Thursday, September 24, 2009

Beginikah Caraku Mengenangmu?


Pengaturan full bass and treble-nya Winamp baru terasa sedap jika menggunakan Altec Lansing-nya Parul yang telah integral dengan Lich King entah bagaimana caranya. Gericik dan gerincing simbal dalam After the Love is Gone terdengar begitu jelas. Aku memang belum jelas juga meski September akan segera berlalu. Pun, aku malu untuk mengakuinya bahkan di sini. Memang tidak boleh. Ada tempatnya untuk mengaku. Bukan di sini. Masih di ketinggian lantai 4 Gedung D FHUI Depok, memandang ke arah selatan sambil menulisi Kemacangondrongan. Asli ga ada gunanya! Gunanya... untuk menumpahkan segala racun yang menyumbat saluran-saluran benak.

Padahal ada cara lain yang sudah pasti manjur. Padahal sudah jelas meracau di sini tidak menyelesaikan apa-apa. Pun, ingin kutumpahkan juga. Sungguh aku takut berkuasa, apalagi untukku yang ekstrim ini, karena aku sangat suka mempelajari teknik-teknik genosida. Sungguh suatu kata yang menyebalkan. Hadi si Dosen Hukum dan HAM menyayangkan kehadiranku yang sumir dalam kuliah-kuliahnya, sehingga mengakibatkan nilai B bagiku untuk matakuliah itu. Justru itu, tukasku. Apa kata dunia jika si Pelanggar HAM ini sampai dapat A untuk matakuliah Hukum dan HAM. Aku bukan pelanggar hukum. Aku pelanggar HAM.

Kenyataannya, aku dipaksa oleh nasib untuk menyayangi sasaran-sasaran genosidaku. Ah, kenapa juga harus ada kata khusus untuk ini? Mengapa tidak sekadar pembasmian saja, seperti membasmi hama? Kata "pemurnian," yang lebih menekankan pada tujuan atau akibat dari pembasmian itu, mungkin lebih sesuai digunakan. Keparat-keparat itu menjadikan genosida suatu kategori besar yang menampung segala sesuatunya. Aku sudah tahu pasti mereka akan menyepelekan alasanku untuk melakukan pembasmian. Mereka akan mengatakan aku mencita-citakan genosida dengan dalih agama. Mereka mungkin harus dijadikan sasaran juga, walau aku tidak sepenuhnya sependapat dengan Pol Pot.

Mungkin caranya adalah mempersilakan mereka minggat dalam tenggat tertentu atau menjadi "pahlawan-pahlawan agraria". Tentu saja, aku tidak mau di "Mandala-mandala Agraria" nanti kondisinya buruk. Semua harus tersedia dalam kecukupan yang sewajarnya bagi para pahlawan tersebut. Bagaimana mereka dapat berjuang jika tidak dicukupi kebutuhannya, disediakan kelengkapannya. Kalau sampai ada yang berniat, apalagi sampai berbuat, buruk pada para pahlawan agraria beserta keluarganya, mungkin aku sendiri akan dengan senang hati menembuskan timah panas tepat di antara kedua matanya... Bila waktu mengijinkan, mungkin harus kubeli dan kubaca buku "Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi." Mungkin, buku ini mampu menyembuhkanku dari hobi mempelajari teknik-teknik genosida.

Nanti dulu, bagaimana dengan sasaran yang satu ini? Apa yang dapat dilakukan terhadap mereka? Sekadar menyilakan mereka menjadi pahlawan agraria boleh jadi tidak cukup untuk mengobati penyakit-penyakit mereka. Sesungguhnyalah hanya kasih sayang dalam dosis sangat tinggi yang dapat menyembuhkan mereka. Siapa yang dapat memberikannya? Bagaimana melatih sebuah korps pemberi-kasih-sayang dosis-sangat-tinggi? Beberapa divisi mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan tugas ini. Kalaupun mungkin, bagaimana cara membiayainya? Apakah fasilitas ini harus dipadukan dalam Mandala-mandala Agraria?

