Wednesday, December 31, 2014

Paralaks Siklik Badok 2014


Secangkir serbat susu memang tidak salah jika kita ingin mengenang Ray S. Anityo Dyanoe. Sungguh suatu nama yang sok asik. Apakah seorang cerpenis memang harus begitu namanya? Atau wartawan pada umumnya? Ah, Ahmadun tetap Ahmadun meski dalam kumpulan cerpen yang sama. Akan tetapi, serbat susu ini ada aftertaste yang kurang endang. Apakah karena ia berasal dari susu kental manis kemasan plothot yang sebulan lagi akan kadaluwarsa? Ah, segala makanan memang semakin tidak seenak dulu, ketika usia masih duapuluhan.

...kurang lebih seperti inilah. Ada salep kecilnya juga seperti itu.

Bernostalgia mengenai Elvira Madigan memang agak sesuai jika kita ingin mengenang, terlebih bila ia didentingkan dengan gitar bisu besutan Yamaha. Ah, sampai kini pun tidak kesampaian impian masa kecilku memiliki saksofon. Aku teringat betapa terbersit rasa iri dan dengki yang aneh pada adikku Dito Sutejo ketika ia memainkan saksofon di tahun pertamanya—sedangkan aku setangkai rekorder alto. Apa betul yang kumainkan ketika itu? Speak Softly Love? Ah, kapan itu, hanya sekira dua tahun dari terbitnya Paradoks Kilas Balik pada 1989.

Padahal aku baru berkenalan dengan Ray S. Anityo Dyanoe dan cerpennya yang, menurut hematku, tidak bagus beberapa tahun lagi setelahnya. Ketika memainkan Speak Softly Love di Ruang Bersama itu, dan dua tahun setelahnya, apa terpikir olehku bahwa cerpen dapat begitu membekas dalam keseharianku. Aku masih ingat berkhayal mengenai F-16 dan Hercules tak lama setelah itu. Benar-benar khayalan kosong belaka, karena belakangan aku tahu tidak mungkin seorang penerbang F-16 konversi ke Hercules—setidaknya tidak lazim yang begitu itu.

Setahun setelahnya, aku mulai sungguh-sungguh ketika aku menulis Agraris?. Sungguh aku lupa bagaimana terbitnya gagasan itu, yang oleh Buletin Kreasi dimasukkan dalam rubrik Iptek itu. Iptek sebelah mananya coba? Namun demikian, inilah ternyata bibit bagi masa depanku yang carut-marut. Toh sama saja, ketika itu aku juga tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali akan seperti apa masa depanku. Hanya khayalan-khayalan sepotong-sepotong yang kupikir akan menyatu dengan sendirinya kelak ketika waktunya tiba. Ketika waktunya tiba, yang ada ternyata hanyalah secangkir serbat susu.

...dan Pantai yang Mengantuk. Pantai. Aku sudah jauh sekali dari laut. Pernah kupikir aku kembali mendekatinya. Benarkah aku cinta laut? Adakah aku benar menyukainya? Jangankan mancing atau diving, pergi ke Ancol saja malasnya bukan main, sama seperti pergi ke manapun. Mungkin karena mobil tidak pernah menjadi bagian dari khayalanku. Kecuali truk pemadam kebakaran yang sangat berkesan itu, aku tidak ingat punya mainan mobil-mobilan yang mana saja. Lebih dari satu seharusnya, tapi hanya yang satu itu yang kuingat.

Maka kepada secangkir serbat itu kutambahkan sedikit lagi air hangat dan selesailah masalahnya. Susu kental manis dan tenggorokan yang mulai sedikit luka memang bukan paduan yang serasi. Oh Allah Dewa Batara, berapa lama lagi aku harus hidup? Di akhir tahun masehi 2014 ini, hamba memohon, jika kiranya masih harus terus hidup, jangan biarkan hamba menyia-nyiakan karunia itu, Oh Gusti hamba. Jangan biarkan hamba termasuk dalam golongan mereka yang merugi, hamba mohon Oh Gusti hamba yang Sungguh Pengasih lagi Penyayang.

...karena mau laut, mau darat, mau apapun, semua tidak ada artinya. Bagi para korban Air Asia QZ8501, akhir mereka sungguh basahnya. Allah Dewa Batara kasihanilah mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Hamba mohon terimalah semua amalan mereka dan lipat-gandakanlah pahalanya. Bagi keluarga yang ditinggalkan, karuniakanlah ketabahan dan penghiburan. Oh Allah Gusti, semua terjadi atas kehendakMu, atas sepengetahuanMu. Kasihanilah kami hamba-hambaMu yang lemah lagi pongah, terus bergelimang kedurhakaan. Selamatkanlah kami dari fitnah dunia dan akhirat, karena bisa apa kami selain memohon padaMu?

Tuesday, December 30, 2014

Soeharto dan Marcos Terkorup. Masalah? Buat Lo?!


Kalau saja aku menulis ini lebih serius, mungkin dapatlah ia kutayangkan di akun Kompasianaku, atau bahkan Institut Pancasila. Mungkin nanti setelah tumpukan amplop coklat yang ditakuti ini habis menipis. Mungkin nanti setelah aku berkantor di Jeruk Purut. Sementara itu, biarlah gagasannya saja kucatat di sini, dibumbui dengan letupan-letupan perasaanku. Ini topik penting mengenai dua orang yang... penting. Soeharto dan Marcos, mungkin harus kumasukkan juga di sini Park Chung Hee. Meski ada kemiripan, Soekarno tidak bisa dimasukkan dalam daftar ini.

Soekarno tidak suka kekerasan. Aku membaca di memoarnya Pak Mangil mantan komandan Detasemen Kawal Pribadi, (DKP) [atau Pak Bambang Widjanarko?] pernah suatu kali Bung Karno menonton film bersama pengawal-pengawalnya, sebuah film perang. Tersebutlah ada suatu adegan yang sebenarnya mengandung kekerasan tetapi ada unsur humornya juga. Tertawa-tawalah para pengawal. Bung Karno marah melihatnya dan menghardik mereka. Itulah Bung Karno, yang melihat darah ayam saja bisa pingsan. Terlebih lagi, Bung Karno terlalu suka perempuan dan mengawini mereka banyak-banyak. Itu juga aku tidak cocok.


Soeharto, Marcos [...dan mungkin Park Chung Hee] adalah... diktator? Tiran? Ya, Bung Karno juga—setidaknya dari 1959 – 1966—adalah seorang diktator. Mengapa benar ia membiarkan naskah pidatonya yang diperluas menjadi garis-garis besar haluan negara (GBHN)? Seandainya bukan naskah itu sendiri—semuanya mentah-mentah—yang dijadikan GBHN. Seandainya—katakanlah—naskah itu hanya sekadar ‘ilham utama’ atau apalah sebutannya, mungkin masih lebih elok. Ini keseluruhan naskah—setelah diberi penjelasan sekadarnya oleh Cak Ruslan Abdulgani—dijadikan GBHN. (sic) Intinya, Bung Karno sejak 1959 itu membiarkan dirinya menjadi seorang diri. Dwi Tunggal menjadi Dwi Tanggal.

Akan tetapi, ini cerita mengenai Soeharto dan Marcos. Pada akhir-akhir kekuasaannya, Marcos pun seperti Bung Karno sakit-sakitan. Sakitnya Bung Karno, demikian pula sakitnya Marcos, dapat menimbulkan keresahan baik di kalangan pendukung maupun musuh-musuhnya; karena mereka berdua seorang diri! Mereka berdua membiarkan kekuasaan politik seluruhnya bertumpu pada DIRI PRIBADI mereka, pada gerak-gerik, gelagat, pada kesehatan badan mereka seorang diri. Inilah yang paling salah dari mereka berdua. Mengapalah mereka tidak membaginya pada beberapa kolega yang setara, sepadan dan setanding wibawa dan kebijaksanaannya?

Kekuasaan memang harus terpusat. Jika tidak bukan kekuasaan namanya. Akan tetapi, sesuai kodratnya, kekuasaan yang terpusat pastilah merupakan beban yang teramat sangat berat. Itulah sebabnya jangan ditopang oleh sepasang bahu saja. Setidaknya beberapa pasanglah. Akan tetapi jangan banyak-banyak juga. Apa ukurannya? Itulah sebabnya bukan sekadar bahu sebenarnya yang menopang kekuasaan, melainkan hati. Hati yang dipenuhi dengan damba akan Terang. Hati yang diharu-biru oleh Belas-kasihan. Hati yang tidak pernah ragu mengambil tindakan yang diperlukan demi Kebenaran. Masih belum eksak ukurannya?

Ya, ukuran untuk urusan ini memang tidak mungkin eksak. Tidak mungkin kuantitatif. Jadi berapa banyak seharusnya? Apakah harus 1000 atau 500 saja sudah cukup? Amboi, mengapa terpaku pada angka?! Sudah berulang kali kukatakan, jika benar angka dan hitung-hitungan sepenting itu, sudah barang tentu Tuhan menurunkan kitab suci dalam notasi matematika. Namun demikian, apa kenyataannya? Tuhan menurunkan wahyuNya dalam bentuk puisi dan prosa! Apa gunanya? Untuk melembutkan hati yang keras, untuk mengeraskan hati yang lembek. Lembut, agar menjadi cermin bagi KebijaksanaanNya. Keras, agar bersikukuh pada KebenaranNya!

Lalu Soeharto. Aku mendapat kisah ini dari Pak Teddy Rusdy, yang sendirinya sudah menyampaikan secara langsung, bertatap muka dengan Pak Harto, agar pada akhir PELITA IV itu Pak Harto lengser keprabon untuk kemudian madeg pandito menjadi 'Guru Bangsa,' atau 'Bapak Pembangunan.' Namun Pak Harto pada saat itu mungkin mengalami apa yang pernah dialami oleh Bung Karno juga. Beliau berdua beranjak tua dan kehilangan ketajamannya. Pak Harto lemah menghadapi Istri dan anak-anaknya. Bung Karno semakin lemah menghadapi perempuan. Sangat manusiawi.

Soekarno memang tidak suka harta. Soeharto dan Marcos [mungkin] tidak suka perempuan. Satu pelajaran yang mungkin dapat dipetik, janganlah SEORANG BAPAK kita jadikan penguasa. Cepat atau lambat, ia pasti akan kelelahan. Penguasa hendaknya terdiri dari beberapa orang yang kolegial hubungannya, camaraderie. Penanggung-jawab? Nah, ini memang harus satu, namun sifatnya mandataris; jadi kewenangan, kekuasaan, tetap berada di tangan penguasa-penguasa yang kolegial tadi itu. Lagipula, sungguh amat keterlaluan jika sampai aki-aki kita paksa-paksa untuk terus-terusan menjadi penanggung-jawab.

Friday, December 26, 2014

Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh. Aku


Sedangkan belum diaransir oleh Monsieur Paul Mauriat saja, You Are the Sunshine of My Life sudah superb, ini lagi… dari… 40 tahun yang lalu! Subhanallah! Ini justru lebih dahsyat dari Tsunami Aceh yang baru sepuluh tahun yang lalu, yang orang pada memperingati itu. [Bukan maksud saya mengecilkan arti musibah itu, terutama bagi mereka yang ditinggalkan sanak kerabatnya dalam kejadian itu] Aku pun punya kenangan tersendiri mengenai 26 Desember dari sepuluh tahun yang lalu… dan gara-gara ini pula aku baru sadar. Kemacangondrongan tidak punya entri dari 2004!

