Saturday, December 31, 2022

Batas Lingkarannya Selalu Bisa Membawa Suka


Seperti sudah menjadi kebiasaan [halah!], beberapa tahun gregorian dalam goblog ini ada entri pada hari terakhirnya. Tidak selalu memang, namun bolehlah dikata sebagian besar. Terlebih jika menyanding semug 300 ml susu serbat jahe, sedang telinga disumpal bunyi-bunyian yang entah mengapa setelah sepuluh tahun menjadi menjengkelkan. Padahal sepuluh tahun lalu mendengar ini bisa membawa angan-angan cinta. Semenjak 2020-an pula semakin intens aku menggunakan alunan nada-nada tak berbait tak berulang untuk penggambaranku. Entah mengapa...
Lebih mengerikan lagi, jika angan-angan cinta t'lah tak mau kembali, masa yang tersisa tinggal babaduk. Kebutuhanku akan cinta memang sudah lengkap terpenuhi, dan aku menolak percaya jika setua ini masih butuh plerktekuk. Ini adalah waktu bagi kambing-kambing muda untuk kebingungan mengapa pikiran mereka tidak pernah bisa menyimpang dari kekentuan. Itu pula sebabnya kambing-kambing muda ini harus segera diaqiqah biar tidak keburu kawak dan tidak enak dimakan. Aku yang tinggal menunggu waktu ini atau harus 'ku menyongsongnya. 'Ku tak tahu.

Nyaman, hangat, dan sensual. Ah, masih ingat aku rasa-rasa itu dari usia duapuluhan, yang bahkan sudah ditinggalkan bangsanya Togar dan Hari. Efraim mungkin masih punya beberapa tahun untuk menikmatinya. Adit 'Cah Gemolong masih baru saja memulainya, meski tak dapat 'kubayangkan apa yang menurut mereka sensual. Nyaman adalah udara sejuk ber-AC. Hangat adalah selimut tebal namun halus lembut ketika sejuk sudah berubah dingin. Namun, sensual? Bahkan Savit sekalipun punya ide tentang bagaimana membuat dirinya terasa dan terlihat sensual.

Ah, di sini ini tepatnya orang mulai terpikir mengenai selimut hidup, artinya, didekap oleh seorang perempuan yang bukan ibumu. Untuk itu, seperti halnya ibumu, harus ada cinta. Maka ide tentang pengalaman pacar sungguh jahat dan bodohnya. Ide ini sama jahat dan bodohnya dengan persangkaan bahwa hidup hanya di dunia ini saja, bahwa tidak ada hidup sesudahnya di mana kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup yang ini. Selimut bisa hidup, karena itu, karena cinta. Tanpa cinta, ia sekadar selimut, meski terbuat dari daging dan lemak berbalut kulit. 

Ternyata masih sisa tiga, sedang secangkir plastik wedang serbat uwuh menemani. Aku justru terlempar kembali ke Kraanspoor 25 D8 sekitar setelah pulang dari Molenwijk. Apakah itu membeli stang untuk douchegordijntje, atau bahkan majalah NatGeo mengenai perubahan iklim, sangat bisa jadi. Bahkan bisa jadi kedinginan di Pontsteiger gara-gara ketinggalan feri, sampai harus menunggu setengah jam lagi. Gara-garanya, setelah dari Jumbo bersepeda agak jauh sekadar mencari kibbeling. Alhamdulillah, aku diselamatkanNya dari itu semua lahir batin.

Maka mengapa tidak segera diselesaikan. Insya Allah akan segera diselesaikan. Memang tidak pernah ada rencana yang berjalan mulus, seperti udara malam Magelang entah itu setelah menonton Under Siege atau Navy Seals. Apa benar aku membayangkan diriku seperti itu ketika pura-pura main kelahi-kelahian dalam kolam renang bersama Andri Supratman. Hahaha memang suatu ketololan yang paripurna. Jika saja semua keseriusan disimpan untuk yang sebenarnya, tiada sedikit pun keberatan padaku; karena memang itulah doa Bapakku untukku seorang.

Untuk sementara ini, aku lelaki paruh baya berbobot seratus tujuh kilogram. Terlalu muda untuk tidak segera serius mengumpulkan bekal, terlalu tua untuk berbuat ketololan apapun. Bagaimanapun, aku mencintaimu; meski mungkin mukamu mirip bapakmu, membuatku ngilu. Mukamu jika berkilat-kilat berminyak begitu, seperti ketika berfoto bersama Wisnu Kamulyan. Tidak mengapa. Aku tetap mencintaimu. Seandainya saja cinta sesederhana itu; sesederhana rasa nyaman secuil, sesepele apapun. Itulah cinta bagiku: rasa nyaman. Rasa baik-baik saja.

