Sunday, July 31, 2022

Ketika Kelelawar Melintas di Atas Kepalaku


Kau cintaku, kau bidadariku, begitulah 'kubuka entriku malam ini. Betapa 'kunantikan saat ini, berada di sisimu. Uah, suatu ketololan dengan pakaian dinas lapangan sedang terlihat gemuk dan putih, seorang kopral taruna. Begitu berani-beraninya berkumpul bersama kolonel-kolonel iger sak taek. Aku tidak berada ribuan mil jauhnya, aku tepat di sini, di sisimu. Tak terlintas sedikit pun pikiran erotis, bahkan mungkin tidak terlintas apapun, ketika Iglesias saja tahu bahwa aku berada sekitar seribuan kilometer jauhnya. Harus berapa baris 'kubuat di sini entah 'ku tak tahu. Tujuh atau delapan, entahlah.

Semakin 'kupelankan saja volume Vivoku, jauh lebih mudah melakukannya tinimbang Asatron. Ini tidak seperti rumah petakan di bilangan Palakali, meski remang-remangnya, kesejukannya mirip. Seharusnya sejebung besar kopi, Djarum Coklat, Gudang Garam Merah atau sebangsanya. Betapa banyak waktu 'kusia-siakan. Kini saja itu yang 'kulakukan: Menyia-nyiakan waktu. Tidakkah kita hampir memiliki semuanya terdengar seperti di kantor Flight Data Operation di dasar menara pengawas Cengkareng. Nasi kuning bersambal terasi atau Indomie rebus telur, kenangan seorang bocah cilik.

Baru dua alinea saja sudah terasa sedap-sedapnya. Terkadang menulis entri rasanya seperti menyeret pantat trepes ukuran jumbo, terkadang seperti memberondongkan mitraliur. Malam ini tidak seperti keduanya. Tidak memberondong, namun tidak juga menyeret. Cenderung konstan berkeletak-keletik, sedangkan Kapten dan Tenil masih menyanyi bersama, entah di mana Kaptennya. Apakah ini di tepi kebun durian yang akhirnya menjadi kostan Dugem, dengan 486DX2 yang sudah diapgred jadi Pentium oleh Reza "Cule" Zulkarnaen. Membawa pulang komputer senat untuk main CM3 juga pernah. 

Tiba-tiba terbetot kembali ke bilangan Karawaci ke arah Legok, Angris, dan Bojong Nangka. Uah, kasihan Adjie harus menjalani masa-masa yang membingungkan. Semoga ia melaluinya penuh dengan cinta. Aku pun, namun aku sendiri pula yang merusaknya. Aku tidak pernah tahu benar apa yang terjadi pada saat itu, namun mungkin memang seharusnya tidak pernah ada yang terjadi. Kurangkah usahaku, jelas kurang. Jelas lebih banyak Takwa misalnya. Aku memang, seperti sudah 'kukatakan di atas tadi, suka membuang-buang waktu, meski jalan di depan Apotik Cimone bisa saja nyaman saat itu.

Seperti sekarang 'kutuliskan namanya: Fika Abu Musa Zein. Entah apa kabarnya. Adakah aku dekat dengannya dulu, entah. 'Kurasa justru lebih dekat dengan Toni "Tompel" Riwanto. Betapa malam ini aku merasa seperti seorang pecundang sejati. Suatu perasaan yang harus segera diakhiri dengan semangat juang. Hahaha, semangat juang 'pala lo tiga! Ya, jika anjing neraka diapgred tentu saja jadi anjing neraka berkepala tiga. Entah berapa tahun lamanya aku bertempur bersama mereka, juga segala musuh lubang, dan sebagainya itu. Tiba-tiba saja aku terlempar kembali ke pavilyun, di pojokan itu, Funai...