Tapsiun Pocin pada 2004 ketika Tsunami Aceh
Yaeyalah. Orang baru mulai pertengahan 2006. Jika begitu, mari kita coba dokumentasikan suasana musim penghujan 2004 itu. Apa benar yang terjadi pada saat itu? Tentunya itu adalah masa-masa My Gangster is a Wife. Itu juga adalah masa-masa terakhir apa profile gitu, maka Jerki bergabung dengan adiknya Muzayyin Zahrina di Kostan Babe yang kesohor baunya itu. Whoa, pada saat itu djembel moedlarat pasti tengah malang-melintang di sana. Para Beto belum lagi hadir. Ya, itulah masa-masa kejayaan djembel moedlarat di Kostan Babe.

Demikianlah pagi-pagi, aku lupa siapa saja di pintu kamarku itu. Hanya Muzayyin  dan diriku sendiri yang kuingat. Namun kami tidak berdua saja seingatku. Mungkin ada Jamal Abdul Gani. Pada saat itulah Muzayyin mendapat sms dari kampung, ada gempa besar katanya. Seingatku, aku sok alim mendoakan agar semua baik-baik saja. Tidak berapa lama—ya, karena kami belum lagi beranjak ke belakang untuk sarapan—datang lagi sms dari kampung Muzayyin, kali ini tentang BANJIR besar katanya. Ya, memang sampai pada saat itu aku—mungkin seperti  kebanyakan orang Indonesia lainnya—tidak pernah tahu bahwa tsunami mungkin terjadi di Indonesia.

Siapa yang tahu bahwa itu menjadi titik balik dalam kehidupan Muzayyin dan, kurasa, banyak orang Aceh lainnya. Dalam masa kejayaan Djembel Moedlarat itu, Muzayyin hanyalah satu dari antara kami, djembel moedlarat yang lebih memilih martabak manis daripada teh manis. Muzayyin hanyalah djembel moedlarat yang mentranskrip suatu wawancara atau apa entah, dan mendapat upah Rp 20,000, sehingga ketara sekali masygulnya. Muzayyin, seperti kebanyakan kami, tak kuasa menolak ketika Ige menghidangkan bayam yang ditumis dengan bawang putih, yang imbangan bayam dan bawang putihnya hampir satu banding satu.

Entah bagi Muzayyin, bagiku, 26 Desember 2004 nyaris tidak berarti apa-apa. Mungkin tepat pada saat itu juga belum berarti apa-apa bagi Muzayyin, karena seingatku baru beberapa bulan kemudian ia meninggalkan kami. Seingatku pada saat itu, aku dan Jerki sedang memperjuangkan Satgas Sisfo. Ah, sungguh waktu yang tepat membicarakan Satgas Sisfo. Justru ini lebih berarti bagiku, karena tahun ini juga, sepuluh tahun setelah aku dicepat dari Satgas Sisfo pada sekitar November 2005, aku pun dicepat dari ICT Komin pada 15 Desember 2014.

Sudah sepuluh tahun lebih bagiku. Mengapa aku terus menggunakannya, 10 Oktober 2002, sebagai penanda waktu? Tentu harus. Jelasnya aku kembali gendut. Mungkin bahkan lebih gendut dari waktu itu. Aku tidak ingat beratku lebih dari 92 kg pada saat itu. Kemarin aku menimbang tercatat 95 kg! Ah… besok, untuk memperingati 10 tahun Tsunami Aceh, aku akan berjalan-jalan di Kebun Raya Bogor. Tunggu… jangan-jangan besok pun ia tutup, karena cuti bersama, karena hari kejepit nasional. Wah, kurasa sebaiknya kupastikan terlebih dahulu sebelum berangkat besok. Bisa konyol nanti.

Sunday, December 21, 2014

Penyakit Perut Tahunan yang Seperti Tifus


Sebelum memulai dengan apapun, ada baiknya kucatat di sini. Jangan-jangan dapat menjadi semacam konfirmasi bagi penelitian medis, seperti halnya catatan-catatan mengenai wabah kematian hitam atau tsunami. [Menulis seperti ini jangan dibiasakan, nanti sulit mengerjakan TPA, meskipun jangan sampai juga TPA dibiasakan] Jadi, yang ingin kucatat adalah, setidaknya sudah tiga tahun terakhir ini aku merasa begini. Selalu di akhir tahun. Selalu di awal musim hujan. Perutku kembung cenderung bengkak dan sakit. Mereda di siang hari, menjadi di malam hari.

Ken Arok pada 1983
Berikutnya, apakah akan kuulangi lagi kegilaan dari tahun lalu? Saat ini, pagi ini, aku tidak punya banyak pilihan kecuali mencoba mengulanginya. Pagi ini aku menulis di kamar tengah Yado II E4, dengan jendela yang sudah diteralis rapat sehingga kucing menjadi terlalu besar untuk menerobosnya. [Bisakah kau bayangkan tulisan seperti ini dibaca oleh Bapaknya Togar?] Di kamar ini jugalah aku pernah menahan Keley pada ekornya, dan ia berbalik kesakitan seperti ingin menyerang. Itu membuatku sedikit takut.

Biar kucatat juga di sini, nanti siang aku akan berangkat ke Cengkareng untuk menjemput anak gadisku, yang besar tanpa aku pernah tahu bagaimana besarnya. Pun demikian, hanya ia dan Adjie-lah cucu-cucu Bapak dan Ibu sampai hari ini. Selebihnya, aku hanya ingat Sonik terbaring di depan tivi, tidak di tikar rotan--seingatku. Selebihnya, aku tidak suka mengingat-ingatnya. Baru begitu saja aku tidak suka mengingat-ingat. Apalagi jika sampai melihat mayat temanku dimutilasi tanpa perikemanusiaan, seperti yang dialami Doc Bradley.

Aku tidak tahu, lupa tepatnya, apakah Bapak sudah pernah maos Arok Dedes, tapi pagi ini Bapak menyamakan keadaanku kini terkait Pak Sayidiman dan Pak Try dengan Ken Arok dan Dang Hyang Lohgawe. Padahal... aku cuma mau... mau apa? Aku tidak punya mau. Namun, apa kuat aku menahan sakitnya inkuisisi? Akankah aku mengakui kesalahanku sebagaimana mereka inginkan, hanya untuk membantahnya kembali setelah sakitnya pergi? Siapkah aku dengan kematian tragis? Benny Amalia menyamakanku dengan Robert Wolter Monginsidi, jelas itu lebay.

Kin punya nasib dan jalan hidupnya sendiri, apalagi Khaira dan Faw yang jelas-jelas Azurat. Aku... ketinggian. Hahaha... ketinggian. Kalian... ya, mungkin memang hanya sebatas kalianlah yang dibutuhkan. Dunia ini tidak butuh kelebayan. Tidak butuh vagary. [mengapa pula kata itu yang tertanam dalam benak?] Itulah sebabnya ada Takwa, sebagaimana dulu ada Rendy, dan Sopuyan. Aku bukan siapa-siapa di sisi mereka. Apalagi Sopuyan yang tidak pernah secara terang-terangan memujiku. [mungkin karena celaan saja yang keluar dari mulutku mengenai dirinya]

Aku cuma ingin Bulan Biru, dan aku tahu persis tak akan mendapatkannya. [Benarkah?] Shubuh ini aku membaca-baca sedikit mengenai ummul mukminin, istri-istri Rasulullah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Rasulullah Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, pada pengikut dan pengikut-pengikutnya sampai akhir jaman. Jika sudah begini, apa pentingnya dunia, selain menunggu waktu Dhuhur yang Insya Allah sekitar dua jam lagi; sedangkan, sehabis minum kopi, lambung perih begini? Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusanNya!

Semua ketidaksempurnaan ini sekadar pengingat bahwa ini dunia. M. Adam Ali Bhuto pernah mengatakan bahwa manusia pada dasarnya mahluk surga, buktinya suka yang enak-enak dan ingin agar yang enak-enak itu kekal pula. Nah, dunia ini terkadang memberi kita yang enak-enak, dan terkadang yang enak-enak ini juga agak lama berlangsungnya. Padahal semua itu palsu! Segala kelapangan hanya sekadar agar tidak terlalu penat hidup terbuang di dunia, sedangkan kesempitan justru adalah panggilan sejati, khususan bagi yang bebal!

Saturday, December 20, 2014

Girolamo Savonarola dalam Kenangan. Aku


Cuaca siang ini mungkin merupakan gambaran tepat dari suasana hatiku. Pergelangan tangan kiriku, entah mengapa, sejak siang kemarin terasa sakit seperti terkilir. Kurang nyaman jadinya disandarkan pada laptop. Badanku secara keseluruhan juga kurang nyaman. Apa benar yang kurasakan? Mendung dengan gerimis setitik-setitik. Begitulah perasaanku. Begitu juga cuaca siang ini. Sedangkan La Boheme kini mengiringi ketukan-ketukan tertahan pada papan-kunci, setelah Io Che Non Vivo. Agak sesuai memang dengan judul entri ini. Dari semua nama dalam Il Principe, entah bagaimana, itulah yang paling kuingat.

Seandainya paket Smartfrenku masih kuasa mengunggahnya, maka akan kuabadikan nama itu di sini, siang ini juga. Seperti biasanya, ketika pertama kali membaca aku tidak benar-benar memahami. Akan tetapi ia terpatri lekat di benak, seperti ngecop terpatri dalam kebiasaan Sisun M. Suprapto. Sebagaimana halnya The Name of the Rose, begitu juga Savonarola. Sama pun latarnya. Aku pun, seperti pendeta, terlahir tidak menyukai daging. Hanya saja, hidup mengajarkanku menyukai olahan daging seperti sosis dan burger. Selebihnya, mana pernah.

Jika paket Smartfrenku sudah tidak mampu, maka Insya Allah akan kuunggah entri ini di Jalan Radio. Begitulah seharusnya disebut. Terkadang aku heran, mengapa aku bisa tidak punya semangat hidup seperti ini. Apakah karena aku tidak punya badjet tiga ratus lima puluh juta Rupiah untuk dibelikan mobil apapun? Percuma segala analisis kepribadian—dan tes psikologi atau tes apapun? Aku tidak peduli. Agak sih, sebetulnya aku takut juga hasil TPA-ku kemarin jelek sehingga UI punya alasan untuk menendangku.

Akan tetapi, takut juga tidak terlalu, karena aku lupa bagaimana caranya takut. Naudzubillahi min dzalik. Semoga nasib sedemikian tidak menimpaku dan keluargaku. Keluarga? Bagaimanapun, menarik juga cara berpikir Fawaz. Ia, katanya sendiri, sudah tahu bagaimana caranya punya anak dua, yaitu menikah dua kali. Kucukupkan sampai di sini saja, daripada Cantik muring-muring, seperti biasa, karena alasan-alasan yang sulit diterima akal. Jelasnya, siang ini aku sangat kesepian meski punya keluarga. Il Silenzio seakan menegurku, akan ketidakmampuanku menahan sunyi.

