Sunday, April 24, 2022

Kengerian Dunia Lebih Mengerikan. Aku Ngeri


Apa bisaku jika penyintesa ini umek sendiri begini, sedang media-media menstrim saja kurasa semakin tergerus audiensnya. Media alternatif memang sekadar 'pala lu apek, terlebih multiplatform. Namanya puasa pasti begini, lapar-lapar begini. Menyenangkan sebenarnya, daripada makan, karena lapar sudah pasti berujung kurus, sedang makan sudah pasti menggelendut. Malu. Masa budak gendut. Apa kamu budak kepala rumah tangga yang memperlakukan budak-budak lainnya seperti budak. Aku sampai tak bisa memutuskan apakah pembudak lebih menjengkelkan.

Dari tempatku mengitiki terlihat lubang-lubang angin baru, meski aku selalu skeptis dengan langit-langit tinggi yang konon membuat ruangan lebih sejuk. Aku lebih suka bila hatiku yang sejuk, seperti ketika di luar sana elang-elang sedang berlatih. Udara sungguh panasnya, namun ketika itu dapat kuingat sejuknya hatiku. Aku pendosa apakah tak berhak atas sejuknya hati. Akankah kesia-siaan berhenti saat ini juga ketika entri-entri berjarak tiga hari. Ini Ramadhan namun belum satu entri pun kukasih Dedi baginya. Lagipula ini tempat kusut mana patut bagi Ramadhan ini.

Aku tidak bisa menemukan persekitaran yang sesuai bagi halusnya belai-belaian melodi. Sejuknya ruangan berpendingin udara bukan kesukaanku, apalagi jika ia berlari beralas karet. Hentak-hentak dram bas, dentam-dentam senar bas gitar, deham-dehaman saksofon memang sungguh mengilhami. Ini sungguh cocok untuk membaca, apakah ini di Kafe Buku sedang di luar sana Margonda berdebu terpanggang perkasanya Sang Diwangkara. Sangat dapat dipahami jika di hari-hari terakhirnya sudah tiada lagi bacaan menarik hati swargi Bapak. Saat ini saja aku pun begitu.

Ini hari dewa matahari alias dominggo, namun tanggal 24 begini, maka kutemukan diriku mengitiki. Daripada hatiku dilanda kengerian, ngerinya dunia. Aku akan menyelesaikannya. Demi apapun aku akan menyelesaikannya entah di sini atau di sebelah mana saja dunia. Apakah ini saatnya ketika aku memusatkan segala daya untuk bersungguh-sungguh, meski itu bukan merayapi semangka muda atau mematahkan leher-leher jenjang. Ujiannya nanti setelah buka. Mudah memang bicara jika sedang tidak menyambar-nyambar. Sekali berkebat berkebit, habislah.

Seperti biasa, rintihan terompet berpengedam ditingkahi ketuk-ketukan tak ritmik palu pada pahat, mengikis dinding yang melintir. Memang sangat menyiksa bagi seorang perfeksionis, aku bisa memahami. Akan halnya sewadah plastik sayur campur, yakni, buncis, jagung pipil, jamur merang, sosis ayam dibumbu tumis kecap, menjanjikan hari-hari berbuka dan bersahur berteman sambal terasi sasetan. Sungguh seksi sensasi birahi yang tidak lagi kudapatkan dari musik yang mendayu. Justru dari masakanku sendiri, kesenian yang masih tinggal kutekuni. Lain tiada lagi.

Kuakui keindahan itu merayapi, meski Lampung Tengah mengomentari: Agraris sekali. Selain itu ada lagi dari selatan Priangan Timur, bahkan Mandirancan, Kuningan sekali. Itu semua tidak berarti, sebagaimana aku ini orang yang tiada arti. Penyintesa ini sungguh nyaman mengelusi, seperti belaian cinta seorang kekasih yang menyayangi. Tiada lagi khayal, apalagi keinginan, hanya kebiasaan menyakiti diri sendiri dengan kengerian dunia. Seperti koreng setengah kering dicoloki, keropengnya dikelupasi. Seperti itu. Bau-baunya pun tak sedap, merintih meratapi diri.

