Saturday, November 26, 2022

Suatu Waktu Untuk Kita Menyusumo, Susumo!


Daripada merasa kesakitan, lebih baik menjatuhi diri sendiri dengan cinta. Menjelang tengah malam yang dingin di akhir November ini, tumben Amsterdam belum bersalju. Malah hangat ini, mungkin karena mendung berhujan. Tempo hari aku berpapasan dengan Velen. Seperti biasa pertanyaannya kapan, yang 'kujawab dengan dengusan dan dehaman. "Lo sih pulang melulu." Untunglah aku tidak perlu terlalu memedulikannya, karena aku sedang jatuh cinta. Meski aku tidak baru saja ikut mengebom Berlin, dapat 'kurasakan bibir dan wajahku dikecupi.
Ya, dihujani kecupan oleh seorang perempuan muda berusia dua puluh tujuh tahunan. Uah, aku bahkan lupa rasanya berumur segitu, apatah lagi rasa seorang perempuan berumur segitu. Umur segitu memang sudah sangat patut berumah-tangga. Sedih malah jika belum. Seingatku, umur segitu aku sedang tolol-tololnya. Tahun 2003 apakah aku menyongsong kehancuranku. Cahaya dari samping ini sungguh sangat mengganggu, sedang kalau pas di depan terlalu silau. Begini lumayanlah. Toccata ini begitu saja 'nyelonong menemaniku yang tak lagi muda, pun masih dungu.

Jika ada mahluk mengerikan menyapamu di warung modern ber-AC atau di depan warung pulsa, memanggilmu "Om", sudah tentu kau terus berlalu. Jadi tidak usah gaya-gayaan. Seperti lagu kecil ini, tentu ada yang menjijikkan. Begitu menjijikkannya sampai membuat mual. Bagaimana kalau bentuknya saja yang menjijikkan. Tutur-kata, tindak-tanduk, bahkan baunya harum mewangi. Tidak! Tobat bin kapok tidak mau gaya-gayaan lagi. Memang standarku sudah rendah maka jangan direndahkan lagi. Ini lagi kemarin dimainkan dengan piano sedang aku kejijikan begini.

Lantas bagaimana dengan keindahan dunia. Dunia, hidup di atasnya ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya. Wow, belum lama ternyata Culap-culip mengudara. Baru tahun lalu dan beberapa videonya sudah ditonton jutaan kali. Pasti tidak mudah membuat yang seperti itu, meski mungkin jauh lebih mudah daripada mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan anggota-anggota para pemimpin rakyat sejati yang berhikmat kebijaksanaan. Ada lagi usul membuat lumbung sebagai alat pengisian MPR. Masih ada lagi majelis ketuhanan, majelis kemanusiaan, majelis persatuan, majelis kerakyatan, dan majelis keadilan.

Apa mereka tidak tahu betapa gila terdengarnya usul-usul mereka itu. Jangan-jangan demikian pula terdengarnya segala omonganku. Ini membuatku teringat pada seorang gadis yang menyapu kantor, yang pernah kemasukan orang gila mau pinjam kamus. Bukan hanya satu melainkan beberapa, yang aku tidak mau kenal lagi. Orang gila itu pernah kencing dan wudhu sekali di wastafel Warung Alo. Kenapa jadi membahas orang gila, bukan gadisnya. Karena gadis-gadis tidak akan pernah habis dibahas, sedang orang gila jika dihabisi takkan ada yang meratapi. Aku ini.

Aku senang, meski melanggar jumlah baris, tetap rata kanan-kiri. Jika itu saja tersisa untuk kesenanganku, tidak menjadi apa. Jikapun aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada fananya dunia, itupun tidak menjadi apa. Cinta, jika sejati, tidak akan jatuh apalagi menjatuhi. Biarlah keindahan dunia berseliweran di hadapanku, aku selalu bisa tersenyum karenanya. Apakah orang gila itu tidak lupa mencuci kelaminnya, atau bahkan mandi besar sekali sebelum wudhu, aku malas menanyakannya. Biar Penciptanya yang menilai, lantas menerima atau menolak sholatnya.

Keharuman itu akan selalu tinggal dalam benakku, jika tidak lagi pada epitel rongga hidungku. Tidak perlu lagi 'kuhirup dalam-dalam a la Jean-Baptiste Grenouille. Cukup 'kusungging senyum dan keharuman itu kembali padaku, denganku. Apakah ia sekadar menyelimuti atau mendekapku erat, kini terserah padaku. Bahkan harumnya yang gurih itu sampai bisa 'kucecap dengan indera perasa pada lidahku, entah itu berarti bibir saling berpagut, lidah berjalin-berkelindan. Meski pangkal lidah elek-elekan dicincang kecil-kecil pun digoreng garing, aku akan tetap mencinta.