Hei, sebelum lupa baiknya kuabadikan di sini. Setelah sekian lama tidak dicepat, akhirnya pada Senin, 15 Desember 2014, bertepatan dengan ulang tahun Bapak yang ke-64, aku dicepat oleh Om Topas. Efektif mulai Januari 2015 aku bukan lagi Ketua ICT dan Komunikasi Internal. Bagaimana caranya agar hidupku agak lebih ceria sedikit? Apakah memang takdirku menjalani hidup yang murung seperti ini? Adakah akhirat? Adakah balasan? Oh Gusti, tidak ada yang lebih kuinginkan daripada mengetahui betapa dosa-dosaku diampuni dan dihapuskan.

Itu saja. Keyakinanku pada Gustiku. Aku memang bukan hamba yang baik. Tidak ada pula pembelaanku atasnya. Gustiku, hanya kepadaMulah hamba berserah. Kalau tidak, kepada siapa lagi? Beginilah perihal hamba. Hamba tidak punya tiga ratus lima puluh juta Rupiah atau SK BHMN yang tidak ilegal atau apapun untuk bergantung. Hamba hanya punya keyakinan ini padaMu. Bakti hamba padaMu lusuh compang-camping begini, Oh Gusti. Hanya belas kasihanMu saja yang hamba damba-damba. Kalau bukan itu, lalu apa lagi?

[Biarlah kutambahkan satu alinea lagi] Jadi, untuk sedikit menceriakan hari, sebelum ini aku pergi ke Giant BBM. Sampai di sana membeli Teh Poci, memesan Nasi Fu Yung Hai di Mie Menteng dan seporsi Hisit Kao. Bagaimana? Tambah Ceria? Tentu saja tidak. Hanya kenyang. Lalu berjalan-jalanlah aku di antara lorong-lorong Giant. Apa yang kubeli? Tidak ada. Jangankan sampai membeli, satupun tidak ada yang menarik perhatianku. Sama-sekali tidak ada. Maka kukancingkanlah poncoku, menyongklang Pario, pulang dan menulis ini.

...paket smartfrenku ternyata masih mampu...

Tuesday, November 25, 2014

Gajah Mada Marah Pada Istana Gothika


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Keselamatan semoga atasmu, dan belas-kasihNya, dan keberkahan. Betapa tidak kumemujiNya, yang membangunkanku pada jam dua tiga puluh dini hari begini ketika semalam aku tidur tanpa mengerjakan shalat Isya’—meski masih saja aku tidak yakin apakah sudah kukerjakan empat atau baru tiga raka’at. Begini pula keadaan imanku. Terbangun tengah malam, di sepertiga malam terakhir, namun bukan qiyamullail yang kulakukan, melainkan menulis-nulis begini. Jiwa akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang dibiasakan olehnya. Astaghfirullahal Azhiim.



Jasad dan ruh ibarat santan dalam kelapa, begitulah aku pernah mendengar suatu perumpamaan. Lalu di mana letaknya jiwa atau nafs atau sukma atau self, yang diperintahkan untuk menyucikannya, yang dilarang untuk merusaknya? Apa yang telah kulakukan pada jasadku seharian ini? Kurasa persis seperti yang telah kulakukan padanya, mungkin sudah lima tahun terakhir ini, atau sudah lebih lama lagi dari itu. Malam kemarin kubulatkan niatku untuk berpuasa, akan tetapi, ketika berpacu dengan Vario, sarapanlah yang kupikirkan.

Sarapanku kemarin pagi adalah, seperti biasa, nasi merah, terong balado, ikan asin dan telur tepung dadar dari Warung Dilla. Makan siangku Mi Ayam Kota di depan Gereja Bethel, komplit dengan pangsit rebus dan baksonya dua butir. Makan malamku Indomie Jumbo biru, tiga buah pangsit Ocean’s King, dan masih ditambah tiga utas otak-otak goreng lagi. Kini pun, ketika aku sedang mengetik begini, perutku protes minta diisi. Di rice cooker ada nasi, mungkin akan kumakan dengan kombu soyu.

Nah, sekarang aku baru saja kembali dari makan semangkuk nasi dengan kimchi dan kombu soyu. Pastilah dahulu itu termasuk makanan mewah, dan ini adalah malam-malam seperti itu, yang sudah cukup lama pula tak kualami—yakni, malam-malam di mana tiba-tiba aku terbangun. Tahun ini tiga puluh delapan tahun umurku. Berapa lama lagi aku akan hidup? Ketika kuperiksa Prayer Times, ada tertulis di situ, Imsaak has arrived, padahal tadi aku ingin memeriksa berapa lama lagi sampai tiba waktu Shubuh.

Akankah aku tergerak pagi ini untuk mendirikan shalat sunat fajar? Mampukah aku menghadirkan hatiku pada ketika itu? Dapatkah aku mempertahankannya, untuk seterusnya, sampai tiba ajalku? Ya Allah, mudahkanlah hamba dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik faedahnya bagi jiwa. Ya Allah, jadikanlah jiwa hamba jiwa yang tenang. Alhamdulillah, sudah masuk waktu Shubuh. Prayer Times yang kupasangi alarm adzan Madinah sungguh keras dan nyaring sekali bunyinya. Akankah aku pergi shalat di masjid, atau di rumah saja? Mampukah aku membiasakannya?

Atau akan kuteruskan saja mengetik-ngetik ini setelah aku shalat nanti? Di situlah sreg-nya hatiku. Hamba mohon ampun, Ya Rabb. Setelah shalat Shubuh yang tidak diteruskan dengan wirid itu, aku malah membuat coklat panas Indomaret. Entah mengapa, dalam satu cangkir merah Nescafe yang kecil ini terasa manis sekali pagi ini. Kemarin-kemarin aku buat di cangkir Herbadrink dan rasanya hambar. Sepertinya akan kutambahi air dulu. Uah, tak tahukah engkau betapa aku merindukanmu, wahai Kemacangondrongan, terlebih setelah aku punya akun Kompasiana?

Hmm, manisnya sudah hilang. Memang begini ini seharusnya menulis. Seperti grenjet-nya hati, selaras dengannya. Insya Allah sehat. Bagaimana dengan latihan? Yah, itu ada waktunya, yang jelas bukan sekarang. Mungkin memang harus kutekuni juga Kompasiana itu. Jadi semacam running two shows at once, entah apa maksudnya itu—terutama ketika Toccata menggema memenuhi rongga kepala, sedangkan dimainkan dengan gitar susahnya alakazam. Baik juga sebelum entri ini diakhiri, kucatat terlebih dulu niat untuk menulis mengenai Istana Anak-anak Indonesia.

Wassalam.

Sunday, September 28, 2014

Ulang Tahun yang Ke-15, Bagiku 23 Tahun yang Lalu


Di tengah serbuan nyamuk begini, di carport yang entah kapan ada car-nya ini, apa aku cukup niat untuk masuk dulu mencari Soffell, kembali lagi lalu mencoba menghasilkan entri mantap? Kurasa tidak. Di malam musim kemarau ini, rambut belakang kepalaku basah, gondrong belum cukur, sedangkan tante Geri seakan membelai khayalku, selalu dari kecilku, memanggilku "My Love, My Love." Gembelnya, dilanjut dengan All I am-nya Heatwave. Salah satu yang kental mewarnai masa remajaku, dari 23 tahun yang lalu.

Hari ini anakku Kikin, Fathia Rizqy Khairani ulang tahun ke-15 tahun, seperti Bapaknya 23 tahun yang lalu. Sama seperti Bapaknya, Kikin sudah masuk SMA meski umurnya belum genap 15. Nanti Insya Allah ia lulus SMA pun belum genap 18 tahun umurnya. Baru saja kukatakan padanya, sambil mengucapkan selamat ulang tahun, kegagalan terbesar Bapaknya adalah (i) gagal menetapi shalat lima waktu di awal waktu semuda mungkin, sehingga akibatnya (ii) gagal memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sering membiarkan benaknya diharu-biru pikiran-pikiran entah apa.


Sulit bagiku menatap ke depan, kuakui sejujurnya. Aku tidak bisa melihat ke depan. Apa yang kusebut sebagai "visi," bahan-bahannya kukhayalkan dari kisah-kisah mengenai waktu-waktu yang telah lampau. Apa yang mendorongku untuk terus, untuk maju? Cinta? Baru segini saja rasanya aku ingin berhenti. Sungguh, saat ini aku merasa ingin berhenti dari segala Pancasila, UUD 1945, Kejayaan Nusantara, entah apa... sedangkan membaca toll road financing tulisan Ah Hui sumpah aku tiada mengerti. Kalau sudah begini, ingin rasanya aku ber-please please please bersama Johnny Logan.

Johnny Logan, karena kalau James Brown aku tidak berani. Lagipula, aku tidak ingat please please please James Brown diputar di Delta FM 99.5. Tidak pernah, seingatku, meski --ingatkah kau, Nak?-- Kikin usia seminggu atau dua minggu pernah kubawa menari berputar-putar di ruang depan kontrakan kami yang berlantai ubin merah mengikuti nyanyian Opa James Georgia on My Mind. Lalu akan kutimpakan semua ini, apa yang kualami, pada Pancasila dan UUD 1945, sumpah setiaku padanya? Akan kubenarkan dengan itu? Lalu apa itu naik bis kuning di pintu, dari Asrama sampai bunderan psiko sambil bernyanyi-nyanyi You're So Beautiful Tonight-nya Kenny Nolan?

Akankah kumarahi anak-anak itu, karena tiada tahu asal-usul, tidak visioner, sumir pemahamannya mengenai kemajemukan Indonesia, dan pasti seadanya saja mengenai masyarakat hukum? Apakah marahku karena itu, atau karena diktatku tidak laku? Bukuku tidak laku? Bukuku lagi belum tentu laku, meski Pak Try memujinya, meski Pak Ananda sudah mengambil satu, orang tua-tua itu? Sedangkan kukatakan pangsa pasarnya adalah anak-anak muda umur 20-an? Jika aku tidak terbayang memaksa anakku sendiri membaca bukuku, mengapa aku harus memaksa anak orang lain?!

We can make it so much better if we try --Kenny Rogers

Saturday, September 27, 2014

Buat Apa Kalau Tidak Ada yang Baca?


Begitulah kata Lily. Tadinya, seperti layaknya orang normal, aku pura-pura tergerak mendengar stetmen itu. Seperti ketika aku menulis "kaum buruh sedunia, bersatulah!" dalam evaluasi dosen oleh mahasiswa (EDOM) mengenai mata kuliah "Komputer untuk Ahli Hukum," Bang Edmon bertanya apa maksudku menulis begitu. Akan tetapi, aku menulis untuk diriku sendiri. Aku menyadarinya, ketika membaca Bersetia Bela Pancasila. Aku menikmati tulisanku sendiri. Kelakuanku di Pesbukpun tiada jauh beda. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Aku seperti Mbak Gemala Dewi hahaha.
Oh, betapa sedihnya. Amboi, betapa menderita. Aduhai, betapa sengsara jika selalu saja harus menuruti keinginan orang lain. Cukuplah aku melakukan itu untuk Cantik, karena ia Cantik dan aku sayang padanya. Selain Cantik? Lebih dari satu orang? Sudah gila apa? Aku tiada 'kan peduli! Jangan-jangan seperti itu pula kelakuanku di dalam kelas, yang pura-pura mengajar itu. Amboi, aduhai, betapa melelahkan pura-pura waras begini, pura-pura peduli. Don't make a s***, [out of anything] begitu kataku di Buku Tahunan Angkatan Kedua SMA Taruna Nusantara. Jangan bikin urusan. Jangan ambil pusing.