Friday, December 30, 2022

Dari Hari ke Hari Setanggi Kasturi Membaui


Aku bisa saja menari sepanjang malam, tapi aku mencintai Istriku. Ya, yang cuma satu itu. Apa mungkin memaklumi kelakuan Rodha yang seperti itu, ketika kelakuan Pamela pun 'kumaklumi. Rodha, Pamela, Janice, Natalie, Madeleine adalah nama-nama di seputar yang direndam dalam air asin, ya, air laut begitu. Seperti inikah gambaran mencintai istri yang hanya satu, boleh juga. Sedang aku menatap lurus ke ujung jalan Blok M, kentang-kenting Danau Como menemani Ibuku muda menjemur baju di pavilyun dari 30 tahun lalu. Sudah tentu Ibu menyayangi adikku perempuan yang terkecil seperti Istriku menyayangi kedua-dua anaknya.
Jika kau minta dicintai, menyuruh secara otoritatif begitu untuk melakukannya, memang sebaiknya dilakukan dengan riang. Jika perlu dengan pukulan rampak pada simbal lengkap dengan perkusi sekali. Kepada siapa akan 'kusuruh begitu. Jangankan mencintai, aku bahkan tidak mau menyuruh orang mendengarkanku atau melakukan apapun untukku. Jika pilihannya hanya memberi atau menerima, maka sudah barang tentu aku memilih memberi. Riangnya perintah mencintaiku memang tidak ayal membuat hatiku turut riang. Entah apa kelanjutannya. 

Aku ingin melakukannya denganmu, maksudku, jika aku harus mencinta. Ini adalah ruang bersama Asrama UI Depok medio 1990-an, mungkin sekitar jam tujuh petang begitu. Apakah ketika itu aku masih bisa tidur nyenyak di malam hari, senyenyak tidurku di Magelang. Meskipun tidak, perasaan badan segar sesudah mandi, mungkin dengan rokok sebungkus di saku, korek api entah geretan entah mancisnya sekali, sungguh manis terasa. Badan muda, pikiran muda yang bodohnya minta ampun. Penyesalan nan tentu saja datang kemudian demi tersia-siakannya waktu. 

Ah, tepat di sini waktuku di Manhattan berakhir, karena bagiku kau lebih dari sekadar perempuan. Kau Istriku satu-satunya sampai Insya Allah 'ku mati. Sebagaimana dunia hanya satu, aku pun hanya sanggup mencintai satu perempuan. Bukan mencintai dalam arti berhubungan seksual, melainkan mencintai segenap jiwa raga seperti Leonidas pada Gorgo. Terlebih ketika sekarang 'kubersatu kembali bersama dengan belahan jiwaku yang lucu bau dahinya tepat pada anak-anak rambutnya. Sebagaimana Papa dan Mama semasa hidup menyayanginya, begitu aku.

Uah, Laguna Mengantuk dari masa mudaku sekali. Aku memang selalu suka di sini, dengan dedaunan layu berguguran melayang-layang di udara sebelum mengapung berayun-ayun di permukaan air yang tenang, setenang hatiku. Betapa tiada yang 'kukhawatirkan jika sedang menghabiskan waktu di tepi-tepiannya, entah dengan bermalas-malasan atau berjalan-jalan sekadarnya. Badan yang ringan meski aku tidak pernah dikatai kurus seumur hidupku, yang jelas bukan satu kuintal lima kilo lebih. Seperti telur yang seringnya setengah kilo, minyak tanah lima liter.

Maka ketika begitu saja 'kutarikan waltz terakhir bersamamu, aku jatuh cinta padamu. Ada hal-hal sedemikian yang menyebabkannya, seperti pantai mengantuk dan bayi kecil yang cantik. Percuma disebutkan satu per satu jika intinya adalah kau belahan jiwaku. Keindahan inilah yang akan 'kukenang selamanya, Insya Allah akan 'kuhadapkan pula, 'kupersembahkan kepada Tuhanku. Aku tidak punya apa-apa, Tuhan, kecuali ini: cintaku pada ciptaanMu ini, anak perempuan Papa Mama yang terkecil. Kasihanilah kami seperti Papa Mama mengasihinya sedari kecil.

Mendekati senjakala begini suasana hati sudah berlainan sekali, sampai terpikir progresi atau retroaksi. Hatiku semendung senja yang manis ini, yang mungkin seharusnya 'kumanfaatkan untuk berjalan-jalan agak setengah jam,  melangkahkan kaki-kaki. Mungkin akan 'kulakukan setelah ini, secara cuaca sungguh mirip Uilenstede di musim semi, padahal ini tepian Cikumpa. Ciliwung pagi ini airnya deras sekali, mungkin hujan deras di hulunya sana. Begitulah hidup di tepian Cikumpa ini. Ya, membulatkan tekad memang bukan keahlianku. Entah apa keahlianku ini.

Sunday, December 25, 2022

Jedug Jeder Jemblem Padahal Ada 'Ku Sendiri


Tak pernah 'kusangka 'kan begini jadinya setelah setua ini. Ini tak ubahnya menungging di lantai kamar mandi sambil mencolok lubang pantat sendiri. Entah sakit apa aku ini, yang jelas ia mengacaukan jam biologisku. Ini seperti yang diderita Cantik awal-awal sakitnya, dan kini sudah sebulan sejak terkena. Meski sejuknya udara malam menyelimuti, kantuk tak kunjung tiba. Sedang di siang hari aduhai betapa sulit menjaga 'tuk tetap terjaga. Tiap-tiap kali habis makan maka tak lama kantuk menyerang, betul-betul sampai mengangguk-angguk sambil berseru trilili lilili lilili...
Di tengah rasa tak berdaya dan putus asa melanda, aku memimpikan sepucuk Walther PPK/S atau Makarov untuk 'kutodongkan pada sisi kepalaku sendiri; karena sudah gila apa aku menggunakannya untuk ber-"olahraga". Itu biar Ario Sasongko saja yang begitu. Aku ini atlit lempar cakram dan lembing meski kemudian harus memimpin suporter, yah, semacam Kostrat begitu lah hahaha. Semakin 'kupikirkan mikrofon dan Audacity, semakin jengkel aku. Aku ini penulis, hei, aku belum lagi periksa apakah Kang Yudi Latif punya cenel yutub. Tak'da, karena beliau penulis.

