Sunday, April 30, 2017

Ibu-ibu Muda Berdaster Bahkan Belum Bunting?


Nah, sudah. Sebelumnya aku sempat ragu, adakah judul entri ini Ahok Keren tapi Oke Oce, atau mengenai IMB4. Entah bagaimana, aku merasa terdorong untuk memeriksa Balada Layangan Putus; dan ketika itulah hatiku tetap. Ini entri mengenainya. Tambahan lagi, entah mengapa, dari beberapa hari yang lalu aku merasa ingin mendengarkan radio. Artinya, aku harus siap mendengarkan entah-entah, termasuk selamanya takkan berhenti ini. Rileks dengan seratus persen lagu enak 'pala lo adem! Delta FM 99.5 itu the Best Oldies Station in Town!


Ini Torabika Cappuccino, Bung! Ini numero uno! Ini bukan kopi hitam pahit-pahit jantan. Ini bukan menunggu kelahiran manusia, karena manusiaku tiada akan pernah terlahir, kecuali satu! Sudah, sudah, pagi-pagi jangan marah-marah. Lebih baik dinikmati dulu nasi gudegnya, yang seadanya ini, dengan botok mlandingannya sekali. Ini bukan pelas! Lagu enak sembilanpuluhan yang bikin rileks? Mungkin aku memang harus mencoba rileks. Pengalamanku, kalau pikiranku tidak santai maka kemaluan pun tidak membantai. [Jiah, masih tidak menyimpang dari kekentuan!]

Mbak Anggun ini. Ya, keren. Jauh lebih keren dibanding ketika ia masih gadis kecil bertopi pet besar. Lalu buat apa kalian, gadis-gadis kecil, menjadi ibu-ibu muda berdaster yang ingin bunting?! Ini Jakarta dan pinggir-pinggirannya, Bung! Banyak bukan buatan manusia di sini beserta kemalu-maluannya sekali! [aduh, Pak, mengapa banyak sekali tanda seru?] Sukak-sukak aku, lah! Lalu siapa yang akan menghampiriku, melendotkan lembut badannya padaku sambil membelai kepala saringan airku, seraya berkata: "aku mengerti perasaanmu."

Tidak ada! Tahu lah ini seratus persen lagu enak. Rasanya seperti sedang naik Go-car atau Uber, dan aku tidak suka jalan-jalan! Aduhai, bagaimana meredam perasaan ini sedangkan tidak satupun yang 'kan mengerti. Terkadang aku merasa seperti ingin berteriak, namun berteriak membuat tenggorokanku perih. Belum lagi sakitnya kepala; kepala saringan air yang ada rambut-rambutnya, terkadang karet gelangnya sekali. Artinya, aku harus berdamai dengan kesakitan ini, asalkan jangan dengan kemaluannya sekali. 'Tuh 'kan, betapatah aku tidak memaki "tahu!" jika begini terus?

Sungguh, bukan kamar mandi benar yang kubutuhkan, bukan kakus jamban apapun bentuknya. Aku... tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kubutuhkan. Aku hanya menjalani hari-hariku, sampai mana mereka 'kan membawaku, di mana 'ku berakhir. Radio sekarang tidak ada iklannya; sebagaimana tidak ada gunanya terus menengok ke belakang, jika menoleh melalui bahu. Hadapilah masa lalu sepenuh badan. Balik kanan, grak! Kemudian, seperti air panas membasuh sisa-sisa cappuccino, basuhlah masa lalumu. Perlahan atau sekali teguk, sama saja.

Lalu, songsong masa depan! Hahaha, bagaimana mungkin aku berpikir menasihati orang mengenai ini, sedangkan aku selalu berjalan dengan punggung menghadap arah tujuanku? Tampaknya, yang lampau memang identik dengan yang mati, yang ditinggalkan. Tidak usah baper, jangan lebay, merasa ditelantarkan jika lampau, karena memang itulah kodrat, itulah fitrah dari yang lampau. Harumnya aroma tubuh dan lengking nada suara yang lebih tinggi memang semua bagian dari kodrat, dari fitrah. Mungpung sudah Sya'ban, Insya Allah segera Ramadhan, lalu 'Idul Fitri.

