Tuesday, June 30, 2015

Entri Pertama yang Ditulis di Bagasnami


Sekitar setahun yang lalu, di meja ini juga, dengan pantat diganjal dua bantal kursi seperti ini juga, aku menulis di sini, di ruang tamu Bagasnami Jalan Tangguh IV Nomor 17. Namun waktu itu aku menulis. Kini aku mengetik-ngetik. Ya, inilah entri pertama yang kutulis di Kodamar sini. Biar kuabadikan sedikit bahwa agak setengah sembilan tadi aku, Cantik dan Afifah pergi ke Mall of Indonesia mencari Seven Eleven. Mak, muter-muter pun cari pintu masuknya.

Sungguh emeizing bahwa setelah setahun di tempat yang sama aku tidak sedang dikejar-kejar dedlen. Ada sih, tapi tidak terasa seperti tahun lalu. Apa hasilnya tahun lalu? Masyarakat Pancasila? Baru kemarin aku mengeluh muak dengan yang satu ini. Malam ini aku tidak lagi semuak itu. Astaghfirullah. Sungguh niatku hanya satu itu. Hamba mohon ampun, Ya Rabb. Hanya itu. Tidak yang lain atau apapun. Sedangkan entah bagaimana, setelah menyantap Nasi Tenggo Rumput Laut aku merasa seperti ingin menyantap satu lagi.


Malam ini... aku merasa biasa-biasa saja. Tidak ada kejadian istimewa. Namun begitu, justru di situlah letak menariknya. Sebuah entri tetap dapat dihasilkan meski tidak ada kejadian istimewa, meski aku merasa biasa-biasa saja. Sedangkan Paul Mauriat begitu saja menyeruak dengan rendisinya mengenai Betapa Perasaan Ini yang dipopulerkan Irene Cara, aku mulai merasa tidak biasa-biasa saja. Aku mulai teringat Tujuh Belas Lagu-lagu Cinta, jika tidak salah begitulah namanya. Di mana dia berakhir, Gundo? Bisa jadi.

Namun tak hendak juga aku mengenang masa-masa itu, kecuali bahwa aku terhenyak oleh ingatan Gendut bahwa aku dulu merajuk gara-gara tidak boleh ke Tangerang. Nah, nah, ini emosional. Ini serius. Aku masih dapat merasakan betapa emosionalnya waktu-waktu itu. Bahkan ketika begundal-begundal itu menginap di Jalan Radio—meski menghancurkan panorama tentara-tentaraan Tamiya yang kami kerjakan segenap jiwa—aku menangis ketika mereka pulang! Aku masih ingat, ketika itu aku masuk kamar mandi belakang, entah karena mules beneran, atau karena memang kepengen nangis hahahah.

Musim hujan 1990 – 1991 yang, seingatku, cukup basah itu. Nyaman. Tidur siang di pavilyun sedangkan hujan deras di luar... hmmm. Sedangkan, sedangkan, lalu untuk apa masuk TN, toh aku tidak bisa gugur seperti Sandy Permana [Allahumaghirlahum warhamhum wa’afihi wafuanhum] gara-gara Hercules-ku jatuh. Lalu buat apa masuk TN, toh setelah masuk “Saka Bahari” aku keluar, meski benar selama di TN tiap Jumat pakai seragam Pramuka. Untuk apa masuk TN, jika akhirnya counting down to extinction yang ternyata memang benar akhirnya aku mengajar Hukum Lingkungan di Pascasarjana Universitas Indonesia?!

Huah, sederas hujan di 1990 – 1991! Dapatkah aku menyanyikan Oh Girl yang ternyata justru Girl kumainkan, padahal aku suka juga Oh Girl. Ooohhh dengan o dan h yang banyak! Tak sanggup kubermain kata untuk yang ini. Kelu. Lalu... jika yang ini ditulis juga maka akan lebih banyak lagi o dan h-nya, Jagad Dewa Batara! Mengapa?! Mengapa itu semua harus kulalui? Lalu... jika yang ini pun ditulis maka... ia sendiri yang memutuskan untuk memutuskan dan kurasa aku tidak peduli alasannya. Lalu... hah, masih ada lalu lagi, yang sebelahnya?!