Sewaktu shalat Isya' tadi, tiba-tiba hadir suasana hati pulang malam-malam naik trem Amsterdam. Jika trem maka 2018, maka Kees Broekman, karena Kraanspoor bis dan feri. Kalau masalah hangat, semua sama hangatnya. Kecuali duduk terlalu dekat dengan pintu, maka setiap kali dibuka udara dingin masuk membelai. Amsterdam sepi, bagaimana Maastricht, kamar di lantai dua dengan desauan Veolia jurusan Malberg. Ini pula aku akan mengikuti matahari dibuat sok gruveh fungkeh begini. Bisa juga di Kapadokia meski hanya seutas selembar. Ternyata begini saja.

Malam ini aku kacau-balau seperti masa mudaku. Bedanya tidak ada rokok jangankan seslof, sebungkus, setengah bungkus, sebatang sepuntung pun tak. Alih-alih kopi, secangkir serbat jangkrik emas; apatah lagi bir hitam. Aku ini mahluk rohani, maka rohani nomer satu sedang jasmani untuk ditahankan. Jangan sampai terbalik bisa merana lahir batin. Terpaksa 'kumaki karena cintailah aku tolong ditafsir-ulang keterlaluan. Nah, jauh lebih, lebih baik amboi aduhai begini. Biar jedug jeder jemblem jika diliputi dan mencurahkan tanpa henti terlebih disukai. 

Kata kerja, jangan kata sifat apalagi benda; dan tamatlah serbat jangkrik emas, dilanjut air panas. Nyatanya menahankan rohanilah yang membuat malamku kacau-balau begini. Masa orang naik metro disedot WC iblis, lantas melayang-layang sampai terjatuh di sebuah lapangan berumput, mementungi iblis-iblis. Apakah 'ku merindukan membangun dan menghancurkan peradaban-peradaban. Uah, aku sudah terlalu tua untuk itu. Lebih baik aku menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku, karena jika tak pernah mencoba sudah pasti gagal.  

Memang tidak ada pilihan lain: tahankan. Otak bisa berkhayal mengenai bau-bauan yang menimbulkan sensasi-sensasi tertentu, namun itu cukup bila sedang mengaso saja. Selebihnya tulislah buku, dan terpenting: selesaikan disertasimu! Ini sudah tidak di Amsterdam yang sepinya mengerikan itu. Ini di tepi Cikumpa sini, di mana kau bisa mengakses mie ayam donoloyo beserta cireng gejrotnya sekali setiap saat. Jika kaukira hidup orang lain sempurna, kau tidak tahu saja duka derita yang tak tertanggungkan; seperti pemburu kota dengan meriam pemburu sancanya

Sekarang ini sudah cukup baik, karena terasa baik. Berpumpunlah pada keuntungan-keuntunganmu, lupakan serangga yang berseliweran dalam benakmu; terlebih jika walang sangit. Jika belum mengantuk jangan baringkan badan di pembaringan. Terbaik memang membaringkan badan entah siapa; namun jika tidak ada, maka jauhilah pembaringan. Itu akan menjaganya tetap sejuk, meski tidak mungkin sesejuk pembaringan-pembaringanmu di Kees Broekman, Uilenstede, atau Kraanspoor. Itu semua tempat mengerikan, yang kaubutuhkan adalah sebutan. Itu sudah.

Tuesday, December 20, 2022

Kecantikan Dedek, Kesenduan Situ Cibeureum


Setelah mulai terasa Jumat malam sepulang mengawas ujian akhir semester mata kuliah hukum administrasi negara bagi program sarjana ekstensi, sampai pagi ini masih belum yes juga. Aku tidak tahu apa-apa mengenai dunia apalagi akhirat; yang jelas, aku pernah mendengar apa yang dahulu tak terbayangkan oleh para sahabat Rasulullah, sekarang dianggap lumrah, biasa-biasa saja. Tepatnya sih sah-sah saja. Akankah kita saling mengenal satu sama lain adalah pertanyaan yang menyelinap begitu saja bersama dengan manisnya alunan terompet, halus diselompret.
Siapapun yang membuat laut terkesan puitis, romantis, tidak peduli pada keadaan pikiranku yang sudah jauh menua. Belum lagi badan tambun melambanku, yang masih terasa nyaman ketika menghabiskan nasi kebuli ayam bakar jatah pengawas Jumat lalu di ruang bidstu berdinding kaca. Terlebih setelah sholat Isya' menyongklang VarioSua pulang pun masih nyaman. Akibatnya, dalam kulkasnya Pak Dian jadi ada sekotak teh buah beri biru. Akibatnya, Sabtu yang direncanakan bertemu dengan teh buah dan koreksian justru mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu Rupiah.