Nah, kalau begini 'kan terasa lebih rileks. Ikan apa yang paling tidak bisa dibilangin? Ikan kembung. Kena'apa? Sudah tahu kembung masih saja berenang. [Ini lagi, ada cooking show di radio] Biasanya, yang suka goreng ikan kembung adalah... Ibu-ibu Muda Berdaster, tidak peduli sudah bunting atau belum. [Lhah koq ke sini lagi. Nanti baper lagi...] Biarin! Harum aroma ikan kembung goreng, bercampur harum aroma tengkuk yang dihiasi beberapa helai rambut, karena sisanya digelung seadanya, itulah kenikmatan dunia. Wewangian dan wanita, itulah dia! [terkekeh dan terkikik]

Lalu kau pikir kau melukis? Apa, ikan-ikan koi, atau pemandangan sekali? Gunung-gemunung, sawah terhampar, sungai kecil lengkap dengan gubuknya sekali? Balai-balai bambu? 'Kurasa kau memang koprofil sejati! [ini pujian] Apa? Kau ingin diduduki muka menjijikkanmu? Mulutmu yang kakus jamban itu? Lalu ingin dipukuli perutmu? Pantas saja Daud Santoso meraung sampai muntah-muntah cecek di pagi hari. "Suheeeng!!!" hahaha, antara murka dan muntah-muntah. Lantas kau pecahkan gelas, beling-belingnya kau masukkan dalam kaus tangannya? Kau suka darah?

Monday, April 24, 2017

Malunya Manusia. Terbarunya Masa Kemaluan?


Iya. Kurang baik. Padahal ini jelas-jelas Rajab, bulannya Allah. Padahal seharusnya memperbanyak istighfar. Rabbighfirli warhamni watubalayya. Begitu berulang-ulang sembari menunggu datangnya shubuh. Ini apa? Shubuh jam berapa? Malu sama ayam! Nanti kemaluannya dipatuk ayam. Nanti kepala kudanya tertimpa mempelam. Mati nanti. Padahal setiap seperentah-berapa detik nikmat Allah selalu tercurah. Masih durhaka saja. Jangan begitu 'ya. Tidak pantas. Kurang ajar. Perbaikilah adabmu kepada Allah yang Maha Baik, Maha Pengasih lagi Penyayang.


Tidakkah seharusnya berterima kasih telah dimulai beberapa paragraf awal dari Mengapa Mempelajari Hukum Adat? Meski rasanya seperti aneh, tapi tidak tahu harus bagaimana lagi selain itu 'kan? Itulah. Seandainya sepenuhnya terpulang padaku, aku lebih suka, seperti Raden Ajeng Kartini, merguru pada Kyai Sholeh Darat. Meski di jaman seperti ini semua terasa edan saja, akan tetapi, mengapa tidak mencoba membersihkan jiwa; sedangkan ia diciptakan dengan sempurna. Meski diilhamkan padanya taqwa dan fujur, toh manusia dimampukan memilih?

Apa? Cari uang saja? Tetangga meningkat rumah terlihat mewah? Tentu saja. Berapa banyak pilihanku? "Kita semua ini sekadar diperjalankan," begitu ngendikane Pakde Lentu. Seperti bola dipukul ke sana ke mari oleh pemain polo, tanpa bisa melawan, tanpa bisa meminta dipukul ke mana, apalagi sampai berhenti jangan dipukul lagi. Toh masih bisa memilih. Wirid yang biasa kembali dibiasakan dan perjuangkanlah shubuh, masih bisa dipilih. Semua sekadar pilihan, semua sekadar kebiasaan. Maka hati-hatilah, waspadalah dengan kebiasaan-kebiasaan.

Ingin rumah tingkat. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Dari dulu selalu hanya gardu belajar, jika ruang belajar terasa terlalu mewah. Tidak pantas seorang marhaenis belajar di ruang, tetapi jangan pula sampai tidak ada sama sekali. Maka gardulah setidaknya. Hanya ini bisanya. Mencangkul tidak sanggup. Memikul tidak kuasa. Hanya membaca dan menulis, seperti diinginkan sejak kanak-kanak. Apakah ingin sendiri, atau diinginkan, tidak penting lagi. Akung mendoakan, meng-gadang-gadang, menjadi pemikir. Apa ada gunanya? Demi Akung, demi Ibu, demi Bapak, Insya Allah ada!

