Saturday, February 29, 2020

Sore Kemarin Pak Kaji Pulang ke Kaliwungu


Judul ini sudah seperti judul cerpennya Emha Ainun Nadjib, dewanya Karim. Salim Said, Bapaknya Mahawisnu Tridaya Alam, bahkan Bapaknya Ajla, Hasya dan Apis, ya'ni "Bang Obi" Insan Khoirul Qolbi Pane, kalau dibiarkan bisa saja jadi seperti Emha begitu. Aku tidak, karena aku harus metet. Lagipula ini entri bukan cerpen. Entri ada aturan-aturannya, cerpen tidak. Harus sekarang kutulis entri-entri ini. Jangan sampai nanti kalau sudah berhasil metet, aku masih saja menulis entri-entri, seperti SBY yang masih saja sok main bass padahal sudah jadi semacam persiden.


Tampak Pak Kaji paling kanan. Menjengkelkan tampangnya 'kan? Sumber gambar dari sini
Seperti biasa pula, tidak ada jaminan ini akan menjadi entri mengenai kepulangan Pak Kaji ke Kaliwungu, meski benar bahwa kemarin, Jumat, 28 Februari 2020, Pak Kaji Ibnu Fikri pulang kepada keluarganya, kepada Bu Dini, Alul, Alil dan Ania di Kaliwungu sana. Demikian pula, tidak ada jaminan dalam entri ini dapat ditemukan catatan mengenai pertemuanku [kembali] dengan Mentor Kolonel Laut (E) Novera Budi Lesmana, yang kini menjabat selaku Atase Pertahanan RI untuk Kerajaan Belanda. Seperti biasa, ini adalah entri. Entri tidak lantas, serta-merta berarti diari.

Tidak juga seperti judul cerpen, yang mungkin dimulai dengan "sore ini," entri dapat saja dimulai, seperti entri ini, dengan "sore kemarin," meski terdengar seperti anak kemarin sore. Sedikit demi sedikit, hari demi hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, aku tidak akan lagi seorang anak kemarin sore. Sekarang saja aku sudah bapak-bapak botak gendut. Yang belum kulakukan hanya metet, itu saja. Aku tidak juga peduli apakah akan berhasil metet atau tidak. Yang jelas, selama hayat masih dikandung badan, selama itu aku harus, tanpa kenal menyerah, terus berusaha metet!

Tidak ada pula kewajiban pada diriku untuk menjelaskan apa itu metet. Yang jelas, ini tidak seperti "meteti perkutut manggung sambil mat-matan ngunjuk wedang teh nasgitel." Tidak begitu. Ini semacam kemaluan yang kalau dibiarkan terbuka begitu saja nanti dihinggapi, bahkan dirubung, lalat. Jadi, selama belum menjadi kenyataan, biarkanlah ia begitu saja. Ditutup, meski tidak untuk ditutup-tutupi. Yang jelas, ini Insya Allah tidak untuk orang yang memilih kehidupan dunia, sedangkan akhirat lebih baik lagi kekal, seakan-akan aku begitu. Aku tidak begitu.

Terlebih, sungguh tidak wajib aku mengabadikan apapun mengenainya. Tidak. Aku sungguh lebih suka metet daripada harus begini. Sedapat-dapatnya aku tidak mau berurusan. Jika dalam kesulitan saja begini, bagaimana jika lapang. Ini semua sekadar harus ditahankan, maka kutempelkan ia di dinding agar dapat dilirik-lirik setiap waktu, sedangkan ketika ia menempel di dinding Masjid Qoryatussalam, di atas mihrab, aku bahkan ke mesjid itu pun tak. Uah, kalimat berlari. Ada apa denganku. Ya Tuhan, tolonglah hamba. Berani-beraninya mengaku hamba, pendurhaka!

Akhirnya, ini entri mengenai metet. Sungguh menjengkelkan, namun aku tak berdaya, karena memang metet 'lah itu namanya. Bolehlah dipahami metet itu semacam obsesi, misal, obsesi pada material elastik apapun yang dapat dijadikan plintheng alias katepel. Toh, Lantip pun mengatepel beberapa ekor burung untuk tambahan lauk di rumah Pak Dukuh. Edan, makan burung! Apa tidak lepas itu gigi seperti Mama memakan merpatinya Bang Ian. Material elastik ini boleh pula didapati pada celana dalam, misalnya; tentu saja, lebih disukai jika milik seorang perempuan.

Uah! Betapa santai meracau begini. Apa yang tampak seperti racauan ini, 'Gar, bagiku mengumbar berjuta makna. Salah sendiri kenapa kau membacanya. Aku pun terkadang, bahkan hampir selalu, merasa bersalah jika membaca-bacanya kembali; semata karena hampir tidak pernah aku gagal menggali makna darinya, entri-entri entah-entah ini. Mereka ini kawanku yang paling sejati, paling memahami diriku ketika dunia ini melengos, berpaling dariku, atau menatap dingin pada ketelanjanganku yang memuakkannya. Aku tidak peduli. Apapun terjadi 'ku harus metet!