Setelah segala yang kulalui, entah berapa lalu lagi, lalu berapa entah lagi... aku baru saja menghapus beberapa kata yang hampir saja membentuk sebuah kalimat. Semua ada di sebelah. Semua? Sebagian yang cukuplah. Ditengok. Gengsi. Ya, bukan karena alasan apapun lainnya. Semata-mata karena G-E-N-G-S-O-T. Apa aku masih punya, gengsi? Masih, lah. Kalau untuk keperluan itu selalu tersedia. Seperti kata Azhar Arif bimbinganku hasil limpahan Bu Myra, rusak! Seperti rusaknya murit-murit STM yang belajar antonem aliyas perlawanan kata. Seperti itu!

Huft... huft... huft...

Sunday, June 28, 2015

Sepuluh Hari Kedua Ramadhan 1436 H


Ya, kuakui, aku shalat tarawih karena Istriku. Itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Itu pun akan kuingat sebagai hal baik darinya. Tentu saja, aku berusaha melakukannya seikhlas mungkin, sepenuh hati. Jika aku sendiri, atau tidak di rumah, sudah barang tentu aku tidak teraweh. Mungkin ini bisa menjadi suatu eksperimen jika kapan hari dalam bulan Ramadhan ini aku tidak di rumah. Adakah aku akan dengan kesadaran sendiri mendirikan tarawih? Eksperimen. Semacam eksperimennya Gandhi ‘gitu. Wallahu’alam.


Maka malam hari setelah berpuasa yang kesebelas hari ini, aku mengetik-ngetik ditemani Gospel Jour et Nuit yang dalam bahasa Inggris disebut Day by Day oleh Godspell. Suatu nomor lama, dari... 43 tahun yang lalu! Masya Allah, seperti halnya Boriyana Ivanova menulis Mashaallah! Ini racikan Paul Mauriat, sedangkan aku lebih akrab dengan Boticelli punya. Ah, irama instrumentalia ini... melembutkan hati. Semoga benar lembut hatiku gara-gara kalian, jadi mudah menerima kebenaran. Hatta, tergerak untuk melaksanakan kebenaran itu.

Padahal, banyak sekali pekerjaan menumpuk. Penugasan dari Kwarta belum kuseriusi meski sudah kutengok-tengok sedikit. Apa yang ada dalam pikiranku ketika aku begitu saja mengiyakan permintaan Deny Giovano untuk menulis mengenai biofuel? Kemana pulak akal sehatku ketika begitu saja mengiyakan ajakan Wiyono untuk menulis buku. Sedangkan, tanpa minta persetujuanku, namaku begitu saja dimasukkan dalam tim materi Munas I MP, dalam tim penulis buku teks Hukum Lingkungan. Blimey! Semoga semua ini semacam pertanda bahwa badan dan pikiranku memang akan siap dan mampu untuk melakukan itu semua. Aamiin Yaa Rabbal’alamin.

Ini adalah sepuluh hari kedua dalam bulan Ramadhan Mubarak 1436 Hijriyah. Semoga tulus dan sepenuh hati rasa syukur hamba ini, masih diijinkan untuk berjumpa dengan Ramadhan tahun ini. Terima kasih, Ya Rabb. Semoga hamba mampu mewujudkan rasa terima kasih ini dalam perbuatan. Tolonglah hamba, Ya Rabb, karena tiada daya tiada pula kekuatan kecuali denganMu, Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Berkehendak. Ampunilah hamba, maafkan hamba yang lalai lagi durhaka ini. Kasihanilah, Ya Rabb hamba.