Akan menjadi seberapa mahal mandala-mandala itu jika demikian? Mungkin sama saja dengan para pemikir bebas lainnya, kepada mereka diberi tenggat untuk pergi ke lain tempat yang dapat mengakomodasi pikiran-pikiran bebas mereka. Jika dalam tenggat yang ditentukan mereka masih ditemukan di dalam negeri, maka Mandala-mandala Agraria itulah tempat mereka, tentu saja, yang sudah dilengkapi dengan fasilitas khusus untuk menangani penyakit-penyakit yang mereka derita. Sedikit motivasi seperti timah panas di antara dua mata mungkin akan membuat mereka lebih bersemangat untuk menyembuhkan diri sendiri.

Akhirul kalam, sesungguhnyalah terserah Allah mau diapakan mereka semua. Aku hanya tahu berbagai gimmicks seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah pasti gagalnya di tanah ini. Sulapan seperti itu hanya akan mengundang tepuk tangan dan decak kagum mereka yang cukup banyak waktu untuk itu. Entah berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk membangun institusi yang sudah pasti gagal bahkan semenjak disainnya. Namun, jika segala sesuatunya terus berjalan seperti ini tanpa ada perubahan penting ke arah yang lebih berarti, mungkin itu pertanda Allah telah mencabut kembali kekhalifahan manusia di atas bumi-Nya.

Mungkin, bumi sendiri nanti yang diijinkan Allah untuk mengurus dirinya sendiri, membersihkan punggungnya dari mahluk-mahluk kecil yang hiruk-pikuk dan membenamkan mereka ke dalam perutnya. Semua ini menjadikannya jelas betapa aku tidak cakap untuk melakukan pekerjaan apapun. Tidak ada kantor yang mau mempekerjakan seorang fatalis yang tidak punya cita-cita apalagi ambisi bahkan untuk dirinya sendiri. Tidak ada perusahaan yang mau menggaji seseorang yang menghabiskan banyak waktunya untuk mengolah semua paradoks yang dicerapnya dalam suatu konspirasi eskatologis (Wow, tidakkah terdengar ilmiah kalimatku? Tidak!).

Occupation: Part-time Unemployed

Tuesday, September 22, 2009

Sudah Tidak Panas di Maastricht


Mendekati Maghrib terakhir pada Ramadhan 1430H kemarin, seorang pemulung masih memanggul karungnya. Matanya masih awas memindai setiap sudut jalan di Kompleks Yado, Radio Dalam, kalau-kalau ada gelas atau botol plastik, kardus dan sejenisnya yang masih bernilai uang. Aku baru saja dari ATM BCA, mampir sebentar di penjual pulsa sebelum menuju ke Masjid al-Falah Kompleks TNI-AL guna membayar zakat fitrah, kemudian ke Grand Lucky membeli pepaya dan belimbing serta dua bungkus Nutrijell. Dalam dompetku ada dua lembar uang seratus ribuan. Ketika itu aku berpikir, seandainya ada limapuluh ribuan, akan kuberikan pada pemulung itu. Hatiku berat untuk memberinya seratus ribu Rupiah, karena keadaanku juga sedang tiada berapa lapang.

Akhirnya ia berlalu ke arah Jalan Yado III sementara aku belok kanan. Satu hal yang terpikir olehku pada saat itu adalah perbedaan standar. Aku tidak mungkin menggunakan ukuran-ukurannya sebagai seorang pemulung, seperti halnya ia tidak mungkin mengukur segala sesuatu dari kacamata seorang M.Sc. lulusan Maastricht, Belanda. Perbedaan keberadaan sosial kami menentukan kesadaran sosial kami masing-masing. Segera saja kusadari kerangka berpikir itu musykil bagiku saat ini. Setidaknya, aku merasa terganggu dengan pemandangan itu. Dengan ringannya ratusan ribu Rupiah kukeluarkan dari dompetku, entah seberapa berartinya uang sebanyak itu baginya.