Kini suasana sudah jauh berbeda, ketika genduk Keisya menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan Thavita. Ini adalah musim panas Amsterdam dua tahun lalu. Adakah aku ingin kembali ke masa itu. Apa yang ingin 'kuubah jika kembali ke masa itu. Aku TIDAK ingin kembali ke mana pun. Aku mau maju karena Insya Allah aku tahu ke mana aku 'kan menuju. Seperti yang 'kukatakan pada Cantik tadi ketika sarapan bubur ayam Cianjur, dunia ini tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Tidak bagi Bapakku, tidak juga bagiku. Apalagi aneka-rupa kehina-fanaan seperti itu.

Itu pula sebabnya, di siang hari Selasa yang gerah bermendung begini, aku justru menyanding sejebung teh melati panas kesukaan Bapak, dengan sekepret gula sekadarnya... dan mengetiki. Memang masih mengetiki, belum menyelesaikan disertasi. Wasaibmit masih sasaranku, aku alap-alap dengan pandangan stereo terfokus padanya. Pendingin udara bagaimanapun penting, dan kini aku tidak sanggup membelinya. Maka hanya bisa 'kudapatkan di kantor yang Insya Allah menyepi karena sudah liburan. Liburan kuliah memang waktu favoritku selalu, sudah sejak lama.

Jika benar aku tahu kemana 'kan menuju, mengapa masih mengenang badan mudaku yang berpeluh-keringat sedang elang-elang berlatih di depan kamarku. Waktu kejayaan nexianberry yang sesungguhnya enggan sangat 'kuingat-ingat. Waktu-waktu yang mengerikan mengapa hampir dalam hidupku, semoga tidak ada lagi dalam sisa umurku. Aku mengaku alap-alap sedang bentukku seperti kakapo begini. Badan penuh berpeluh-keringat begini memang hanya mandi solusinya, namun apakah bijak mandi dalam kondisi begini. Apapun itu, harus mandi karena harus sholat.

Apa harus 'kuceritakan mengenai lodeh kacang-panjang, labu siam, dan terong yang entah lebih enak mana dengan buatan Mbak Yem. Suatu sahur pada suatu Ramadhan ketika di belakang Pondok Annisa masih ada wartegnya, yakni Warteg Pak Jay yang kemudian pindah agak di depan Cornel. Terkadang terselip tanya mengapa tidak habis-habisan bertualang ketika itu, hanya untuk menyadari betapa itu telah menyelamatkanku dari rasa sakit yang jauh lebih hebat dari yang 'kurasakan sekarang. Atau suatu siang yang sungguh teriknya, demam, berjalan perlahan ke Snar Guitar.

Hidup memang selalu begitu saja, bahkan untuk seorang lelaki perkasa seperti Bapakku. Ini lagi pura-pura jualan es krim, pura-puranya untuk memata-matai. Khayalan yang sungguh payah untuk menemani bersepeda ke Molenwijk. Mengapa tumitku harus sesakit itu, ketika itu. Jika tidak mungkin aku akan terus memacu langkah-langkahku di malam-malam musim dingin yang cepat turun. Adakah dengan demikian aku menjadi lebih tidak peduli pada jendela-jendela yang terpampang di hadapanku. Bukan berarti tidak pernah ada lambaian. Penyelamatannya nan gemilang.

Tolong lihat aku dan jawab pertanyaanku

Sunday, December 18, 2022

Sambal-sambal Sisa Jambal. Roti John Gunadi


Menenangkan, menyembuhkan, aku koq merasa seperti menonton film Cina. Beberapa hari ini aku di dalam rahim melayani para pelayan, yang membuatku serta-merta terkenang John Gunadi. Mengapa kau, seperti halnya Cobain, mati. Mungkin aku tidak benar-benar merindukanmu. Mungkin waktu-waktu bersamamu yang 'kurindukan, yang telah lalu. Mengapa aku merindukan waktu-waktu itu. Merindukan waktu yang telah lalu adalah kebodohan maksimal, mentok tidak bisa lebih bodoh lagi. Ini mengapa seperti ada bunyi gemericik air begini, sungguh menjengkelkan.
Ini terdengar seperti Kitaronya orang miskin yang bibirnya dower dan giginya mrongos. Apa lantas 'kan 'kukenang sarimomo dengan tempura ubi semua dan meki sapi, dan tentu saja pangan kentir. Bahkan burger and king sekali, sandwichnya yang menang tebal doang, yang seringnya dilanjut dengan atau bahkan sebelumnya. Jika begini aku tidak akan ingat mengenai apa ini. Cukuplah mandi asal-asalan tanpa handukan sebelum ke dokter Pahry medischine menjadi mnemonik, meski dipastikan keduanya selembar pun tidak. Ini bahkan lebih kecut asemnya entah apa.

Apa harus 'kukitiki dengan pandangan periferal di sebuah kamar kontrakan di bilangan Statensingel, antara selembar dengan berlembar-lembar. Malam-malam memang sudah seharusnya berakhir, digantikan dengan omong-kosong penuh kebohongan. Tenggorokan yang tidak nyaman beberapa hari terakhir ini biarlah ditingkahi dengan dentingan senar gitar dan piano. Aku bahkan lupa sama-sekali rasanya berjalan berpeluh-keringat dari Blok M ke Radio Dalam. Aku bahkan lebih tidak ingin bicara mengenai berjalan dari Pondok Indah Mall ke Radio Dalam.