Sepuluh hari kedua berarti masih banyak, meski sudah banyak juga yang terlewat. Jika Ramadhan-ramadhanku ketika kecil hampir tidak ada yang berkesan, maka biarlah Ramadhan-ramadhan di masa tuaku ini, sejak sekarang dan sebelum-sebelum ini, sampai nanti dan seterus-terusnya, Insya Allah, akan selalu berkesan. Bagaimana cara membuatnya berkesan? Sebenarnya perumahanku ini sudah memberikan begitu banyak ide mengenainya. Tak ingin pula aku berkomentar lebih jauh  mengenainya. Rabb, hamba mohon dituntun selalu ke arah kebaikan yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Sedangkan dosa hamba masih menggunung, sedangkan masih saja bertambah dan bertambah. Ampun, Ya Rabb. Ini adalah sepuluh hari kedua dalam bulan Ramadhan yang penuh berkah di tahun Hijriyah ke-1436. Kata orang, sepuluh hari kedua ini penuh ampunanMu. Rabb, hamba mohon dituntun ke jalan yang penuh ampunanMu, karena hamba sendiri merasa tidak berdaya menghadapi dosa-dosa hamba yang menggunung, sedangkan hawa nafsu masih terus saja menarik-narik untuk menambahnya lagi dan lagi. Ampuni hamba, Ya Rabb, kasihanilah. Tolonglah hamba, Rabb.

Sebentar ini, aku akan pergi ke toko herbal di seberang Pizza Hut Tole Iskandar, membeli gamat. Sejak puasa ini memang aku berhenti minum gamat, meski karena belum gajian. Sekarang sudah gajian, maka beli lagi gamat. Alhamdulillah, kelihatannya gamat memang berkhasiat, atas ijinNya. Mengenai kunyit, di toko herbal itu ada juga yang harganya jauh lebih murah, meski kurasa tetap saja ada harga ada mutu. Semoga saja kunyit yang lebih murah ini tidak terlalu jauh mutunya dari buatan Sido Muncul yang bermodal besar itu. Aamiin.

Saturday, June 27, 2015

Oregano Misery. Lovely, Lovely, Loveliness.


Oregano misery. Lovely, lovely, loveliness. Oregano misery oh Mucis, Mucis, Mucis. [mungkin seharusnya music] Ada lagi first time I stepped on bricks of road, I can’t deny it was my pride, lalu entah apa, tiba-tiba to pit of blades—meski suasananya sangat jauh berbeda dari yang pertama. Seberapa jauh berbeda? Kurasa tidak terlalu jauh. Aku sudah begini sejak ber-Oregano Misery. Jadi tidak perlu terlalu dipikirkan. Jalani saja. Senang, Alhamdulillah. Kurang senang, Alhamdulillah. Nyaman, Alhamdulillah. Kurang nyaman, Astaghfirullah.


Seperti biasa entah bagaimana aku membuat banyak sekali janji. Tentu saja tidak aku sendiri yang mencari-cari. Orang-orang inilah, yang tiba-tiba muncul dalam hari-hariku lalu membuatku merasa seperti terpaksa berjanji. Dan aku muak Pancasila! Kapankah akan kukatakan hal ini kepada Takwa? Lebih baik aku membantu Kwarta dan Mbak Lily bikin entah apa itu. Setidaknya ada duitnya. Pancasila ini... ampuuun. Sungguh lucu sekali, sekarang aku tidak merasa punya sesuatu apapun untuk diapa-apakan.

Padahal aku biasa berpikir aku harus punya itu agar semangat. Macan mungkin aku masih punya sedikit. Kuda? Sepanjang menghasilkan uang akan kupacu. Jika demikian, ini kuda atau lembu? Hah, aku pun sudah tidak peduli. Pada masa lalu, pada Oregano Misery, pada Pit of Blades, aku tidak peduli. Setidaknya malam ini. [Lalu mengapa kau tulis juga?] Mungkin sekadar karena bosan berperang melawan Suleiman yang Culun padahal merasa harus menghasilkan sesuatu prestasi.

Seandainya prestasi itu adalah semacam sebutan, atau gelar, atau uang... Sudah lama aku mencibir pada yang seperti itu, dari kecilku. Mengapa begitu? Entahlah. Kantuk belum kunjung menjelang sedangkan udara panas begini di dalam rumah. Seharian tadi dihabiskan dengan mengangon bocah, yang tidak hendak pula kuabadikan, meski ada sesuatu yang sangat menggelitik hati. Nasib, Kawan, Nasib. Sama saja dengan nasib cemeng yang ditinggal maknya, sementara perutku sekarang kenyang mie goreng kampung.