Namun... kata Takwa, tidak boleh frustokat. Ya, memang itu penyakitku yang paling utama. Koh Ah Jin saja sampai tahu. Aku pun sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membatasi kelakuan one night stand ini hanya pada game. Namun... aku masih juga menulis di sini. Kenapa tidak segera direalisasikan Pancasilaku.com? Bedah buku tinggal menghitung hari dan sebaiknya ia segera siap, apapun itu, untuk mendistribusikan Bersetia Bela Pancasila. Kenapa? Mungkin karena aku sedang pilek. Bagaimana tidak mau dikeluarkan dari Akabri kelakuanmu begini? Siap, salah! Lalu e-Journal bagaimana? Komunikasi internal? Prospektus? Sepertinya aku cuma bisa minta tolong...

Wednesday, June 18, 2014

Tekuni Disiplin yang Membangun


Ngoreksi belum mulai juga. Jangankan itu, shalat lohor saja belum. Tapi ngopi sudah. Tadinya mau lanjut pakai teh hijau, tapi ternyata air saja cukup. Ternyata aku haus. Porsi Soto Menara memang sungguh imutnya, seperti halnya Sunan Kudus. Tapi untuk tambah sungguh malasnya, mungkin karena harganya tidak murah, mungkin karena ya biasa saja. Hari ini seharusnya ke Santika membahas buku-buku HAN katanya. Aku pun punya buku sendiri yang harus dibereskan, yang mana harus cepat! Puasa membuat segala orang pengen cepat-cepat loh, cepat-cepat pulang maksudnya. Ah, hanya pertolonganNyalah jua yang dapat kumohon. Jika sampai buku ini, aku jadi ingat Komandan KRI Diponegoro. [bagaimana aku bisa begitu saja tahu ya kalau 365 itu Diponegoro?] Setiap jungkir, setiap anjir, setiap bantai, setiap tobat, itu semualah yang mengantar beliau sampai di situ. Apa yang sudah kulakukan untuk sampai ke mana? Aku menulis artikel tidak. Ikut seminar tidak. Ngurus golongan tidak. Emang aku mau ke mana? Gelar?

Jika gelar terlalu sumir, terlalu dangkal, lalu apa yang bernas, apa yang dalam? Buku? Itu saja sudah dihina Eka Surahman, dan memang pantas aku dihina. Goklas sudah menanyakan bagaimana buku. Ooh, aku berada dalam bahaya. Kupikir menulis di sini mungkin bisa jadi penumbuh suasana yang akan melontarkan aku ke suasana hati yang tepat untuk melakukannya. Hei, tapi ngoreksi dulu dong. Aah, rusak lagi deh. Buyar lagi. Tidak! Minggu depan, minggu terakhir bulan Sya'ban, sebelum Ramadhan. Bismillah. Mari kita mulai. Seperti kata Bang Samsoul. Kalau bisa final sebelum Ramadhan berakhir. Mantap! Ya Allah, hamba mohon ditolong. Hamba mohon dimudahkan memenuhi janji ini. Hamba mohon ampun. Uah, udara panasnya, dan aku berkeringat begini. Mantap. Memang menulis itu membuat semangat, apalagi jika dilakukan dengan bertelanjang dada. Kerja kantoran benar-benar tidak sesuai untukku. Enak 'kali jika bisa seperti Ernest, seenak jidatnya mengetik di mana saja, dengan siapa saja, pakai baju apa saja. Kasihan sekali anak bocah yang merasa dirinya Ernest, atau ingin menjadi seperti Ernest. [Hemmingway]

sumber gambar dari sini, silakan dibaca juga postingnya. Insya Allah barokah.
Ya, biarlah kuakui di sini. Timbul juga rasa iri ketika melihat mentor-mentor, kawan-kawanku pada jadi komandan KRI; dan aku boro-boro kebagian satu. Waktu belum pada jadi komandan sih biasa aja. Tapi sekarang ini, lucunya, timbul juga rasa itu. Rapopo. Iriku ya cuma sampai di situ saja. Kalau tidak kuabadikan di sini tidak mungkin ia abadi. Macam aku peduli saja. Dan kita tidak akan pernah tahu rasanya menjadi orang lain, menjalani hidup orang lain, karena yang kita jalani adalah, dan selalu adalah, hidup kita sendiri! Seperti sekarang ini, enak benar aku bertelanjang dada begini, keringatan, kepanasan di rumah Istri sendiri, mengetik-ngetik entah apa seenak jidat sendiri. Badan terasa sehat, meski gendutnya sudah tidak ketolongan. Uang ada, meski tidak berlimpah-limpah. Istri Cantik. Kurang apa lagi? Kurang Iman. Kurang Iman untuk terbirit-birit shalat ketika waktunya sudah masuk. Apalagi seperti bapak-bapak tua yang sering kuamati. Sekitar lima belas menitan sebelum waktu Maghrib masuk, sudah rapi dengan koko dan sarung terbaik, pecis tiada lupa. Langkahnya menuju mesjid saja terasa begitu khusyu'nya.

Sebentar lagi, Insya Allah, maghrib akan menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh lebih banyak muslim dari biasanya. Jika biasanya ia disambut sekadarnya, sambil lalu, setengah hati, acuh tak acuh, Insya Allah sebentar lagi semua muslim tua muda besar kecil laki perempuan tak terkecuali akan menunggu-nunggunya dengan penuh harap. Hampir saja kukatakan, aku ingin jadi seperti bapak-bapak tua berkoko bersarung berpecis itu. Namun sejurus kemudian aku segera ingat. Tidak perlu menunggu tua, jangan-jangan adikku Norman Edwin sudah begitu. Tempo hari aku ke mesjid yang tidak sengaja itu, waktu lohor, kulihat ia sudah ada di shaf terdepan! Jangan-jangan begitu kelakuannya lima kali sehari. Lalu ada juga Sakti. Beberapa kali saja kupergoki ia sedang menekuni Qurannya. Jangan-jangan sudah khatam bolak-balik ia! Kalau sudah begini, jelas 'kan, mengapa nasibmu seperti ini? Sudahlah jangan banyak berkhayal. Jalani hidupmu seperti apa adanya. Tepati janji-janjimu. Terlebih penting, tepati waktu shalat!

Monday, June 16, 2014

Pakde Boni yang Punya Gardu Belajar


Selamat pagi, Depok. Masih bersama saya di lantai dasar FHUI, sedangkan Frank merintih minta ganti pasangan dansa; setelah pagi-pagi umek sendiri gara-gara menurut Bu Myra SP Koperasi dimulai Senin, pagi hari ini juga. Setelah jelas bahwa mulainya sebenarnya Kamis, maka segera ngacir ke kantin mendapati keparat-keparat eks-JHP yang tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari mereka. Maka makanlah jadinya, berat. Nasi merah, terong balado, krecek, telor dadar, minumnya teh adem. Setelah boker dan umek sendiri ga penting, ngantuk. Katanya, itu berarti otak kekurangan oksigen karena darah begini dan begitu. Mengingat gaya hidupku yang sangat inaktif sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak heran sih kalau darahku sampai begini begitu.

Nah, bagian ini kuteruskan setelah tidak lagi pagi; bahkan, tepatnya, setelah lepas lohor. Bukan lagi Frank pun yang merintih-rintih, melainkan Neil dengan musiknya yang riang-gembira, dan aku ngopi lagi! Ya, Allah jauhkanlah mudlarat kopi ini dariku dan sampaikanlah manfaat sebesar-besarnya. Amin. Eh, aku tadi shalat lohor di mesjid loh, meski tidak sengaja. Gara-garanya aku ngantuk tak tertahankan, sampai-sampai memutuskan untuk berkeliling lingkar dalam UI. Ketika melewati mantan kantor Satgas Sisfo itulah entah mengapa hatiku agak mantap mengikuti Dede Wawan dan Andi Wantemas melangkah menuju mesjid. Setelah shalat maka mantap juga hatiku menelepon Redy Zulkarnain di Berau! Sambil berkeliling-keliling Perpus, entah bagaimana hatiku agak mantap menelepon Mang Imas, yang, sayangnya, tidak bisa dihubungi. Alhamdulillah. Hidup ini indah!

Jiah, ini mah gardu beneran tea keur siskamling yeuh. (sumber)

Bicara mengenai keindahan, memang lucu; Apalagi dengan Indocafe Coffeemix dalam secangkir motif bola boleh beli di pasar lama Depok. Keindahan hidup adalah memandangi Istri yang Cantik, yang, meskipun nakalnya kadang sampai ke ubun-ubun, justru menambah kecantikannya. Apalagi kalau dia nakal sudah tidak ketolongan sampai-sampai menangis, sampai-sampai mecucu bibirnya; yang seperti itu tuh langsung mancing-mancing minta dipeluk-peluk dan dicium-cium. Ya, karena aku percaya bualan mengenai belahan jiwa. Belahan jiwa itu terlahir untuk belahan lainnya. Satu untuk satu. Aku tidak percaya jika jodoh ada yang "cuma sampai segitu." Kalau sampai bubar ya namanya tidak jodoh. Kalau sampai campur ya namanya kesalahan. Bodoh memang. Biar saja. Ini membuatku nyaman. Keindahan itu buatku ketika sepasang kakek nenek bergandengan tangan pulang dari mesjid habis tarawih. Subhanallah, itu indah!

Jika pun sampai kakek-nenek, to while the time away, maka berurusan dengan hukum. Ini idenya kudapat ketika membuat kopi tadi, karena dekat pengser ada rak berisi JHP. Ada lah orang bikin artikel, hubungan antara etika bisnis dengan kontrak perbankan, pengaruh kebijakan impor pangan pada kemiskinan petani, dimuat dalam sebuah jurnal hukum? Ketika itulah aku terpikir, menjadi yuris itu memang cocok denganku, karena yuris tidak pernah berurusan dengan yang tanggung-tanggung. Pilihannya hanya dua: (i) teknis sekali, melanggar hukum atau tidak, atau (ii) transenden sekali, berurusan dengan kecocokan atau kepatutan nilai-nilai. [Akankah aku punya kesempatan untuk melakukannya, Menulis panjang-panjang mengenai pekerjaan yuris yang cuma dua macam itu?] Lantas apa tengah-tengahnya? Kuantitatif! dan itu bukan urusan yuris. Mengenai itu serahkan pada ahli statistik. Yuris cuma punya dua pilihan, mengenakan binokular atau mikroskop di matanya.