Sunday, November 20, 2022

Wilkataksini Tidak Sama Dengan Wiraksini


Ini adalah suatu ketidakberdayaan. Uah, apa tidak ada ungkapan yang pendek saja dalam Bahasa Indonesia untuk itu. Sedang aku merasa tak berdaya hanya karena teh dalam jebungku tinggal beberapa teguk, Mas Wiek datang membawa rujak serut dengan helm gojeknya. Sebenarnya, ketidakberdayaan 'kurasakan ketika aku mengetiki begini, di sini. Sudah berhenti sampai di sini sebenarnya, karena mengitiki itu jika aku sedang merasa lucu, dan karenanya riang. Kalau sedang merasa tidak berdaya begini, tidak ada yang berlompatan apalagi berkesiuran. Mustahil semua.
Lebih tidak berdaya lagi jika sarapan dengan roti goreng isi totit dari setiap hari, masih ditambah beberapa keping keju garam, sambil menyimak sejarah lama. Apakah ta'liman ibu-ibu ini yang menambah rasa tak berdayaku, sedang mengetiki seharusnya ditemani irama merdu mendayu-dayu. Baik 'kucatat di sini Wiraksini itu nama seorang gadis, sedang Wilkataksini adalah raksasa. Hahaha bagaimana sampai bisa tertukar. Sampai di titik ini, aku merasa tidak sanggup menyelesaikan entri ini, sedang mataku sudah disambung kacamata baca, kini 'kulepas. 

Aha, ingat aku sekarang. Minggu pagi yang tidak ke ndalem Jalan Radio. Jadi ada dua macam minggu pagi. Satu, yang ke ndalem Jalan Radio. Dua, yang tidak ke ndalem Jalan Radio. Sungguh memalukan. Lima ratus ribu bertebaran di mana-mana, terlebih lagi empat juta atau bahkan lebih. Allah Dewa Batara. Ini adalah minggu pagi di tepian Cikumpa, yang kini diselingi Pondok Pesantren Daarul Hidayah Aswaja. Darinya pertama kali 'kudengar lagu Sholawat Hasyim. Apa kaupikir ini 'kan menjadi semacam karya sastra begitu, lelompatan kebat-berkebit ini, meski rata kanan-kiri.

Memang jatuh cinta bisa membuat orang mengabadikan nama dalam judul sebuah lagu bersyair. Itu sangat dapat dipahami. Apakah pada tempatnya jika 'kutulis di sini betapa, setelah sekitar dua puluh lima tahunan, Kapten Angkatan Laut Victor Henry jatuh cinta lagi. Seperti halnya Robert Langdon tidak seperti Tom Hanks, aku yakin Victor Henry juga tidak seperti Robert Mitchum, meski mungkin Herman Wouk sendiri yang memilihnya. Ah, Amerika memang keparat, yang bila nanti di lubang kubur tidak akan berarti apa-apa, seperti ketika 'kupandangi foto-foto itu.

Dari kiri ke kanan, Mbak Eka, Bang Andhika, Prof. Arie. Lagu cinta, itu malah yang diperdengarkan bagiku yang masih berkeliaran di punggung bumi. Sungguh aku tidak sanggup gaya-gayaan berbicara mengenai aji pancasona alias rawa rontek, aku yang tidak berdaya tanpa republikku ini, seharga hampir setengah juta setiap bulan. Mungkin ini lebih baik, karena jika menggunakan sabun batangan Dettol asli sungguh lecetnya. Jika sampai bertemu, mungkin ada baiknya si pembuat tekotok ditempeleng bolak-balik. Dia pikir dia lucu, untung saja diselamatkan suasana syahdu.

Apa arti kesyahduan jika bukan ayam bakar diberi bertusuk sate dengan potongan besar-besar. Masih bersari jika digigit, makannya harus panas-panas. Jika sudah dingin tidak seberapa enak. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari pernah tinggal di Belanda, hanya potongan kenang-kenangan. 'Kurasa begitulah adanya bagi semua orang. Namun aku suka keadaanku sekarang, jauh dari republikku. Meski badan tidak segar karena memang tidak pernah bergerak. Bergerak membuat lebih produktif, katanya. Bisa jadi, setidaknya suasana hati jadi lebih baik, tidak seperti ini.

Suara utamanya gitar baja ditingkahi terompet berpengedam. Jenial! Bisa terbayang rasanya jatuh cinta pada Emmanuelle di jalan-jalan Eropa yang muram cuaca. Aku sampai lupa apa rasanya berperut rata. Sudah hampir dua tahun ini perutku buncit menggelembung. Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintaimu, seperti halnya bagaimana mencintai diriku sendiri. Jika armada sekarang sudah berubah menjadi mal dan hotel, aku bahkan tidak tahu apa dia sebelumnya. Seperti halnya bocil-bocil ini menjadi perwira Angkatan Darat, Yesus Kristus Superstar! Entah, 'ku tak tahu lagi.

