Thursday, October 29, 2015

Malam Ketika Musang Menangis [Lagi?!]


Tepat ketika Tante Connie mengucap selamat tinggal kepada Barcelona, hujan turun dengan derasnya di telingaku. Tiba-tiba terdengar kembali suara menyayat hati itu, tangisan musang. Kenapa kau menangis, Kawan? Apakah kau lapar? Tidak ada lagikah yang dapat dimakan? Maafkan aku telah memetik pepaya matang, yang mungkin seharusnya menjadi makananmu. Toh, aku tidak memakannya juga. Guruh di kejauhan sekali-sekali terdengar, dan Cinta adalah Sesuatu yang Sangat Agung. Bahkan jari-jari pecinta ulung takkan mampu menandingi cantiknya bekas cakar-cakar musang pada buah pepaya matang.


Jari-jari yang membelai tentu akan terasa seperti Taman Surga, jika bukan surganya itu sekali. Jari-jari cinta saling menyentuh menelusuri lekuk liku tubuh, terkadang terbelit rambut-rambut di sana-sini. Jari-jari maut merenggut jiwa siapapun, baik yang hatinya dipenuhi cinta sepanjang hidup maupun yang tidak pernah merasakan cinta. Burung kedasih sudah mulai memperdengarkan nyanyiannya yang memilukan. Mungkin sebentar lagi memang benar-benar akan masuk musim penghujan. Hujan yang mengilhamkan cinta pada sepasang kedasih, membawa barokah pada telur-telur mereka yang kelak menetas.

Sejuknya udara terasa di hati mengilhamkan kesejukan pula pada sekujur tubuh di setiap pori. Seakan bibir kekasih menyapu lembut tengkuk sampai menggelinjang dihembus-hembus hangatnya cinta, begitulah hati yang sejuk. Suasana hati apakah ini yang sedang kurasakan, yang sangat jarang ini? Rasanya hampir seperti jatuh cinta, yang jatuhnya bertubi-tubi seperti butir-butir hujan deras menghantam genting tua berlumut. Irama yang dihasilkannya membuat jantungku berdetak nyaman, tidak berdentam-dentam. Waktu seakan paham dan berhenti, menghapus masa lalu, terlebih masa depan.

Kudekapkan kedua telapak tanganku pada dada kiriku, sedangkan kepalaku sedikit tengadah. Mataku terpejam membiarkan air hujan mengalir deras melalui kelopak-kelopaknya, alis dan bulu matanya. Dahiku bagaikan air terjun yang bersolek dengan pelangi kembar, bahkan tiga, bahkan lebih dari itu. Kepalaku yang botak ini seakan ditumbuhi lebat-lebatnya hutan hujan tropis lengkap dengan para penghuni kanopinya yang riuh rendah, namun damai. Aku tidak takut sendirian di sini. Aku tidak butuh dokter, klinik rawat jalan, apalagi rumah sakit dengan unit gawat daruratnya.

Aku biar di sini saja. Dunia ini memang tempatnya sakit dan kesakitan. Namun jika begini sekelilingku dan suasana hatiku, biar saja. Akan kuikuti ke mana saja, karena dalam hatiku aku tahu, suatu hari nanti entah di mana di sepanjang jalan ini, akan kutemui cinta sejatiku, benar-benar milikku sendiri. Suatu hari nanti kelak di kemudian hari, ketika waktu sudah berjalan kembali. Tidak ada tempat yang terlalu jauh, tidak ada lautan yang terlalu luas, ke manapun ia pergi akan kuikuti. Timpani bergemuruh menandai akan tercapainya klimaks di antara kami semua... Aaahhh!

Cinta. Cinta. Cinta... adalah khayalanku mengenai hidupan liar. Cinta adalah seekor kadal dan bunyi-bunyian binatang malam. Cinta ada di mana-mana di persekitaran. Cinta adalah debu yang ikut terhirup melalui hidung, terperangkap rambut-rambut dan lapisan lendir, menjadi upil. Cinta adalah rasa yang kaudapatkan saat otot-otot bola matamu rileks, dahimu datar tanpa kerutan, dan jarimu sibuk mengorek-ngorek lubang hidungmu. Memilin-milin seberapapun yang kau dapatkan, mencium lagi baunya sampai berkali-kali, terkadang malah mencicipi asin getirnya, itulah cinta. Siapa lagi yang kauharapkan sanggup memberikannya kecuali dirimu sendiri?

