Thursday, September 30, 2021

Gera'an September 30, Bukan Gerakan 1 Oktober


"Kita akan menari, kita akan menyanyi di waktu [musim] semi." Sangat bisa jadi ini adalah ajakan Kawan Sabarudin Freak. Lantas Alasanku yang sangat sulit dimainkan dengan gitar belaka, apalagi piano, selalu menghiasi pikiran dan perasaanku, dari masa kecilku. Katanya sudah mengakhiri masa kecil. Orang biasanya mengakhiri masa lajang, aku mengakhiri masa kecil. Sejujurnya, tidak banyak yang 'kuingat antara paruh kedua 1988 sampai paruh pertama 1990, kecuali detektif citarasa lama. Sebenarnya aku sudah curiga ketika itu, namun bagus 'lah kecurigaan itu tidak 'kupupuk pada saat itu.


Aduhai ini lagi, Selama-lamanya akan seperti ini. Mungkin sejak kecil aku memang bapak-bapak tua, gendut, botak, namun amit-amit tidak pedofil. Aku terlalu mencintai keindahan untuk merusaknya. Contohnya bunga, aku tidak suka memetik. Memandangi aku suka, sampai tersenyum-senyum sendiri. Memetik aku benci, sama bencinya dengan mengurung burung dalam sangkar, merantai anjing. Ini bukan mengungkap nilai-nilai. Ini sekadarnya saja berbicara pada diriku sendiri yang sedang kurang yes. Maka kubisikkan, "Selamat tinggal, Sayang. Selamat tinggal," sambil 'kukecup lembut keningnya.

Memang benar, ada yang sedang memberati pikiranku, namun tidak hatiku. Pikiranku berat, namun hatiku Insya Allah ringan, karena apapun yang terjadi, terjadilah. Aku akan selalu setia padamu. Maka peluklah aku dalam mimpi-mimpimu, sampai 'kukembali lagi padamu. Selama kau mengenangku, aku tidak akan terlalu jauh. Tidak bisa lain dalam ciptaku kecuali rambutnya yang tebal, kasar, mengembang berombak-ombak dengan baunya yang lucu. Seperti itulah. Memang percintaan kami sudah bukan cinta remaja yang menggebu-gebu. Cintaku padanya paruh-baya. Tenang berdenyut-denyut, lamat-lamat saja.

Seandainya kalimat-kalimatku bisa selugas dan sependek ini ketika aku memang harus berkalimat. Namun, seperti memeriksa pratinjau, kebiasaan buruk sulit hilang. Sebenarnya bisa saja aku menulis, tapi ini 'kan asal goblek ngga pakai 'mikir. Kalau pakai 'mikir mungkin tidak akan kuat berlama-lama. Sekarang ini entah bagaimana, apakah karena triki triki atau entah apa, memang terasa agak rampak. Kalaupun tadi agak tersendat, itu karena memeriksa apakah triki atau drigi. Memang sedap belaka dangdut Italia ini, entah siapa yang mengatakannya. Tidak perlu pula 'kukoreksi menjadi Yunani.

Begitulah aku suka keindahan. Masa suka kejelekan, kehancuran, kehinaan, keburukan. Tidak 'lah. Bagaimana dengan Malam-malam Kesepian. Aduh jangan, dong. Sekarang mungkin tidak terlalu takut, karena Cantik masih hanya beberapa langkah dariku. Kalau sudah benar-benar ribuan mil, aduhai, takut. Apalagi dengan rasa badan seperti ini. Tidak benar-benar karena butuh digosoki minyak-minyakan, tetapi Kedekatanmu, itulah yang selalu 'kudamba. Ini entah kerjaan Oom Rudolf atau Oom Matthias mengapa melengking-lengking begini, pokoknya aku tidak mau lagi sendiri. Aku takut sepi.

Aduhsay, apalagi jika Aku [sedang] Jatuh Cinta begini. Tiada pernah 'kusangka hidup percintaanku begini amat, meski yang jauh lebih tragis dariku pasti lebih banyak lagi. Setua ini, semua khayalan semakin terasa tidak berdaya, bahkan yang dahulu 'kuyakini kuat-kuat. Tidak ada lagi yang merundungku kecuali pikiran-pikiran tolol di seputar babaduk. Itu pun bukan keyakinan, lebih seperti keselek handuk atau asduk sekali. "Mengapa kau tak bisa lihat? Kau 'lah jantung hatiku." Tidak 'lah. Jantung hatiku jelas bisa melihatnya: aku sudah seperti semacam anjing atau monyet peliharaan begini.