Kasihan Para Pendiri Negara, dilupakan begitu saja oleh anak cucunya. Aku pun terkadang merasa bersalah kepada Pak AB Kusuma. Dulu aku tega berolok-olok mengenai hal itu, ketika jauh lebih muda dari sekarang. Aku sekarang tua, sudah banyak keterbatasan. Dapat kurasakan, yang tersisa hanya semangat. Semangat memang tak kunjung padam. Oleh itu, dengan tenaga yang tersisa, semangat harus diberi wujud, direalisasikan! Semangat tanpa wujud sekadar roh gentayangan. Naudzubillah! Jangan-jangan sudah terlalu banyak sehingga kini.

Penyebabnya, Amanat Penderitaan Rakyat tidak kunjung ditunaikan! Amanat Penderitaan Rakyat yang seharusnya menjadi azimat. Itulah semangatku. Sedangkan kakeknya saja belum berhasil dientaskan dari penderitaan, sudah terburu mati. Bapaknya pun begitu, belum mentas dari penderitaan sudah mati. Anaknya pun begitu, mungkin akan mati dalam penderitaan seperti bapak dan kakeknya. Ini cucunya keleleran di jalan. Daripada sekolah, ia lebih suka mengulurkan tangan di jalanan. Entah mengemis, entah berkecrek-kecrek. Rentan segala macam bahaya jalanan.

Inilah Amanat Penderitaan Rakyat! Hoi, para pemimpin, para penyelenggara negara, para penyelenggara pemerintahan, apa yang kalian kerjakan ke jurusan ini? Heladhalah, kalian malah sibuk sendiri-sendiri. Sibuk dengan bidang keahlian masing-masing. Lebih parah lagi, sibuk menggendutkan rekening masing-masing! Apakah ini jaman edan? Apakah aku sedang tidak ikut-ikutan ngedan? Bagaimana kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata aku juga ngedanNaudzubillah tsumma naudzubillah! ...meski aku takut juga kalau sama sekali tidak keduman...

Jangan-jangan aku sekadar haufs. Jangan-jangan aku hanya perlu minta fefofan. Nah, mustahil-lah sama sekali tidak keduman. Astaghfirullah! Rabighfirli warhamni watubalayya! Wahai Tuhan hamba, hamba bukanlah ahli surga, tapi hamba tidak kuat dalam neraka jahim. Maka karuniakanlah kepada hamba taubat dan ampunilah dosa hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar. Dan lazimkanlah apa yang lebih berharga dari langit dan bumi seisinya itu. Dan panjangkanlah wirid setelahnya. Dan songsonglah segera apa yang telah disediakan untukmu oleh Sang Maha Baik.

Saturday, April 22, 2017

Uneg-uneg Kemaluan Manusia Sehari-hari


1. Di Sabtu pagi yang berkabut tipis ini, aku ingin merenungi kemaluan manusia, sedangkan lubang-lubang telingaku disumbat dengan kejeniusan musik asal Tuban. Keriangan musik mereka memang seharusnya sesuai untuk suasana pagi, namun jelas tidak cocok untuk merenung. [Salah sendiri mengapa pagi-pagi sudah merenung] Betapatah tidak akan merenung, bubur ayam yang barusan kumakan ya as-Salaam asinnya. Edan! Aku sampai tidak sanggup menghabiskannya. Bagaimana kemarin-kemarin aku bisa habis satu mangkuk, bahkan dengan tambahan kerupuk?


2. Apa tadi? Oh ya, kemaluan. Aduh, keriangan ini sungguh mengganggu usaha kemaluanku untuk malu. Mungkin kuganti dulu dengan sesuatu yang sendu. Aha! Aku punya yang kubutuhkan! Bulik Sundari! Hahaha aduhai cucok betul! Meski terasa aneh, matahari pagi sudah tinggi begini masih kelon bergelut dengan Bulik Sundari, tapi memang ini yang pas untuk kemaluanku. Anjrit, suara senar-senar violoncello yang dibetot-betot ini memang bagaimanapun sensual, apalagi jika ditingkahi dengan riangnya lonjak-melonjak cak dan cuk; benar-benar meremangkan bulu roma.