Begitulah hidup yang kukhayalkan. Yah, mungkin ketika aku merenung-renung lalu mengetuk-ngetuk, Cantik akan pergi meninggalkanku entah untuk apa. Biarlah sepanjang ia pulang padaku, untuk kupeluk-peluk dan kugemes-gemesi. Toh, sekali dua aku masih mau dan menikmati jalan-jalan. Tapi ya itu, sekali dua saja jangan sampai lebih. Uah, sebuah gardu belajar pasti ideal sekali untuk keperluan itu. Jika Allah menghendaki, pasti kejadian itu gardu belajar. Sudah begitu saja yang kukhayalkan mengenai hidup ini. Jika cita-citaku untuk menjadi merbot mesjid yang menghuni ruangan kecil dekat mihrab tidak dapat tercapai, setidaknya gardu belajar itulah penggantinya yang sepadan. Jika tidak mungkin aku menjadi Paman Quentin yang punya Pulau Kirrin, maka cukuplah aku jadi Pakde Boni yang punya Gardu Belajar. Suatu hari nanti Adjie akan datang main ke rumah lalu bertanya, "Pakde Boni di mana?" Akan dijawab: "tuh di Gardu."

Sunday, June 15, 2014

Pesiar ke Pecinan, Nonton di Bayeman


Selamat pagi, My Dear Diare. Entah mengapa, gara-gara lihat Cincha Lowra di Inbox aku jadi ingin meluapkan perasaanku padamu. Tidak, sih. Mungkin gara-gara nasi goreng bikinan adikku, disambung Teh Sosro Heritage kesukaan Bapak, lalu masih ada Nescafé boleh beli bulan lalu gara-gara pingin cangkirnya, limited edition 75th anniversary apa'an tauk. Di Minggu pagi yang mendung gelap begini, entah mengapa ingatanku melayang pada Eri Budiman dari duapuluh tahunan yang lalu, yang begitu sedapnya menikmati snêk berupa dua tangkup krêkers yang tengahnya diberi ragout-ragoutan dengan sepotong kecil telur, [ya, telur, satu unsur dalam makanan yang selalu membuatnya menjadi speisyal] lalu dibalut tepung dan digoreng. "Kalau ada sepiring, aku bisa habis sendiri," begitu katanya sambil menikmati. "Masalahnya, Er," tukasku, "tidak ada yang mau memberimu sepiring." Aku tidak ingat kelanjutannya. Mungkin ia mencoba bertanya pada teman-teman sebarak, adakah yang tidak suka snêk itu. Tentu saja itu usaha sia-sia, karena semua orang tampaknya menyukai snêk krêkers goreng; tidak seperti, misalnya, arem-arem dan bika ambon yang warnanya coklat kehitaman itu.

Alm. Bayeman Theatre, sebelum dirubuhkan pada 2008. (sumber)

Sekarang sudah hujan. Jika mengingat suatu pagi yang mendung, ada beberapa hal yang hampir pada ingatanku. Pecinan Magelang, roti pizza-pizza'an, es krim (...mungkin) dan lagunya Errol Brown, This Time It's Forever. Itu pasti kelas dua, di Graha 3. Seingatku aku sendirian saja menikmatinya. Aku lupa apakah aku memang mendengarkan lagu itu sementara makan, atau, seperti biasa, lagu itu sekadar mengiang-ngiang karena kudengar di graha sebelum berangkat pesiar. Siapa dulu, ya, di pojokan pintu belakang Graha 3, yang suka menyetel radio keras-keras? Cecak Andigus Wulandri? Pojokan itu, antara '92-'93, penghuninya Andri Supratman, Mappalara "Mappy" Simatupang, Cecak Andigus Wulandri, Aris Yudhi "Adhitya" Prasteya, Rully Kusuma Jaya, Ramdan Lukiswara, Iron Setiawan dan aku. Ahaha, kelas dua dan pesiarnya, tiap Minggu dari 08.00 - 18.00 dan boleh ke Yogya. Aku mana pernah ke Yogya. Pesiar sampai agak sore beberapa kali pernah, lah, tapi tidak pernah mepet sampai Maghrib. Untuk apa pun? Sedangkan pesiarku selalu untuk makan dan makan saja. Beberapa kali menonton memang, namun sangat jarang.

Ini tentang menonton di Magelang pada tahun '90-an: "Nonton ki yo neng MT. Nek neng Tidar sok ono corone. Bayeman rodo kere, sok ono tikuse." (Nonton itu ya di Magelang Theatre. Kalau di Tidar sering ada kecoanya. Bayeman lebih menyedihkan, sering ada tikusnya) (magelangimages.wordpress.com 2013) Apalagi menonton di Bayeman pakai baju pesiar. Seru deh pokoknya. Seingatku waktu itu bersama Catur Agus Sulistyo, atau malah bertiga bersama Rully? Bisa jadi. Ada setidaknya 4 (empat) film yang seingatku kutonton di sana: Mobster, Harley Davidson and Marlboro Man, Young Guns II, Tombstone. Persis seperti diceritakan Magelang Images, di tengah-tengah film pakai putus segala, dan segala kata mutiara pun berhamburan di antara penonton hahaha... Tentang menonton ini ada lagi. Suatu ketika cuti ke Jakarta sedang diputar Jurassic Park di bioskop-bioskop 21. Agak 2-3 bulan setelah cuti, tiba-tiba muda-mudi Magelang saling ber-du-du-an di GKL FM dengan panggilan Bronto, T-Rex... ada apa ini? Ternyata Jurassic Park sudah main di Jogja, kiblat blantika muda Magelang. Baru setelah mendekati cuti berikutnya, hampir enam bulan kemudian, Jurassic Park main di Magelang Theatre hahaha... Jian ndeso pol!

Nah, tentang pesiar di Pecinan sendiri ada lagi. Tidak tepat di jalan Pecinan itu sih, agak masuk ke dalam. Tepatnya aku sudah lupa. Bosan juga 'kan makan mie ayam food court Matahari apalagi Gardena yang semakin redup pamornya, maka bertualanglah aku dengan niat cari chinese food, di Pecinan! Akhirnya ketemulah, langsung pesan mie ayam jamur. Ternyata di dalam sudah ada beberapa teman yang kebetulan beragama Kristen, salah satunya seingatku Yesayas "Jesse" Silalahi. Tak berapa lama datanglah pesananku. Itu jamurnya, Saudara-saudara, menggunung seperti es serut di es campur! "Wuih, banyak sekali jamurnya, Pak," seruku. "Iya ini 'nanam sendiri, Mas" sahutnya bangga. [...mungkin maksudnya, karena jamurnya menanam sendiri, jadi bisa banyak...??] Belum lepas terkejutku, kuperhatikan kawan-kawanku itu di meja lain sedang mengepung sesuatu hidangan. Kudatangi mereka dan aku tidak mampu mengenali apa yang mereka makan itu, di atas sebuah schaal dari logam, sudah dimakan di beberapa bagiannya. Tidak mau berlama-lama membuatku bingung, salah satu kawanku mengambil daftar menu dan menunjuk nama hidangan itu: Babi Kecil Panggang, (?!) yang, kata Jesse, paling enak kuping dan buntutnya yang seperti pembuka botol anggur itu. (?!) [...sedangkan mie ayam jamur menggunung tetap kulahap habis juga. Mana kutahu kalau mereka dimasak di dapur yang sama dengan peralatan yang sama pula...]

Saturday, June 14, 2014

Kenikmatan Dunia, Kesakitan Manusia


Aku menulis ini dalam keadaan jasad kotor batin apalagi. Aku belum shalat lohor seraya berkata pada diriku sendiri, nanti kukerjakan setelah beres-beres rumah, biar sekalian. Dalam keadaan seperti inilah, ditemani segelas permata teh hijau beraroma bunga melati dan nyanyian Neil Sedaka, aku menulis tentang kesakitan manusia, kepedihan hati dan batin mereka akibat nikmatnya dunia. Ini adalah omongan pembual pandir lagi pongah yang tidak perlu didengarkan, bahkan oleh penuturnya sendiri. [Ini meja laptop sudah goyang-goyang begini...] Si Pandir berusaha mengingatkan dirinya sendiri yang tidak pernah ingat, yang selalu ayal.

[Lelaki pandir sekarang merana, anak istrinya dibuat sengsara. Uang yang banyak telah dibikin musnah, karena malas dan kurang upaya!] Sungguh, sebaiknya aku segera shalat setelah ini, dan berusahalah khusyu' hei, Pandir! Membereskan terjemahan syarah Futhuhul Ghayb tidak kauteruskan karena merasa sudah membeli syarah yang baru, itu pun tidak kau baca! Ya, Allah harus mulai dari mana hamba? Hamba si Gendut berlumur dosa, yang lalai dalam bersiap-siap menyambut Ramadhan Karim, seakan ia sudah pasti datang padanya, seakan sudah pasti ia akan disampaikan padanya.


Dulu sekali aku sering membatin pada diriku sendiri, beberapa kali bahkan kutulis juga di sini, betapa dunia ini tempat yang mengerikan jika bukan karena belas kasih dan sayangNya. Tetapi apa kini? Apa aku mencari belas kasih itu? Adakah sejengkal saja aku melangkah kembali ke sana? Ada juga, aku terus melumuri jasadku yang celaka dengan kenikmatan dunia, yang sesungguhnya merupakan karuniaNya, seakan-akan aku merasa berhak atasnya, atas segala kesakitan dan kesakitan yang pernah dan sedang kualami, atau setidaknya begitulah sebagaimana dipahami oleh diri-rendahku! Astaghfirullah! Aku berseru minta ampun kepadaNya, meski bibirku terkatup.

Ya, jariku yang menyerukannya namun hatiku tidak. Amboi, betapa kerasnya kau hati... apa saja yang telah kulakukan terhadapmu selama ini? Ampuni hamba Oh Allah, kasihanilah hamba yang bebal ini. Ini jelas kejumudan. Aku berhenti. Aku tidak beranjak sejengkal pun. Ketika sekelilingku bergegas menujuMu, maka jelaslah pada hakikatnya aku mundur. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Apa yang dapat hamba lakukan untuk sekadar mengangkat pantat dari tanah kejumudan ini, Ya Allah? [Ampun, ampun jangan hamba dipukul Ya Allah.]

Ada! Itulah dia! Hei, Tolol, tidakkah telah terpikir olehmu entah sejak kapan, selalu, setiap kali kau dibuat ketakutan oleh sakit dan penyakit?! [Hari inikah, ya, siang hari ini jugakah?] Ya! Lantangkan! Camkan! Segera setelah ini tanpa ditunda. Ramadhan Karim segera menjelang dan jangan biarkan sakit dan penyakit yang mengingatkanmu. Ingatlah, hei, bangunlah, Tolol! Lagipula, Tolol, mana mungkin hal-hal yang baik, yang thayyib, dapat muncul dari benak yang jumud dipenuhi kepalsuan nikmatnya dunia? Lihat badanmu sekarang. Gendut! Jijik! Apa? Kau merasa harus melakukan sesuatu, hal-hal yang mulia?

