Sunday, September 25, 2016

Adakah Cinta di Hatiku? Bisa Juga Tidak


Entri-entri di bulan-bulan 2016 tampak seperti strategi sepak bola saja. Apakah entri ini sekadar agar September tidak satu, atau yang lainnya, di dunia Kemacangondrongan ini tidak ada pentingnya. Di sini pertanyaan tidak untuk dijawab dan jawaban tidak harus atas pertanyaan—meski tanda baca sedapat-dapatnya harus tetap dijaga akurasinya. Malam ini aku bersama Oom Philippe Pagès dengan mini orkestranya—setelah agak beberapa hari terakhir ditemani Opa Fausto Papetti dengan dehaman saksofonnya.


Lantas sekarang Oom Phillipe memainkan gubahan kompatriot dan sebayanya, Jean-Claude Borelly, yakni Dolannes Melodybah, hari-hariku diisi oleh Perancis-perancis ini—bedanya, Oom Phillipe pianis, Oom Jean-Claude terompetis. Lantas... oh, Einsames Herz, Hati yang Sepi, salah satu lagu yang agak bisa kumainkan pada piano, meski tangan kiriku terlalu ribut. Maka tepatlah apa yang biasa kukatakan, tegangnya senar gitar hanya cocok bagi hati riang—ketika hati sedang rusuh, kelembutan tuts-tuts pianolah penawarnya.

Apa rasanya jika ambiens sebuah lobi hotel dijejalkan pada kedua lubang telingamu, ya, seperti inilah. Hotel-hotel memang sengaja dibuat nyaman karena itulah fungsinya. Semakin nyaman tentu semakin mahal, semakin seadanya semakin murah. Ini sesungguhnya adalah bentuk keputusasaan dalam menemukan persekitaran yang membangun dan mendukung suasana hati, sedangkan hal-hal seperti keharusan untuk bolak-balik ke dan dari bilangan Segitiga Senen betul-betul menggerusnya. Uah, La Mer! Ini di lobi hotel yang nyaman, lengang.

Ini pula adalah kekecewaan yang meronta-ronta meminta penawarnya, yang sehingga kini belum juga kunjung diketemukan. La Mer memang sudah sesuai dengan berkurangnya hiruk-pikuk, akan tetapi rasa badan yang tidak seberapa, lengket karena udara yang berada di tepi hujan deras, malam yang sudah tidak muda lagi menghancurkan semua harapan akan suasana hati yang prima. Apa aku hanya dapat ber-Mimpi [tentang] Cinta (Liebestraum)—sedangkan Ibu sekarang tiap hari menonton dangdut saja kerjanya.

Tentu saja berlebihan jika kukatakan duniaku runtuh sedikit demi sedikit. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Yahudi-yahudi yang menjadi korban rezim Nazi atau yang semacamnya—ada juga cerita mengenai keluarga yang hancur tercerai-berai gara-gara ramai-ramai 1965. Ini masih belum melibatkan kejahatan yang tiada tara. Ini masih sekadar dunia yang memang tidak pernah diciptakan sempurna, Insya Allah, agar manusia tidak terlalu cinta kepadanya. Ini sekadar menjalani hari-hari seperti dilakukan semua orang.

Alangkah mahalnya—jika demikian—khayalan mengenai trotoar yang tidak bersih dan tidak rapih—khas trotoar-trotoar di Jakarta—bermandikan cahaya kuning temaram lampu jalan, mungkin di sekitar Terminal Senen. Apakah itu berarti naik PPD nomor 10 atau 11 tidak terlalu menjadi masalah. Apakah ketika itu makan dulu di salah satu warung atau entah penjaja makanan apa di sekitar terminal, bisa jadi. Apakah cukup uangku di dompet untuk itu semua, tidak mengapa.

Terpenting dari itu semua, aku menuju pulang. Malam sudah cukup larut dan mungkin ini adalah bis terakhir yang dapat membawaku ke Terminal Blok M. Sesampainya di sana, maka berjalan kakilah menuju Blok M Plaza, di bawahnya ada McD yang buka 24 jam untuk sekadar membeli ice cream cone—karena untuk yang lain kemungkinan uangku tidak cukup. Apakah saat begitu di benakku menggeremang Moon River yang dimainkan dengan piano, boleh jadi.

Lalu langkah-langkahku menjadi ringan berjalan kaki menuju Radio Dalam, bisa berbelok pas di Hero atau melewati kuburan dulu tidak menjadi masalah. Terlebih penting lagi, suatu pertanyaan: Apakah saat itu di hatiku ada cinta? Apakah sesampainya di rumah Bapak dan/atau Ibu masih wungu—jika tidak, tentu saja aku terpaksa mengetuk-ngetuk pagar dengan gembok agak keras, atau malah lompat pagar. Bisa masuk ke kamar belakang, bisa juga tidak. Adakah cinta di hatiku?