Lantas kesukaan Kak Tina, yang bahkan dia tidak ingat pernah menyukainya. Apalagi sekarang, semoga ia sehat-sehat saja seterusnya. Aduhai sedap sekali berputar-putar di semacam Indomaret atau Alfamart begini. Aku tidak benar-benar punya ragaan spesifik untuknya. Bisa jadi ini ruang tamu Yado II E4 di petang hari, dengan neon panjangnya, ubin kuning-merahnya yang sejuk. Ah, bisa 'kurasakan sejuk-sejuknya, apakah aku baru saja mandi. Bisa juga setelah makan malam, gadon misalnya. Masya Allah, dengan Yamaha CG-40-ku, perasaan cinta dan kasih-sayang memenuhi dadaku, menghangatiku.

Wednesday, September 22, 2021

Puyuh Berputing Beliung Berhengky Tornando


Asaptaga jijiks. Jika Cinta itu Buta mengoyakku jadi dua antara Arsil dan Graha Tiga. Ini bahkan sebelum itu, ketika entah mengapa aku jadi suka mengusap-usap muka berkeringatku sampai terasa asin. Ini bahkan kamar mandi yang sekarang dimonopoli Mbak Nung-nya Tom. Aduh, semoga tidak ada lagi di dunia ini anak laki-laki bernasib sepertiku. Biarlah ia menikmati permen Mister Sarmento atau apapun, tapi jangan sampai ia dirundung oleh babaduk sepertiku. Akankah kutepati janjiku untuk tidak lagi memeriksa pratinjau. Dapatkah aku mengkhianati ke-OCD-anku.


O, Mas Toni Edi Suryanto, engkau telah mengalami kebangkitan, engkau telah tercerahkan. Tidak sepertiku yang terus saja berada dalam ketiduran dan kegelapan. Honda Kocak dengan Kejawen UFO-nya jelas tidak orisinil, karena dari dulu selalu saja ada orang-orang seperti itu namun tidak diobati. Bahkan ia tidak perlu menggandengkan Kejawen dengan UFO seperti itu, karena redundan. UFO adalah sinonim dari Kejawen, dan betapa menyesalnya aku pernah berurusan dengannya. Meski aku tidak pernah benar-benar peduli pada UFO, kecuali berupa mainan hadiah snek.

Keterpesonaan padanya wajar saja. Tiap Kali Kaupergi, kau bawa sepotong dariku. Pergilah terus dan pergilah bebas. Ini benar yang ingin 'kukatakan pada diriku sendiri, meski aku tahu apa artinya. Mungkin tahu persis, meski tentu saja sok tahu. Hanya perlu ditahankan sebentar saja, namun tidak semua setuju. Aku pun sebenarnya tidak setuju, sama seperti ketika aku berkendara ke pinggiran Groningen hanya untuk mencari carjer untuk ITU. Ah, ITU memang sama saja dengan UFO, suka merundung orang tolol yang tidak atau belum diobati. Solusinya: silikon. Buddha yang baik!

Bagaimana aku bisa tahan menyakiti diri berlama-lama kemarin-kemarin. Mungkin karena aku gendut, berbulu, dan telanjang, meski tidak mungkin 'kusembunyikan wajahku. Ah, itu mengerikan! Itu Babaduk tanpa topi tinggi dan tangan bercakar. Itu kesedihan yang dengannya aku harus hidup. Mengapa kesedihan harus diberi makan cacing tanah. Kesedihan itu makanannya entri, dan aku tidak terima entri-entriku ini dianggap cacing tanah. Jenderal Kuribayashi pun makan cacing tanah di hari-hari terakhirnya. Apa salahnya cacing tanah gendut, berbulu, serta telanjang.

Tidak mungkin 'kumembunuh apapun. Hatiku terlalu lemah untuk itu. Satu-satunya yang mungkin 'kubunuh adalah diriku sendiri. Beberapa kali sempat terpikir untuk itu. Namun itu suisidal. Itu gila namanya. Itu bertentangan dengan teladan kebangkitan dan pencerahan Mas Toni Edi Suryanto. Lagipula, tidak ada bukti jika Jenderal Kuribayashi benar-benar mengakhiri hidupnya sendiri, sedang dia melarang prajurit-prajuritnya untuk melakukan itu. Jangan mati sebelum membunuh minimal sepuluh tentara Amerika. Ah, aku suka idenya. Ya, itu, tepat pada jangan matinya.

Berputar-putar berkesiuran mungkin terdengar seperti ragaan yang dibuat Kho Ping Ho atau Bastian Tito. Namun ini bukan. Ini angin, iaitu pergerakan udara dari tempat yang bertekanan tinggi ke rendah, di mana yang rendah berada tepat di tengah-tengah, dikelilingi yang tinggi-tinggi. Memang tidak masuk akal jika terus-terusan begini, maka jangan ingat-ingat lagi masa lalu, meski itu di Perum Satu, Dua, Tiga sekalipun. Aku harus memaafkan diri sendiri, dengan segala yang 'kuperbuat pada diri sendiri, jika tak mau terus berputar-putar berkesiuran tanpa henti begini.