Jangan kau rusak cinta dengan apapun. Kita ada karena cinta, kita tiada karena cinta. Dengarkanlah bisikan daun-daun randu alas yang sedang memadu kasih dengan burung hantu. Dengarkanlah bisik-bisik duri-duri pada batangnya, membumbungkan puji-pujian bagi cinta. Lalu hembusan angin dan desahannya yang aku, kau dan kita semua tahu. Desaunya di atas rawa gambut yang penuh dengan cahaya-cahaya berpendar mengambang di udara, membuat Tante Connie meratap-ratap minta tolong, sedangkan tangisan musang kembali terdengar.

Wednesday, October 28, 2015

Bass Bukan Baso yang Bisa Menjeletot


Ini adalah suatu kutika aku bebenah pavilyun di malam hari. Pavilyun pada waktu itu terasa lapang sekali, dan aku masih lebih muda dari ini. Ditambah ayunan orkestrasi Billy Vaughn yang mendayu-dayu memainkan Time Was, aku seperti jauh lebih muda lagi. Bisa jadi aku seorang komunis yang pandai memainkan saksofon, atau saksofonis yang pandai menjelaskan apa itu komunisme—tidak banyak bedanya. Ini bisa juga siang hari di atas ubin kuning kuno yang sejuk, dengan sedikit debu.


Kiniku adalah mug suvenir Dies Natalis ke-91 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang berarti juga Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, yang bertemakan “Refleksi Sejarah untuk Hukum Indonesia yang Berkeadilan.” [Asaptaga siapa pula yang terpikir tema seperti ini?] Tetap saja, di sebaliknya adalah lambang Universitas Indonesia dengan veritas probitasnya yang terkutuk! Aku dapat minum kopi jahe dengannya tanpa merasa bersalah, tanpa merasa seperti pencuri, karena aku sudah tanda-tangan—meski aku juga menyanding setengah liter air panas dalam gelas plastik Teh Poci, milikku sendiri.

Itulah sebabnya aku lebih suka menjadi seekor burung layang-layang ketimbang elang rajawali, terutama sejak ia dijadikan lambang Metrotivi—aduhai alangkah bodoh tampaknya, meski Bang One juga tidak lebih keren. Aku seekor burung layang-layang mungil. Leherku hanya selingkaran cincin kawin. Aku tidak peduli orang ramai berkarnaval seantero Brazil di bawahku, meski zabumba berdentam-dentam dan pinggul-pinggul telanjang berayun bergoyang-goyang. Aku hanya tahu, sebelum matahari terbenam aku harus sudah di sarangku. Biar terayun terkantuk-kantuk kepala mungilku sedangkan Bintang Kecil tersenyum padaku di kejauhan.

Air panas telah kutuang ke dalam mug. Kutaksir volumenya sekitar 400 ml. Adapun tujuannya adalah untuk membasuh bekas-bekas kopi jahe, tidak saja dalam mug tetapi juga di sekujur saluran cernaku. Inilah yang menyadarkanku betapa aku bukan seekor burung layang-layang mungil. Aku bapak-bapak gendut yang sakit-sakitan. Aku bahkan bukan perwira angkatan laut negara manapun yang melantai bersama perempuan Yahudi yang aduhai sungguh menawan. Aku bahkan tidak pantas menjadi apapun, sedangkan Istriku saja menolak menyebutku cerpenis apalagi sastrawan.