Thursday, September 22, 2016

Sesakit-sakitnya Hatiku, Lebih-lebih Cintaku


Seedan-edannya aku, tidak mungkinlah aku melakukannya terhadap Emma—panggilan dari Emmanuelle. Gila ini! Ini adalah malam-malam sangat larut, atau bahkan dini hari sekali, ketika kabut baru turun dan embun sudah membulir. Bisa jadi karena akulah orang Venesia tak bernama itu. Sangat bisa jadi, karena aku bukan pedagang buah dan tidak dari Napoli. Lagipula, aku tidak pernah menerbangkan Mirage III dari varian apapun; justru kebanyakan pesawat-pesawat pemburunya Angkatan Laut Amerika Serikat.


Akhirnya, Kawan-kawan, aku setua ini dan tidak lagi memiliki keinginan apapun. Dulu pun apakah benar kuinginkan, tidak. Seperti inginnya aku pada sebentuk saksofon, seperti itulah semua keinginanku. Menguap semua, bahkan aku tidak ingin membuat metafora apapun untuk menguapnya semua keinginanku. Tersisa padaku hanya ketololan yang mengerikan, jauh mengerikan dari apapun yang patut membuat ngeri. [Apakah termasuk kemungkinan tertangkap dan disiksa seperti para tertuduh PKI dan Gerwani, aku tidak tahu apa-apa]

Kenyataannya, senandung saksofon Kawan Nyoto ini memang agak merdu. Desahan dan dehamannya, getarnya bilah bambu yang diperkuat getarnya udara dalam ruang pipa kuningan. Ini seperti rasa simpati yang terbit pada kesintingan-kesintingan yang diberondongkan Bang Fahri Hamzah pada sasaran-sasaran empuknya, meski dalam hal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jelas pendirian kami beda. Mungkin karena ia dari Bima aku dari Jakarta. Aku tidak pernah merasakan kedaerahan itu meski lidahku sungguh betapa medok Jawanya.

Ini bukan Amerika, Bung! Di Amerika ada kengerian? Di tiap-tiap lipatan, tiap-tiap belahan pelosok bumi ini kuyakin ada saja kengerian. Kesadisan. Aku belum mengecek apa yang terjadi sepanjang Perang Sipil. Perang melawan Indian yang pakai menguliti kepala dan merebus lidah dalam minyak panas tentu saja sadis. Astajim ini samba dari suatu masa ketika pintu belakang terbuka pada kegelapan, temaram lampu bohlam yang menyinari tali-tali jemuran yang diikat pada lubang-lubang angin.

Jiahaha akhirnya kuketahui ulah siapa. Ah dari hampir duapuluh tahun lalu. Mungkin itu sebabnya aku tadi membeli sekaleng Guinness. Ini seperti sehisap sekepulan entah di pintu belakang maupun pintu depan. Teras dengan bantal-bantal merah kursi rotan, tetap dengan temaramnya bohlam. Oh mengapa semua berakhir? Mengapa pun aku harus mengakhiri mimpi orang lain akan kebahagiaan sepanjang masa, hingga akhir jaman? Aduhai begini benar nasibku, begitu benar nasibmu, Wahai Kecoak Jelek, Mampus!

Kini aku begitu saja tua, masih memberondongkan kata-kata tanpa makna, seperti dahulu di kamar setrikan—yang sekarang kamar Mbak Nung—menulisi buku tebal dengan puisi tolol mengenai orang tua tolol dan asap rokok. Tolol! Astaga, malam ini kurindukan kalian teman-teman lamaku. Kepulan dan kepulan. Asap dan uap. Tolol kalian semua hahaha. Tak satupun akan kutemui kalian meski kurindukan, malam ini saja. Kalian saja, lainnya tidak. Lain-lain yang juga temaram tidak!

Namun malam ini entah bagaimana caranya aku merasa muda... setelah sempat melihat sedikit film tolol tentang pembunuh berantai khas kesukaan Ige, sekarang mendengar Mack Si Piso. Hahaha betapa tololnya kemudaan ini. Sedangkan yang kusanding kini adalah Minuman Botani. Hah, apa pulak?! Selamanya aku akan menjadi Orang Asing di Malam Hari, meski direndisi seperti ini, tanpa romantisme apapun. Selamanya mungkin akan menjadi khayalan, ya, karena kuputuskan begitu! Romantisme semata adalah khayalan!

Mungkin karena seharusnya ada dua orang asing. Ini tidak pernah dua. Ini selalu satu dan itu selalu aku saja. Biarlah aku berdua dengan diriku sendiri, bertiga dengan kesepianku, berempat dengan kesepian diri, berlima dengan kesepian kami, akhirnya jadi beramai-ramai ‘kan. Ramai-ramai kami melonjak-lonjak riang di seputaran Katedral Winchester, sedangkan ia juga merek senapan pendobrak. (shotgun) Aku pasrah saja pada Sang Maha Kuasa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku lelah.