Friday, December 31, 2004

2000-an Dekade Kita Melihat Semuanya: 2004


Jika berpikir mengenai 2004, tak ayal kenangan akan melayang pada Teluk Tomini. Tahun ini bolehlah dikenang sebagai tahun di mana akhirnya aku, selaku seorang peneliti, [halah!] menemukan kemantapan hati mengenai minat penelitian. Selama kuliah, aku selalu berkata kepada semua orang, seandainya saja ada sarjana hukum tata negara, mungkin aku sudah lulus. Seingatku, pada saat itu semua mata kuliah peminatan hukum tata negara sampai pilihan-pilihannya sudah kuambil. Secara akademik, sejak paling lama semester ke-5, iaitu pada akhir 1998 aku mengalami kemandekan minat akademik. [alasan tok!]

Tahun Teluk Tomini

Barulah pada 2004 itu aku semangat lagi melakukan sesuatu yang sok akademik, dimulai dari tawaran Drs. Prayitno Ramona, MBA untuk mengerjakan Naskah Akademik Keputusan Presiden tentang Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Perikanan di Teluk Tomini, di bawah bendera Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Universitas Indonesia. Ini bukan kali pertamanya aku menyadari bahwa hukum administrasi negara (bisa) lebih penting daripada hukum tata negara. Sudah sejak Semester V itu—terutama ketika mengambil mata kuliah Hukum Administrasi Daerah—kusadari bahwa masalah bangsa dan negara ini jauh lebih mendasar dari lembaga-lembaga politik.


Masalah mendasar bangsa ini adalah pengelolaan sumberdaya, alam maupun non-alam, yang menimbulkan ketimpangan—yang mana berarti penjajahan belum berakhir! Masalah bangsa ini masih berkisar di seputar perut! Reformasi 1998 membuatku semakin lemas karena—alih-alih mengembalikan penyelenggaraan negara ke rel pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen—justru membawanya semakin menjauh darinya. Aku memang pernah mengkhayalkan otonomi daerah yang lebih desentralistis daripada UU No. 5/1974, tapi aku tidak pernah menyangka UU No. 22/1999 menimbulkan dampak sejauh itu.

Dulu, kusangka jika orang-orang daerah diberi keleluasaan lebih besar untuk mengelola urusan-urusannya sendiri, maka daerah-daerah akan lebih baik keadaannya. Pembangunan menjadi lebih merata. Satu hal yang tidak pernah kuperhitungkan adalah siapakah “orang-orang daerah” ini. Siapa yang menyangka bahwa—dengan dalih “putra daerah”—mereka akan menjelma menjadi “raja-raja kecil”! Ada. Pada akhir 1998 atau awal 1999 Kwik Kian Gie, ketika itu Ketua Litbang PDIP, pernah berkata,” Jika diadakan Pemilu lagi tahun (1999) ini, maka PDIP pasti menang; dan jika PDIP menang, maka yang akan terbentuk adalah mobokrasi, iaitu pemerintahan oleh preman.”

Tahun Kaya-Raya

Demikianlah setelah kurang lebih lima tahun menyaksikan saja akibat Reformasi tanpa mampu berbuat apa-apa, tiba-tiba saja ada tawaran untuk mengerjakan Naskah Akademik Keppres itu. Tawaran ini datang karena, mungkin, aku sebelumnya dianggap mampu mengoordinir sebuah tim penyusunan naskah akademik, iaitu mengenai penyempurnaan atau revisi UU Perindustrian. Begitulah maka sepanjang tahun ini aku mondar-mandir ke kantor Puslit Pranata Pembangunan yang satu kompleks dengan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) atau “Lembaga Eijkman” di Cikini.

Sebelum-sebelumnya, jika mengerjakan proyek Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (LKHT-FHUI) aku mendapatkan uang dalam jumlah cukup banyak—terlebih jika dibandingkan dengan upah bulananku saat itu yang hanya Rp 1,000,000 itu pun kalau masuk terus selama sebulan. Sangat patut dicatat di sini, dari proyek bersama Oom Yit ini, aku mendapatkan uang dalam jumlah yang jauh berlipat-lipat dari apa yang biasa kudapatkan dari mroyek di LKHT-FHUI. Sebagai gambaran betapa banyaknya, ketika lebaran aku sampai bingung mau kasih THR siapa lagi hahaha.

Bicara mengenai upah bulanan, legendaris Opis Menejer Dedy Nurhidayat, SH. yang tidak akan lekang dimakan jaman terjadi pada tahun ini pula. Aku dan Mang Untus selalu dimarah-marahi karena absen kami tidak lengkap, yang berakibat pada dipotongnya gaji-gaji kami. Mungkin di awal tahun ini juga akhirnya aku dan Mang Untus—untuk nambah-nambah—berbagi kerjaan transkrip wawancara Bulukumba dari Mbak Upinya Pak Bendot. Akan tetapi, dengan Sthefanny Avonina, SH. ceritanya lain lagi. Opis Menejer selalu memanggilnya dengan “Fan,” sedangkan ia sendiri memanggil Opis Menejer dengan “Bang Ded.” [untuk menghindari salah tafsir, Sthefanny memang FHUI’98 sedang Dedy ‘96]

Tahun Bang Ded

Sungguh mencengangkan, intonasi Bang Ded bisa berubah 180 derajat jika berbicara dengan Sthefanny. Bang Ded selalu berbicara lemah lembut kepadanya. “Fan, hari ini dan hari ini kamu ke mana?” Oh, itu aku sedang mengantarkan temanku bla bla bla, maaf waktu itu lupa bilang. “Ya, udah...” dan, gajinya Dik Step utuh! Sementara aku dan Mang Untus, “lo hari ini ke mana?” Sakit, Ded. “Surat mana?!” Ga ada, Ded. “Potong gaji!” Akhirnya, aku dan Mang Untus sepakat untuk memanggilnya, seperti halnya Dik Step, “Bang Ded.” Siapa tahu dengan cara itu gaji-gaji kami tidak dipotong lagi—meski ternyata sia-sia belaka usaha kami hahaha.

Ada baiknya ditutur juga kisah Kungfu Peremuk Kaca, yang tak ayal melibatkan Bang Ded lagi. Memang selaku Opis Menejer, sense of belonging Bang Ded memang total football pada kantor dan segala isinya. Mang Untus bahkan tidak boleh tahu password komputernya sendiri. Ia harus menelepon Bang Ded yang ada di kost Mess Pemuda, dan Bang Ded harus datang sendiri untuk membukakan komputer Mang Untus. Dengan modus operandi yang sama, aku menelepon Bang Ded dini hari dan tidak diangkatnya, padahal barang-barangku ada di dalam kantor LKHT. Aku tidak punya banyak pilihan kecuali melancarkan Kungfu Peremuk Kaca!

Untuk menutup entri ini, selebihnya biarlah di sini juga kukenang kesokcerdikan Republik Pizza. Bagaimana caranya dia bisa yakin bikin bisnis semacam itu di Jalan Sawo Barel, sedangkan ovennya saja tidak mampu membakar adonan pizza cukup cepat? Bagaimana bisa dia membiarkan pelanggannya menunggu sampai lebih dari satu jam, apa dia pikir akan ada lagi pelanggan yang kembali padanya jika demikian? Benar saja, kurasa tidak sampai sebulan, atau setidaknya hanya beberapa minggu umur Republik ini. Sudah gila apa? Lagipula, siapa juga yang segitu sukanya pada pizza sampai rela menunggu sejam lebih?