3. Segelas besar teh hijau pahit bersanding denganku kini, setelah sebelumnya teh melati manis segelas besar juga. Bisa jadi tak lama lagi akan ada secangkir cappuccino. Memang agak brutal, namun bagaimana lagi jika engkau harus mencurahkan uneg-uneg kemaluanmu? Tidak banyak pilihan. Usaha sudah ditempuh, dayung telah berkayuh. Daripada sudah gila mendoktrin diri sendiri dengan musik-musikan a la ngak ngik ngek gila-gilaan, malam tadi aku berusaha Menyingkap Rahasia Qolbu; dan tahukah kau apa yang kupilih? Budi Pekerti yang Baik!

4. Jih! [a la Hamid Arif] Budi Pekerti yang Baik, sedangkan bayangan anak perempuan kecil bunting tidak kunjung hilang dari uthek lethek-mu? Bagaimana anak perempuan kecil bisa bunting? Ya, pasti gara-gara kemaluan! Itulah akibatnya jika kemaluan memancarkan uneg-uneg-nya! Ini bagaimana juga Tanah Kerinduan terdengar seperti Aku 'kan Berjalan Seorang Diri? Kalau ini bisa jadi tidak ada kaitannya dengan kemaluan. Ini mungkin lebih berhubungan badan dengan kreativitas musikal. [Amboi, aku iri pada Prof. Djojodigoeno yang sanggup menemukan padanan dalam bahasa ibunya]

5. Itu karena... aku tidak punya kemaluan. [mengguguk. Hahaha sudah lama tidak kugunakan kata ini] Aku punyanya... rayap. [tertawa terbahak-bahak, yang padahal dapat menyebabkan matinya hati, sambil berusaha menyingkap perut yang sudah ndlewet agar tampak itu "rayap"] Ini lebih tepat! Daripada kemalu-maluan, lebih baik kehati-hatian, meski jika dikatakan begini terdengar seperti disertasinya Dr. Andri G. Wibisana, yang karenanya bisa tersulut itu smaradahana. Ahaha si Tolol! [Gara-gara itu 'kan kau menyapa anak perempuan kecil bunting?!]

6. "Fitnah! Sekali lagi, fitnah! Di mana-mana fitnah! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan!" Demikian kata Jenderal A.H. Nasution yang pada waktu itu belum Besar, sedangkan meski hanya Kolonel Abdulkadir selalu Besar. Mungkin itu cucunya yang berkuliah di FHUI, Amanda Besar namanya. Meski perlu disesali, dikasihani, atau ditertawa-terbahak-bahakkan sekali mengapa ia harus membuat Pusstukrasi entah apa-apa, ini tidak ayal membuatku teringat pada Firman M. Dharma alias Mang Imas. [Hahaha bahkan ngomyang begini bisa jadi satu paragraf]

7. "Sudah. Sudah cukup 'kelahinya. Nanti Bercanda." Demikian kata Jenderal Kancil yang kemaluannya kecil. Aha! Ini ada hubungannya dengan Ratu Malu! Ini ada kaitannya dengan artis cilik. Ah, biarlah kemaluanku menyemburkan uneg-unegnya di sini, saat ini juga! Untunglah tepat pada saat ini juga Bulik Sundari mengangkangkan guagarbanya sehingga tersembur darinya sapu tangan yang harum baunya. Aduhai sungguh mendayu-dayu baunya membelai sanubari, menenangkan kemaluanku dari ketegangannya, sehingga berdenyut-denyut mengisut.

8. [Ini baru edan, mengapa dinomori setiap paragrafnya seperti Garis-garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahap Pertama, yang terdiri dari 17 jilid 8 buku 1945 paragraf?] Boa Edan! Jika bukan karena Dewi Murni, sudah berceceran belepetan ke mana-mana ini uneg-uneg kemaluan! Ini bahkan Dewi Murni-nya Bulik Sundari sekali! Aduhai mana tahan! Dalam hidupku yang menyedihkan ini, apa lagi yang dapat kulakukan selain mencecer-cecer uneg-uneg kemaluan di sembarang tempat, aku Sang Pelukis Aliran Eksibisionis? Tahi macan gondrong-gondrong!