Tuesday, November 15, 2022

Apa Harus Kuganti Menjadi Jabodetabekpunjur


Apa lantas ini akan menjadi entri mengenai Warung Nasi Cipunjur khas Cianjur yang di Jalan Kemakmuran itu. Apa lantas ini mengenai karedok dan ulukutek leunca yang sepisin kecilnya sepuluh ribu Rupiah itu. Apa lantas pepes tahu yang penuh dengan uwuh sehingga sulit memakannya itu. Apa karena aku marah-marah pada bocil-bocil itu, karena mereka terlalu percaya pada pemilu langsung. Eddie Calvert menyompretkan John dan Julie, yang seingatku tidak ada di kaset Ibu. Tidak menjadi apa karena memang sompretannya amat berwarna keemasan, seperti terompetnya. 
Jikapun aku langsung melompat ke mari, itu sekadar memeriksa posisi gambaran. Kapan itu aku makan pilus rasa mie goreng sembari meneguk-neguk Nu teh tarik, sejak itulah perutku terasa aduhai. Seperti London di malam hari ketika Pamela nyaman dalam pelukan Kapten Henry, seperti itulah aku mengetiki di depan jendela memandang ke arah gang Blok M. Adakah London di waktu malam dalam kaset Ibu aku tiada ingat. Ia selalu ada di Kemayoran, pada rak kaset kayu yang terakhir berwarna biru, seperti rak buku kesayangan buatanku sendiri, 'kubawa ke mana-mana.

Meski sebelum ini sempat terpikir mengenai bunga kuning kecil yang menghias indah sudut kanan bawah, di tengah limpahan cumi empang dan irisan cabai hijau dan cabai merah dan bawang putih, nyatanya gawai ini memang cucok untuk mengetik-ngetik seraya mendengarkan musik-musik non-stop yang diputar Youtube. Uah, kalimat apa itu berlari kencang begitu. Apa baiknya ditingkahi dengan gericik air, atau bahkan debur ombak. Masih lebih baik daripada dengingan bor apatah lagi hantaman martil menggempur beton. Khayalku tidak menjadi kenyataan. 

Tidak seperti suami Uncu yang Jawa, atau bahkan Ahmad Wildani si bocah Ngalam, aku tiada pandai mencari uang. Jika dipikir-pikir, apalah pandainya aku ini. Tak ada. Kelentang-kelenting piano dengan lamat-lamat oser-oseran stik sikat pada dram senar, sedang ombak mendesau mendebur seakan tidak di kejauhan, aku duduk di sofa bau meski sudah ditutupi kain pelapis. Seperti sofa di rumah Pak Kaji dulu di Uilenstede. Sofanya Hadi tiada ditutupi, dibiarkan terbuka begitu saja sampai bau Hadi. Lantas apalah arti cinta dan kasih-sayang di sejuknya musim semi.

Di sini kau akan tahu bahwa aku sudah tersesat jauh, meski desauan ombak ini serasa amat dekat. Dapatkah aku melakukannya sambil melaju di tol Trans Jawa. 'Kurasa tidak perlu, karena jikapun itu sampai terjadi, maka aku hanya harus menunggu sampai servis makan, setelah itu tidur hingga sampai di Jombor. Tentu saja di Magelang ombak tidak mendesau, tidak seperti di Sanur, tempat-tempat pelesiran itu, atau tempat-tempat healing kata kids jaman now. November ini banyak orang-orang dalam hidupku berulang-tahun. Jikapun 'kusebut, itu almarhum bapaknya Nira.

Adanya aku bisa sampai di sini, ada entah siapa membuat video lirik bagi Musnah tak Berguna, maka tidak selesailah entri ini sebelum tengah malam. Aku bahkan tidak ingin menceritakan mimpiku sebelum bangun tadi. Kenyataan bahwa aku tidak punya uang, sedang perutku tumpah-ruah ke mana-mana, sedang tadi malam makan malam bubur Madura, masakan  pagi ini makan bubur Cianjur. Apapun yang diinginkan Cantik, sudah barang tentu aku paling suka bersamanya. Jika ia ingin bubur Cianjur, bahkan Unicorn Indorent sekalipun, Insya Allah 'kuusahakan.

Jujur, jez November piano bossa nova ini tiada berapa endeus, apalagi jika tidak ditingkahi desauan ombak yang tiada henti. Suasana apa ini yang ditimbulkannya. Apakah suasana sarapan pagi di sebuah resor pantai, sedang tersedia potongan marlin asap yang diasinkan selain tentu saja ratatouille. Semua kenangan dari delapan tahun lalu. Tentu saja aku tidak mungkin mengenang yang belum pernah terjadi padaku. Semua kenangan kini terasa ekstra menyakitkan, kecuali menjalani apa adaku bersama Cantik kesayanganku satu-satunya. Hanya karenamu 'kutahankan semua.