Ketika bakmi apapun pasti begitu-begitu saja rasanya, seperti bakmi entah apa yang dijual di kantin sekarang. Saus sok cerdik itu memang sudah pada tempatnya, agar saus Sari Sedap penuh rodamin-b sekadar menjadi kenangan yang harus segera dilupakan. Terlebih bibir ayam Cirebon yang di Taman Puring itu, biarlah bibir ayam Cianjur yang dikenang-kenang; karena yang di McD itu tidak bisa disebut bibir ayam. Terlebih dewi Indonesia yang jelas-jelas bukan dewi kemerdekaan menyakiti seperti sayatan perlahan pada diafragma. Terlebih memulai dengan kata terlebih.

Lebih dari membelai, keinginan untuk dibelai dirasakan seekor anjing buduk yang sekujur badannya penuh borok dan kutu. Lebih dari apapun, dunia tidak akan memedulikanmu yang ingin beristirahat. Dunia ingin terus melonjak-lonjak kegirangan macam anjing peliharaan bertemu majikannya. Bagi sesiapa yang tidak tahu bedanya anjing dengan keharuman yang bisa saja hilang jika lama tidak pakai deodoran, maka sudah patutlah ia diabaikan. Sungguh tak berdaya menghadapi daya tariknya, magnetismenya, kuat membetot seluruh cipta, rasa, dan karsa.

Jika sudah begini, kenangan akan hisap-hisapan dan kepul-kepulan asap kretek, seteguk kopi hitam atau bir hitam sekali sungguh terasa tak berdaya. Bukan tekad yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah entri, melainkan malam yang semakin larut dan ingatan betapa sulit berdoa di depan wastafel sebelum meminum obat jika kawan-kawan terus bercericau bahkan mengomentari. Uah, kalimat yang berlari kencang seperti tidak pernah-pernahnya. Aku memang penakut tapi itulah yang 'kubutuhkan untuk berani: perasaan bahwa aku sedang takut. 'Ku tak sudi!

Terlebih jika menyangkal, enggan mengakui. Bukankah sama saja, meski serabi dan surabi bisa berbeda sekali. Jika diberi titik di situ sungguh menjadi masuk akal, terlebih ketika bersin seperti kurang sehat. Tiada laba yang didapat dari hukum administrasi daerah, sedikit dari hukum administrasi negara. Akankah dalam sisa hidupku ini, seperti ketika 'kutinggalkan rumah di tepi Ciliwung di suatu malam bulan puasa. 'Kurasa naik angkot sampai di depan Depok Mall, mengetahui di belakangnya ada MonggoMas, malah menjadi malam kekuatan. Jika bukan jijik, entah apa. 

Thursday, December 15, 2022

Jula-Juli Grand Artos Merana. Aku yang Merona


Astaga, adik itu mengetik dengan rampaknya di luar, di balik jendela berkotak-kotak kecil itu. Mengetik betulan loh, bukan mengitiki. Aku sudahlah mengitiki, membiarkan otakku dibuat frappe oleh si Wedus Cobain dengan semacam logam alkali. Apa kabar Denny Luqman al-Hamzah, kemungkinan ia sedang menjalani hidupnya seperti kebanyakan orang Jember yang menjadi pegawai negeri. Tidak seperti orang Batak yang jadi aparat, baik sipil maupun militer, orang Jember satu lagi malah sudah mati, pegawai negeri pula. Wedus memang harus dipong kepalanya.
Emang sudah edan ini Wedus. Memang aku pun harus dihardik jika kebanyakan bernostalgia. Memang betul aku berpura-pura seakan sejarah demikian pentingnya, padahal itu cuma kecenderungan mentalku untuk terus bernostalgia saja. Meski Alvin masih menjawab ia tidak pernah pesiar, lebih sering ke rumah pamong. Semua kenangan masa lalu memang tidak pernah berdaya, tidak pernah sanggup menjawab tantangan masa depan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Entahlah apa aku punya suatu gagasan mengenai masa depan.

Ini 'kuteruskan setelah lewat tengah malam, bahkan sudah berganti hari. Mengitiki 'kuhentikan tadi karena aku mengantuk sekali; yang 'kulakukan malah pergi ke kantin, beli teh tarik dan dimsum, 'kunikmati bersama FDR, Harry Hopkins, dan Captain Henry. Ini malah sekarang lagu cinta timur berkumandang di keheningan malam, sedang aku tidak berdaya menahan rasa tidak nyaman karena sedikit sekali kena karbohidrat malam ini. Aku menindaknya drastis dengan sarimi goreng ayam kecap, masih dengan dua potong keecho dan seutas sosis koktil. 'Kurasa tiada jalan lain.

Jika aku tidak bisa memberimu apapun kecuali cintaku dihembus dengan saksofon memang aduhai sedap, meski bait-baitnya agak menjengkelkan. Padahal tadi sempat juga membantu Cantik menghabiskan grameh goreng 600 gram sisa makan malam bersama Wiyono. Aku baru tahu ternyata sebelum Michele aku sendirian saja. Aku tidak pernah suka sendirian yang ini, maka 'kusabari saja sampai Michele sendiri yang menjelang; mana tidak habis-habis ini. 'Kupandangi dan 'kuelus-elus perutku yang menambun mengkhawatirkan. Ah, Michele datang. Selalu saja memesona.