Ini biasa terjadi dalam Ramadhan-ramadhanku, ataukah baru yang beberapa terakhir saja ya? Coba kukenang Ramadhanku yang tidak begini. Ada. Ini mengerikan. Hari ini, setidaknya, aku merasakan suatu kehampaan. Dulu itu bukan hampa, atau kalaupun hampa tidak seperti ini rasanya. Ini tidak bisa lain pastilah dosa. Bertumpuk-tumpuk dosa. Astaghfirullahal'Azhim. Sekadar suatu perasaan ketika menyaksikan impian-impian hancur berkeping-keping, sehingga tersungginglah senyum kehancuran hahaha. Apa coba senyum kehancuran, meski Koes Plus juga sama sekali tidak lebih bagus darinya.

Jika demikian, maka mungkin ada baiknya malam ini aku tidur di tenda. Aku belum pernah tidur di tenda sampai semalaman. Malam ini, mungkin akan menjadi yang pertama, meski tidak akan semalaman, karena Insya Allah sahur nanti bangun. Minum saja. Sayur-sayur sudah kupanaskan tadi, sisa sop tahu udang, tahu udang buncis. Namun aku tidak merasa seperti ingin menyantap mereka, sedangkan sesuap terakhir mie goreng saja enggan kumasukkan mulut. Namun tenda ini benar-benar inspiratif.

Dapatkah tenda menjadi rencana cadangan (backup plan) untuk gardu. Itu terlalu sensasional, terlalu kontroversial. Sedangkan aku masih menempati ruanganku sementara sudah dicepat saja, sudah membuat heboh. Ini lagi mau mendirikan tenda. Kecuali aku guru besar, mungkin orang tidak bisa apa-apa. Guru besar yang... eksentrik, kalau kata orang yang hatinya baik sekali. Kalau kata orang biasa-biasa saja, guru besar gila! Hahaha. Sungguh teramat sangat inspiratif, sedangkan mesjid jaraknya hanya sepelemparan lembing oleh atlet amatir... mesjid yang tenang. Merbot. Inspiratif...

I know I need to be in Love...

Tuesday, June 23, 2015

Hari Ketika Leher Terjerat Gelasan


Hari ketika leher terjerat gelasan, begitu saja seorang Laki-laki merasakan nyeri yang sangat. Bunyinya pun serasa mengiris lambung, ketika gelasan mengiris tidak saja kulit leher tetapi juga kabel earphone—yang akhirnya terpaksa dibuang. Melayang sudah lima puluh ribu Rupiah. Semoga gajian segera menjelang. Bunyi itu memang tak terlupa. Pertama grrttt... lalu srrr.... sesudahnya nyeri. Laki-laki meremas tuas rem kanan dan kiri sambil menjaga keseimbangan. Sampai akhirnya berhenti total. Gelasan diangkat melampaui kepala, melampaui helm.


Hari ketika leher terjerat gelasan, tak ayal Laki-laki segera teringat perbuatan-perbuatan buruknya. Seraya minta ampun, seraya berharap rasa nyeri yang akan tinggal menetap agak beberapa hari ini menjadi penghapus dosa-dosa. Hanya beda satu roda, di belakang Laki-laki ada sekeluarga dengan anaknya duduk di depan. Laki-laki bersyukur lehernyalah yang teriris gelasan, bukan mata anak itu. Si Bapak bertanya kenapa, Laki-laki hanya dapat menjawab singkat, gelasan. Mungkin karena nyeri, mungkin karena itu di tengah jalan layang.

Hari ketika leher terjerat gelasan di atas jalan layang Arief Rahman Hakim, Depok, dari arah barat menuju timur, sedikit melewati Pasar Kemirimuka, Laki-laki kembali memacu motor matiknya menuju pertigaan Margonda. Tidak banyak kendaraan mengantri sore ini, meski tetap harus mengantri semenit lebih. Laki-laki meraba lehernya, memeriksa kabel earphone yang nyaris putus. Kulit leherku lebih tebal dari kabel earphone, batinnya lucu. Suatu kemalangan, suatu nasib buruk... yang sangat patut disyukuri karena... tidak terlalu buruk. Hanya satu pikirannya, Betadine.