Gambar di atas merupakan ilustrasi suatu kabar yang dilansir Suara mengenai wanita yang menikahi dirinya sendiri. Diri ini ngeri. Diri ini sempurna, diilhamkan padanya keberanian dan ketakutan. Beruntunglah diri yang takut, merugilah diri yang berani. Ah, itu selalu bacaan yang mengilhami. Aku masih punya bacaan yang belum kuselesaikan, ketika entri-entriku semakin tidak bisa dibaca, semakin tidak bertutur. Keniji memang hanya bisa didengarkan di laptop ini tidak di henfon. Semoga henfonku baik-baik saja sampai September. Awas, jangan sampai lewat!

Thursday, April 21, 2022

Aku Tidak Pernah Memperingati Hari Kartini


Sederhana saja masalahnya, Raden Lesmana Mandrakumara sangat dimanja oleh bapaknya, Prabu Duryodana, meski tentu saja tidak pernah sesederhana itu masalahnya. Contohnya diriku sendiri. Aku jelas tidak dimanjakan oleh bapakku, namun aku tidak pernah benar-benar membesarkan anak, anakku sendiri maupun orang lain. Tepat di sinilah aku bersedih. Memang banyak kesalahanku. Patutlah aku dihukum. Mengitiki itu harus dalam keadaan hati riang, karena pada dasarnya mengitiki itu berolok-olok. Namun aku sedang sangat bersedih malam ini.

Padahal aku tadi sudah berjanji untuk tidak memeriksa pratinjau. Begitupun aku berjanji untuk mengomentari tulisan Profesor Shawarma. Kebanyakan janji memang tidak mudah ditepati, maka jangan mudah berjanji. Hanya saja jez alus ini benar-benar nikmat didengarkan dengan irfon miniso tiga puluh ribuan. Malam ini, kabelnya pun tiada seberapa mengganggu. Memang tidak pernah mengganggu, hanya membutuhkan sedikit usaha dan ketelatenan untuk menggulungnya. Itu saja. Kurasa hidup pun begitulah. Hanya harus sedikit usaha dan telaten. Sedikit saja.

Ada secercah kenangan mengenai kantin Islamic Village. Apa benar yang suka kubeli di sana. Apakah semacam permen atau dodol. Entah bagaimana aku ingat dodol nanas. Di belakangnya ada lapangan terbuka, di belakang kelas-kelas sekolah dasar. Ada ayunan di situ, sedang jiwaku dibelai-belai jez alus begini. Apa jadinya malam-malam di situ. Uah, malam-malam selalu saja nyaman. Entah di mana yang ada dalam perasaanku kini. Meja tulis, lampu temaram, hati lapang, kreativitas membuncah. Aku memang tidak pernah mengharap-harap masa depan.

Malam-malam yang nyaman di sepanjang trotoar. Toko-toko kecil saja namun lengkap dagangannya. Mainan-mainan kanak-kanak bergelantungan. Namun aku sudah dewasa. Jelas bukan itu yang menarik perhatianku. Mungkin berderet-deret sigaret kretek berbagai merek dalam lemari kaca. Entah aku masih punya korek jres bahkan mancis sekali. Ini jelas ingatanku mengenai masa muda. Ketika sudah setua ini dan masih tidak berdaya, maka lebih baik muda yang masih jauh jangkauan dan daya tahannya. Aku mencari damai pada masa laluku, masa mudaku. Nyaman...