Lelaki tua, botak, tambun ini sudah kelelahan diterjang pesona, ketika rona Grand Artos saja membuatnya merana. Ia tidak butuh lagi pesona yang bertebaran di sekelilingnya setiap hari, risiko pekerjaannya, tempatnya mengais rejeki. Pesona bertebaran sudah tidak terasa sebagai rejeki baginya, hanya mengundang helaan nafas. Terlebih ketika mandi dengan sabun cuci tangan di toilet PDRH, lelaki muda autis melonjak-lonjak di kursinya, entah apa yang ditontonnya. Tempat persembunyian yang horor di atas jam empat sore jelas tak mungkin diandalkan siapapun.

Tiada apa yang dihasilkan kecuali entri, meski bangun sampai jauh malam begini, sudah berganti hari. Betapa tidak. Perut dihantam sarimi isi dua sebelum tengah malam, padahal bisa makan sayur rebus lagi, dengan sedikit nasi kalau takut sakit lagi. Perut yang selalu terasa mengganjal sudah beberapa tahun terakhir semenjak pandemi bahkan sebelumnya. Entah bagaimana aku 'kan melaluinya, ketika Japri muncul tiba-tiba menanyakan sudah submit wasaibmit. Uah, mahogany, bukan mahagoni, dari masa kecilku, senantiasa membelai qolbu, menyejukkan mata-hatiku.

Aku senang gambarannya kambing-kambing berwarna-warni, ada yang hitam pula, sehitam mahagoni. Dengan perut tambun mengganjal begini, mata-mata yang terlalu dekat jaraknya namun bulat memesona menjadi terasa demikian jauhnya. Rambut tipis saja sudah menandakan bukan, karena rambut seharusnya tebal indah mengombak seperti rambut Cantik. Memang tidak ada kurangnya, justru banyak lebihnya. Aku suka yang lebih-lebih, sampai luber-luber begitu, seperti mie ayam donoloyo, sampai susah diaduk. Jika tidak untuk meratakan saus rodamin-b, takkan diaduk.

Saturday, December 10, 2022

Isandhlwana Tidak Lebih Sulit dari Matswapati


Mengitikiku disela oleh mendidihnya air mandi, padahal milo hangat baru habis seperempat cangkir. Maka 'kuputuskan untuk terus mengitiki, dengan risiko air mandi mendingin, dan itu berarti membuang gas. Aku sudah lelah mengikuti perjalanan trio Wildan, Andriawan, dan Arkan mengelilingi Kalimantan. Melihatnya saja sudah lelah apalagi menjalani sendiri. Belum lagi Nugroho bermotor dari Margonda sampai Ujung Genteng. Edan bocah-bocah ini. Lebih edan lagi aku yang menyiapkan paparan tentang Kembali ke UUD 1945 'tuk disampaikan pada Pandusakti.
Mana lebih gila, aku yang sangat terganggu kalau sampai tidak rata kanan-kiri, atau orang yang menatah jenggot Prabu Matswapati pada kulit kambing. Ukurannya adalah secangkir milo. Jika habis ia, maka mandi aku. Jadi ternyata guna entri-entri sekadar membuat Togar tertawa-tawa jika ia sedang bosan selesai giliran bicara. Lagipula goblog harian apa yang diumbar-umbar bagi publik meski tetap saja tidak ada yang baca kecuali Togar. Ini semacam antologi cerita pendek yang tiap-tiapnya sekitar 500-an kata: Cerita mengenai dunia dari sudut kebat-berkebitnya pikiranku.

Di sini milo habis. Aku mandi.

Selesai mandi, sambil mengeringkan badan, aku membatin: Dunia telah mengecewakan Papa dan Bapak. Bapak jelas-jelas berdoa agar dunia tidak mengecewakanku. Namun apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang ribut saja masalah harus pakai baju apa agar tidak canggung karena perbedaan pangkat. Hahaha aku memang badut, tidak pantas mengenakan baju-baju berpangkat itu. Aku, seperti kata Leonard, hanya menunggu satu kecelakaan laboratorium untuk menjadi penjahat super; karena, menurut Nex Carlos, lemak jahat adalah lemak baik yang tersakiti.

Lebih baik 'kubaca-baca lagi surat-surat cinta Forrest Gump yang kembali lagi kepadanya, berlembar-lembar, karena Jennifer Curran memang tidak pernah ada di Greenbow. Ia berkelana meluaskan pikirannya. Sebuah entri yang penuh menyebut nama-nama, kejadian-kejadian di seantero dunia. Lantas apa maunya, memamerkan keluasan pengetahuan umum seperti kelakuan Gunawan Baphomet. Jih, tidak sudi! Nah, ini tadi terpikir ketika masih telanjang, mungkin masih menggosok-gosok badan dengan busa sabun. Seks, sastra, kita. Najis! Manusia, budaya, dan masyarakat. Itu dia.

Kembali kepada pengirim. Alamat tidak diketahui. Tidak ada nomor begitu/orang itu. Tidak ada lagu begitu. Gus Dut merasa lucu dengan baris terakhir itu, dari sekitar dua puluh tahunan lalu. Seperti halnya Gus Dut dan Togar, aku pun merasa bisa menyanyi. Bahkan dulu jika ditanya hobi biasanya akan 'kukatakan menggambar, menyanyi, bermain musik. Aku merasa hanya bisa membaca dan menulis, meski uangku kini terutama terkait dengan dongenganku pada bocil-bocil. Hidupku sungguh mengerikan dan aku tidak punya harga diri. Aku memalukan. Menjijikkan.