Hari ketika leher terjerat gelasan, Laki-laki sendiri menyungging senyum sambil terus memacu motor matik. Alhamdulillah, batinnya. Hari ini aku pulang kepada Istriku yang sayang padaku. Semoga begitu selalu adanya, karena Laki-laki ini sudah tidak lagi semuda dulu. Laki-laki butuh pulang, dan pulang itu kepada seorang Istri yang dicintainya, yang mencintainya, yang didapatinya tengah tertidur. Aisyah Nur Afifah, keponakannya tengah menekuni permainan portabel, ditunjukkannya luka di leher. Betadine dibubuhkan di sepanjang luka. Hmm, lumayan panjang, lumayan dalam.

Hari ketika leher terjerat gelasan, Istri ketakutan. Menurutnya, orang sengaja memasang gelasan itu, agar ada orang jatuh lalu motornya diambil. Laki-laki menukas, tadi aku melihat layang-layang, meski belum sempat berpikir apalagi bertindak sudah grrttt srrrrr itu. Istri berjengit kengerian tidak mau mendengar rincian kejadian. Ini Istri yang sayang padaku, batinnya. Semoga selalu begitu adanya, bagi Laki-laki sederhana ini. Apa lagi yang dapat diharapkan dari dunia yang menjerat lehernya dengan gelasan, kecuali kasih-sayang seorang Istri.

Hari ketika leher terjerat gelasan, bertepatan dengan puasa hari keenam di bulan Ramadhan 1436 H. Laki-laki dan Istrinya merencanakan untuk berbuka di Pizza Hut Tole Iskandar mengajak keponakan mereka. Ternyata berangkat terlalu pagi dan Pizza Hut masih sepi, maka dipaculah motor matik yang sama menuju Bella Casa. Taman bermain tiada begitu menarik bagi keponakan, maka bertiga masuk Bella Casa sampai klaster Jasmine yang paling belakang. Ketika itulah dua gadis cilik menarik perhatian Laki-laki, berdua menjaga takjil dagangan ibu mereka di tepi jalan.

Hari ketika leher terjerat gelasan hanyalah satu dari hari-hari penantian Laki-laki. Menanti yang pasti, itu pasti, sedangkan Pucuk Harum saja membuat bergolak perut dan melemaskan, menguras tenaga Laki-laki ketika mengimami tarawih Istri dan keponakannya. Cukuplah itu sebagai pengingat akan yang pasti. Laki-laki budak ini memohon ampun beribu ampun pada Tuannya Maha Baik, karena apa lagi yang dapat dimohonkan kepadaNya, dari seorang budak tidak tahu diuntung ini. Hanya memohon ampun, itu saja.

Monday, June 22, 2015

Hari Kelima Puasa Ramadhan 1436 H


Pada hari kelima puasa Ramadhan 1436 Hijriyah aku menyadari bahwa aku sudah tua, meski ada di dalamku yang setengah takut setengah tidak terima akan kenyataan itu. Kenyataannya, aku sudah tidak setangguh dulu. Tentu saja, sepuluh tahun lalu bahkan lebih. Tentu saja, ketika itu aku masih sepuluh tahun lebih muda, bahkan lebih, dari sekarang. Tidak sekadar hati—tetapi, yang sangat mencemaskan—badanku pun sudah tidak mampu menahan deraan perasaan. Perasaan seperti apa itu yang mendera tak tertahankan lagi?

Mungkin perasaan yang sama dengan yang kurasakan ketika menjalani hari-hari musim dingin di Maastricht, sekitar tujuh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang lalu, tepat pada waktu-waktu seperti ini, mungkin aku sedang di Palembang atau setidaknya merencanakan ke sana bersama Rendy. Itu pun, sepulangnya, aku masih kuat berjalan dari pintu keluar tol bandara sampai ke Plasa Slipi. Infanteri! Sekarang? Boro-boro! Apa betul hanya karena jarang berlatih? Apa betul sekadar kurang olahraga? Apa yang telah kulakukan sampai aku sebegini lemah?


