Friday, August 27, 2010

Malam Jumat Malam Turunnya Quran


Wuih, terlalu banyak yang terjadi dalam dua hari terakhir ini (masa siy?), sampai aku kehilangan jejak. Yang kuingat sekarang, pertama, perasaan sedihku karena tidak masuk SIAK, namun, tidak seperti Boy Mardjono, aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memastikan namaku ada di sana. Kedua, pengalamanku bertemu dengan orang-orang dari Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang (RHLBT). Ketiga, yang baru saja kubaca tadi sambil mules, bahwa sebutan Indonesie itu berkonotasi primitif, sedangkan Indie setelah diberadabkan oleh Belanda. Entah harus dibahas tersendiri, aku juga ingin mencatat tentang kegelisahan Farid yang kelihatannya sulit disembuhkan. Oh iya, Cantik, tentu saja, catatan tentang gairahmu berdagang. Aku selalu suka melihatmu bergairah, Sayang.

Masuk topik pertama. Beberapa hari lalu, aku ingat betapa sedihnya ketika menyadari namaku tidak ada di SIAK. Jadi, semester ini aku tidak secara resmi terdaftar di matakuliah mana pun. Aku tahu ini masalah remunerasi. Buat apa berbagi denganku yang tidak butuh cumshot ini. Emangnya bukake. [baru saja kutenggak habis segelas indocafe coffeemix] Di tengah kesedihan itu, aku berjalan ke Bagian Keperdataan, siapa tahu ketemu Bang Idon. Ternyata memang ada beliau di sana. Bahkan ada Bu Mira segala. Akhirnya, aku menemukan diriku ngolor kepada Bang Idon. Aku berbicara mengenai kemungkinan aku sit-in di kelasnya Mbak Meli. Melengkapi catatan, kataku, persiapan untuk menyusun modul kelas internasional. Bang Idon menjelaskan, karena di kelas internasional tidak ada matakuliah Hukum Benda dan Perikatan Adat dan Hukum Waris Adat, maka materi Hukum Adat yang diberikan di sana harus diperkaya dengan bahasan-bahasan terkait yang disebut belakangan itu. That's alright, Mama. Sepotong bolu, kuharap. Akan tetapi, yang membuatku sedih adalah pilihan kata yang terpaksa kugunakan. Hiks, aku masih sit-in.

Aku belum diakui, sedangkan umurku sudah banyak. [Bang Idon juga menjelaskan bahwa di mata kuliah Hukum Adat belum dibahas mengenai norma. Ini menarik] Apakah aku harus meminta sekali lagi kepada Bang Idon agar namaku dimasukkan dalam SIAK? Hmmhhh... akan kutanyakan siang atau sore ini, Insya Allah, kalau beliau ada. Bu Mira, dalam kesempatan itu juga, menyarankan bila ada bukaan PNS aku lebih baik ikut. Bilakah itu? Batas umur untuk diterima sebagai PNS adalah 34, seingatku. Aku sudah 34 dari beberapa hari yang lalu. Masih adakah waktu? Pagi kemarin, sambil berkendara sepanjang Rasuna Said, Ditha berkata ingin mendapatkan ijin advokat, karena bidangnya, persaingan, banyak kasus mahal. Iya ya, kataku. Mumpung bukan PNS. Apapun itu, kalau tidak salah segera setelah aku turun dari Bidang Keperdataan, melewati pintu bagian Rumah Tangga, Pak Sardi mengangsurkan sepucuk surat padaku. Bono Budi Priambodo, SH., M.Sc. Staf Pengajar Program Sarjana, begitu tertulis di situ. Alhamdulillah, sedikit penghiburan di kala sedih.