Terkadang ingin sekali aku bertanya pada Opa Ibrahim Ferrer, mengapa ia murtad—meski ia tidak mungkin lebih murtad dari Rahim Sterling. Mengapa engkau malah memeluk Santeria, Opa? Apa kau takut voodoo? Apa kau takut sihir-sihir hitam dari tanah asalmu, yang diilhami oleh jin-jin kafir itu? Hanya yang kutahu, Opa, tidak mungkin kuhidup berpisah dari Si Penjaja Kacang Tanah. Bersamanya aku merasa selalu berada di Alam Musim Panas, di mana kami selalu memadu kasih, di mana tiada kekuatiran, tiada harapan. Hidup hanya untuk saat itu, dan selalu saat itu setiap waktu.

Tidakkah memang sudah begitu hidupmu, tukas Opa Ibrahim. Tidakkah Berlayar di Sepanjang Bulan Keperakan bagimu hanya dapat dilakukan sambil memancangkan pantat di kursi sedangkan jarimu mengetuk-ngetuk papan kunci? Tidakkah sudah lama sekali bahkan kau tidak membaca lagi? Aloha Oe, mengapa memberondongku dengan pertanyaan begitu, Opa? [Mengapa pula ini Opa Billy dengan ensembel saksofon yang meletot-meletot begini?] Kalian Opa-opa seperti memojokkanku! "...karena kami sudah mencapai apa yang harus kami capai, yaitu mencekam benakmu!"

Jika sudah begini, aku tidak tahu lagi apakah lebih baik cengeng seperti Fawaz ketika masih berusia sembilan tahun, atau memendam melankoli sementara muka selalu dipasang sok eager bahkan setelah setua ini? Kupalingkan wajahku hanya untuk tertumbuk pada Opa Bram Titaley yang sedang mengharu-biru Hawaii. Senyumnya seakan mengejekku yang baru-baru ini saja menyadari bahwa paloma itu merpati sedangkan matahari itu sol. Opa-opa hebat ini, akankah aku menjadi seperti mereka? Akankah aku kelak menyaksikan betapa aku mencekam benak lelaki culun umur empat puluhan?

Tuesday, October 27, 2015

"Aku Punya Sebuah Pertanyaan..."


Mendengarkan kaset itu kedua-dua sisinya. Ini mendengarkan dua kaset masing-masing hanya di satu sisi, yaitu Side A. Bagaimana pula?! Kaset-kaset memang sudah lama tiada, begitu juga pemutarnya. Hanya lagu-lagunya abadi terngiang terus dalam ingatan. Tidak seharusnya aku begini, terbawa suasana. Seharusnya suasanalah yang terbawa olehku. Namun tidak malam ini. Tarian Terakhir ini, dengan senandung gitar bajanya, seakan menggamitku, pada lenganku. Ia menempelkan kepalanya, memandang padaku dengan tatapan gemas seakan haus akan cintaku.

Cinta? Sedangkan burungku masup mendelep jika perutku kembung. Tinggal Tarian Terakhir ini saja, dan kenangan yang dibawanya, yang masih tersisa. Kenangan akan seekor tikus got yang meski kepalanya membotak namun masih membuncah dengan tenaga muda. Tikus got yang merayap-rayap di sepanjang gang tak berselokan, ketika Matahari Terbenam Karibia mengalun di telinganya. Ia terus saja melahap butir-butir nasi yang menghujan dari wajan penggoreng nasi di atasnya, tidak peduli pada derap-derap kaki di sekelilingnya.


Atau seorang lelaki gemuk di pertengahan umur duapuluhan, berjaket kulit potong-potongan kulit domba Garut. Sama dengan Tikus Got, ia pun tengah menikmati matahari terbenam—meski terbenamnya sudah agak enam jam yang lalu—bersama Atiek CB. Inderanya terpusat pada bintil-bintil lidah dan dinding kerongkongan yang dibiarkan telentang, telanjang dialiri derasnya bir hitam kesukaannya. Bahkan ketelanjangan Atiek CB tidak dipedulikannya. Hanya bir hitam khas Irlandia dan rokok kretek Kudus yang diijinkannya menyita terpusatnya indera.