Sampoerna King, mengapa kau identik sekali dengan pavilyun. Apa tidak ada yang lain. Berapa malam, 'kurasa sebenarnya tidak banyak. Berapa tulisan, 'kurasa sedikit. Ada juga yang setelah 'kucetak, 'kuberikan kepada Bapak untuk dibaca. Apa perasaan Bapak, pulang kantor, disodori anak laki-laki tertuanya "Kebangsaan Indonesia di Abad ke-21", sedangkan anaknya pengangguran baru ditendang keluar dari Akademi Angkatan Laut gara-gara keple. Apa benar yang 'kumakan sehari-hari pada saat itu, pasti masakan Ibu yang enak-enak, dari sekitar seperempatan abad yang lalu. Ini malah mundur ke Cimone.

Babah David dan 20+ Lagu Cinta Raksasa, apa hubungannya. Dari mana dulu kami dapat kaset itu, entah 'lah. Seandainya kau kembali dalam pelukanku lagi, siapa yang mau kembali. Ia selalu ada sejak saat itu, meski tak berbentuk tak berwajah. Adakah memang dari saat itu ia cantik seperti layaknya perempuan Mandailing meski nakalnya amit-amit, adakah belahan jiwa, 'kurasa aku tak akan pernah tahu. Ini entri asal babat tanpa peduli rata kanan-kiri, apakah lebih baik begini pun aku tidak tahu. Serumpun bugenvil di hadapanku cantik. Tiada harum, namun cantik. Uah, seharusnya 'kubakar dupa dari tadi.

Saturday, July 30, 2022

Aku Suka Kamu Suka Bicara Cinta


Apakah goblogku cantik. Bagaimana sih goblog koq cantik. Goblog itu ya untuk dibaca-baca. Perlukah cantik. Ya, tidak perlu cantik, lah, yang penting asal jangan sampai menyakiti pandangan. Goblogku entah dari kapan bentuknya seperti ini terus, mungkin hampir sepanjang umurnya. Aku ingat dulu kali pertama tidak seperti ini, namun itu hanya sebentar. Aku ingat pernah merah putih nuansanya atau semacam itu, dengan muka-ketik yang balok begitu. Aku suka goblogku sekarang. Earthy, sebagaimana aku suka woman bukan lady apalagi baby; atau aku sendiri.

Lantas apa, sosis baso lada hitam dimakan dengan nasi bersimbah kecap asin bekas sushi yei, masih dilanjut nasi rames tumis oncom leunca, acar kuning, tumis buncis udang. Minumnya frestea nusantara masih disambung susu jahe emprit di kubikel yang sebenarnya nyaman. Kalaupun agak tidak nyaman, bukan karena bokser boleh beli di Action, melainkan karena memang sudah mengalir sampai jauh seperti Bengawan Solo. Alangkah lebih nyamannya jika tidak terasa mengganjal di situ. Sebenarnya mudah saja solusinya, namun bukan kebiasaan baik baginya.

Seperti sudah bisa diduga, meski sudah dikepret kapal api, susu jahe emprit tidak berdaya mengusir kantuk. Memang kantuk tidak pernah bisa diusir apalagi diobati dengan apapun. Kantuk hanya bisa dibawa tidur. Namun aku tidak ingin tidur, maka begitu saja 'kuganti irama baru mendayu dengan hentakan Menza dan Ellefson serta derunya Mustaine dan Friedman. Memang baik Hetfield maupun Mustaine tidak seberapa sebagai vokalis. Sammy Hagar bagaimanapun masih yang tergahar. Meski begitu, sebagai band, Megadeth dan Metallica, masih tetap harus disebut.

Akhirnya di malam yang balsamik ini aku menemukan diriku tidak pernah merasa cukup akan dirimu. Apakah jika nanti Lenovo AIO 520 sudah datang aku harus membiasakan diri dengan Samsung Galaxy Tab A ini, bisa jadi. Aku sudah terpikir caranya. Mengapa tidak dicetak saja segala komentar Gerben, lalu kuletakkan di samping sambil menghadapi tablet ini. Siapa tahu begitu malah lancar, seperti halnya dahulu aku lancar sekali mengerjakan kertas delapan bulanku. Tepat delapan bulan! Orang memang suka bodoh mengada-adakan prestasi dari masa lalu, dan orang bodoh itu aku.