--Berhenti dulu shalat Shubuh. Bersyukur. Mohon ampun--

Topik kedua, Forum RHLBT. Dari pertemuan pagi itu 26 Agustus 2010 sekitar 09.45 - 11.00, yang kupahami adalah sebagai berikut. Perusahaan pertambangan merasa perlu untuk mengamankan "investasi"-nya ketika menghutankan kembali lahan bekas tambang. Menurut Pak Jeffrey, Ketua Umum Forum RHLBT, petambang tidak berkeberatan untuk mengeluarkan sejumlah (besar) uang untuk mereklamasi lahan bekas tambang, sedangkan itu adalah kewajiban menurut peraturan perundang-undangan. Namun, alangkah baiknya jika, dengan menambahkan sedikit lagi dana, alih-alih menyerahkan "begitu saja" kembali kepada pemerintah, petambang atau pengusaha lainnya dapat terus mengusahakan hutan hasil reklamasi itu. Pak Jeffrey berdalih, petambang telah mengusahakan reforestasi itu dengan sedemikian baiknya, sedangkan, jika kegiatan pasca tambang ini telah selesai dan hutan yang telah tumbuh kembali itu dilepaskan begitu saja, pihak lain belum tentu mampu mengelolanya dengan baik. Ia khawatir, alih-alih membawa manfaat dan keuntungan bagi rakyat dan negara, hutan ini justru akan dimanfaatkan oleh para "pencoleng".

Yang agak menggangguku dalam pertemuan itu adalah pernyataan Pak Jon (Suhardijono?). Jika aku tidak salah tangkap, ia mengatakan hutan hasil reforestasi itu adalah "hak negara". Jadi, terserah negara mau diapakan, apakah dilelang kayunya kepada penawar tertinggi (Ini harus dikonfirmasi pada peraturannya). Jika benar apa yang kudengar itu, siapapun yang akhirnya berbicara tentang adanya "hak ulayat negara" tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Birokrat-birokrat seperti Pak Jon inilah yang, mungkin, mengakibatkannya. Istilah hak ini memang sangat problematik. Kurasa, biar berabad-abad telah berlalu, konsep property tidak akan pernah sepenuhnya dipahami oleh alam pikiran "ketimuran", atau, mungkin lebih tepat, siapapun yang menempatkan Tuhan pada posisi sentral a.k.a. teosentrisme. Yang bisa "memiliki" ya hanya Allah. Tak satu mahluk pun dapat memiliki apapun. Namun orang Barat kafir ini, yang antroposentris, mengemansipasikan manusia sebagai pengemban tidak saja kewajiban-kewajiban, tetapi, yang paling penting, juga hak! Sejak saat itulah urusan milik-memilik, hak-menghaki di Nusantara menjadi "kusut masam" (kata Obbie Mesakh hahaha...).

Dari sini, kita dapat beranjak ke topik ketiga. Segala kekusut-masaman yang ditimbulkan sejak imperialis-imperialis itu menjejakkan lunas kapal dan kaki di bumi air Nusantara bersumber dari pertanyaan: "Alam yang kaya ini, punya siapa?" Sebenarnya, satu-satunya jawaban yang ingin mereka dengar adalah: Punyaku! Akan tetapi, ada juga orang-orang seperti van Vollenhoven, dan lain-lain yang sepikiran dengannya, yang tidak rakus dan ingin membaginya dengan "penduduk asli". Bukan sekadar masalah balas budi atau tanggung-jawab moral, van Vollenhoven berusaha mengonstruksikan "kepemilikan" penduduk asli atas kekayaan alam itu, hence, konstruksi beschikkingsrecht alias hak ulayat. Samakah pengertian konsep ini dengan common property, di manakah letak perbedaannya, harus kuperiksa terlebih dulu. All in all, semoga aku tidak salah di sini. Siapapun van Vollenhoven, apapun yang dipikirkannya, kuharap satu watak yang mendasarinya. Tidak rakus. Jika betul demikian, maka kita sejalan. Just because of this, if I didn't remember a more important signifier, I'd love to call this entry: In the Spirit of van Vollenhoven, or would I make it an entry in Pusaka.info?