“Aku Punya Sebuah Pertanyaan.” Kini ia telanjang dada, memamerkan kulit yang kemerah-merahan dibakar anggur putih, yang dibelinya empat atau enam botol sekaligus. Bukan keringat, bukan peluh yang mengucur deras dari benaknya, melainkan air mani kental yang amis baunya. Air mani pemuda tanggung yang dipeper-peperkan di tembok rumah kosong, yang berdebu tebal, yang membuat gatal. Bahkan nanah, tidak berhenti mengalir dari paruh burung yang sudah berubah menjadi raja singa. “Untuk apa itu semua?”

Untuk seorang pelacur kribo bergigi tonggos! Kribo bulu keteknya! Uah, aku jadi merasa seperti Jane dalam dekapan Tarzan, tapi kali ini dia Tarzannya. Ia seperti memukul-mukul dadanya sambil melolong-lolong, padahal itu aku yang menyentil-nyentilnya. Ya, dia melolong. Astaga, apa yang kulakukan di sini? Aku hanya tersesat dalam cinta, yang dulu kukira ramah dan bersahabat. Ternyata cinta adalah lampu temaram dan seprai yang entah kumal entah baru dicuci. Memang bau sabun colek dia.

Lalu kami melakukannya, Tarian Terlarang itu. Tarzan ternyata adalah seorang gadis kecil yang sekilas seperti cantik namun bila diamati sejatinya seperti Smeagol. Aku adalah Jane, dan Jane hanya ingin pulang ke Kampungnya, di mana bohlam temaram terlihat di kejauhan seperti pelita sedangkan persekitarannya gelap belaka. Sedangkan sekitarnya rumpun bambu yang basah oleh hujan sepanjang hari, dan jalan tanah ini becek dan licin seperti... [Pada titik ini Jane meraung seperti gorila tersentuh peniti]

Pulang. Itulah yang paling benar. Hentikanlah pengembaraanmu. Berbaliklah, dan susuri jalanmu sampai di sini. Mana tahu akan kautemukan jalan pulang, yaitu ketika kanan kirimu mulai berumput. Rumput yang benar-benar hijau dan tercukur rapi, sungguh mengundang selera. Nyaman bagi mata, nyaman bagi hidung karena bau ozon. Pada saat itulah kau akan berada Tinggi di Angkasa. Kau akan merasa seperti mengepak-ngepakkan sayap padahal sejatinya kau melayang, ya, sekadar mengapung. Saat itulah, kau di rumah.

Monday, October 26, 2015

Malam Ketika Musang Menangis


Dengan apa aku harus membuka entri ini? Apa itu entri? Sayangkah aku pada Istriku? Satu hal yang kutahu cukup pasti, jika terhidang di hadapanku Prof. Jimly Asshiddiqie—yang namanya aku tidak pernah tahu pasti bagaimana menulisnya—dan Seno Gumira Ajidarma, aku akan segera melahap dan menelan yang terakhir, seperti Musa cilik melahap bara api. Apa jika begini? Tidakkah ini terbaca seperti sebuah cerpen? Tidakkah ini terbaca seperti kisah hidup Sukab?

...tadinya mau gambar Rahayu Effendi, tapi tidak ada yang bagus.
Belum lagi Prof. Yusril Ihza Mahendra. Mereka berdua ini orang-orang yang... mengerikan. Prof. Satya Arinanto, lalu RM Ananda B Kusuma tidak mengerikan, tapi yang dua pertama itu mengerikan. Aku yang menggemari Sukab ini lantas saja lebih condong ke kiri timbang ke kanan. Mau ke mana lagi? Tidak bisa lain, aku harus segera pura-pura tertarik pada Māori jika aku benar-benar sayang pada Istriku. Bukan karena aku ingin mengerikan. Bukan karena itu.

Semata-mata, aku hanya harus melanjutkan hidupku. Aku harus mencapai hal-hal tertentu jika menempuhi jalan ini. Masalah nanti menyematkannya di depan namaku atau tidak seperti Seno Gumira, itu masalah nanti. Aku tidak malu untuk mengakui bahwa aku mengagumi beliau; meski terkadang aku tidak yakin, adakah Seno Gumira atau Sukab yang kukagumi. Jih, anak De Britto gondrong ini. Aku tidak iri padamu. Aku benar-benar kagum, Pak, meski Istriku kini yang mengikuti kuliah-kuliahmu.