Senyaman inikah di Amsterdam Centraal ketika hari sudah gelap di awal musim semi. Bisa jadi. Apakah aku selonggar itu sehingga membeli kapsalon di sebelum dermaga feri, atau nanti setelah merapat di tujuan. Rasa nyaman bisa di mana saja. Sesampainya di kamar melepas baju hangat, menghadapi laptop sambil menikmati kapsalon bisa jadi sangat nyaman. Lebih baik lagi jika itu ternyata salah satu kamar di kontrakan Jang Gobai, mungkin sambil makan bakwan malang. Apakah ini semua karena nyamannya jez alus yang menghentak lembut gendang telinga kini.

Tak kusangka akan selancar ini, ketika aku menyangga kepalaku di meja makan tadi sambil merasakan kesedihan yang mendalam. Aku memang tidak pernah dianggap di manapun, bahkan di meja makanku sendiri, yang tentu saja bukan punyaku benar. Selalu saja gerobak goyangku yang juga tak berdaya kukedepankan dalam situasi seperti itu, meski kini aku begitu saja terlempar ke dapur kapel milik Universitas Maastricht yang menjadi semacam pusat kegiatan mahasiswa itu. Aku menyebut-nyebut seakan membanggakan, padahal tidak. Tak ada yang dapat kubanggakan.

Di alinea terakhir ini aku terlempar ke sebuah taksi yang mana aku segera melompat keluar. Tepat di sinilah aku merasakan kembali kesedihan mendalam, namun berbeda dari yang tadi. Aku hanya sok-sokan berani, padahal aku tidak tahu apa-apa, dan tentu saja takut. Perutku kembung karena menyantap kimbo sosis jerman, sosis solo, masih ditambah indomie goreng jumbo biru, dan segelas sirup freiss melon manis jambu. Malam mendekati puncaknya, rasa kantuk sudah ada. Jez alus membelai-belai aduh sedapnya. Malam ini aku hanya ingin merasa nyaman. Itu saja.

Wednesday, April 13, 2022

Hari Ketika Thomas Dihukum Buang. Malamnya


Awas, Thomas di sini dibaca seperti orang Perancis, jadi tidak dibunyikan "s"-nya. Ya, ia dihukum buang. Satu-satunya kesalahan adalah ia mengira dirinya disayang. Maka, tanpa diundang, tanpa beruluk salam, seringlah ia melenggang masuk saja melalui pintu-pintu, bahkan jendela-jendela yang terbuka. Menurutku, Kay yang bodoh. Sudah tahu ia gelandangan jalanan begitu, masih dipeluk-peluknya, dibawa tidurnya. Maka gatal-gatallah Kay bahkan sampai tidak bisa membuka pelupuk mata. Thomas yang disalahkan. Ia yang dihukum buang. "Yang salah Kay, mengapa Thomas yang dibuang?!" kataku. "Ibunya takkan paham lelucon itu," kata Istriku.

Wajah sedihnya memang mirip dengan Sanwirya a.k.a Iwir a.k.a Thomas
Masalahnya, Thomas sedang sakit. Sudah berhari-hari ini dia minta dilepaskan, tidak mau jadi Kempeitai lagi. Lucunya, tiap kali lepas, ia jilat-jilat sampai bersih ketelepasannya itu. Siang ini, ia dihukum buang. Aku tidak tahu ke mana. Hanya saja, beberapa hari terakhir ini ia biasa beristirahat di dipan jati. Meski tidak berkasur namun hangat dan kering. Kini, di tempat pembuangannya, kurasa tidak akan ada dipan jati. Mana semenjak maghrib hujan tiada henti. Pertanyaannya kini tidak apakah, tapi bilakah Thomas menemui ajalnya, seperti Legiman mati kedinginan.

Sudahlah. Tidak ada gunanya ini semua. Hanya dapat kukatakan, senang telah mengenalmu, 'Wis. Insya Allah, suatu hari nanti kita bertemu kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik. Kau dalam keadaanmu yang segagah-gagahnya. Sapalah aku bila kau melihatku nanti. Jika keadaanku ketika itu buruk, tolong beritahukan pada Tuhan kita, meski Ia Maha Tahu, aku baik padamu. Mintakanlah tolong bagiku kepadaNya. Sesungguhnya aku masih berharap dalam pembuanganmu engkau masih kuasa berjaya sehingga kita dapat bertemu lagi di kehidupan yang fana ini.