Farid bercerita, Anton bercerita, bahkan di Leiden sekalipun, di Van Vollenhoven Instituut sekalipun, masih juga developmentalis. Itu istilah yang digunakan entah Farid entah Anton. Aku berkomentar, mau bagaimana lagi. Aku juga mendengar kalau VVI pun kesulitan dana. Tentu saja ia berusaha memutakhirkan pendekatan, bahkan kalau perlu paradigmanya, agar terus mendapatkan pendanaan (dari pemerintah Belanda?) Aku sudah mengantisipasi hal ini, koq. Sekali lagi, mau bagaimana lagi? Negeri itu indah, harus kuakui, seperti dongeng. Lebih indah lagi euro-nya. Jadi aku tetap harus berusaha untuk kembali ke sana, jika semangat untuk membahagiakan kedua orangtuaku masih kurang cukup mendorongku. Biar kuulangi. Negeri keparat itu betapa permainya, dan euro-nya sedap betul! Lagipula, aku bukan eskapis. Aku pantang lari dari kenyataan! Sungguh aku ingin tertawa mendengar Farid membuat skripsi (hukum) mengenai Derrida(?!), seperti aku selalu ingin menertawakan kekaguman Sofyan pada Jafar Suryomenggolo. Larilah! Lari kemana pun kau suka! Berani kau mengkhianati harapan orangtuamu? Aku pengecut. Aku tidak! [ternyata segini saja tentang kegelisahan]

Dua tahun lalu, dalam rangka yang sama, Nuzulul Qur'an, aku menulis tentang Khadijah r.a. Aisyah r.a. Tahun ini aku juga menulis tentang perempuan, Gadis Kecilku Sayang.

Sampailah pada topik favoritku. Gairah Cinta! Sayang... Cantik... sungguh aku senang mendengarmu bergairah. Meski aku masih berpendapat tiga juta untuk modal awal terlalu berani, dan itu juga membuatku minder karena bahkan aku tidak punya sebanyak itu untuk kupertaruhkan pada ekspres gembolku, tapi aku suka gairahmu. Jumlah yang lebih kecil dari itu mungkin memang tidak sepadan denganmu yang, seperti halnya aku, meledak-ledak. Aah, sungguh aku suka melihatmu bergairah, Sayang. Sungguh tidak sedap dipandang jika kau sampai layu lesu karena tidak ada yang kaukejar. Aku membayangkan diriku sendiri. Betul-betul bencana jika aku sampai tidak punya sesuatu untuk dikejar, untuk diperjuangkan. Gadis Kecilku Sayang, jika pun bukan untuk apa-apa, jika pun bukan untuk bersamaku, gairah itu, semangat itu, sangat kauperlukan. Itu baik untuk kesehatanmu, Cantik. Fisik dan mental. Ya Allah, kumohonkan padaMu kebahagiaan bagi Gadis Kecilku Sayang. Aku sungguh mencintainya.

Wednesday, August 25, 2010

Aku Lelaki yang Lebih Baik


Sahur ini, Ki Macan, setelah hampir dua tahun tidak pernah muncul, begitu saja menjelang dari kegelapan, seperti kebiasaannya [Ugh, koq mules lagi ya... Cepet amat reaksinya kopi ini] Ki Macan memang begitu. Semenjak perutnya terus bertambah gondrong, ia jadi banyak keluhan. Namun, pagi ini Ki Macan sedang tidak mau membicarakan perutnya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan Cantikku kepadanya. Tidak enak. Sudah beberapa kali aku melakukan rujukan eksplisit mengenainya, tetapi belum sekalipun aku mengenalkannya secara resmi pada Ki Macan. Pagi ini, sepertinya waktu yang tepat, sedangkan aku sangat merindukannya, seperti yang selalu kurasakan. Setiap waktu.

"Ki Macan... Aku ingin memperkenalkan Cantikku kepadamu." Ki Macan mengangkat alisnya yang gondrong sebelah, melirikku dengan kepala botaknya yang setengah tertunduk.
"Ia impian seumur hidupku, Ki Macan..." Sepi beberapa menit...
"Aku sudah bermimpi bersamamu jauh sebelum kau menyadari keberadaanku." Gumam Ki Macan memecah kesepian. [Seharusnya "keheningan," tapi sungguh aku malas menggunakan referensi langsung pada kata yang akhirnya menjadi nama istrinya Mayor Nawawi itu]
"Pakde Lenthu kemarin ngendika, tidak baik lama-lama membujang. Rasulullah Muhammad SAW pun membuat rujukan langsung mengenainya [Apa sih, dari tadi rujukan langsung melulu]. Bukan umatku, katanya, yang membenci sunnahku."
"Aku tidak membencinya." Tukasku defensif. "Lagipula ini bukan masalah bujang-membujang. Ini masalah impian. Hanya saja selama ini aku melatih diri sedikit lebih keras dari yang seharusnya untuk tidak menginginkan apapun. Apalagi bermimpi."
Ki Macan terdiam lama.
"Ia impianku sejak lama." Kini aku yang memecah kesepian.
"Aku tahu." Sambil berkata demikian, ia berangsur-angsur menghilang kembali ke dalam kegelapan.