Engkau tidak sehebat John Lennon sehingga harus kutembak, sedang John Lennon pun tidak hebat. Aku pun tidak pengecut seperti Mark Chapman, sehingga jika kau kutembak pasti dari depan. Tidaklah, Pak Seno. Kau hebat. Aku pecundang. Bagaimana caranya agar sehebat engkau? Jangankan sehebat engkau, bagaimana caranya menyaingi Fidel saja aku tidak tahu. Apalagi Pak Harto. Apa yang dapat dihasilkan dari rumah di Kramat Batu itu, sedangkan perutku terus saja kembung begini?

Malam terus merayap mendekati tengah-tengahnya. Tidak mungkin lagi aku memikirkan Māori dengan cukup produktif. Namun mungkin aku masih punya sedikit tenaga untuk mengurainya, membaca di antara baris-barisnya. Siapa tahu ada noda Bayclin jika jeruk terlalu arusutama. Biarlah, siapa tahu aku bisa jadi Dr. Soumokil atau Dr. Azahari yang berhasil, sedangkan besar kemungkinannya Dr. Azhari berada di pihak kami. Jika sampai waktunya, biarlah aku bersantai di Laguna Mengantuk, atau Pantai Mengantuk.

Sementara itu, biarlah aku dikira meniru Mas Toni. Biarlah orang mengira entri-entri ini ada artinya. Biarlah orang menyangka entri ini racauan orang gila sampai mereka berhenti membaca. Aku biar saja, masalah aku sendiri mengerti atau tidak. Demi tujuh ratus ribu Rupiah aku akan duduk beberapa jam di dekat orang-orang mengerikan, mengucap sepatah dua kata dan menyeringai seperti orang tolol. Permainan yang semakin sulit dimainkan, dan aku mengelak tugas membaca doa.

Sampailah kita pada akhir perjumpaan kita malam ini, Sahabat. Biarlah feri ini merapat, membenturkan dampranya pada tepi dermaga. Biarlah kaki-kaki kita berlompatan ke darat meski goyah. Inilah rumah kita, dan tidak ada kurasa orang di dunia ini yang lebih menyukai rumah daripada aku. Maka Cintailah Aku! Siapa mau mencintai aku? Ada? Tidak? Baiklah. Kumasukkan saja kedua tangan ke dalam saku celana, berjalan menjauh. Kalau tidak ada yang cinta, mau bagaimana?

Kerang Saus Padang
Kerang Goreng Tepung
Nasi Uduk
Jeruk Panas

Sunday, October 04, 2015

Aku Tidak Suka Tidur Bersama Pancasila


Aku terperangkap [atau terkepung? Tersandera? Tertawan?] oleh ironi hidupku sendiri. Sepertinya oye kalau aku membuka entri dengan kalimat ini, meski terus terang aku tidak bisa memutuskan kata kerja mana yang harus kugunakan. Apapun itu masih jauh lebih baik daripada Nikmatnya Mereguk Perawan Kencur—meski aku sedang melakukannya kini, sampai bersimbah peluh sekujur tubuhku. Sudah dua “meski” kugunakan sejauh ini, sedangkan [‘duh, “sedangkan.” Hei, setidaknya ‘duh-ku ada apostrofnya, yang artinya ada bagian kata itu yang kuhilangkan, vide Ivonne Ruth] Johnny sudah setengah gila.

Una Guantanamera sin la paloma blanca
Betapatah tidak setengah gila jika ingin ke Havana tidak kesampaian juga; sekalinya sampai diantarkan Zoë Brân, bikin marah saja. Aku masih ingat waktu itu kami bertemu dengan seorang perawat homoseksual. Lamat-lamat aku juga ingat suasana rumah di mana Zoë belajar bahasa Spanyol—gila, ke Cuba dan tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Spanyol. Lalu, Guantanamera, seperti halnya Habanera. Uah, aku berani bertaruh Cantik memang benar-benar seperti cewek latin, sebagaimana halnya aku seorang vaquero yang dibaca seperti bagero hahaha. [Ini Havana kenapa meletot-meletot begini?!]