Tahi Kambing Bulat-bulat! Bukan Buatan Bulatnya!

Thursday, April 20, 2017

Malam Jumat, Sudah Tua, Masa Berolok-olok?


Ada masa-masanya, Kemacangondrongan ini seperti buku harian benar, yang ditulis adalah apa yang sebenarnya terjadi dalam sepanjang hari itu. Kemudian, mungkin aku bosan atau entah mengapa. Tulisannya pun menjadi entah-entah. Sudah lama juga, selain tidak menulis buku harian, aku tidak menulis selarut ini. Apakah ini berarti malam ini aku menulis buku harian? Bisa jadi. Mengapa tidak? Ah, tapi mungkin kuurungkan saja. Hari ini aku sedang tidak ingin eksibisionis, atau memang ada yang ingin kututupi?


Demikianlah sudah berhari-hari ini aku memulai hari dengan nasi kuning menu agak lengkap, bahkan dengan telurnya sekali. Sudah agak beberapa bulan ini padahal aku membatasi makan telur. Beberapa hari terakhir ini sepertinya kendur. Setelah makan aku pergi ke bengkel untuk memeriksakan Parioh. Dengan kemalu-maluan kukatakan kepada montirnya tadi, "Pak, yang penting-penting saja. Anggaran sedang cekak, maklum tanggal tua." Pak Montir sudah mencurigai CVT, atau bahkan belt. Alhamdulillah, ternyata cuma kena Rp. 150,000.

Lantas, aku berbicara, di satu alinea ini saja, tentang kelemahan manusia. [bilakah digunakan "tentang," bilakah "mengenai"?] Ternyata memang lebih mudah mendokumentasikan apa yang kukerjakan sepanjang hari daripada bicara mengenai kelemahan manusia. Lantas apa hubungannya dengan musim dingin dan apartemen Kak Yolan dan Makcik Yufitriana dan Teh Ita yang jauh dan kuno itu? Entah. Begitu saja melintas dalam ingatanku; mungkin karena malam ini aduhai panasnya sedangkan rambutku gondrong.

Sempat terasa tidak nyaman, sempat berbaring di siang hari yang panas sambil berobat hidung. Setelah agak enakan maka shalat Dhuhur dan mencongklang Parioh. Di tengah jalan, sudah hampir sampai tempat bude pakai lupa, tadi pagi sudah minum Canderin belum ya. Sempat putar balik arah, lalu menghitung dengan jari-jari tangan kiri, lalu yakin sendiri, berbalik arah lagi menuju kampus. Hari ini aku ke kampus hanya demi Dwaskoro Syahbanu, meski sempat juga mengurus HAN Blok dengan Once dan SP dengan Sofyan.

Staatsrecht belum beranjak banyak, perut terasa lapar, namun tanggung sebentar lagi Ashar. Sambil menunggu, ngobrol dengan Mas Jo. Selesai shalat langsung beranjak, meski sempat bingung, ke tempatnya Sitok buka kios Bakso Rudal baru di Barel. Semangkuk mie ayam baso tanpa minum, disambung pepaya, total Rp. 15,000. Bergegas kembali ke kampus karena hujan sudah turun. Mencoba menambah Staatsrecht dapat agak satu alinea. Pak Jon sedang mengajari Pak Mono menggunakan MS Excel.

Pamit sama Mbak Itch dan Savit, aku pulang mencongklang Parioh lewat jalan belakang. Sampai rumah langsung mendoktrin diri dengan Tubapi sampai shalat Maghrib. Selesai shalat bergolek-golek sambil terus mendoktrin diri sampai terasa lapar, akhirnya makan nasi kuning yang sedianya kubelikan untuk Cantik. Siap itu, mencongklang Parioh lagi membelikan ketoprak dan Teh Botol 350 ml untuk Cantik. Aku sendiri Liang Teh. Entah mengapa petang ini Indomaret ramai betul sampai agak mengantri.