Aku menyimpul sesungging senyum. Ah, Ki Macan memang begitu. Rasanya memang tidak mungkin berbagi perasaan romantis dengannya. Bukan berarti dia tidak menyukai Cantikku. Bukan. Dia hanya tidak tahu harus bagaimana. Ki Macan memang tidak terlatih untuk itu, atau tepatnya, ia melatih dirinya ke arah yang berkebalikan. Aku tidak bisa menyalahkan. Sepanjang hidupnya, setidaknya begitu dugaanku, ia melatih diri untuk tidak memberi wujud kepada impian-impiannya, karena mustahil Impiannya itu wujud selama dunia ini masih wujud, dalam benaknya, apalagi benakku. Impianku ini, kini berwujud. Ia berwujud gadis kecil, yang suka menangis berlama-lama untuk menarik perhatian. Bila akhirnya diperhatikan, ia akan memperkeras tangisnya, agar perhatian yang baru didapat itu tetap padanya. Ah, gadis kecil yang cantik.

Aku sangat menyukai suaranya. Seperti dalam impian. Suara itu seperti telah kudengar sejak lama. Suara yang membangkitkan gairah untuk mencinta. Gairah yang liar namun syahdu, seperti dua ekor harimau loreng satu jantan satu betina dilanda birahi. Saling menggigit lembut, saling mencakar mesra. Suara itu, seperti suara harimau betina yang tengah mengasuh anak-anaknya. Geraman lembut yang penuh kasih-sayang. Suara itu... sangat kusukai. Suara itu selalu kurindukan. Aku menyukainya sejak entah kapan aku tidak peduli. Maka ketika aku mendengarnya, aku langsung suka. Di sini aku kehabisan citra. Seandainya saja aku tidak harus susah payah merangkai citra. Seandainya saja, pagi ini, suara itu bukan sekadar citra. Seandainya saja suara itu, seperti adanya, hanya gelombang suara yang membentur selaput tipis gendang telinga, pun begitu membangkitkan hasrat yang paling purba. [Tidak boleh. Sudah masuk waktu shubuh. Ini bulan puasa]

Senin pagi sampai siang, kubereskan semuanya. Belum, ding. Hamid Chalid belum, seperti belumnya Kurnia Toha dan Andhika Danesjvara untuk urusan lain. Juga, seperti belumnya John Gunadi, apalagi Samsul. Namun aku merasa sudah, karena sudah atau belum itu masalah perasaan, bukan indikator kinerja apalagi pencapaian. Aku seniman bukan birokrat. Lalu aku pergi ke Pusaka bersama Sofyan sore harinya, naik Taruna. Aku urung menyongklang Vario, padahal Pertamax-nya sudah tiris dan harus kuisi. [Aku jadi ingat. Dia menemukannya lucu sekali, ketika aku mengangkat-angkat alisku sambil tersenyum pongah, berkata: Pertamax. Penuh! Aku suka ia menganggapku lucu. Aku suka ia suka.]

--Berhenti dulu shalat Shubuh--

Di Tanjung Barat membeli tahu petis dan tempe mendoan. Sofyan sedih karena serabinya tidak ada. Sampai di kantor belum buka, aku dan Agam mencoba Smash-nya untuk pergi ke Warung Padang "Mini Indah". Berbuka dengan nasi Padang (lagi?!), Sofyan cukup terlipur dengan kolak UKM yang kubeli. Dasar orang Sumatra! Belum berbuka rasanya kalau belum pakai kolak atau sepupu-sepupunya. Setelah berbuka, Rapat Senin tanpa kehadiran Sandoro. Rapatnya para seniman. Bahkan Sofyan yang paling medioker --dan, karena itu, terorganisir-- pun merasa dirinya seniman. Kalau tidak, mungkin dia tidak akan tahan berlama-lama denganku. Justru itu yang agak mengusikku. Aku. Farid. Sandoro. Aduh, kombinasi macam apa ini. Aku hanya berharap mereka mampu menunjukkan kinerja yang setidaknya setara denganku, terlepas dari dorongan-dorongan untuk berkesenian yang, aku tahu persis, selalu menggoda mereka. Justru itu juga yang pada kesempatan pertama membuat mereka tertarik padaku, kurasa. Okay, kids! Setidaknya lihat aku! Aku bisa sampai sini, kalian pasti bisa lebih jauh lagi!