Malbergsingel di Musim Dingin

KH. Zainuddin Mz. berbicara mengenai cinta. Menurutnya, dalam mencinta setidaknya ada dua gejalanya. Pertama, jika kita mencintai sesuatu, maka kita akan sering menyebut-nyebutnya. Kedua, jika kita mencintai sesuatu, maka kita akan bersedia mengorbankan apa-apa yang kita sukai demi menyenangkannya. Apakah dua gejala ini dapat diterapkan pada kasus cinta kepada Allah? Aku, Insya Allah, yakin tidak ada yang mampu mencinta seperti Allah. Sederhananya, jika kita saja merasa kewalahan dengan cinta orangtua pada kita, dan merasa tidak berdaya dan tidak akan mampu untuk membalasnya secara sepadan, ingatlah bahwa cinta yang demikian itu Allah yang menciptakan.

Cinta antara orangtua dan anak kiranya dapat menjadi acuan jika kita ingin membayangkan bagaimana adanya cinta antara Sang Khaliq dengan mahluk-Nya. Mardhatillah, mencari keridhaan-Nya, kiranya dapat dibayangkan sebagai upaya seorang anak untuk melegakan hati orangtuanya, melakukan segala sesuatu yang menyenangkan hati mereka kendati mengurangi kesenangan-kesenangannya sendiri. Seperti itu kiranya, Insya Allah, penghambaan. Itulah yang kucari. Aku ingin Allah memandangku dengan kelegaan hati, perasaan puas, seperti ketika orangtuaku merasa lega dan puas melihatku.

Kudengar, dalam Injil banyak ditemukan perumpamaan mahluk sebagai "anak" sedang Khaliq sebagai "orangtua." Seperti itulah kurang dan lebihnya. Gusti, hamba berlindung kepada-Mu dari angan-angan disayangi oleh-Mu, sedang hamba masih berlumur berbagai maksiat dan kedurhakaan. Hamba berlindung kepada-Mu dari yang seperti itu. Jika hamba harus merasa disayang oleh-Mu, hiasilah hamba dengan amal tha'ah dan shalih, dan tanamkanlah dalam keyakinan hamba bahwa itu semua adalah karunia-Mu semata. Tiada daya upaya kecuali dengan-Mu, Maha Tinggi, Maha Mulia.

Andai terus begini suasana hatiku,
maka bagai musim gugur sepanjang tahun.
Musim gugur yang menghapus penatnya musim panas.

Andai terus begini suasana hatiku,
maka bagai perjalanan menuju shangrila di ketinggian sana.
Ketinggian yang mengatasi kerendahan penuh sesak dan nestapa.

Nyatanya tidak terus begitu.
Indahnya perhiasan dunia terus menyandera indriaku.

Nyatanya tidak terus begitu.
Jasadku terus meronta demi gelegak kedirianku.

Ya, hal itu terus memberati hatiku. Sungguh tidak sabar rasanya untuk segera berbuat sesuatu atasnya, padahal hanya sabar yang dapat kulakukan kini. Bukan sekadar angan-angan semu yang terus kuulang-ulang, melainkan, Insya Allah, sugesti bagi diriku sendiri terutama untuk terus bergerak ke arah itu, meski kini aku tidak tahu harus melangkah ke mana dan bagaimana caranya. Masa itu akan datang padaku, menjelang seperti terbitnya matahari di ufuk timur setiap hari tanpa ada campur-tanganku sama sekali.

Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah menunggu datangnya fajar, sambil mengisi malam dengan kegiatan-kegiatan yang berguna. Tidur, misalnya. Jika tidur menyegarkan jasad, meningkatkan kualitas penghambaan, Insya Allah, menyegarkan jiwa. Betapa jiwa tidak akan penat jika terus-menerus dipaksa menyalahi fitrahnya. Pun demikian, demikianlah fitrahnya jiwa, yaitu menyalahi fitrahnya. Itulah makna dari perumpamaan titian rambut dibelah tujuh, siapa juga yang tidak akan jatuh dari atasnya? Pun demikian, al-Mutakabbir sudah mempersiapkan aturan main yang bila kita mematuhinya menjamin keselamatan kita di atas titian itu.