Sambil Cantik makan, aku ungkep-ungkep di depan pintu belakang mainan medsos. Cantik makan sambil nonton dan mainan medsos. Di situlah aku ragu, apa benar yang ingin kubuat di sisa waktu sebelum tidur malam ini. Entah bagaimana, begitu saja aku menyeduh teh hijau dan mengunyah beberapa butir Cha Cha kacang sambil membaca-baca entri lama. Malam sudah cukup larut ketika aku memutuskan untuk menulis entri ini. Takut tidak bisa tidur, teh hijau yang keras masih agak setengah gelas kubuang di wasbak.

Sudah. Sekarang aku sedang menyelesaikan entri ini. Dehaman saksofon Fausto Papetti menyumpal telingaku. Setengah gelas air hangat di sampingku, dan waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat malam. Illahi Rabbi panas sekali udara malam ini. Mungkin setelah mengunggah entri ini aku akan keluar mendinginkan badan. Seperti biasa, mungkin akan kubawa serta HPku. Mungkin akan kuminum dulu setengah gelas air hangat ini. Ternyata memang mendokumentasikan kegiatan sepanjang hari jauh lebih mudah, meski membosankan.

Seperti halnya hidupku. Membosankan

Monday, April 17, 2017

Secangkir Torabika Cappuccino Bukan Kopi Goya


Padahal sudah habis. Padahal sudah digantikan oleh secangkir air panas namun bisa diminum, tetapi ia bersikeras minta dipanggil kapekaino. [Padahal aku yang berkeras memanggilnya begitu] Padahal ini sudah lampau duapuluh empat jam dari "padahal" yang pertama. Berhubung ini sudah tiga kali plus satu padahal, maka dengan ini saya menghentikannya. Sudah cukup semua kegilaan ini, sedangkan Ahok keren tapi oke oce, kata Adjie. Biarlah jika demikian kulantangkan, "Ave Maria!" bukan ave-ave lainnya, sedangkan neo-nazi pun tidak harus selalu heil hitler lagi.


Lantas mengapa pula kau memulai hari dengan ini? Mengapa tidak kausyukuri nikmat sehat yang sedang kaurasakan sekarang? Orang bilang bersyukur itu tidak cukup hanya di mulut saja, cinta itu bukan hanya di bibir saja, [Uah, bahasa Melayu memang seperti bahasa Spanyol. Lebay!] tetapi, melainkan, harus dibuktikan dengan perbuatan. Tentu bukan perbuatan tidak segera beranjak shalat ketika adzan telah berkumandang. Habis bagaimana? Baju menyerap keringat seperti habis diguyur, gara-gara bawa motor hampir tengah hari. [untung kemarin tidak kupaksakan bermotor ke Salemba]

Bahkan setelah kapekaino sekarang aku seperti ingin secangkir luwak witte koffie yang less sugar dan low acid. Apa-apa'an ini?! Tidak ada kebahagiaan sejati kecuali selalu shalat di awal waktu, bahkan menunggu-nunggu berkumandangnya adzan ketika terasa sudah mendekati waktu. Itulah kebahagiaan di dunia. Musik manis ini juga kebahagiaan sih, seperti ketika mendengarkan Francis Gayo. Ada hubungan apa dengan Iwan Gayo? Dua-duanya membangkitkan kenangan manis akan lantai ubin merah tua dan kuning, kering namun sejuk dingin, di teriknya siang yang menyengat.

Inilah kisah cinta. Dunia memang membutuhkan lebih banyak cinta. Bukan cinta yang menjompak-jompak, melainkan yang lembut mengalun-alun, seperti naik turunnya gelombang air telaga ditiup angin sepoi menyegarkan, di siang hari yang panas. Sedangkan seorang anak perempuan cantik yang sayang pada bapaknya bermain ayunan. Didorong agak keras oleh bapaknya, seakan seperti melayang di atas telaga. Tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa-apa. Fase itu tentu harus dilewati oleh siapapun, namun kurasa aku tidak akan pernah tahu.