Itu, jika kalian sepakat untuk membantuku mewujudkan impian-impianku. Beginilah kurang lebihnya notulensi Rapat Senin kemarin. Hahahaha, notulensi macam mana pulak! 'Kan sudah kubilang, ini rapat seniman bukan rapat kajian. Aku hanya bisa berharap, lukisan kami mencapai taraf estetika yang memadai, sehingga tidak seperti lukisan-lukisan murahan yang dijual eceran di pinggir-pinggir jalan, karya seniman-seniman tanggung itu [Maafkan aku, Saudara-saudaraku]. Sungguh, itu nista, dan kami menempuh jalan nista ini! Nista, karena kami sengaja menempuh jalan yang tidak biasa. Jalan yang tidak biasa 'kan biasanya becek berlumpur. Sungguh! Aku tidak menyebutnya jalan pintas! Aku melalui jalan ini karena aku MAU melalui jalan ini. Bukan untuk kemana-mana. Itu juga yang kutekankan pada bocah-bocah ini. Kalian ingin ketenaran? Kekuasaan? Well, aku tidak tahu, tapi aku bisa jamin, JANGAN CARI DI SINI!

Yang kuinginkan adalah PRODUK! Mari berproduksi. Kalian bicara Marxisme tetapi tidak berproduksi. Sama saja COLI! [Ini lecutan untukku juga] Bicara mengenai produksi... dapur kami dingin sekali! Pantas saja bocah-bocah itu pada sakit-sakitan. Sandoro mungkin masih terampil menggunakan akal sehatnya, tetapi aku mengkhawatirkan Farid. Ia sama bebalnya denganku, Si Bodoh ini. Semoga saja ia menemukan sesuatu cara untuk membuat dirinya sedikit teratur. [Sudah terang. Tadi, ketika kegelapan masih mengambang tipis di udara, Ki Macan melirik dari kegelapan, mengucap selamat tinggal. Aku balas melirik. Sampai jumpa, batinku. "Tentu," sahut suara batinnya. Aku lega.] Pula, gara-gara Si Bocah Gemblung ini aku menginap untuk kali pertama di kantor. AC-nya, Mak, mana tahan! Sakit semua badanku. Untung ada yang keluar sahur, jadi aku bisa keluar makan nasi Padang (lagi?!). Enak, sih.

Paginya Ditha Wiradiputra telpon, bertanya padaku, siapa ahli hukum pertambangan. Tidak pakai lama, kutukas: Ya, saya lah, Pak! Begitulah maka Insya Allah Kamis ini jam 09.00 kami akan bertemu Indonesian Mining Association (IMA), begitu kalau tidak salah, untuk membicarakan mengenai konversi kawasan konservasi menjadi wilayah pertambangan. Ahli atau tidak, aku berminat pada topik ini. Ahli atau tidak, aku, katanya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Sumberdaya Alam, salah satu subsidiary dari Djokosutono Research Center. Ahli atau tidak, ini dia yang terpenting, aku harus membuat bocah-bocah ngawur ini menjadi dosen, seperti yang seringkali terlintas dalam kepala ngaco mereka. Insya Allah, itu suatu kebaikan buat kedua orangtua mereka. Amin. Ada satu lagi. Ahli atau tidak, Insya Allah, gaji mereka bisa naik. Kata Farid, starting bagi fresh graduate di Ignatius apa begitu lima juta. We will reach that figure! Someday, somehow...