Maha Suci Ia yang mengajarkan kepada segenap mahluk-Nya yang lemah, melalui perantaraan kekasih-Nya, shalawat dan salam semoga senantiasa atasnya dan keluarganya, cara memuji yang patut bagi-Nya. Segala puji pada kenyataannya memang hanya bagi-Nya karena tiada sesembahan kecuali-Nya, Maha Besar-lah Ia. Masa itu, Insya Allah, akan datang padaku. Aku hanya harus mengerjakan apa yang harus kukerjakan sebagai seorang sahaya. Sungguh, tiada daya upaya kecuali dengan-Mu, Maha Tinggi, Maha Mulia. Ampunilah hamba.

Tonight, evening clouds will give way to clearing overnight. Low 9C. Winds ESE at 5 to 10 mph. Tomorrow, areas of fog early, becoming mostly sunny in the afternoon. High 21C. Winds SW at 10 to 15 mph.

Saturday, September 19, 2009

Ramadhan yang Pergi Karena Kuabaikan 2009!


Pertama-tama (kata bentukan ini pasti nggak bener), aku akan memulai entri ini dengan ihwal (ini kumaksudkan sebagai terjemahan bagi "concern") ga penting mengenai berat badanku, ho ho ho. Aku menginjakkan kakiku lagi untuk kali pertama setelah setahun di Belanda di timbangan Rumah Yado pada 1 September 2009. Timbangan itu meregister angka 76. Kini, setelah hampir tiga minggu, timbangan yang sama meregister angka 81! Suatu prestasi!

Ihwal kedua yang ingin kukemukakan (ribet amat yak kata ini...) adalah ketuaanku yang bacin sedangkan uthekku sik lethek wae. Apa karena semakin bacin itu maka uthekku tambah lethek? Begini atau begitu sama saja! Toh malam ini aku sedang tidak mau sedih tapi juga tidak ada alasan untuk gembira. Eh, ada ding alasan untuk sedih. Itulah juga yang akan menjadi judul dari entri ini: Ramadhan yang Pergi Karena Kuacuhkan 2009!

Ibu Kadek Adi Wartini dengan ternak babinya (sumber: www.kiva.org)

Ramadhan ini, seperti halnya tiga Ramadhan sebelumnya, berlalu begitu saja karena kuacuhkan. Ramadhan ini, seperti halnya tiga Ramadhan sebelumnya, kuiisi dengan urusan-urusan yang macam betoool (Coba ada Bang Herman di sini, pasti dia akan menanggapinya dengan pernyataan-pernyataan menyebalkan khas Herman Abubakar). Kenyataannya tidak ada urusan yang benar-benar betul sepanjang Ramadhan ini, meski aku tahu persis perasaan ini timbul karena lemahnya iman semata.

Jangan-jangan dari sejak tiga Ramadhan yang lalu kualitas penghambaanku terus saja menurun. Hiy, ngeriy! Memang betul aku sekarang Bono Budi Priambodo, S.H., M.Sc., dan tidak mungkin terdengar lebih manis lagi dari kedengarannya kini. Pun demikian, aku menemui diriku menginginkan lebih, sedang sudah lama betul aku tidak pernah betul-betul menginginkan apa-apa. Determinasi, satu hal yang belum pernah sungguh-sungguh kumiliki.

Buktinya, aku malah menulis entri ini. Seperti biasa aku menganggap pekerjaanku sebagai kerja seni yang membutuhkan suasana hati tertentu. Jika aku harus menulis naskah tragedi, hatiku harus turut tersayat-sayat. Jika aku sedang menulis tragedi, dadaku harus membuncah dengan ledakan air mata. Jika aku ingin menulis naskah tragedi, aku harus menjadi bagian dari tragedi itu sendiri. Ho ho ho, tragedi thok pikirane. Aku memang spesialis tragedi, setidaknya seperti yang ingin kupercaya.