Pergilah, pergi dengan Tuhan, Sayangku. Anakku bukan satu, bukan dua, melainkan seribu. Laki-laki semua, saleh dan perkasa. Dengan pedang di tangan menyerbu memulihkan harga diri Ibu Pertiwi. Seperti itulah mereka memapas leher para durjana, para durangkara, membuang kepala-kepala nista; sedangkan bibir-bibir mereka selalu basah dengan kalimat-kalimat suci. Seperti itulah anak-anakku lelaki. Anak-anak perempuanku, mereka shalihah. Apapun yang mereka kerjakan, tidak sekejap pun lalai memohon petunjuk, lindungan, pertolongan dan ampunan Sang Maha Perkasa.

Hidup macam apa yang tengah kujalani kini? Apapun ini Insya Allah kujalani. Apapun yang terasa tidak enak adalah akibat amal-amal burukku sendiri. Semua yang terasa enak semata-mata adalah belas-kasihNya. Semoga Tuhan mengajariku untuk bersyukur kepadaNya, atas segala nikmat yang kuterima, besar dan kecil, satu pun tak terlewatkan. Semua kusyukuri, karena Ia mengajariku caranya. Apalah aku pendosa. Tidak pantas aku meminta apapun kecuali maaf dan ampun, itu saja! Tuhan Maha Baik, Maha Belas Kasih, Pencipta belas kasihan itu sendiri.

Aduhai, amboi sungguh nyaman terasa dibelai-belai jiwaku, meski tubuhku penat dan linu. Ia-lah Maha Indah, Pencipta keindahan itu sendiri. Ia pun Maha Perkasa, segala sesuatu tunduk takluk mengiba beringsut di KakiNya. Ia Maha Mengayomi, segala sesuatu bergantung padaNya. Ia Maha Kaya, segala sesuatu berhajat kebutuhan padaNya. Kesejahteraan dan keselamatan semoga senantiasa tercurah pada junjunganku Baginda Nabi Besar Muhammad beserta seluruh ahlul bayt beliau, para sahabat, para pengikut beliau seluruhnya sampai ke akhir jaman!

Aduhai nyaman, amboi, aduhai sedap nian! Hanya Engkau Maha Mengetahui betapa hamba rindu pada kekasihMu. Ya Rabb, pertemukanlah aku dengan yang kurindukan. Aku yakin beliau pasti mencintaiku, menyayangiku yang fakir hina-dina di dunia ini. Ya Allah, ajari aku membalas cintanya. Tuntunlah aku ke sana. Apa lagi yang menarik dari dunia ini, tidak ada! Jika pun ada, aku ingin menghadapnya bersama dengan mereka yang kusayangi ketika di dunia ini. Pertemukanlah hamba dengan kekasihMu, Sang Musthafa, Ya Rabb al-'alamin.

Saturday, April 08, 2017

Oh, Ternyata Seteguk Indocafe Cappuccino


Oh, ternyata masih ada Indocafe Cappuccino meski seteguk. Hampir saja aku bangkit mengambil air panas untuk kuisikan dalam cangkir 75 tahun Nescafe-ku. Ternyata masih ada seteguk cairan penyebab perih perut ini. Bukan hanya perut yang dibuatnya perih, melainkan hatiku sekali. Kental-kentalnya bunyi ketika kuaduk dalam cangkir berdinding tebal membawa ingatanku pada tepian Ciliwung, perkampungan tempat tinggal orang susah. Orang-orang yang dilupakan oleh anggota-anggota yang terhormat kelas menengah keparat sepertiku. Ketika itu, aku belum. Kini pun, dalam hatiku, aku masih belum.


'Duhai mengapa begini terikat aku pada kalian, atau pada khayalanku mengenai kalian, atau pada romantisme yang kuciptakan sendiri mengenainya? Tidak saja hati, perasaan dan segenap pikiranku, tetapi syahwat birahiku sekali terikat pada kalian, 'duhai, orang-orang susah. Tidak perlu yang di pedalaman sekali. Mungkin karena aku malas pergi-pergi, namun cukup yang di relung-relung metropolitan ini, yang teknologi tinggi ini. Kalian ada di mana-mana, kalian yang selalu membuatku bergejolak, bergairah, sedangkan aku yang memutuskan untuk mati di gurun bersama macan!