Jih! Apa lagi sebutannya jika bukan sesat, apa pula yang telah menyesatkanmu selama ini? Ingatlah selalu akan satu hari, ya SATU hari yang nista itu, yang satu sebagai sekadar pengingat dari yang banyak, yang terjadi karena kau mengharu-biru dirimu sendiri dengan kesakitan yang kau khayal-khayalkan sendiri untuk dirimu! Sudahkah, ya, mampukah kau membayarnya, menebusnya? Itulah yang seharusnya menjadi ketakutanmu dan bukan yang lain-lainnya. Astaghfirullahalazhim. Bisa-bisanya engkau dibodohi oleh sesuatu yang sudah kaulatih entah sejak kapan, jauh di masa kecilmu. Hentikan itu, kini kau dewasa, dan dewasa adalah pilihan. Beranjaklah! Bangun!

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Wednesday, June 11, 2014

Lugut Sigatel Itu Miang-miang Bambu


Judul seepik ini harusnya isinya keren, namun kini aku sedang tidak ingin keren. Siang tadi seingatku aku ingin mengabadikan cuaca yang luar binasa panasnya, dan betapa badanku rasa tidak enak. Namun malam ini, ketika aku benar-benar menghadapi Asus X450C-ku, tidak demikian lagi suasana hatiku. Apa karena Thais Meditation, atau gara-gara habis lihat Peter Schmeichel di BeIn 3, atau karena Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang? [Aku harus benar-benar masuk ke dalamnya, sebelum bisa asyik. Namun, segala sesuatu seakan mencegahku untuk melakukannya. Setan! ...dan yang paling nyebelin tentu saja koreksian, meski banyaknya tak seberapa; tidak seperti dulu-dulu yang pernah kulalui.] Nah, bicara koreksian... entah mengapa satu kenangan ini selalu mengemuka. Seingatku itu adalah final push, beberapa lembar terakhir. Jika tidak, tentu saja aku tidak akan merasa perlu merayakannya, sampai mengajak Dedy Nurhidayat segala, ke KFC Mal Depok segala. Tidaklah. Namun memang naik mobil dia yang hijau itu. Aku masih ingat, kursi samping supir itu kurebahkan, dan aku tidak melihat keramaian Margonda. Ya, hanya langit malam Depok yang kulihat, setelah meneguk Earl Grey, dan mencuil-cuil kue coklat yang dalamnya meleleh.

Lalu kami kembali ke Gang Pepaya. Berapa lama kami di situ? Satu setengah tahun. Banyak hal terjadi selama itu. Sejak di situlah aku belajar hidup seperti aku hidup sekarang. Lantai dasar yang remang-remang, dengan lampu kuning di depan kamar mandi. Remang-remang dan dingin, karena ACnya kurasa cukup kuat. Uah, memang cocok sekali untuk malam-malam sepanas ini. Ada pengser di bawah, meski di atas juga ada. Kopi biasanya di bawah situ juga. [mungkin karena, entah bagaimana, saat ini aku ingin ngopi. Padahal hampir tengah malam. Padahal tidak berapa sehat. Mungkin gara-gara Ave Maria ini...] Pernah juga jus mangga Country Choice pakai es. Hmm... segar. Seperti ini juga, menulisi Kemacangondrongan di atas meja direktur abangnya Sopuyan. Di depanku sofa yang sudah diubah bentuknya oleh Mang Yayan. Lalu bagian belakang dari lemari buku boleh bikin di Lenteng. Ya, sejuk. Bahkan dingin. Jika ke atas, maka yang pertama menyambut satu set sitje bambu boleh beli jaman di Jang Gobay. Di atasnya suka banyak apa-apa. Oh ya, cermin. Menoleh ke kanan, maka ada kulkas, wasbak yang ngecembong banyu, pantry dengan kompornya Dedy, rak piring... di baliknya, TV. Barulah di ujung kamarku. Meja tulis yang sudah tidak pernah dibuat menulis lagi semenjak pindah ke situ. Rak yang entah apa-apa isinya, dan... kasur palembang kesayangan. Oh, they are very dear to me, their memories...



Tak disangka aku jadi berpanjang lebar mengenai Gang Pepaya. Belum lagi gangnya itu sendiri. [Aah... aku harus buat kopi!] Mulut Gang Pepaya diapit oleh syowrum-syowruman. Memasuki gang, segera terlihat warnet. Sebelum warnet, jika melirik ke kiri, maka warung dalam gambar itulah yang tampak. Aku sekali dua membeli kopi di situ, atau di warung satunya dekat pintu masuk tapsiun. Nah, di samping warnet ada bimbel-bimbelan yang prestation. Pas di belokan ke kiri ada pangkas rambut gaul, lalu emperan tempat jual buah, lalu warung sate gajah yang lebih laku ayam nyepetnya. Di seberangnya tempat entah apa, pernah ada orang jual jus di situ, lalu tempat nasi goreng. Sebelah ayam nyepet itulah ruko-rukoan yang dalemannya sudah kuceritakan di atas. Lalu warnet, pernah jual mie ayam yang edible, di seberangnya londri-londrian punya kawan lama, [buset, sekarang aku lupa kawan di mana siapa namanya] orang jualan pulsa dan alat pemadam kebakaran, kos-kosan cewek banyak yang depannya sering buat mangkal tukang nasi goreng gerobak, seberangnya kadang ada tukang otak-otak sapu-sapu, warung yang kuceritakan tadi, mesjid, dan pintulah tempat babe temennya Agam jualan herbal, lalu peron. Masih banyak lagi. Warung nasi yang bakwan jagungnya oke, fotokopian di depan jualan gas, warung jual minuman, warung alat tulis... Mati semua! Semua! Mati!

Wednesday, June 04, 2014

Saroso Ber Harsanto, Kenangan Akan Beliau


Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Keselamatan semoga atas Para Sanak sekalian, demikian juga kasih-sayang Allah, barokah dan ampunanNya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w beserta keluarganya dan para pengikutnya sampai akhir jaman. Amma ba'du.

Di pagi hari yang berbahagia ini, entah mengapa, ada dorongan yang begitu kuat dalam hati patik untuk membagi kepada Para Sanak sekalian dua buah kisah yang sangat ajaib, yang selalu terngiang dan memukau sanubari patik. Tiada lain maksud patik kecuali mengeluarkannya dari dada patik, seraya memohon ampun kepada Allah, semoga dijauhkan kiranya dari segala niat buruk dan perbuatan cela. Semoga kita semua terutama patik dapat mengambil ibrah pelajaran dari kisah ini.

Sesungguhnyalah ini bukan kisah patik sendiri. Patik mendengarnya dari guru agama patik ketika bersekolah di Magelang. Beliau bernama Saroso Ber Harsanto, terbaca dari papan nama yang beliau kenakan di dada kanan, sebagaimana diwajibkan atas para guru, termasuk kami para murid, di sekolah itu. Ketika itu patik memang punya satu kebiasaan membaca-baca papan nama dan mengingat-ingatnya. Betapatah tiada teringat selalu akan nama yang demikian uniknya: Saroso Ber Harsanto.

Monumen Kresek, Madiun (sumber)
Sebelum menuturkan kisah, ingin patik sedikit mengenang pelajaran agama jaman sekolah. Sayang, bukan isi pelajarannya itu sendiri yang terkenang, melainkan suasana belajarnya. Ini pun teringat oleh patik karena tempo hari bertemu adik-adik kelas dan mereka tertawa-tawa mengenangkan pengalaman belajar agama di sekolah. Demikianlah kata adik-adik patik, suara guru-guru agama ini laksana hipnotis sangking lemah-lembutnya, mengakibatkan kantuk yang tiada tertahankan. Kurang ajarnya, mereka tiada ingat siapa nama guru agama kami. Patiklah yang mengingatkan: Saroso Ber Harsanto.

Jika mengajar, Pak Saroso selalu rapi jali. Meski di usianya yang sudah cukup senja di awal '90-an itu, beliau tampak jauh lebih muda. Berdirinya masih tegap dan gagah. Rambutnya selalu disemir hitam dan mengilat oleh minyak rambut. Kemejanya rapi terseterika, bahkan tampak kaku pula seperti dikanji. Tampaknya, Pak Saroso suka tampil dandy. Paling terkenang oleh patik adalah sepatu beliau yang selalu mengilat dan... berhak agak tinggi. Sepertinya bukan sepatu jatah atau sepatu dinas, melainkan pantofel yang lumayan bagusnya.

Seraya menulis ini patik juga jadi terkenang, betapa Pak Saroso dulu, di tengah suara beliau yang lembut mendayu-dayu, bercerita entah tentang kisah nabi-nabi ataupun rukun iman, suaranya bisa tiba-tiba keras, membuat kawan-kawan patik yang tengah lelap mendengkur, sampai tertunduk-tunduk kepalanya, menggeragap terbangun sambil menghirup dan menjilat liur sendiri yang terlanjur menetes. Dalam pada ketika seperti inilah, mungkin maksud beliau untuk mengusir kantuk, Pak Saroso menceritakan kisah yang patik tidak dapat lupa sehingga kini.

Sebelumnya, patik mohon maaf jika rincian cerita ini tidak sesuai dengan aslinya, sebagaimana terkenang oleh kawan-kawan yang lain. Namun Insya Allah, inti ceritanya tiadalah terlampau jauh berbeda. Alkisah suatu ketika di masa Pak Saroso masih muda perkasa, nun di suatu tempat di Madiun, di tengah berkecamuknya revolusi fisik, Pak Saroso bersama beberapa belas atau puluh kawannya ditangkap dan ditawan oleh tentara yang bersimpati pada PKI Muso. Mereka diikat dan dikurung dalam suatu kurungan yang sangat tidak berperikemanusiaan; Seingat patik bahkan hanya cukup untuk berjongkok berhimpitan di antara para tawanan.

Pada ketika itulah kawan-kawan Pak Saroso ada yang meradang memaki-maki, ada pula yang menangis meratap-ratap, demi menyadari tiada lama lagi hidup mereka akan diakhiri, entah dengan cara bagaimana, oleh simpatisan PKI yang saat itu terkenal kejam. Lapar. Haus. Sakit. Penat. Pak Saroso pun tiada terkecuali merasakan hal yang sama. Akan tetapi beliau memilih untuk berdzikir menyebut namaNya, memasrahkan segala sesuatu kepada Yang Maha Kuasa. Sebenarnya patik lupa dzikir apa, atau bahkan Pak Saroso memang tidak merincinya. Hanya saja yang patik ingat, Pak Saroso ketika itu entah berdoa entah berdzikir.

Ajaib! Entah bagaimana caranya, seraya tenggelam dalam dzikir, Pak Saroso mendapati dirinya berada di luar kurungan! Beliau dapat melihat kawan-kawannya, bahkan dirinya sendiri, dikurung, sedangkan beliau berjalan-jalan bebas di luar kurungan. Namun, orang-orang seakan tiada dapat melihat atau mengetahui keberadaan beliau. Tidak para penjaga, tidak kawan-kawan sesama tawanan, tidak pula diri sendiri dalam kurungan. Pada ketika itulah Pak Saroso pergi ke tempat kedudukan tentara Republik terdekat untuk mengadukan keadaannya beserta kawan-kawannya yang tertawan.