Selain itu juga hati, yang tentu saja menjalar ke badan. Hatiku sudah begitu lemah, begitu tertambat. Bagaikan sampan tua yang sudah tidak pernah dikayuh ke perairan. Hanya ditambat begitu saja di tepi telaga, di antara gelagah dan rerumputan tinggi, sedangkan kayu-kayunya lapuk rapuh. Terisi pula air, setengah tenggelam. Menunggu tenggelam... Aku kapal Majapahit! Hah, mengatakan ini saja aku tidak percaya lagi pada diriku sendiri. Jika aku sudah setertambat ini, sebaiknya aku tertambat pada patok kayu yang benar.

Patok kayu yang siap lapuk, siap rapuh bersama denganku. Adakah begitu? Ataukah Allah akan memberiku kekuatan baru untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan? Adakah semua kelemahan ini menjadi lantaran ampunanNya bagi dosa-dosa yang mengerikan besar dan banyaknya itu? Ataukah ini semua hanya panjangnya angan tanpa kesungguhan hati? Semua pertanyaan. Semua pertanyaan yang bahkan aku tidak punya cukup kekuatan badani untuk menjawabnya. Bahkan sekadar mengangkat suara untuk menjawab. Allah Gusti hamba, mohon ampun, mohon belas kasihan.

Tidak lagi mampu aku mengandalkan selembar kasur palembang, apalagi sekadar beberapa sajadah. Sungguh tak terbayang tidur di atas meja beralaskan entah apa sampai nyenyak sepanjang malam, sampai pagi. Sudah tidak bisa lagi. Hilang sudah semua semangat petualangan. Hanya tersisa tubuh yang belum renta tetapi demikian lemahnya. Asuransi sudah punya, namun haruskah kugunakan untuk pergi memeriksakan diri ke dokter spesialis gastroenterologi atau penyakit dalam? Adakah yang dapat mengerti, sepenuhnya menerima keadaanku, atau apa yang kupikir merupakan keadaanku?

Semua masih berupa kalimat tanya. Kalimat beritalah yang nyaman, berita baik tentunya. Apa itu berita baik? Sesungging senyum? Sapaan ramah dan mesra dan manja? Ah, kembali menjadi kalimat tanya. Siapa yang akan menjawabnya? Kalimat tanya lagi. Aku tidak punya berita, terlebih berita baik, bagi diriku sendiri, apalagi dunia. Berita baik, memang, harus dibuat. Aku yang harus membuatnya, untuk diriku sendiri. Itulah langkah awal yang harus diayun untuk menyampaikan berita baik bagi dunia. Syukur-syukur jika itu bukan mengenai diriku sendiri, melainkan mengenai dunia seisinya.

Hari kelima puasa Ramadhan 1436 Hijriyah, dan aku menulis-nulis di mantan Ruang ICT Komintern yang sudah luluh-lantak. John Gunadi tidak ada. Milson Kamil tidak ada. Semakin menambah melankoli, semakin menguatkan suasana sentimentil. Tidur di sebelah, di Ruang Humas aku tidak bisa. Pindah ke atas ada John Gunadi, mencoba tidur bersitentang kaki dan kepala dengannya, apalagi, aku juga sudah tidak bisa. Hanya nasi warteg masih bisa kumakan. Alhamdulillah. Namun tidur aku sudah tidak bisa, jika tidak di rumah.

Tuesday, June 02, 2015

Selamat Hari Raya Waisak 2559


Itulah yang kulihat jika aku menengok ke kiri agak ke arah jam setengah sembilan, agak mendongak sedikit. Hari Raya Waisak 2559. Daripada bicara yang tidak-tidak mengenai sesuatu yang aku tidak benar-benar tahu, lebih baik, seperti biasa, aku bicara mengenai diriku sendiri. Malam ini selepas Maghrib tadi hujan turun lumayan derasnya. Alhamdulillah. Kemarin-kemarin aku sampai terpaksa sekadar mendengarkan suara hujan dari Youtube. Sekarang benar-benar terjadi, aransemen cantiknya John Fox dari BBC Studio London, ditingkahi hujan yang lumayan derasnya.