Sepanjang pagi sampai siang kemarin, aku korve di kantor. Sandoro berkomentar, di kantor ini tidak bisa dibedakan antara direktur penelitian dengan opas. Tepat itulah yang akan selalu menjadi ciri khas kantorku selama ada aku, sampai tiba waktunya kami mampu menggaji dengan layak orang yang bersedia melakukan tugas-tugas opas. Sebenarnya tiada seberapa sulit. Orang itu tidak perlu bekerja sepanjang hari. Seperti Pak Aceng, ia hanya harus datang pagi dan sore hari. Ya, nanti jika aliran tunai sudah lebih memungkinkan, akan kutugaskan Agam untuk mencari orang yang bersedia melakukan itu. Kemarin, perlistrikan dibenahi, mungkin masih berlanjut sampai hari ini. Insya Allah hari ini beres. Banyak juga habisnya. Dua ratus ribu lebih. Kabelnya, menurutku, masih terlalu kecil. Seharusnya Sandoro beli yang tembaga solid, bukan rambut. Semoga kuat.

Jikaku dapat menangkap bintang
sebelum ia jatuh ke tanah
Akan kutaruh dalam sebuah kotak
kuikat dengan pita sekeliling

'kan kuberikan padamu
sebagai tanda cinta
dan kesetiaan mendalam

Dunia menjadi lebih baik
jika aku dapat pulang padamu
Aku lelaki yang lebih baik
karena mencintaimu

Cantik, aku mengantuk sekali. Sekarang sudah jam enam. Sudah terang. Selalu aneh kalau berangkat tidur sementara hari sudah terang seperti ini. Akan tetapi, badanku masih agak remuk rasanya gara-gara digebugin AC dan kerasnya permukaan meja. Tidurku harus cukup. Aku mencintaimu. Selalu dalam impianku, suatu hari nanti aku bangun tidur dan menemukanmu masih pulas di sisiku. Mungkin, akan kukecup lembut bibirmu, tanpa membangunkanmu. Mungkin, aku akan berjingkat-jingkat bangun terlebih dulu menyiapkan sarapan untuk kita. Mungkin, anak-anak perempuan kita sudah bangun terlebih-lebih dahulu dan melakukannya. Mungkin, mereka akan membangunkan kita. Mungkin, kalau kau sudah terbangun, entah kau, aku atau kita berdua akan meminta mereka untuk menunggu sebentar... Mungkin. Sampai tiba waktunya, aku tidak keberatan untuk terus terbuai mimpi indah ini. Kini, aku tidak takut bermimpi. Kini, aku tidak takut berharap.

Monday, August 23, 2010

Mungkin, Kali Ini Kau Percaya


Mungkin aku tidak akan pernah dapat memahami sepenuhnya permainan ini. Mungkin karena aku sok-sok'an menyebutnya sebagai "permainan," sementara kebanyakan orang begitu saja melakukannya. Hanya salah satu tahap dalam kehidupan yang harus dilalui. Namun demikian, betapakah aku tidak akan memandangnya sebagai permainan. Jalanku sangat dramatis [Ah, itu 'kan gara-gara kamu sendiri hobi mendramatisir apapun]. Mainkan saja! Bersenang-senang! (Bersenang-senang?) Sepertinya sulit. Aku terlalu serius untuk bersenang-senang. Sudahlah. Percuma saja. Tak dapat lagi kulawan perasaan ini (Ini kata Kevin Cronin lho).

Ada yang penting dan nyaris terlewat dari China Town. Oh ya, China Town itu majalah yang ada di Bakmi Margonda. Boleh dibaca, dibawa pulang jangan. Jadi, ada rubrik yang isinya kata-kata bijak orang Tionghoa. Salah satunya, intinya, celaan terhadap pengeluaran yang sama besar dengan pemasukan. Hal ini dipandang sebagai kesalahan besar. Aku sangat terilhami olehnya, tapi apakah aku mampu menepatinya? Hari ini saja sepertinya aku sudah gagal. Buka tadi, aku makan Bakso Semeru sampai sembilan ribu. Baru saja, aku makan malam pakai nasi Padang seharga sembilan ribu juga. Well, makan memang setidaknya segitu di Depok sekarang. Dapatkah aku lebih hemat dari itu? Haruskah?