Maka biar 'kucatat di sini pertemuanku dengan Dr. Dexter pagi hingga siang tadi, karena ini mengenai harga diri. "Semakin menderita kau, semakin menunjukkan betapa pedulinya kau", begitu katanya. Kau memang koprofil, koprofagis, tiada lain. Ini kata-kataku sendiri, favorit malah. Artinya, Dexter menyelesaikan doktoralnya pada umur 52 tahun. Namun ia telah menorehkan karya-karyanya dengan tinta emas dalam jagad punk rock, selain juga berjualan saos pedas. Jadi tidak ada alasan bagimu, koprofil. Kau memang koprofagis celaka. Tutup mulut baumu itu. 

Tuesday, December 06, 2022

Gitarku Memainkan Melodi Spanyol dan Meksiko


Masakan Senin malam begini malah mengitiki. Senin malam 'kan seharusnya belajar untuk mempersiapkan pelajaran-pelajaran Selasa. Meski aku tidak melakukannya dengan benar, dapat 'kupastikan aku tidak membuang-buangnya dengan cinta remaja. Ketika remaja aku tidak pernah mencinta. Aku selalu yakin akan diperlengkapi jika tiba waktuku. Ternyata setelah setua ini waktuku, 'kurasa, belum tiba juga. Aku malah dikelilingi anak-anak yang menanti-nanti tibanya waktu mereka. Ataukah memang waktu takkan pernah tiba untuk siapapun. Aku rasa demikian.
Tersesat dalam cinta adalah suatu malam dalam sebuah bilik pelacuran. Suatu sore yang mungkin seharusnya indah malah dikejutkan oleh burung menderita pilek. Mengapa aku yang tidak pernah mengalami cinta remaja ini justru bernasib begitu. Malam-malam sepi yang seharusnya mengerikan, yang 'kulalui dengan melangkah di antara tumpukan peti-peti kemas, untuk kemudian menyelinap di dekat Krida Braja. Aku tidak takut hantu. Lantas malam-malam menembus kabut antara asrama dan Kukusan. Uah, betapa banyak malam telah 'kulalui di mana-mana tempat.

Aku kehabisan ragaan. Aku hanya bisa terpesona. Namun apalah guna karena pesona memang selalu memesona. Memang itu gunanya. Ini jelas wujud tidak berdayanya aku, malam Selasa begini malah mendengarkan Themistocles dengan suaranya yang seperti tercekik. Bahkan pada umur sebegini lagu-lagu sudah mulai kehilangan pesona, mengapa tidak sekalian semua saja. Mengapa masih ada saja yang memesona. Seharusnya bisa, karena Warren saja sudah berpangkat letnan angkatan laut. Artinya, Kapten Henry sudah pasti lebih tua dari aku kini, dan tentu bukan kardus.

Ini bahkan sudah bukan malam Selasa. Ini sudah Selasa betul, dan aku masih saja mengitiki. Tidak juga. Aku sudah tidur, dan iklim sudah tidak sama dengan sebelum 2016 atau 2014. 'Kurasa 2014, karena 2015 adalah kemarau terpanjang yang 'kuingat. Betapa bahkan bebambuan meranggas. Mungkin dapat pula diperiksa entri-entri awal 2016, suasananya, tapi jangan sekarang. Jika mengecek entri, pasti tidak selesai entri ini. Lebih baik, mumpung rampak begini, terus memberondong mengitiki begini. Meski sudah berkeliling dunia, belum bertemu juga Lisa dengan bayinya. 

Tidak tiba-tiba juga, meski Whitney merasa begitu. Aku merasa semua ini bertahap, perlahan-lahan. Dimulai dengan omelet dibungkus tortilla kecil diselipi salami tipis. Diselipi, bukan disumpili, karena tidak ada kata itu dalam Bahasa Indonesia. Bahkan masih ditambah roti gandum berisi dua potong sosis, telur mata sapi, dan selembar keju cheddar Amerika. Minumnya tentu saja teh hitam secangkir kertas. Jika sosisnya sepotong saja, tidak akan lebih dari goban. Sudah hampir setengah jam berlalu dan aku masih merasa baik-baik saja, berbeda pun dengan nasi dan lauk-pauk.

Maka begitu saja 'kutuang teh herbal Sabda Rasa, yang 'kuseduh dengan air mendidih banyak-banyak, mungkin lebih dari seliter. 'Kutuang ke dalam cangkir plastik merah kesayanganku yang tak bertelinga, sedangkan segalaku sekadar berharap menjadi bagian darimu. Aku adalah rama bagi anak-anakku, perempuan ada tiga jumlahnya, dan seekor kambing gibas. Teh herbal mengepul-ngepulkan uap, serayaku membatin, semua cinta di dunia tidak akan merenggutku darimu; karena aku hanya punya cinta untukmu, Sayang, jikapun harus berakhir dengan berpidato di tepi sumur. 