Namun aku dan kau sama tahu, pikiran seperti itu tolol belaka. Aku yakin kau akan menghadapi ajalmu dengan gagah-berani, seperti Bapakku. Entahlah aku. Jika benar malam ini atau dalam waktu dekat kau menemui ajal, semoga ketika itu Ibumu datang menemanimu, mengelus-elusmu, mendekapmu, menyamankanmu. Dunia ini memang penuh penderitaan, kesengsaraan. Buat apa lama-lama di sini. Akan halnya kita pernah bertemu di sini, marilah kita syukuri. Aku, terutama, mengucap syukur pada Tuhan telah dipertemukan denganmu. Kau, hambaNya yang gagah.

Onti, sementara itu, malam ini masih tidur beralaskan permadani lembut dan hangat. Memang seperti itulah hidup di dunia. Hari ini, detik ini masih entah melakukan apa di atas punggung bumi. Esok entah kapan masuk dalam perut bumi. Semoga ada yang memasukkan jasadmu kembali ke dalam perut Ibu Pertiwi, 'Wis. Ya, Tuhan Maha Baik, sekiranya Iwis mati, jangan biarkan ia menjadi bangkai membusuk terlantar di atas tanah becek berlumpur. Gerakkanlah hati hambamu yang kebetulan melihatnya untuk menyelenggarakan jasadnya. Masya Allah, sudah mendekati tengah malam dan hujan semakin derasnya. Ya, Tuhan, kasihanilah kami hamba-hambaMu. Kasihanilah Iwis. Hangatkanlah ia.

Astaga, sedang begini suasana hatiku, di telingaku mengalun nyanyian yahudi-yahudi yang dipenjara oleh Nebukadnezar. Akankah aku dapat beristirahat malam barang sebentar sebelum Insya Allah terbangun sahur. Sudah sebelas hari berpuasa tidak ada tambahan sama sekali penghambaanku. Masih begitu-begitu saja, masih juga maksiat saja. Aduhai malam berhujan. Aku sudah sikat gigi namun tadi mengulum Ricola, sedang bawaannya haus saja. Perut sudah terasa kembungnya. Aku tidak mau terlarut dalam suasana hati ini meski hujan semakin deras saja. 

Ini entri yang Insya Allah bagus. Suatu hari nanti, jika Tuhan mengizinkan, aku akan membacanya kembali. Entah suasana hati apa yang akan ditimbulkannya. Entah mengapa terkenang hangatnya rempah-rempah Bengala. Tepat di sini tiba-tiba ada semacam tekad, Iwis akan baik-baik saja. Ia gagah-perkasa. Meski kini ia tidak mau jadi Kempeitai lagi, ia akan segera sembuh, meski tanpa salmon, tuna, dan semacamnya. Ia akan menemukan sesuatu untuk menghangatkan badannya. Ia akan menemukan tempat berteduh, lebih hangat, lebih kering dari dipan jati.

Sunday, April 10, 2022

Ambil Peluangmu Bercinta Sambil Bersiul-miul


Apa jadinya siang-siang hari dalam ruangan sejuk sambil menyaksikan ruang-ruang atau lanskap-lanskap indah, sedang musik-musik indah mengalun. Malam yang masih sangat muda ini pun sejuk, sedang segelas ramuan teh, jahe merah dan putih, kunyit, madu, mentol, dan gula aren seperti biasa menemani jika aku sedang goblog begini. Malam-malam sejuk seperti ini pun bisa berteman mini compo mengalunkan musik-musik indah atau lumayan saja, sedang badan dan pikiran masih sangat muda. Justru karena kemudaan itu kedunguan mencirikan, mengepulkan. 