Amboi! Ketololan ini bahkan kubawa sehingga kini! Aduhai, kapan kau akan melepas cengkeramanmu pada kejantananku, sedangkan aku tidak jantan lagi?! Lepaskan, biarkan aku pergi menentukan nasibku sendiri! Bau aroma tubuhmu yang menguar tak sedap terasa bagaikan tantangan, bagaikan himbauan bagiku, untuk meradang menerjang! Peluhmu, kilap-kilap berminyak tubuhmu serasa panggilan, serasa ajakan untuk mencerucupmu, memuaskan dahaga syahwatku. Allah Dewa Batara! Bahkan lenganku kini memeluk erat-erat, rapat-rapat enggan melepaskanmu. Persetan dengan nasibku!

Mungkin, ini baru kemungkinan, aku akan berakhir di sebuah kamar kos-kosan, seperti aku bermula. Tidak, mulaku bukan di sebuah barak atau di geladak apalagi anjungan kapal. Aku selalu saja kamar kos-kosan, bisa temaram, bisa lumayan terang, yang pasti dengan alat tulis entah mesin tik entah komputer. Seperti suatu siang yang panas begitu saja aku ke belakang, ke Rina Rini, [ke mana dia sekarang?] memesan kantong untuk Fujitsu pertamaku. Demikian pula entah suatu pagi atau sudah agak siang aku kembali ke Rina Rini untuk menebus kantong itu. Begitu saja.

Seperti saat aku sok-sokan mencari data di DaviNet lantas menulis-nulis email entah-entah yang bahkan kusimpan rancangannya dalam cakram-kilatku. Bahkan ketika aku sudah makan di Mang Kabayan pun, [seingatku] bahkan ketika aku belum mandi pun, kukonsep ia dalam kepalaku, ketololan itu selalu saja mengulang-ulang dirinya. Berulang dan berulang, seperti lagu lama yang sedap ini. Apakah ini semua terasa sedap sekadar karena kemudaanku saat itu? Akankah terasa sama sedapnya setelah aku setua ini, dibuat bergantung pada candesartan xylecetil 16 mg tiap pagi?

Suatu prospek yang mengerikan, sedang Egom meregang nyawa ketika sedang mengendarai motor. Mendiang pasti sama miskinnya denganku sekarang. Illahi Rabbi... hamba tidak tahu lagi. Setelah ini mungkin tidak ada yang lebih baik kecuali menghabiskan waktu untuk hal-hal yang berguna saja. Tidak meracau mengigau begini. [tapi masih dua paragraf lagi...] Tidak ada lagi memang yang kuharapkan. Benar-benar kuinginkan, tidak ada. Bahkan tidak ada kecuali di sini. Bahkan sekelebatan mie goreng dan fuyunghai sekadar kenangan manis yang pahit untuk diingat-ingat.

Aku tidak suka gagasan bunuh diri. Itu menunjukkan kelemahan. Lebih baik membunuh daripada bunuh diri, dan aku tidak mau membunuh. Entah aku suka atau tidak membunuh, yang jelas baru menyilet seekor cicak menjadi dua pada perutnya saja aku sudah muntah-muntah. Berarti yang lebih besar dari itu sudah tentu aku tidak sanggup. Aku suka gagasan memohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Allah. Hanya itu yang terpikir olehku. Jika ini suatu hukuman, biarlah kucoba menjalani sesabar dan setabah yang aku sanggup, karena mungkin hanya ini yang aku bisa. Lainnya aku tidak bisa.

Seteguk Indocafe Cappuccino itu sudah tiada, digantikan oleh air yang suam-suam kuku saja, ditingkahi oleh dentingan sedih senar gitar Francis Goya, yang akan segera disusul oleh dentingan piano Richard Clayderman. Ya Allah, sibukkanlah hamba dengan meminta ampun kepadaMu. Apa lagi yang dapat hamba pinta? Ada! Ya Allah, hamba mohon jadikanlah hamba pandai mengingatMu, pandai bersyukur padaMu, dan menjadi hambamu yang lebih baik dan lebih baik lagi. Ini dia! Pak Bakti's Introductory Course to the Principles of Indonesia Adat Law? Amin. Asas-asas Hukum Perikanan Indonesia? Amin.