Tidak perlu sok seram. Cukup seperti Nick Wallace saja, karena yang biasa, yang sehari-hari, justru yang paling seram. Apalagi kalau sampai dibiasakan. Aku tidak nyaman jika sudah sampai ke sini. Setelah ini bisa saja aku kembali ke depan tivi seperti berbulan-bulan terjadi di Uilenstede 79C, padahal waktuku sudah habis; sudah lewat jauh bahkan. Wiyono semalam menyapaku. Aku sudah jadi pengemis dan ini benar 'kurasa yang menyakiti lambung. Bahkan ibu penjual nasi uduk menangis jika mengenang pengalamannya mengemis. Aku sekadar teriris di lambungku.
 

Saturday, December 03, 2022

Entri Perdana Ruang Bidstu Berdinding Kaca


Selalu dan selamanya! Apanya. Bukan kembungnya yang jelas, meski karedok Sasari aduhai pas bumbunya. Aku selalu suka karedok, bahkan yang di Nging Kemang atau Cipunjur sekalipun, yang mahal itu; tetapi mengapa kalian selalu menyiksaku begini. Begitu juga dengan pecel, boleh beli di Mbak Ira atau merebus sendiri. Mengapa. Apa yang harus 'kulakukan, haruskah 'kujalankan nasihat Alvin makan umbi garut. Tidak, karena pada Pak Insan tidak mempan. Begitu kata Cantik. Ya, sudah. Jika demikian tinggal mengeraskan hati, sedang daun-daun mati berguguran.
Sebenarnya bukan itu. Terakhir aku melihat masih selalu. Mungkin itulah sebelum 'kumatikan karena Cantik sudah me-WA. Sebelumnya bahkan 'kutinggal lama sekali karena Hadi muncul dari balik kaca. Kami lalu minum jus mangga di saung kantin, kali pertama untukku. Saung itu bau tahi kucing, namun bagi perokok mungkin yang seperti itu tidak masalah. Tidak lama bahkan datang Alif membawa cerutu-cerutu. Perutku kembung bukan buatan, meski kantin kaca memang selalu nyaman, terlebih jika seorang diri di situ. Cukup besarkan saja kipas pendingin udara, bereslah.

Mencongklang VarioSua ke arah PNJ, ternyata diportal, maka mengarahlah ke kandang bis kuning, rotunda, balairung, seterusnya sampai berputar di depan menwa, menyusuri Margonda. Tadinya mau ke D'mall malah ke Peseq, meski tujuannya sama: Dapur Kekaisaran. Standar, bubur dua rasa untuk cantik, mie wonton udang untukku. Minumnya yang agak tidak standar. Aku minum liang teh, Cantik teh hangat manis, meski akhirnya memesan teh cina seteko juga karena tidak panas. Ah, sementara flamingo cantik beterbangan di sekelilingku begini.

Sampai di sini yang 'kuingat hanya kembung sekembung-kembungnya, sampai-sampai biji kanan nyut-nyutan. Apa masih mending ketimbang rindu-serindunya, aku tidak tahu, sedang laut memisahkanku dengan cintaku. Jika ini mengenai ruang bidstu berdinding kaca yang bergetar berderak gara-gara gempa Cianjur minggu lalu, Senin, 21 November 2022, maka biarlah. Kala itu, aku dan Hari sedang berbual-bual. Sekitar jam satu siang bergoyang-goyanglah tanah. Hidup dan biarkan mati! Sudah hampir dua minggu ternyata sejak gempa itu terjadi.

Pagi ini, setelah mengantar Cantik sampai di ambang Gedung VIII, aku memarkir VarioSua di depan WC samping SDM seperti biasa. Langsung 'kuminta Pak Roni untuk membuka ruang bidstu sementara berdinding kaca. Setelah melepas jaket, aku melangkah lagi menuju Barel. Sasari tujuanku, bertemu ibu yang tidak berubah sedikitpun dari duapuluh tahunan lalu. Ia masih mengenaliku meski aku jauh menambun. Bahkan ia masih ingat betapa aku sangat suka tahu sayur kuning. Pagi ini, aku memesan karedok, orek tahu, bulet, seutas otak-otak, dan sendok palastik.

Jangankan disertasi, bahkan kembali ke UUD 1945 meski dikaji-ulang tidak juga menarik bagiku pagi ini. Apakah karena perutku mulai mengembung. Aku malah kembali membuntuti Kapten Henry ke London, lalu Berlin. Tidak apa, karena ada kemungkinan setelah Oktober Bossman sudah tidak menjabat lagi. Mungkin Kapten Henry bisa pulang dan mendapatkan tugas laut yang sangat diidam-idamkannya. Teh herbal ini semoga benar berkhasiat. Ada waktu-waktunya aku ingin teh herbal begini: Rasa herbal. Selebihnya aku suka teh melati dengan sekepret gula. 

Akankah 'kudapati ruang bidstu sementara berdinding kaca tetap nyaman di hari-hari kerja, aku tidak terlalu peduli. Aku selalu bisa bersembunyi di tempat profesor mati atau tempat Togar. Kini aku merasa sedikit kembung meski sudah minum teh herbal yang konon mengobati kembung. Kapankah kini, besok bilakah datangnya, kemarin sudahkah berlalu, tidak penting di goblog ini. Apakah suara flut lebih cantik dari terompet, seperti aku tidak bisa membedakan antara cantik dan manis. Jelasnya, aku harus sangat dipaksa untuk menyukai perempuan berbentuk seperti Nanda Gita.

Betul-betul jadi romantis suasana hatiku