Demikianlah kata cerita, tentara Republik datang mengusir tentara PKI dan membebaskan para tawanan. Dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya tentara-tentara itu demi mendapati salah satu tawanan yang dibebaskan itu adalah orang yang memberitahu mereka tentang keberadaan tentara PKI dan tawanannya; sedangkan ia, sama seperti tawanan selebihnya, sama berjongkok, sama terikat, sama menyedihkan keadaannya, tidak seperti orang yang barusan melapor. Wallahua'lam bisshawab.

Maha Suci Allah. Tiada daya dan upaya kecuali denganNya. Semoga Allah berbelas-kasihan pada kita, mengampuni semua dosa kita yang mana saja tanpa terkecuali, menggantinya dengan kasih-sayang,  anugrah hidayah dan barokah berupa berdekat-dekat denganNya. Amin.

Tuesday, June 03, 2014

Meditasi Indomie Goreng Jumbo yang Asli


Sekitar ba'da Ashar aku berjalan dengan langkah agak lebar-lebar memotong tegak lurus pelataran depan kampus FHUI, tepat menentang arah pandang Pak Djokosutono, sambil menenteng nasi bungkus boleh beli di Sasari dan mulut penuh mengunyah cireng isi. Komandan Aris komentar, pantes jadi tembem. Kemarinnya, Hadi mengomentari leherku yang, katanya, lebih gemuk dari biasanya. Lebih pagi, Bu Riga juga memergokiku dengan mulut penuh roti isi kelapa boleh dapet jatah ngawas ujian, seraya berkomentar mengenai betapa aku gemuk. Inilah akibat meditasi dengan metode super speisyal ekstra jumbo dengan menggunakan Indomie Goreng. Kemarin, sepulang dari kampus, aku mampir dulu di Indomaret depan QS untuk membeli benda itu, sekaligus 5 (lima) bungkus. Ya, dengan itulah aku bermeditasi, karena cinta adalah hal tersedih jika ia pergi. Begitu saja suara sok berat Frank diganti dengan suara empuk Stan Getz ber-Garota da Ipanema.

Mangkuk Oranye Indomaret Kober dan Mangkuk Hijau Jang Gobay di Atas Bedong Faw

Mengetik juga semacam meditasi, ketika ada sedikit rasa kecewa di hati karena tidak bertemu dengan delegasi Leiden. Namun suasana hatiku memang tidak sedang ke situ tadi pagi, saking tidak-ke-situ-nya sampai-sampai ketinggalan HP. Demi menyadari bahwa topan sudah datang karena badai telah berlalu, dengan segala permohonan pencairan dana dan semacam laporan hasil pelaksanaan kegiatan, sungguh perut gendutku rasa meleleh; meski aku makan cinlok sudah lebih dulu sebelum mengingatnya. Memang ajakan Frank Lampard itu hampir selalu tidak benar. Jarang sekali sesi Frank Lampard berlangsung kurang dari setengah jam; bahkan yang paling asyik bisa sampai dua jam. [aah... suara Tante Astrud ini terasa seperti belaian kekasih yang memberahikan...] Ngomong-ngomong birahi, meski mungkin berhubungan, Frank Lampard ga ada apa-apanya jika dibandingkan Peabo Bryson; yang satu ini memang laknat! Gagal total semuanya. Makan, perang dan gejala ikutan Peabo Bryson adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hal-hal yang mengakibatkan.

Soal perang ini, benar juga kata Mas Mils. Ekspansi Peradaban Kelima terlalu rumit untuk diajak santai. Terlalu banyak aspek yang harus dieksplorasi, yang tidak mungkin dilakukan sambil melengkapi dokumen pencairan dana, apalagi untuk menggenapi sumpah setia bela Pancasila. Semalam kukatakan pada Cantik, aku tidak punya hobi kecuali yang satu ini, dan hobi yang satu ini sungguh-sungguh murah karena tidak menghabiskan uang sepeser pun. Namun ada satu yang dihabiskannya sampai habis-habisan: Waktu! Hahaha... ini mah lebih parrah! Insya Allah dua hari lagi akan ada selingan bagi rutinitasku. Ibu akan tindak dan menginap di M14 bersama Adjie dan Ibunya. Ya hanya ini yang dapat kuharap-harap. Jika dipikir-pikir, sebenarnya yang mampu mengubah rutinitasku ya hanya aku sendiri. Seperti sekarang ini. Entah sudah berapa hari jadi terbiasa begini. Jika Togar shalat, dan syukurnya tidak pernah terlalu jauh dari awal waktu, hal terkecil yang dapat kulakukan adalah segera menyusulnya. [Isya' dulu, ah]

Sunday, June 01, 2014

Dobel Cisburgernya Mekdi Lebih Enak dari Gurame


Mengajar itu sebenarnya capek ga sih? Capek tauk. Mengajar. "Mengajar..." adalah cara termudah mencari uang bagiku, ketika hidupku semata untuk mencari uang. Setelah sekian lama ini, habis motivasiku untuk sebagian besar yang biasa kukerjakan. Hanya keinginan untuk minum kopi saja yang tinggal, dan cisburgernya Mekdi juga kadang-kadang. Cisburger itu kalau dobel kebanyakan sampe begah, kalau satu ga nendang. Itu pun mudah hilangnya. Keinginan itu. Cukup mengingat bahwa bulan Mei kemarin ini aku hanya terima kurang dari sembilan juta. Hanya. Hanya?! Benar-benar ajaib. Masih segar di ingatanku, khayalanku, seandainya saja penghasilanku lima juta sebulan, maka sekian untuk ini, sekian untuk itu... Kapankah itu? Sepertinya tepat ketika aku baru pulang dari Belanda. Sekarang aku dapat hampir dua kalinya dan kukata "hanya"?! Ya, hanya. Itulah sebabnya hilang hasratku akan cisburger Mekdi, yang dobel maupun tidak. [Aku sampai ingin mengolah tahu susu baru saja, sayang tidak ada brambang bawang.]

Sambil menghadap ke timur, ke jendela belakang, aku membelakangi Cantik dan anak-anaknya yang sedang belajar entah apa-apa. Gara-gara mereka, aku tahu beberapa hal. Paragon dan nonton setidaknya. Jika dibandingkan lima [ya, lima] tahun lalu, memang inilah perbedaan terbesarnya. Jika aku harus hidup seperti orang normal yang mencapai ini dan itu, maka aku butuh... Istri, begitu batinku beberapa tahun yang lalu. Istri atau keluarga? Normalnya orang hidup berkeluarga. Begitulah sering kulihat dengan tatapan sok peduli beberapa tahun lalu. Keluarga-keluarga itu. Kecil-kecil. Menuntun anak-anak mereka naik eskalator. Apa benar itu yang kuinginkan ketika itu? Apa benar itu yang kuinginkan sekarang? Untunglah aku sempat melatih diri untuk menjalani apa saja yang terbentang di hadapanku. Sekarang pun begitu. Aku sekadar menjalani apa yang terbentang, membentang. Sudah berapa lama aku berkeluarga? Uah, peduli apa. Aku mencintai Cantik. Aku selalu merindukannya jika sedang tidak bersamanya; dan, kurasa, aku menyayangi anak-anaknya. Rr. Khairaditta dan R. Fawaz Hamdou Notoprawiro.

Sekarang, aku ingin mengopi lagi! Tidak, ah. Jangan. Setelah ini memang yang paling benar shalat lohor. Apa mandi dulu? Kemudiannya itu yang menceloskan hati. Dokumen-dokumen pengadaaan lagi atau langsung bbp_dji, atau malah soal SdA besok? Emang masbuloh kalau aku menekuni bbp_dji saja? Apa aku bakal lebih senang? Hari Minggu yang panas begini ditemani Now and Forevernya Air Supply mengingatkanku pada masa kecilku di Jl. Radio, mungkin jaman aku kelas 4 SD seperti Khaira sekarang. Memang keren adikku Haryo. Dia lah yang mengenalkanku pada Air Supply, sampai-sampai kami berdua sama-sama suka Come What May. Yah, apapun yang akan terjadi... Cukup sedih juga hatiku dibuatnya, ketika dini hari tadi aku membuka al-Hikam dan Futhuhul Ghayb dan tak satupun menggetar-gelorakan hatiku. Kini malah One More Chance, lagu temaku ketika menjelajahi atap-atap Gamma I. Semua itulah bianglala hidupku. Tidak apalah. Semoga aku dapat terus menjalani apa yang terbentang, terhidang di hadapanku. Semoga lurus jalanku, karena ya hanya itu yang tersisa dari harapan, keinginanku...

Ya, sungguh tidak keren memberi judul dengan awalan "Suatu Entri tentang..." maka dari itu sekarang ini kuganti. Ini sudah Maghrib di tepian Cikumpa, di Kampung Serab, tapi rasanya seperti harus kutambah sedikit entri ini sebelum ditutup. Akhirnya, hari ini untuk kali pertama aku makan di Saung Fitri. Tempatnya memang tidak pernah menarik hatiku, meski memang jarang sekali aku kepingin makan gurame goreng. Dan begitulah makanannya. Memang ada gurame-gurame yang memorabel, seperti Gurame Cobeknya Nging Kemang, lalu gurame entah apanya Bang Mayakan juga boleh, kalau tidak salah pesmol--dan kalau tidak salah lagi, sekarang sudah tidak ada menu itu. Yang baru saja kucoba di Saung Fitri... sangat tidak memorabel. Almost inedible, bahkan kataku tadi; tapi itu khusus mengenai cah kangkungnya. Jadi, cah kangkung itu disajikan dengan piring panas. Mungkin itu memang suatu muslihat agar rasanya yang ya sudahlah itu jadi tersamarkan, persis seperti taktikku jika ingin melupakan rasa makanan sel dahulu di AAL. Sayur asemnya... ini juga tidak dapat disebut. Awalnya aku membayangkan sayur asem yang segar. Nging Kemang juga tidak membuat sayur asem yang bening seperti Ibu Tamin, Bang Mayakan juga merah warnanya. Tapi yang ini... mungkin hanya satu strip di atas cah kangkung yang almost inedible tadi.

Friday, May 30, 2014

Jangan Ganggu Aku! Jauh-jauh Sana!


Dear Diare,

Hari ini segala sesuatu terasa menjengkelkan. Segala sesuatu? Sebenarnya engga juga. Hanya beberapa saja. Untunglah pagi ini sambil menunggu shalat Jumat aku sedang mood mendengarkan Beatles. Mengetik begini juga sebenarnya menyenangkan, dan cingcong mengenai prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumberdaya alam sebenarnya juga sama menyenangkan; dan lebih berguna. Engga, lah. Ini masalah mood. Mungkin orang-orang yang berusaha memainkan lagu-lagu Beatles tepat seperti cara mereka berempat memainkannya adalah orang-orang yang... well... Yah, pokoknya aku bukan orang seperti itu. Aku tidak peduli pujian orang. Aku hanya butuh merayakan suasana hati setiap saatnya, meski Don't Bother Me ini, sungguh, selalu asyik begini. Jika saja ada sebuah gunung batu granit yang bernama Rushless, mungkin akan kupahat wajah John, Paul, George dan Ringo di sana; biar jadi berhala-berhala.