Kabar baiknya, tidak ada yang mudah di dunia ini, meski aku mendapat cintamu. Namun belum terlambat untuk merasa kesal. 'Kurasa sudah 'kucatat di sini kejengkelan pada bunyi berkeriut ini, masa 'kulakukan lagi. Masa sejengkel itu. Belum terlambat, maka jangan lari. Aku juga membutuhkanmu, namun sulit untuk menjadi sama, sedangkan secangkir plastik merah serbat uwuh berwarna merah menemani malam balsamikku. Aku hanya bisa minta ampun. Aku harus melakukan sesuatu untuk sahabatku Laurens dan segera. Belum terlambat untuk jatuh cinta. Terima nasibmu, akulah yang kaupikirkan.

Ah, seperti adaku dari masa kecilku. Sekarang aku bersama belahan jiwaku. Adakah kami pernah bercinta-cintaan seperti remaja kencur, tidak pernah. Kalaupun pernah, waktu kami tidak banyak. Namun seperti adaku, cintailah, Sayang, seperti adaku ini sungguh mengilhamkan cinta remaja. Gila apa remaja cinta-cintaan adalah pikiranku dari sejak remaja yang mungkin agak 'kusesali sekarang. Namun buat apa menyesal. Hidupku kini bahagia bersama belahan jiwa di katulistiwa. Bukan kenangan mengenai cinta sepasang sejoli pula, melainkan cinta sepiring nasi dengan sambel goreng tauco.

Menjaga cinta hidup adalah ketika yang kurang gula saja sudah demikian manisnya, seperti sarapan ketupat gulai a la Piaman bersama Cantik dan Awful, minumnya teh panas gula sedikit untukku dan Cantik, es teh manis untuk Awful. Sepinya malam yang 'kudapat meski ini baru jam sepuluh. Apakah ketika itu aku baru beranjak masuk kampus atau bersiap-siap ke Mang Ade adalah dari dua puluhan tahun lalu. Ige, Gani, Shawn, seringnya itu. Ya Allah betapa hamba harus melalui yang seperti itu, ketika sekaleng Bir Bintang dingin, pilsener atau hitam, terasa begitu segarnya. Ampuni hamba.

Friday, July 29, 2022

Ini Dia Satu yang Kaucinta Meminta Sehari Lagi


Ketika menulis entri, aku menulis mengenai segala sesuatu yang dekat denganku, baik di dalam maupun persekitaranku. Aku, yang jelas, saat ini tidak boleh bercerita mengenai layar yang terasa aduhai lapang, demikian pula papan-kunci yang membuat tanganku sulit terpancang pada tumitnya, karena ini adalah sebuah retroaksi. Aku bahkan tidak tahu lagi apa patokanku kini. Akan kucoba saja menulis sebanyak enam baris tiap-tiap kali dan melihat tampilannya. Melodi yang tidak terantai ini entah mengapa mengingatkanku pada kamar cilik dan dressoir yang tadinya ada pemutar piringan hitam di atasnya.

Biarlah aku mengetik saban-saban enam baris begini tanpa memperhatikan rata kanan-kiri. Mungkin lama-lama aku akan lupa bahwa di pojokan situ ada tombol pratinjau, sedangkan kamar Merel yang selalu bersih dan rapi begitu saja hadir dalam ciptaku. Seperti ketika ia tiba-tiba muncul di belakangku, di kamar Baron di pojokan itu. Siapapun, apapun tahu jika aku lembut hati. Aku terlalu baik pada semua orang sampai-sampai beberapa memanfaatkan aku, hanya kepadaNya aku dapat berlindung dari yang seperti itu. Seperti halnya Ialah yang mengaruniakan padaku kelembutan hati. Kelebihan atau kekurangan sudah tidak penting.

Aku sudah mulai mengulang-ulang ceritaku seperti jompo pikun, sampai-sampai Togar memotong ceritaku. Seperti halnya khatib Jumat di Masjid Ukhuwah Islamiyyah hari ini bercerita mengenai macam-macam perhitungan tahun. Adakah Merel menjadi nelayan karena aku sok-sokan cerita mengenai nelayan. Adakah aku harus menjepitkan fonkepala Macson pada tulang-tulang pipiku karena pura-pura mau mendengarkan dan menjawab adzan. Adakah ketak-ketuk papan-kunci ini terdengar keras, tidak seperti Asus VivoBook apalagi Samsung Galaxy Tab A. Haruskah kuberi nama mereka atau kukode saja.