Selamat Hari Raya Waisak 2559, dan ingatanku melayang pada kenangan masa kecil menonton acara Mimbar Agama Buddha asuhan Bhikku Paññavaro Thera. Entah mengapa, nama beliau melekat sekali dalam ingatanku—dan harus kuakui, aku memang agak terpesona oleh beliau. Cara beliau bicara yang tenang, dengan suara yang medok menyejukkan, (ternyata beliau orang Blora) itulah terutama yang kuingat mengenai beliau. Kurasa di sana-sini aku sudah menyindir (halah) mengenai minatku pada asketisisme dan/atau monastisime. Tentu saja aku terpesona pada Bhante Paññavaro.

Namun, beginilah keadaan sahaya kini. Sakit tukak lambung yang sahaya derita bertambah parah, sedangkan terus saja saya menambah kedurhakaan dan kemaksiatan. Padahal sudah ada yang mengingatkan, sebuah selebaran dakwah begitu, bahwa asam lambung itu obatnya tobat. [sama tidak ya asam lambung dan tukak lambung] Bukan sahaya tidak percaya dokter, tapi kalau saja dokternya murah, berikut obat dan berbagai alatnya, sahaya tidak akan menunda lebih lama lagi. Bukan sahaya tidak berusaha.

Subhanallah, lagu Manhattan ini cantik sekali. Aku belum pernah ke Manhattan. Tidak ingin juga ke sana. Aku merasa sudah cukup tahu Manhattan sekadar lewat cerita Umar Kayam mengenai seribu kunang-kunang di sana. Padahal aku yakin jaman Umar Kayam di sana pun tidak ada sawah di Manhattan. Kunang-kunang adanya di Magelang, tapi itu dulu ketika masih banyak sawahnya. Terakhir ke sana, apa yang dahulunya sawah sudah berubah menjadi rumah dan rumah dan rumah.

Sekarang Le Lac du Come. Lagu kesukaan Ibu. Aku tadi bertemu Ibu, dan Ibu terlihat sedang senang. Alhamdulillah. Tinggal Bapak. Akan tetapi, kurasa keadaan Bapak masih lebih baik karena setidaknya Bapak masih punya banyak saudara dan sering bertemu pula. Ibu sehari-harinya, sepanjang hari, setiap hari di Dalem Jalan Radio bersama Gendut, Adjie, Mbak Nur, kucing-kucing, Sutoyo, Bundi, kadang Mbak Yayah. Aku tidak bisa lain kecuali berdamai dengan keadaan ini. Salam Bunda Maria!

Beginilah keadaanku. Apa aku tidak malu begini terus setelah lewat hari Minggu nanti? Apa yang akan kulakukan untuk menandainya? Haruskah aku mulai menulis sesuatu yang serius? Di sini? Haruskah aku terus menulis? Di Hari Raya Waisak yang basah berhujan ini, aku tidak tahu apakah hujan juga di Borobudur. Menurut prakiraan, di sana pun hujan badai petir ringan. Di Hari Raya Waisak yang berbadai petir ini, aku berharap semoga pada jam 23.18:43 nanti, cuaca cerah di Borobudur sana sehingga sang Purnamasiddhi dapat terlihat gemilang.

Wiranggaleng seorang Buddhis. Di akhir hidupnya, Gelar mengucap Salam Bunda Maria bila berdoa. Pada menjadi seorang Muslim, seperti aku. Semoga Allah mengampuniku, memaafkanku. Semoga sebelum ajal menjemput, aku benar-benar telah menjadi seorang Muslim yang sebenar-benarnya, sesuai dengan ketentuan Allah SWT, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Hanya beliaulah yang patut menjadi uswah, teladan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada beliau dan keluarga, para sahabat, para pengikutnya hingga di akhir jaman.

Om, Santih, Santih, Santih Om.

Monday, June 01, 2015

'Met Milad Pancasila, Semua Cinta di Dunia


Padahal lembar jawaban ujian (LJU) [kenapa juga harus dibuat dalam kurung singkatannya...] satu amplop penuh sudah keluar dan amplopnya sudah digeletakkan di lantai, di samping kursi, seperti enam bulan lalu. Apa gara-gara Mama Dionne, yang akhirnya kuketahui sebagai penyanyi All the Love in the World, sebuah lagu yang refrainnya menghantui selama ini? Semalam entah mengapa aku agak serius mencari tahu. Sebelumnya kukira ini lagu Bond, meski tebakanku mengenai keterlibatan Bee Gees tidak salah ternyata.