Puasa sehari saja Alhamdulillah terasa benar khasiatnya. Perut yang sebelumnya terasa sesak benar di dalam celana yang sudah ukuran 40, langsung terasa longgar. Memang jika tidak puasa, ketika perut terasa longgar sebentar saja, langsung berpikir ini waktu mengisinya kembali, which is ngawur. Puasa itu memang enak. Sayangnya sekarang Jumat. Alhamdulilah setelah entah berapa Senin berapa Kamis mencoba, kemarin berhasil. Mungkin karena seharian di rumah saja, bersama Cantik lagi, sedangkan ia juga puasa. Kami berbuka puasa di Soto Bu Tjondro dan Cantik seperti biasa menyesalinya. Lebih menyesal lagi ketika Tip Top menyuruhnya membayar vas bunga murahan yang sudah pecah. Apapun itu, yang patut dicatat adalah kemarin aku tidak perlu memanjat atap, hanya menggoyangkan jack sedikit dan siaran-siaran lokal kembali bisa ditonton. Mungkin berkah puasa Kamis. Alhamdulillah final exam the Principles of Adat Law terlaksana dengan tertib dan lancar, meski entah mengapa aku merasa mood marah-marah pada bocah yang tidak bawa kartu ujian.

Sesungguhnya, baru sejak Pak John Atkins menyuruh Mansyur untuk roll over-lah aku menyadari sepenuhnya arti Roll Over Beethoven. Di mana komen itu adanya, ya? Atau di status? Aku ingat biasanya aku senang membacanya. Hei, di negeri orang apalagi sampai lama-lama itu membosankan loh, sampai baca komen atau status aja senang. Masa lupa masa-masa berjongkok di WC aneh yang kering berkarpet plastik, dingin pulak, seakan tidak akan pernah berakhir? WC mana pun yang pernah kujongkoki dan kududuki selama di negeri itu, mana ada yang enak. Kering semua dan pakai tisu semua. Apalagi WC McD yang di pojokan Markt. Hiy. Lalu makan, mana pernah benar-benar enak kecuali kibbeling dan surimi garnalen; itu pun pasti saking aja karena yang lain ga jelas. [ah, tidak. Makan sih agak mendingan lah, meski bukan makanannya betul yang berkesan] Lalu kau ingin, benar-benar ingin kembali ke sana? Semata-mata karena mampu melakukannya "di luar" dan topikmu "brilian"? Begitu?

Aku pengin jadi pacarmu

Wednesday, May 28, 2014

Dunia yang Tak Satu


Entri ini saya salin, dengan sedikit penyuntingan, dari status fesbuk Mas Ikhsan Abdillah bin R. Sulaksono Talkoeto, saudara sepupu, anak dari kakak Ibu saya.

Menurut kitab suci, pada hakikatnya, dunia itu fatamorgana. Fatamorgana berarti bukan merupakan Kebenaran hakiki, alias palsu. Dalam kitab suci pula seringkali diingatkan untuk tidak mencintai dunia secara berlebihan. Mengapa disebut fatamorgana? Ya itu tadi, karena bukan Kebenaran. Bagaimana dapat disebut sebagai kebenaran, karena ternyata dunia itu bukan satu, tapi banyak, Sedangkan Kebenaran itu satu. Mengapa dunia, sang fatamorgana itu banyak? Karena dunia itu sebenarnya hanya lautan PERSEPSI. Perhatikan contoh sederhana berikut.

gambar dari sini

Bagi Saya, buah Durian itu lezat. Tidak jauh-jauh, menurut adik Saya, buah durian itu tidak enak. Dalam dunia Saya, buah durian itu enak sekali, sedangkan dalam dunia adik Saya tidak demikianlah halnya. Ada lagi pendapat orang asing bahwa rasa durian itu perpaduan antara aroma sedap dan bau comberan. Tahukah Anda bahwa durian yang dimaksud adalah sama, rasanya sama, bentuknya sama, warnanya sama, tetapi mengapa jadi berbeda? Ya itu tadi, PERSEPSI. Jadi bahwa durian itu enak bukan suatu kebenaran, itu adalah PERSEPSI belaka. Kebenarannya durian adalah durian apa adanya, yang bebas dari PERSEPSI, suka atau tidak suka.

Kita masing-masing hidup dalam dunia yang sesuai dengan PERSEPSI kita, jika ada 1 milyar manusia maka, ada 1 milyar dunia yang unik. Beragam bentuk dunia, tidak heran jika ada dunia yang di dalamnya penuh dengan intrik, perlombaan, persaingan dan konspirasi, dan dunia itu nyata bagi sang PERSEPTOR. Semua kejadian dimaknai melalui kacamata konspirasi, tidak heran pertumpahan darah, peperangan, persaingan, perebutan adalah keniscayaan dalam dunia yang seperti itu.

Ada dunia yang temanya ketidakberdayaan. Dalam dunia ini Sang PERSEPTOR memposisikan dirinya sebagai korban, terombang-ambing oleh nasib, korban imperialis, korban kapitalis, korban putus cinta, korban rasisme, korban ini dan itu. Dunia tidak adil dalam kacamatanya. Sang PERSEPTOR merasa jadi korban nasib, tidak berdaya, dan biasanya ia akan mengeluh, mengritik, curiga, dan skeptis.

Dan masing-masing sibuk menyatakan bahwa dunianyalah yang paling benar. Tidak salah juga; memang dalam kenyataan dunianya, itulah yang dia alami, dia rasakan. Masalahnya adalah ketika Ia mencoba memaksakan kebenaran dunianya kepada orang lain yang dunianya berbeda, di sinilah konflik itu terjadi, wong kenyataan menurut yang satu berbeda kok, bagaimana mungkin Ia mengamini.

Ada juga dunia yang penuh cahaya, Sang PERSEPTOR Memaknai dunianya sebagai sesuatu anugrah. Di sini hanya rasa syukur yang ada, semua kejadian adalah pelajaran, di mana buahnya adalah hikmah. Dia tahu semua bagian diadakan untuk satu tujuan, segala sesuatu diciptakan dengan tujuan; tidak ada yang sia-sia. Di sini ia banyak memetik buah yang ranum. Di sini Ia tahu bahwa dunia hanya permainan PERSEPSI belaka, Ia tahu bahwa lautan PERSEPSI itu hanya seperti kabut, yang mana dengan eksperimen kecil, dengan mengubah sedikit PERSEPSInya, maka dunianya pun ikut berubah. Dalam dunia ini, sekali lagi, hanya ada rasa takjub dan syukur.

Dari mana datangnya PERSEPSI? Ya dari pembelajaran, pengalaman hidup, pengaruh lingkungan yang pernah kita alami dalam hidup kita. Bahkan bisa juga dari hal yang tidak pernah kita alami tapi kita akui kebenarannya, karena informasi tersebut datangnya dari sumber yang kita anggap valid. Jadi PERSEPSI kita juga bisa tumbuh dari KATANYA.

Sifatnya PERSEPSI itu tidak kekal, ia bisa berubah, bertumbuh, tetapi bisa juga mengeras. Semakin keras maka semakin sulit berubah, membatu menjadi ego. Akan tetapi yang namanya fatamorgana, sekeras apapun hakikatnya hanyalah debu. Sekeras apapun batu, lama-lama terkikis juga oleh air.

Cinta dunia berarti cinta terhadap PERSEPSI, yang mana persepsi-persepsi tersebut merupakan bahan pembentuk ego kita. Jadi, berkenaan dengan ungkapan "cinta dunia membuat takut mati," pertanyaannya, siapakah yang takut mati itu?

Komentar saya: Durian-durian jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Saturday, May 24, 2014

Sasaksaat Itu Sama-Sekali Tidak Sulit


Internet Smartfren yang paket ini memang minta ampun lambatnya, yah, tapi setidaknya ia mampu membuka editor entri. Malam minggu begini, sendirian di rumah menulis Surat Cinta, sedangkan badan bau begini. Pernah ada masanya aku rajin menulis surat cinta, meski situasinya tidak sesempurna yang kubayangkan. Malam ini, meski badan bau begini, suasananya nyaris sempurna untuk menulis surat cinta. Betapa tidak, jari-jari rampak mengetuk-ngetuk kibor Asus X450C yang empuk ini, Lik Cliff menyenandungkan surat cinta yang diterimanya entah dari siapa. Kukatakan pada Togar pagi ini, membangun peradaban sangat tidak baik bagi kesehatan. Masih jauh lebih baik menulis Togarism, mana tahu dapat beberapa halaman. Itu jauh lebih bermakna daripada artikel mengenai aspek hukum administrasi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya. Ah, sudah terlalu banyak Togar kutulis. Aku sudah ditegur Rian Hidayat gara-gara ini.



Entri ini khusus mengenai politik. Politik. politiK. Sungguh, sebenarnya aku terlalu masa bodo untuk politik. Padahal politik tidak boleh masa bodo. Peduli apa aku sebenarnya pada sepuluh tahun yang lalu dan sepuluh tahun yang akan datang? Hehehe... yang akan datang mungkin aku tidak peduli, yang lalu? Uah, aku suka sekali! Sepuluh tahun lalu hari-hari begini... hahaha... adakah aku benar-benar merindukan masa itu? Seperti Patar mengenang makan nasi di tengah belantara Papua sana, sepuluh tahun lalu, sedangkan ia sekarang adalah seorang komandan batalyon? Sama jauhkah lompatanku dengannya, selama sepuluh tahun ini? Hari-hari begini sepuluh tahun yang lalu... LKHT masih ada, di bekas M-Web. Mungkin aku di situ. Apa yang tengah kulakukan saat itu? Aku bukan siapa-siapa. Kuliah pun tak. Benar-benar bukan siapa-siapa. Lalu tiba-tiba saja--ya, mungkin seperti itu juga yang dirasakan Patar. Tiba-tiba--aku menjadi dosen [tetap] FHUI!

Jiah, mana Lik Cliff dan Lik Olivia tiba-tiba nyanyi Tiba-tiba lagi. Kerinduan itu selalu ada. Lucu juga. Mungkin aku sekedar anak yang tidak pernah beranjak dewasa. Mungkin banyak yang sepertiku, maka beginilah dunia, dipenuhi anak-anak yang... bermacam-ragamnya, yang beranak-pinak pula! Astaga, bahkan Claradika pun siap beranak-pinak! Oh, manusia... Oh, Tuhan. Lalu ada Jepri yang percaya Godzilla. Aku pun percaya pada Godzilla. Kemarin waktu di Bandung aku sempat terpikir untuk menontonnya. Tidaklah. Menonton itu spesial harus bersama Cantik, karena ia suka menonton. Hotel Santika belakang BIP, ada dua malam aku tidur di situ. Adakah berkesan? Kecuali kenyataan bahwa aku sekamar dengan Sopuyan sebagai sesama ketua unit, sesuatu yang baru mungkin terjadi sekarang, maka tidak ada yang istimewa. Kecuali kenyataan sama-sekali tidak sulit, maka semua biasa saja. Makanan, biasa. Suasana, biasa. Yah, paling pengalaman pertama melewati terowongan Sasaksaat itu saja.