Ini aku di sini sudah diklaim Adikku dan istrinya, semoga Allah mengaruniakan ketenangan, cinta, dan kasih-sayang pada rumah-tangga mereka berdua. Kukira aku sudah melupakanmu membawaku begitu saja ke dinginnya udara malam di Magelang, di pelataran berkonblok antara graha. Apakah ketika itu aku berPDH, berjaket training biru. Aku selalu lebih suka jaket ini, itulah maka aku tidak pernah punya jaket kantin buatan Bu Karim. Disainnya pun menurutku kurang oye. Dari mana aku malam-malam begitu di pelataran antar graha. Tak ingin aku mengulangi, aku masih tolol kala itu. Memang jauh lebih sehat dari sekarang, tapi tolol.

Apa sekarang sudah tidak tolol. Masih. Aku hanya merasakan kembali dinginnya udara malam Magelang. Rasanya seperti ingin dipeluk, apakah itu dinginnya udara malam Maastricht atau Amsterdam. Di mana pun yang dingin itu harus dihangatkan dengan pelukan, meski baju hangat pun bisa melakukannya. Daya cinta ini juga entah mengapa mengingatkan pada udara malam yang dingin di Tangerang. Berarti udara dingin di mana pun ada, bahkan di tepi Cikumpa sini. Udara dingin yang nyaman, yang tidak menyebabkan masuk angin. Bagaimana dengan Jl. H. Sajim di waktu malam, sekarang waktunya Adjie merasakan udara malam dingin. 

Tiada betul yang patut disedihkan. Justru banyak betul yang harus disyukuri dan dirayakan dengan senyum dan tawa. Meski mungkin wajahku terlihat ditekuk begini, sebenarnya aku sedang merayakan suasana hatiku selalu. Meski abu dupa berceceran luput dari mangkuk kayunya yang berisi pasir, yang kali terakhir diayak Mang Aisyah. Meski Mas Dhikdhik dan Tante Lien sudah tidak setiap hari mewarnai, semua kenangan itu mengisi relung-relung hati dengan kehangatan. Sehangat kuah sambel goreng tauco, entah encer entah nyemek, seperti itulah suasana hatiku yang tidak pernah merasa cukup akan dirimu, kekasihku.

Aku bahkan tidak punya mimpi. Aku sekadar menjalani hari-hari dalam hidup bahagiaku. Tak satu pun kubiarkan merusak kebahagianku, karena memang tidak mungkin dirusak jika tidak ada. Kesedihan itu adalah kebahagiaan. Kau hanya perlu memberinya nama. Perasaan seperti selalu ingin yang segar-segar ini bukan sesuatu yang baru, meski aku lupa di mana dan bagaimana aku mandi tiap kali merasa gerah dan lengket. Kaos oblong putih pun yang kupakai bermain Friendster ketika itu, berarti goblog ini sudah ada sejak jaman Friendster! Suatu pencerahan, meski tidak banyak berarti karena aku benar-benar tidak mau mundur lagi.

Katamu Kau Mencintaiku Seperti Adaku

Tuesday, July 26, 2022

Sudah Lewat Sehari Gajian Bulan Depan


Irama baru, itu dia! Lebih baik dari Irama suka, meski yang belakangan ini identik dengan kemudaan. Meski kemudaan identik dengan ketololan, merokok-rokok suka-suka. Menghambur-hamburkan uang untuk setengah bungkus Djarum Super 12 atau terkadang Star Mild menthol, karena jika tidak punya uang justru Djarum Super 16 boleh mencatat dulu pada Nano. Adakah pada saat itu sudah irama baru, pasti sudah ada. Namun tentu saja tidak sebanyak sekarang. Aku masih ingat pada saat itu saja Rasaku masih sekadar di angan-angan, sedang disket maksimal sekadar muat 1,44 MB.