Pagi ini begitu saja aku teringat pada Mama Dionne. Maka kutelusurlah Youtube dengan kata kunci Dionne Warwick Bee Gees. Entri ketiga seperti menggodaku untuk mengeklik. Pertama mendengar awal lagu, aku merasa agak ragu. Hampir saja kutinggalkan. Namun sekali lagi aku tergelitik untuk menggeser seeking bar ke tempat yang kira-kira ada refrainnya dan... Maha Suci Allah! Hilanglah sudah hantunya, berganti menjadi surga nikmat, Semua Cinta di Dunia!

Di situlah kadang saya merasa sedih, seperti sudah sering kukatakan. Melodi-melodi indah ini, apakah nikmat apakah cobaan? Sependek pengetahuanku, aku tidak ingin melodi-melodi ini masih ada di kepalaku ketika aku mengucap selamat tinggal pada hidupku di dunia ini. Tentu saja, aku berharap kalimat-kalimat baik itulah yang menggeremang dalam saat-saat terakhirku. Apa yang akan kulakukan agar begitu? Ini sudah setengah dua belas. Insya Allah sebentar lagi aku akan ke mesjid. Insya Allah, inilah yang akan kulakukan agar begitu.

Padahal sekarang Pancasila sedang berulang tahun. Oh, bahkan urusan ini sekarang sudah membuatku sakit, bahkan jangan-jangan lebih sakit daripada mencari uang. Tidak, ini rasanya seperti mencari uang dengan cara melakukan sesuatu yang tidak disukai. Padahal kataku aku suka Pancasila. Tidak. Aku suka uang. Tidak juga, aku sukanya Cantik. Cuma Cantik yang kupunya. Aku tidak punya siapa-siapa yang lainnya. Hanya Cantik tempatku mencari kenyamanan dari penatnya dunia. Tidak apalah mencari uang karena Cantik selalu punya ide mau dibelanjakan apa uang itu.

Namun Pancasila sedang berulang tahun. Hahaha... couldn’t care less. Pancasila punya siapapun atau tidak siapapun tidak ada bedanya untukku. Setidaknya begitulah perasaanku sekarang. Terlebih, Minggu Pahing 7 Juni 2015 bertepatan dengan 19 Sya’ban atau Ruwah 1436 Hijriyah atau 1948 Ҫaka, yang artinya... aku sudah 40 tahun menurut perhitungan bulan! Ya Allah, ini adalah hari-hari terakhirku sebelum berumur 40 tahun menurut perhitungan bulan! Apa yang akan kulakukan untuk mempersiapkannya? Apa yang harus kulakukan? [sok panic mode]
-----------------
Alhamdulillah, aku baru pulang dari Masjid Ukhuwah Islamiyah. Banu Muhammad yang sedang memberikan kultum tadi, tapi kutinggal. [kenapa aku tidak mau mendengarkannya?] Ia bercerita tentang penaklukan Konstantinopel. Ini aku tidak bisa tak peduli. Ini aku sangat peduli. Tidak Ken Arok, tidak Kertanegara, tidak Raden Wijaya, tidak Tribuwana, tidak Hayam Wuruk apalagi Gajah Mada dapat menjadi wasilah. Hanya Rasulullah Muhammad SAW saja yang bisa. Aku percaya pada hidup sesudah mati, yang lebih baik lagi kekal, daripada hidup di dunia ini.

Uah, seandainya engkau berada dalam pelukanku lagi, di tengah hujan deras begini, ditingkahi suara guruh di kejauhan... Itu semua memang keindahan dan kesenangan hidup di dunia. Untuk sementara waktu. Itu saja diulang-ulang dalam al-Quranul Karim. Aku memang belum ke mana-mana di bumi Allah ini, baru sedikit bagian kerak bumi yang kering yang pernah kuinjak. Memalukan pula untuk diceritakan. Tidak seperti Banu yang baru saja pulang dari Turki. Aku tidak pernah berani membayangkan jadi guru besar, meski kalau jadi senang juga.