Ahad 8 Ramadhan 1443 H begini, selepas Isya' malah menghancurkan sarang tawon di kedua kamar mandi. Hanya kutahu, hidup manusia betapa ringkihnya, seringkih sarang tawon yang disogok pisau dapur saja rantas. Akan halnya buka ini aku menamatkan sayur lodeh donoloyo buatanku sendiri dan remah-remah ayam ungkep a la masakmom.com, sudah menjadi suratanku. Begitu banyaknya makanan enak, semakin sedikit sisa umurku, kesehatanku untuk menikmati semua. Ketika sayur lodehku yang baru keluar dari kulkas agak berlendir karena bersantannya.

Lonceng-lonceng perak berkincingan menandakan akan mengalunnya lagu cinta, yang dengannya aku dibesarkan. Akan halnya setua ini cinta tidak tersedia bagiku sebanyak yang kumau, kurasa memang sudah diatur seperti itu. Apa jadinya aku bila diguyur banyak-banyak cinta sebagaimana kumau. Hanya terbayang olehku pujasera Gardena yang bersahaja. Bahkan makanan apa yang dijual di situ pun aku tak ingat. Hanya saja keremajaan itu masih terkenang olehku, ketika segala sesuatu mudah menyenangkan. Hanches, begitu saja teringat olehku Maastricht kala itu.

Lantas ini, betina bodoh yang tidak pernah kutemui dalam hidupku, yang ternyata nama sejenis tarian. Menari dengan seekor betina bodoh adakah pernah terjadi dalam hidupku. Seorang perempuan cerdas pernah memintaku menari bersama, yang kutolak mentah-mentah karena aku tidak suka musik pengiringnya, sehingga ia marah padaku merasa terhina. Engkau pasti sudah menduga tidak ada yang benar-benar hebat terjadi dalam hidupku. Aku hanya berpura-pura tangguh, intimidatif, tanpa kompromi. Aslinya aku ini pecundang sejati. Semua saja tahu akan itu.

Wajar saja jika malam Ramadhan aku sering terpikir mengenai makan, namun belum tentu makanan. Sejak tidak punya uang, kreativitasku terkait ide-ide mengenai makanan enak berhenti. Sebenarnya tidak juga. Sudah cukup lama aku tidak kreatif dalam hal ini, sampai Farid berkomentar terlalu cepat. Namun memang begitu adanya. Apa yang biasanya dapat meledakkan hati, kini terasa biasa saja. Sebenarnya aku agak suka dengan keadaan ini, seandainya saja ini terjadi pada kesembilan saluran hawa. Aku ini yang mengembarai gurun tinggal membawa macan.

Meski semua itu sudah berlalu bagiku, tidak berarti ia kehilangan sengatannya. Seringkali aku jengkel, meski lebih sering lagi aku begitu saja menyerah padanya. Seperti seorang gadis kecil memasang tampang yang menurutnya paling memelas, menadahkan wadah plastik bekas celengan rombeng, sementara entah adik entah kawan laki-lakinya mengenakan pakaian badut. Sudah mendekati waktu berbuka pada saat itu, ketika aku membeli terong balado dan sayur buncis udang yang gagal total bagi anak perempuan kesayanganku. Dunia ini apa maunya dariku yang lemah ini.

Mungkin selepas ini akan kumakan juga sisa pizza tuna yang tidak dihabiskan anak perempuan kesayanganku, yang ada beremahnya itu. Terkadang muncul khayalan ingin membentuk band bersama entah siapa. Terkadang ingin mengaransemen kembali Kita Muda Rasa, atau sekadar lagu-lagu selalu-hijau. Semua itu adalah remah-remah masa lalu disapu hujan awal musim gugur. Namun masih lebih enak daripada ayam piri-piri entah apa yang pernah kunikmati di ruang tamu Uilenstede 79C. Mmm, tentu lebih disukai mie goreng Java Kuliner atau sekalian kibbeling saja.