Teringatnya, Jumat kemarin sebelum mengajar Pancasila aku menghabiskan siang bersama Taishō Yamamoto Isoroku. Ia menertawakan lemahnya mentalku. Untunglah aku bukan seorang perwira junior di angkatan lautnya, kalau tidak mungkin katananya sudah mendarat tepat di puncak kepalaku—meski mungkin masih disarungkan. Dudukku—baik dalam suatu pertemuan resmi, terlebih jika seorang diri—selalu saja menggelesot menekuk bungkuk tulang punggungku; tidak seperti beliau yang—meskipun Taishō—selalu duduk syaappp grak! Pantaslah dulu almarhum Pak Karim suka meluruskan punggungku ketika apel atau upacara. Posturku memang bungkuk.

No excuse, Sir! Aku mungkin memang tidak berhak atas pelukan, gelinjang dan ciuman Habanera maupun Guantanamera. Aku tidak akan mungkin menjadi salah satu pilot Tahi Ular apalagi prajurit Kavaleri ke-7 yang diangkutnya ke Lembah Kematian. Aku bahkan tidak yakin apakah aku cukup baik untuk menjadi anak buah Margonda atau Guevara. [Tito, apakah sudi menerimaku?] Namun aku sudah kadung pasrah bongkokan bersetia pada... Pancasila? Demi jaya Indonesia? Sedangkan Mas Widodo dan Mbak Rita sudah sulit hidupnya berjualan kelontong, karena untung dari berjualan gas elpiji 3 kg hanya Rp 2000?

Apa lagi yang dapat kukatakan? Tidak ada. Kata-kata, jika itu dariku, sudah tidak ada gunanya. Lebih baik kugunakan suaraku ini untuk menghafal al-Adiyat dan al-Zilzalah, baru kemudian al-Bayyinah. Tiffany Angelica Temajaya kemarin Jumat memintaku untuk mendongeng, karena—menurutnya—diskusi di antara teman-teman tidak menambah pengetahuannya. Paklik memang pandai mendongeng, ‘Nak, tapi yang akan berminat mendengar dongeng Paklik paling kamu dan beberapa gelintir lain. Sisanya... aduhai, ini mengenai Pancasila, ‘Nak. Ini mengenai Pancasila sedangkan sekarang sudah tujuh puluh tahun berlalu bahkan lebih.

Kenapa jadi Pancasila melulu? Oh, sedangkan Ki Macan sudah tidak pernah mengunjungiku lagi, sudah lama sekali. [huhuhu tersedu-sedu] Jika begini aku teringat tulisanku mengenai mahasiswa yang saling berpamitan ingin berangkat demo lalu melapisinya dengan plot mengenai seorang centurion gila yang sudah tidak percaya pada kejayaan Roma—dua tahun sebelum film Gladiator rilis! [seakan keterangan terakhir ini penting] Sepertinya memang aela iacta est! Aku tidak tahu apakah dalam hidupku ini aku akan pernah menyetir Rubicon. Aku tidak akan menyetir kecuali aku memilikinya. Tidak akan pernah!

Cinquecento. Perfetto!

Friday, October 02, 2015

Entri Pertama pada Oktober 2015 ini


Insya Allah, 2015 yang ber-el-Niño Osilasi Selatan ini akan menjadi tahun pertama di Kemacangondrongan dengan entri di setiap bulannya. [Wuih, aku sampai kagum sendiri dengan kalimatku ini. Strukturnya begitu rapi dan bersih. Neat and clean] Oleh itu, biarlah aku dituduh sudah kekeringan kreativitas jika judul entri ini seperti di atas itu. Biar saja. Terlebih jika engkau baru makan tahu halo boleh dimagnetron lagi. Yassalam rasa boraxnya makin kentara, meski tidak sampai merusak kenangan akan nikmatnya separuh roti moka Italia boleh dimagnetron lagi juga.

