Tuesday, March 20, 2018

Di Suatu Akhir Musim Dingin Aku Datang. Kembali


Tidak dengan gegap-gempita, apalagi gagah berani. Tidak dengan itu semua. Sekitar sepuluh tahunan yang lalu mungkin masih sanggup lah sok macho. Di akhir musim dingin 2018 yang belum benar-benar berakhir ini, aku sudah tua. Berapa banyak semangat yang seharusnya masih kupunya? Aku hanya akan menjalaninya, seperti aku sudah menjalani hari-hariku sebelumnya. Meski wajah diterpa angin minus tiga derajat celsius di pagi hari Amsterdam yang cerah ini, inilah kenyataanku mulai sedari kini. Selain ini, semua adalah khayal. Nyatanya, inilah terbentang di hadapku.


Akan halnya kali ini tidak ada Sam, memang tidak perlu dibanding-bandingkan. Jelasnya, sidang pembaca mungkin sudah dapat menduga kalau ini retroaksi. Namun aku punya alasan kuat kali ini. Aku baper. [Adakah sudah sembuh setelah sekian lama. Belum sebulan? Entahlah] Jelasnya, begitu saja aku mulai mengetuki papan-kunci. [di sore hari yang mendung ini] Meski mungkin bukan itu juga. Sudah demikian lama aku ingin mengetuki tetapi tidak kukerjakan juga, meski tidak akan kukatakan sejak kapan itu. Ternyata masih ada baper itu. Sedikit. [Sedikit saja koq]

Begitulah maka setelah disambut oleh Arif Arrahman, tidak berapa lama datang Hadi Rahmat. Masya Allah, dua-duanya rahmah! Duduk sebentar di Starbuck karena aku merasa kedinginan, hanya untuk menyadari bahwa Belanda itu dingin! Dengan geretan yang sama sekali tidak ringan aku mencoba mengikuti langkah Hadi yang bahkan ketika di Depok saja sudah cepat untuk ukuranku. Sampai di halte baru sadar, ini tidak bisa dihadapi tanpa longjohn! [Aduhai sudah tiga kali tanda seru, untung bukan mabuhay] Aku sudah terlalu lama meninggalkan Belanda, pun sudah tua.

Akankah kuceritakan semua di sini? Sejurus kemudian aku sudah di Pieter Calandlaan kosannya Hadi. Di dalam situ ada Rahman. ['tuh, rahmah lagi] Aku makan telur baladonya Hadi, seperti halnya Rahman, kemudian bergeraklah ke mana-mana, diantar Hadi. Menukar seribu dolar menjadi entah tujuh ratusan Euro, membeli kartu Vodafone yang cantik nomernya, ke kampus ketemu Mas Karim sesama bimbingan Laurens Bakker, ketemu Joan Schrijvers, lantas naik M51 ke Uilenstede kantornya Duwo. Alhamdulillah langsung dapat kunci, dilanjut ke rumah Pak Fikri.

Pak Fikri ini, Pak Ibnu Fikri, adalah Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama' Belanda. Orang baik ini. Aku dijamunya, dengan masakan istrinya, aduhai terasa sungguh istimewa. Bobor bayamnya. Masya Allah! Aku pun lantas menjadi seorang nahdliyyin. Mau bagaimana lagi? Aku suka sholawat munjiyah dan nariyah tafrijiyah. Sayangnya, badanku lungkrah setelah semalaman tidur nggak bener sambil duduk di pesawat. Aku minta diantar Pak Fikri ke rumahku. Hadi pun turut serta. Dan demikianlah begitu saja kulihat untuk kali pertama rumahku ini...

Kees Broekmanstraat 218. Insya Allah penuh keselamatan, kedamaian, kasih-sayang dan berkahNya. Seperti halnya QS M14 di tepi Cikumpa sana, kupandangi ia tiap hari, kujawab, kudoa-doakan. Begitulah aku langsung tiduran setelah berbagai perlengkapan dibereskan. Lampu duduk kutaruh di belakang sofa dan demikianlah ia seterusnya, menerangi temaram dari sudutnya. Aku sempat terbangun menggeragap hampir tengah malam. Ambil wudhu' dan menggigil hebat kedinginan. Pak Fikri dan Hadi sampai kembali ke rumahku membawa pemanas portabel!

Tidurlah aku malam itu, tidur pertamaku di KB 218 sampai sekira jam lima lewat keesokan paginya. Perutku lapar dan naluri bertahan hidup begitu saja menggerakkan badanku ke luar mencari makan. Sampai halte trem Zuiderzeeweg untuk kali pertama, ternyata trem pertama ke arah Centraal baru akan tiba jam enam, masih lima belas menit lagi! Dengan suhu udara satu derajat Celcius, aku tidak mampu bertahan lebih dari lima menit, maka setengah berlari aku kembali ke rumah, menyalakan pemanas portabel, membebat wajah dengan lap dapur, berangkat lagi.