Lebih gawat lagi, hari ini aku masih juga tidak menyentuh formulir evaluasi diri dosen-dosen inti itu! Berikan padaku apa saja kecuali itu... dan laporan pertanggungjawaban RKAT mungkin ya... Grrhhh!!! Mana tahan 'dah kerjaan-kerjaan ini. Lihat! Aku lebih tua darimu duabelas tahun 'Rid, dan masih saja aku mengeluhkan hal yang sama dengan yang kau keluhkan sekarang, seperti kukeluhkan duabelas tahun yang lalu. Jadi, memang tidak mungkin melarikan diri dari kenyataan ini. Hadapi! Kamu mau jadi dosen?! Hahaha! Kalau kamu mau tahu, aku jadi asistennya Sofyan karena aku pengecut! Aku tidak seberani Pendekar Hina Kelana [...tapi dia 'kan anak bungsu dalam keluarganya, dan orangtuanya sudah tidak ingin apa-apa lagi...]

Bakso Semeru hari ini agak lumayan. Sambelnya kuberi dua sendok. Mungkin bukan itu juga penyebabnya. Mengerikan sekali. Makanan adalah satu-satunya rekreasiku! Menonton... Ya, malam ini aku menonton (atau lebih tepatnya menamatkan) Raiders of the Lost Ark, seperti kemarin aku menamatkan Temple of Doom. Sama saja 'kan? Di Belanda dulu juga begitu. Makan dan nonton. Itu pun lebih untuk lari dari kenyataan. Aku sudah tidak telaten main permainan komputer. Mengerikan! Setidaknya aku tahu pasti bahwa kemarin itu bukan homesickness. Ternyata di sini pun aku begitu. Jalan ke arah Selatan, entah kenapa terpikir Bubur Jagung, ternyata habis. Begitulah akhirnya menyeberang ke Siang Malam. Oh, sebelumnya beli teh Tong Tji dan Antangin di Alfa Midi. How eventful my life is!

Henry W. "Indiana" Jones, Jr. Ph.D. Seorang doktor yang jago lompat-lompat kesana-kemari, tetapi juga mengajar di depan kelas, meski digambarkan mahasiswanya "mengagumi"-nya tidak karena kuliahnya. Tidak apa-apa. Hollywood keparat, biasalah itu. Seperti halnya ketika harus mengerjakan sesuatu yang belum pernah dikerjakan, aku butuh pembanding. Bagaimana sih cara orang mengerjakannya? Oh, begitu. Lantas aku mencoba untuk membuat yang lebih baik darinya. Benar juga kata Khairil Azmi. Sekarang sulit menulis sesuatu yang fenomenal. Saingannya banyak. Namun, yang penting menulis! Dapatkah aku melecut diriku sendiri untuk menulis, sambil menyemangati Sofyan, Farid dan Sandoro? Sofyan jelas sangat membutuhkan semangatku, dan dia benci sekali tragedi-tragediku. Hahahahah!


"It was common for them to lift their skirts and reveal their legs, underwear and occasionally the genitals" (Wikipedia.com on how the courtesans there used to dance in Moulin Rouge's early days)

Aku mencintaimu, Cantik. Sangat! Kamulah yang akan membuatku tidak percaya pada horoskop, karena kamu akan membuktikan betapa kita bisa saling mencinta dengan syahdunya. Jangan salah! Aku selalu siap untuk kaya! Segala yang ada dalam kepalaku ini hanya akan terwujud jika aku kaya, maka aku selalu mempersiapkan diri untuk itu. Aku yakin kamu bisa membantuku menuju kesana, Cantik. Akan kubuktikan kalau impian-impianmu tidak bertentangan dengan jalan yang akan kutempuh. Bersamaku, impian-impianmu akan mendapatkan bentuknya yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Aku sudah tidak mampu membayangkan diriku tanpamu, meski aku juga tidak sepenuhnya terbayang apa jadinya bila bersamamu. Kau mungkin bukan orang yang percaya bahwa cinta akan menghidupi kita. Mungkin, kali ini kau akan percaya. [Kalau ternyata aku gagal, bagaimana? Kalau ternyata Carry pun tak terbeli, bagaimana? Akankah kau meninggalkanku?]

Sunday, August 22, 2010

Kau Tahu Kaulah Satu-satunya Bagiku


Sudah setengah satu lebih. Jadi lebih baik cepat saja. Bersama... siapa ini ya? Robin atau Barry? Yang mana saja lah... sambil berandai-andai sekiranya pikiranku bisa mengenai sesuatu yang lain. Kenyataannya sulit. Sialnya aku menemukan diriku sangat percaya padanya. Gak bener banget! Namun aku yakin bisa dilatih. Semua saja bisa dilatih. Bisa jadi, ini semua terjadi atasku agar aku meninggalkan imanku pada hal itu. Halah! Masih saja seperti ini!