Bahkan malam-malam akan menjadi lebih baik horor dengan zitje yang rapi dan bersih ini
Neat and clean itu tidak pernah terjadi baik dahulu maupun sekarang apalagi di masa depan, karena masa depan TIDAK ADA! [ga usah pake kepslok keleus] Biar saja begitu karena beberapa kali Maghrib kemarin aku mendengarkan Mesjid Gema Pesona menyambutnya dengan al-Waqiah yang ada mata hurhurnya. Sehingga neat and clean di dunia ini sudah tidak perlu lagi. Di masa remaja tidak pernah ada, apalagi di masa-masa menjelang ajal begini—sedangkan Santiago sudah menghadap Penciptanya, mungkin tanpa pernah meneriakkan SANTIAGO!

Engga! Meski di jendela sebelah aku sedang membuka-buka leptop 10 inci, tetap saja Transformer tidak enak dipakai dengan cara apapun. Dibawa kibornya bikin berat bikin tengkuk kaku, tidak dibawa kibornya bikin ribet. Layar sentuh buat apa?! Sedikit sekali gunanya. Memang sebaiknya dikembalikan saja. Sebaliknya, ini X450C eh mantabp betul diketuk-ketuk meski di atas meja goyang meski Bing Crosby meratap-ratap soal anak Danny. Masalahnya... dikau berat kali pun. [Harusnya di sini ada emotikon meweknya]

Memang masalah, masalah tidak akan pernah ada henti dan habisnya. Apa gardu belajar akan menyelesaikan masalah? Uhu, namun aku membayangkannya begitu saja, baru terbayang begini saja, sudah nyaman. Apa ini bukan melarikan diri dari kenyataan bahwa aku sudah tidak di Jang Gobay lagi atau di Babeh Tafran atau di Pintu Merah Sint Antoniuslaan atau bahkan di lantai dua Laathofpad Zes? Nyatanya, aku di tepian Cikumpa. Nyatanya, cuma ini yang kupunya, adaku. [mengapa pula lengan atas kiriku terasa pegal?]

Apa aku tahu ke mana aku akan menuju? Terlebih ditambah ramai-ramai tolol kemarin masalah siapa minta maaf kepada siapa, aku semakin tidak tahu ke mana menuju. Apa yang akan terjadi pada Guswandi, setidaknya ia sudah ada Gustejo. Aku, sementara itu, masih saja berhati-hati untuk tidak terlalu banyak menggunakan "meski" dan "sedangkan." Mengapa aku suka sekali membuat kalimat majemuk? Terkadang yang seperti ini menggangguku seperti... keinginan untuk... yang diselesaikan dengan patut di... apalagi ini kalimat-kalimat tidak selesai begini?!

Jangan tanya apa alasannya. Seandainya cinta dapat mengalir sebegitu selesa di antara bebatuan licin, seperti es serut atau es cukur yang meluncur melalui gigi-geligi gadis yang tidak nyaman dipandang wajahnya, yang tidak berhenti bicara ini. Bisa jadi ia yang membayari makan semua pemuda yang mengelilinginya, membayar untuk mendengarnya bicara dan bicara dan bicara. Untuk menyembunyikan sepinya hidup, hampanya hati? Memang hanya es cukur itu saja yang tampak di meja mereka, bahkan satu piring berdua. Ya tidak apa-apa juga ‘kan?

Jangan salahkan aku. Nah, ini sulit karena aku sudah terlalu terbiasa menyalahkan diri sendiri, terlebih untuk segala ketololan yang kulakukan sendiri. Tidak ada itu kemalangan, yang ada selalu saja ketololan diri sendiri. Jangan kau tatap dalam-dalam danau itu, permukaan airnya, jika tidak ada keinginan padamu untuk menyelami kedalamannya. Permukaan danau selalu saja menarik nyamuk-nyamuk dan ikan cucut. Kakap tentu tahu diri untuk tidak cibang-cibung di permukaan danau. Itu Kakap, apalagi Paus.