Tragedi atau bukan, aku harus menuntaskannya minggu depan (seperti inilah caraku mengelola waktu). Jika tidak, semua ini tentu akan menjadi omong kosong belaka. Terlalu mahal, terlalu penting untuk menjadi sekadar omong kosong! Seberapa mahal? Seberapa penting? Jangan tanya! Betapa lunglai hasratku ketika mendengar kata "indicator," karena aku lebih suka merasa daripada mengukur. Aku seniman bukan petarung (tidak tahu malu!).

Lihat, betapa lemahnya imanku. Sudah begitu saja tentang Ramadhan yang segera berlalu. Satu dari empat berturut-turut. Tidak ada penyesalan apalagi rintihan. Keras terasa hatiku. Allah Illahi Rabbi, tidak ada yang lebih perkasa dari Engkau Maha Perkasa dan Berkehendak. Hamba mohon ketetapan hati untuk meningkatkan kualitas penghambaan hamba, Insya Allah, dimulai dengan perawatan yang lebih baik terhadap jasad hamba, segera setelah Hari Raya.

Ya Rabb, hamba mohon dicukupkan kebutuhan duniawi hamba, dan lebih penting lagi, hati yang mengetahui dan bersyukur atas segala kecukupan itu. Ya Rabb, jangan biarkan hamba mengeluhkan kekurangan hamba atas segala kebutuhan duniawi kepada mahluk-Mu yang mana pun. Tetapkanlah hati hamba untuk itu, Maha Perkasa, Maha Lembut, Maha Memberi Rejeki dan Karunia. Tolonglah hamba, Illahi Rabbi. Mudahkanlah hati hamba untuk merintih memohon pertolongan pada-Mu dan hanya pada-Mu.

Susunannya ideal. From Souvenir to Souvenir, dilanjutkan dengan Forever and Ever, ditutup dengan Aufwiedersehn. Sudah nekad saja. Mari kita telanjang! Wow, favoritnya Sleepy Shore! Jadi begitu toh bentuknya kalau suka Sleepy Shore. Ya sudah begitu saja. Tidak ada kelanjutannya? Tidak. Sudah begitu saja. Namun lagu ini... tidak pernah gagal untuk membuatku merasa seperti sedang mencinta. Forever and Ever. Entah dari umur berapa, suatu bentuk cinta yang sangat primordial, sangat purba. Ibuku pasti sudah menyukainya jauh sebelum aku terbentuk dalam rahimnya, dan terlahirlah aku anak sulungnya menyukai melodi yang sama, mungkin hingga kumati.

Jadi ingat percakapan William of Baskerville dan Adso of Melk tentang cinta. Tidak seperti Abi yang ingat redaksi asli dialog Mas Boy dengan seorang janda kesepian, aku tidak segitunya. Yang kuingat, Adso berbicara mengenai cinta yang sangat badani (Ya iya lah. Lha wong dia habis melakukannya), sedang William berbicara mengenai cinta ilahiyah. Cintaku malam ini dengan Forever and Ever sudah barang tentu tidak ilahi. Ini cintaku dengan diriku sendiri, suatu kemampuan yang hanya mungkin dikembangkan oleh orang-orang sombong.

Ibu, engkau telah melahirkan sesuatu yang mengerikan, tapi takkan kubiarkan siapapun mencibirmu karena telah melahirkanku! (lebay mode on which is gaouwl ga sih gue)

Monday, September 14, 2009

Setengah Mati Kehilanganmu


Seperti biasa, aku harus menyembunyikannya di balik permainan kata-kata. Namun malam ini tenaga mentalku sudah sangat terkuras. Hanya "Manja"-nya Ada Band saja yang terus menyeret-nyeret jari-jariku untuk menyentuhi papan kunci. Kini interlude "Rahasia Perempuan"-nya Ari Lasso dengan seksi kuningan (brass section) yang atraktif mencoba memompakan sedikit hasrat ke dalam benakku yang lelah. Aku merasa seperti seorang pecinta renta yang kepadanya dihidangkan gadis belia.

