding pipi sebelah dalam. Ini semua berakibat pada mengeras dan membasah dan melorotnya resleting-resleting, sedang gerimis sudah berubah menjadi hujan deras; masih juga ditingkahi gelegar guruh dan guntur, berkelebat kilat. Ular picung merapatkan tubuhnya pada tanah. Tanah mempererat dekapannya pada ular picung, membagi padanya sisa-sisa kehangatan matahari yang masih disimpannya dari siang tadi. Malam itu, di bawah derasnya hujan, di tepi gelapnya hutan menggeremang cinta; dan ular picung memagut ekornya.

Friday, January 03, 2014

Dari Haji ke Haji: Golok, Thobroni, Syu'aib


Sesuatu yang [Memang] Harus Dilakukan dalam versi aslinya ternyata tidak terlalu kusukai, mungkin karena aku sudah keburu terbiasa dengan tafsir Ray Conniff terhadapnya. Namun Keterlambatan bekas pacarnya Neil Sedaka yang Yahudi ini [yang mana ia tenyata juga Yahudi] menghadirkan perasaan yang terasa janggal dan mengganjal, terutama di pagi hari seperti ini. Keterlambatan ini mengingatkanku pada pepohonan kecapi, kokok ayam, Haji Golok dan jalan conbloc di samping Gym; padahal seharusnya tidak, karena pada saat itu Asatron belum hadir dalam kehidupanku... atau sudah? karena Delta FM 99.5 the best oldies station in town sangat identik dengannya, Asatron. Kemudian tentu saja rendisi Cliff Richard terhadap Kali Pertama. Ini bisa jadi ketoprak, gado-gado, atau nasi Bu Mideh, ditingkahi bau lembap kayu dan kandang kambing lengkap dengan embikannya, sedangkan di kejauhan sana desau daunan bambu di tepi Ciliwung. Masih ada landak di kebun salak yang tidak lagi terawat ini, meski semua saja adalah "lampu tempel," seperti kata Haji Thobroni. "Kena daging gak pa-pa, asal jangan kawin lagi, Insya Allah," merupakan suatu azimat yang akan kupegang teguh sampai kapan pun. Sungguh aku beruntung beliau mengijazahkannya hanya padaku.

Sungguh suatu jalan yang sangat berliku, yang, bila ditengok ke belakang, ternyata sudah panjang sekali; meski jika memandang ke depan, baru sampai sini, segitu-segitu aja; yang penting jangan suka mainkan Permainan yang Suka Dimainkan Para Pecinta, karena kau tahu, Jika Aku Tidak Peduli, tidak mungkin aku melakukan semua ini untukmu, melamunkanmu sepanjang hari, berdoa dengan NamaMu di  awal dan akhirnya. Nah, begitu seharusnya kalimat. Mengalir. Deras. Apa pulak tanda-tanda baca ini?! Tetap saja aku tidak bisa menghindar dari mereka, karena aku... suka keteraturan. Kata Hadi, ada anak yang suka mencipta, ada yang suka memperbaiki. Kalau begitu, harus ada yang suka merusak. Mencipta. Memperbaiki. Merusak. Membunyikan sebuah lonceng? Dari Hari ke Hari Jatuh Cinta. Jatuh cinta seperti madu yang difermentasi, ditapaikan menjadi mead, minuman para biarawan; karena... ooh... karena aku merengkuhnya sepenuh-penuh dekapan di Mal Depok Lantai 2 ketika masih ada buku-bukunya. Hari-hari yang Penuh Anggur dan Mawar, ada di salah satu buku; seperti sering dan selalu saja terjadi padaku, yang nyaris tidak pernah menginginkan apa-apa ini. Ingin hatiku mengaku biarawan, pertapa; namun, seperti kau lihat sendiri, aku jijik, nista, berlumur najis. Aku. Berisik. [koq jadi seperti puisi?]

Pada akhirnya, aku harus Berlalu, seperti semua anjing ketika kafilah menggonggong. Semua anjing jauh lebih baik dari kafilah mana pun, meski Pluto yang bau dan Blondi yang buduk dan berbaju rombeng itu! [...anjing yang di dekat Hermina itu... lebih baik juga? Lebay memang.] Ah, baru aku ingat. Itu satu teknik yang sudah lama tidak kugunakan. Gambarnya begini, maksudnya begitu... dan mengapa pula burung? Burung apa ya ketika itu, kutilang-kah? [Namun, kali ini sepertinya aku tidak dapat menyertakan sumbernya.] Ya, hatiku memang telah patah, kurekatkan kembali dengan rubber cement, lem untuk menambal ban sepeda, malah meleleh; karena hatiku ternyata terbuat dari styrofoam. Hanya alunan bass 'De Les Chadwik yang meletat-meletot men-jowal-jawil, yang membuatnya agak meliuk-liuk geli kesenangan. Lalu ini, ia memintaku untuk Tidak Menyalahkannya, lalu katanya, ini jazz. [Lhah?!] Itulah akibatnya bila lebay. Enak ya enak aja. Enak itu rasa, gak usah dideskripsikan dengan kata-kata. Nanti jadi jazz, meski memang benar, daripada musik metal lebih baik musik jazz. [sedang semut-Semut Hitam ini begitu beringasnya menyerbu teh manisku yang kubiarkan gara-gara sibuk menulis-nulis. Maju... Jalan!] Ooh... Pergilah Gadis Kecil, kau menyakitiku. [tidak sampai sakit sih, tidak sulit pula. Biasa saja]

...dan mereka menyebutnya Cinta Kirik!