Irama baru ini unsur-unsurnya gitar, bass, piano, perkusi utama dan pendukung. Gitar bisa satu bisa dua. Kalau dua ya satu melodi satu ritem: Suatu deskripsi yang tidak berdaya-guna. Aku agak jengkel sebenarnya dengan meja yang sekarang berkeretak berkeriut setiap 'kutumpangkan tumit tanganku padanya, atau setiap 'kuangkat. Bahkan sepoinya debur ombak lembut lamat-lamat gagal menghilangkan kejengkelanku, bahkan beberapa teguk jahe berkerim beruwuh. Namun kesempurnaan seperti apa yang 'kudambakan. Apakah meja Babe Tafran dahulu sempurna, apakah WC ngamparnya, atau kaca nakonya. Lantas mengapa masih mengeluh.

Aku ingin entri ini meretas batang ruang dan waktu. Waktu terutama, karena irama baru bisa kapan saja. Apakah di kamar paling barat dari jajar selatan "Pondok Annisa" oleh Babe Tafran, atau di bilangan Uilenstede sekali, teriknya siang bisa dilembutkan oleh irama baru. Memisalkan irama baru dengan anak perawan yang baru beranjak remaja adalah suatu penistaan. Bahkan 'kurasa, tidak ada anak perawan beranjak remaja yang sedemikian indahnya, sehingga dapat dimisalkan irama baru; tidak pula anak-anak perempuanku sendiri. Irama baru inilah kecantikan yang tentu saja tidak sekadar ragawi, karena mustahil cantik jika sekadar ragawi.

Ini menjadi entri pertama Juli 2022, padahal sudah lewat sehari gajian Agustus. Asaptaga, tidakkah kau bergidik kengerian. Mengapa lantas kau santai-santai saja mengetiki seakan tiada apa-apa yang hendak menerkammu. Seperti pemuda dalam kisah orang-orang dalam parit, ketika orang-orang kengerian ada binatang buas menghalangi jalan, mungkin singa yang diasingkan kawanannya. Bisa juga Sang Candapinggala, si kuning-coklat mengerikan, yang bertemankan Nandaka turunan Nandini tunggangan Batara Mahadewa, yang jadi makan rumput.

Bagaimana dengan Turangga Cipta, yang dengan bangga menarik kereta pengantin. Pak Kumara dan Bu Tini yang berkendara. Ia meminta pada Pak Kusir tak perlu mencambuknya, karena ia toh akan menarik kereta dengan penuh semangatnya. Sebelum menikah, Pak Kumara sempat tinggal di rumah Bu Tini loh entah berapa lama. "Memang setengah atau entah berapa lama habis untuk pulih dari sakitnya, namun siapa yang tahu berapa lama ia masih tinggal di sana bahkan setelah pulih, bahkan mungkin lebih bugar dari sebelum-sebelumnya," begitu batin Turangga.

Debur-deburan ombak ini untuk apa, mengingatkanku pada Halong atau bahkan Kolinlamil sekali. Bukan pula kenangan terburuk dalam hidupku. Kau bertanya mengenai yang terburuk. Aduhai, 'kuakui tak berani 'ku membaginya denganmu. Jadi begini saja, kalau awalan 'ku- bertemu langsung dengan kata kerjanya bolehlah disambung, namun jika masih harus bertemu dengan awalan maka dipisah. Orang sekadar menuai apa yang bahkan sekadar dipikir-pikirkannya terus-menerus. Orang bicara-bicara mengenai viral, maka Covid-19-lah yang didapatkannya. Demikian.

Anganku tiba-tiba melayang ke depan Hotel Mahakam di belakang Gereja Yohanes itu, siang-siang terik begini juga. Sedang apa aku di situ. Berjalan kaki atau berkendara, aku tidak tahu. Apa benar kenanganku di situ, sedang aku pernah membeli makanan sarapan, mungkin mie ayam. Oh, kurasa aku berkendara Vario Sty. Mungkin aku menginap, berarti ini awal-awal menjadi dosen sepulang dari Maastricht. Uah, begitu indah hidupku penuh dengan kenangan-kenangan manis, meski tidak ada yang semanis pagi hari mengobrol ideologis-sufistik 'bari menyantap nasi uduk Rampok.