Beruntunglah aku gadis kecil ini tidak memencongkan bibir mungilnya demi melihat kejantananku yang kisut mengerut. Ini pasti pengaruh fantasinya Dan Brown tentang Hashishiyyin yang alih-alih mengonsumsi hashish justru melahap daging mentah. Kenapa lelah? Biasalah. Sudah bertahun-tahun aku begini. Kalaupun ingin sekali kuakhiri, itu karena susahnya hatiku demi melihat mereka yang kusayangi bersusah hati. Untukku sendiri... sudah bertahun-tahun. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi kalau ada keadaan lain lagi selain yang ini.

Arif Satria menipuku dengan "Ekologi Politik Nelayan" yang dibungkus plastik. Aku sudah menduga ketika akhirnya memutuskan untuk membelinya. Ini pasti kumpulan tulisan pendek yang di-awur di koran-koran (seperti pakan lele-nya Pak Sawira yang kupancing bersama adikku dan si Tompel). Tebakan itu terkonfirmasi di Pizza Hut Margo City ketika aku benar-benar membuka bungkus plastiknya. Si kampret benar saja! Aku sudah hampir lemas ketika melihat Salim H.S. dari Universitas Mataram menulis satu volume tentang hukum pertambangan.

Berarti sudah dua, dia dan Abrar Salleng. Dua-duanya memang tidak mencapai taraf kecanggihan yang kubayangkan. Namun aku jadi ragu sendiri, kecanggihan seperti apa yang aku sasar? Kurasa masih perlu membadai-otak dengan Rendy lagi. Sore ini lagi di Menara Karya? Mari kita lihat! Setidaknya satu disertasi mantap dari Peter Burns berjudul "The Leiden Legacy. Concepts of Law in Indonesia" membuat seratus ribu menjadi pantas. Ya, dua-duanya memang kubutuhkan. Semoga (seperti Bang Andhika).

Dari hari yang satu ke hari berikutnya, sesungguhnya aku semakin tidak yakin. Sungguh aku menjadi semakin tidak yakin saja dari hari ke hari. Kuulangikah kalimat ini untuk kedua kalinya? Karena memang aku semakin tidak yakin. Untuk yang ini aku benar-benar membutuhkan kepala yang baru bangun tidur, bukan yang baru mau berangkat tidur. Apalagi dengan Johnny meratap-ratap memohon gadis kecil itu untuk segera angkat kaki. Setidaknya dua kali aku meratapkan hal yang sama. Mengapa malam ini aku memandanginya dengan penuh kengerian?

Sederhana saja. Karena aku baru mau berangkat tidur. Tunggu sampai aku bangun tidur. Keyakinanku akan pulih. Malam ini, jangankan menyaingi Mario Teguh, menulis entri bermutu saja sudah tidak mampu. Adakah aku jujur di sini? Tidak! Aku tidak berani telanjang. Itu berarti tidak jujur. Entah apa yang kuperbuat di sini. Seperti model sensual yang masih mengenakan secarik tekstil untuk membiarkan bagian-bagian komersial dari tubuhnya terpapar kilat lampu kamera. Ayo telanjang! Berani?! Tidak.... (kisut mengerut)

I said a koprol sama lo semua! Ngepot, ngepot sama lo semua!

Saturday, September 12, 2009

Fatalissimo Fantastico!


Jika pun tidak, aku tidak tahu lagi. Jika pun tidak, ya tidak apa-apa juga. Sampai kapan aku akan terombang-ambing di tengah lautan fatalisme ini, aku, sebagai seorang fatalis, tidak tahu dan tidak peduli. Maya bertanya, kalau sudah pi-eij-di terus apa. Tidak pakai lama, kutukas, tidak tahu. Siapa juga yang tahu? Aransemen-aransemen Paul Mauriat mewarnai hari-hari dalam hidupku dari begitu lama sampai aku tak ingat lagi. Malam ini pun begitu walau ia menggunakan instrumen-instrumen baru. Aransemen-aransemen yang sama yang telah memberikan kenyamanan di hati Ibu. Apa yang membuat nyaman Bapak? Kenangan masa kecilnya di Lodoyo?