Apapun itu, malam ini, setelah berbuka dengan Bakso Semeru baru yang rasanya tidak seberapa itu, aku makan lagi di Bakmi Margonda. Bakmi Sapi Cah Cabe porsi kecil, Pangsit Goreng setengah porsi, teh tawar. Dua puluh ribu lima ratus Rupiah, yang kalau diredenominasi menjadi... dua puluh rupiah lima puluh sen. Masih mahal juga. Sekali makan kalau sampai dua puluh Euro pasti menyesal.

Kau Tahu Kaulah Satu-satunya Bagiku Jadi Jangan Nakal

Aku berjalan di bawah hujan. Dilindungi payung yang salah satu rangkanya sudah rusak, tapi operasional. Gara-garanya nyari Tahu Telor. Ternyata yang bisa masak itu cuma Teh Lilis dan Ujang, dan mereka entah ke mana. Jadilah aku berjalan di bawah hujan. Sempat mempertimbangkan seafood tenda dekat bengkel, tetapi tidak jadi karena lantainya miring. Pasti tidak nyaman. Ini semua gara-gara pelebaran jalan Margonda. Sempat terpikir Siang Malam, tetapi tidak ada keripik kentang. Sepertinya aku tadi cari yang asin-asin. Ternyata Bakmi Margonda pun tidak asin, terutama pangsit goreng lima bijinya itu. Susah payah aku menghabiskannya.

Jika ada yang agak penting, mungkin majalah China Town. Harusnya tidak dipisah, tapi seingatku nama majalah itu memisahkannya. Bisnis! Itulah dia! Bisnis apa coba yang sedang kubangun ini?! Memang ada kemajuan. Sofyan Pulungan sudah berpikir bahwa yang dilakukannya adalah bisnis. Jadi yang penting jadi uang. Sepertinya dia sudah tidak terlalu peduli bersih dan kotor lagi. Namanya bisnis berarti kerja keras, dan kerjaku tidak keras. Belum. Insya Allah akan segera. Di Majalah itu, ada cerita seseorang yang hancur toko pakaiannya gara-gara kerusuhan. Dia memulai lagi dengan menawarkan dari pintu ke pintu, sampai punya toko yang lebih besar dari sebelumnya.

Kemudian Royen, Grudo dan nyonya, Dolyn dan nyonya, Jody. Apakah mereka betul yang membuatku teringat Si Macan Gondrong lagi, atau yang mana, aku tidak pasti. Cerita-cerita jaman dulu saja. Kalau ketemu mereka ya pasti tentang jaman dulu. Akankah aku menyukainya? Entahlah. Royen itu mungkin sisunku yang aku tidak pernah punya. Tentu saja. Aku dikeluarkan ketika kopral. Namun, kalau aku harus punya sisun, ya Royen itulah. Aku memang tidak pandai berteman, mungkin. Aku terlalu sombong untuk membutuhkan teman, bisa jadi. Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak pernah tahu cara menyegarkan kembali diriku sendiri. Refreshing. Rekreasi. Aku tidak tahu.

Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahimi. Mari kita tata lagi. Insya Allah besok masuk ke kantorku di lantai dua. Mungkin dengan menata fisiknya, mentalnya pun akan tertata. Insya Allah. Setelah itu membereskan dosen inti. Bagaimanapun aku dibayar dua setengah juta untuk itu, salah satunya. Apa lagi sih yang lain? Buku Pedoman. Kurikulum masih harus dikonsultasikan pada Bang Andhika. Kerjaannya John Gunadi masih harus dicek. Hibah Riset, Bang Andhika dan Bang Kurnia belum masuk. Catur disiagakan untuk membuat kontrak, dan tentu saja rapat. Tidak susah. Hanya harus ditata lagi. Insya Allah.

Ya Allah, lapangkanlah dadaku, permudahlah urusanku, lancarkanlah lisanku, baguskanlah ucapanku. Amin.