Sungguh terasa di sini tiadanya daya dan sepelenya upaya. Hari ini, dan sudah beberapa hari sebelumnya, kujalani lagi hidup seorang fatalis di rimba belantara Jakarta. Waktu sahur kemarin kucingcongi Adi, hidup di Jakarta itu seperti layaknya ayam. Ketika sinar matahari menjelang maka turunlah dari dahan tempat bertengger di malam hari, yang tentu saja memberikan kenyamanan minimal. Pun, tetap saja Allah memberi istirahat melalui dahan itu. Turunlah ke tanah dan mulai mematuk-matuk. Tak pernah tahu apa yang akan didapat. Sebutir nasi bekas seseorang yang penuh rasa syukur atau berbulir-bulir beras dari seseorang yang penuh rasa iba. Tak pernah tahu. Pun, nasi dan beras itulah pengisi tembolok.


Je pense a toi… tidak sepenuhnya pula aku memikirkanmu. Jika aku benar memikirkanmu, kamu bukan kamu dan aku bukan aku. Harus kuakui, kau adalah bagian dari impian itu, yang tiada seberapa sulit kuhapus dari kenangan. Bukan impian indah maupun buruk, hanya mimpi saja. Mimpi yang senantiasa harus dipertentangkan dengan kenyataan. Tentu saja, ada rasa bersalah menyelinap sekali dua. Sudah barang tentu, kutemukan diriku menyapa sedikit angin demi kata sepatah dua. Tidak. Sejujurnya, aku lebih suka begini. Musim panas pun telah berlalu dan aku tidak mau tahu. Waktuku sedikit untuk mengejar entah apa. Hidupku tidak bahagia? Takkan pernah kulihat dalam hidupku negeri ini bebas dari jembel mudlarat?

Kalaupun “ya” memang kenapa? Akankah kutemukan kedamaian sebagai pengganti kebahagiaan? Apakah bahagia bagiku? Melihat orang-orang yang kusayangi bahagia? Siapa yang kusayangi? Bapak? Ibu? Adik-adikku? Semua orang? Siapapun? Apapun? Nero? Beki? Bambang? Sam? Siapa bilang aku tidak bahagia? Tahukah kau betapa membuncah perasaanku demi mendengar “Michele”-nya Paul Mauriat? Dapatkah kau merasakannya? Jika kau pernah tahu rasanya mencumbu seorang istri yang shalihah lagi rupawan, itulah yang kurasakan kini! Tahukah betapa melayang rasa hatiku tatkala melihat induk kucing menyusui anak-anaknya di trotoar yang ramai oleh pejalan kaki? Jika kau pernah tahu rasanya melihat istrimu menyusui anakmu, itulah yang kurasakan kini!

Hari ini Mbak Desi memberiku buklet NFP yang kutinggalkan di Pisa Café Setiabudi Building, setelah dijadikan tatakan poci teh oleh Maya. Aku belum dapat memberitahunya nomor rekeningku karena diplomaku belum kuterima. Setelah menghabiskan entah berapa ratus ribu untuk taksi, dan sekitar dua juta lebih dalam waktu kurang dari dua minggu, aku infantri dari Menara Jamsostek ke Menara Karya tempat Rendy berkantor. Rendy memberikan harapan untuk melanjutkan proyek impian hukum dan sumberdaya alam khususon yang berkaitan dengan pertambangan karena ini Adaro.

Berani itu Ajaib, kata Mario Teguh. Yeah, salam super aja deh. Pokoknya, aku harus maju terus dan terus berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya karena, kata Mario Teguh, berani itu ajaib. Entah apa maksudnya. Sejurus kemudian, episode terbaru dari Setiabudi Building di Goku Shabu yang makanannya ora enak blas tur luarang puol geser ke Pisa Café. Gelato Menta-nya enak. Beberapa ratus ribu lagi. Yah, kalau terlalu dihayati episode ini, kesedihanlah yang kudapat. Jadi, tidak perlu terlalu dihayati. Ramadhan tinggal beberapa hari lagi dan belum sekali pun aku melakukan penghambaan. Mari kita lihat minggu depan. Salam super dahsyat!