Mudah bagimu berkata begitu, seperti Jhody Sumantri, ketika ia berjualan sandal buatan tangan yang diberinya nama Langkah Baik. Tidak juga berarti peci batik Jogokariyan lebih baik darinya, setelah celana Teh Nike yang karetnya kadang terlalu kencang dan kaus kurta henley yang belum diseterika. Jelas tidak membawa rasa bersalah setelahnya. Jangankan sampai berputar berkesiuran, diulangi saja nyaris tidak mungkin. Lihatlah, sandal bata dan penuhnya lemari. Terus berputar berkesiuran itu yang terkadang membuat isi kepala seperti ditiup dari dalam. Masih berani?!

Monday, September 13, 2021

Kerinduanku Pada Masa Kecil Berakhir. Kini


Sedang aku diguyur elusan lembut kombo bossas yang terdiri dari gitar, bass, piano, dan drum, hujan berderai di telingaku. Sedang bauku, 'kuyakin, seperti kunyuk, aku akhirnya mengetiki. Sepertinya harus retroaksi, entah mengapa aku merasa setiap bulan tidak boleh hanya satu. Bahkan tiga juga tidak boleh, sedangkan kebiasaan membuat kalimat asal-asalan seperti ini benar-benar merugikanku, sepertinya. Hujan ini membelai derainya, seperti tawa seorang kekasih. Aku menyesal telah iseng membacanya, sekarang ia lekat seakan-akan diukir di batu gunung.


Apa bedanya denganku, yang jengkel tiap kali harus memeriksa pratinjau. Ia mungkin juga menyesali dirinya tiap-tiap kali. Lantas Widiyanto Rambut menyebutnya bandot, jika begitu aku apa. Aku tentu jauh lebih nista dari itu, meski tidak tega juga membayangkan tahi bandot yang hitam bulat-bulat itu. Terkadang bentuknya seperti serumpun anggur yang sudah mengismis, tetapi masih serumpun. Yah, seperti Indonesia dan Malaysia begitu. Serumpun. Betapa menjengkelkan, namun mengasyikkan. Kau pasti tahu apa yang asyik itu, namun aku tidak tega.

Ya, itu bentuk paragraf di atas ini. Menjengkelkan. Menyakiti mata. Seperti melihat Jl. Kompleks Angkasa Pura K28 yang hancur lebur, dengan angka 28 ditulis tangan jelek begitu. Balik kanan, aduhai betapa kumuhnya yang dalam kenanganku indah permai. Namun ingatanku tidak salah. Pada saat itu memang indah permai dengan beberapa batang pohon kelapa melambai-lambai menghiasi kaki langit. Dapat kubayangkan Fokker 27 atau 28 sekali melakukan pendekatan terakhirnya pada landasan pacu utama, melintas di atas kantor redaksi Kartini dan Ananda.

Lantas berguncang-guncang itu, mengapa begitu menariknya dari kecilku dulu. Apa yang 'kusesali, siapa yang dapat 'kusalahkan, 'kucela, selain diri sendiri. Ketika jalan agak berbelok ke kiri sebelum mencapai pagar kompleks yang seingatku tidak pernah ditutup. Di luar sana ada sekolahku Taman Siswa cabang Kemayoran Gempol, yang di seberangnya ada pohon sengon, rumah Nico dan Vera. Astaga betapa ini semua kini terasa musykil. Bahkan semur tahu Ibu yang surgawi itu, belum dengan sambal tomatnya sekali, terasa semakin jauh dari jangkauan. Haruskah 'kulepas?

Ini suatu kenyataan yang memang tidak pernah 'kututup-tutupi, ketika aku terlempar jauh ke dekat Monjali, merokok entah apa. Namun yang pasti aku merokok, pada ketika aku perkasa tidak bodoh iya. Mungkin aku setolol Tarsisius Legiman pada saat itu, meski Legiman sudah pasti tidak tolol ketika ia hanya sibuk mensucikanNya. Nyatanya, aku tidak pernah berhenti tolol-tololan sampai hari ini, sampai seringkali jengkel pada diri sendiri. Sejauh ini seharusnya sudah mengonfirmasi bahwa memang bukan di sini dan mustahil di sini. Lantas apa lagi yang 'kaukuatirkan, hah.

Uah, aku terlempar lagi jauh ke belakang, apakah di ruang tamu berubin kelabu, atau ruang belakang berkarpet vinil. Bunyi senapan mesin setelahnya seakan memberitahuku bahwa kelak dalam kehidupanku, aku akan benar-benar berurusan dengannya meski sebentar. Akan halnya kehidupanku sendiri, tidak banyak beranjak dari ruang tamu berubin kelabu itu, atau ruang belakang berkarpet vinil, sampai ubin kuning dan merah, kelabu lagi. Selalu saja tulisan dan tulisan, baik bermakna maupun tidak. Aku tetap di situ, meski gambar-gambarnya semakin tidak menarik.

Aku masih tetap yang Terbaik dari Puncak Keenam, meski jikapun pernah ada perempuan yang tergila-gila padaku, aku tidak tahu atau sudah lupa seperti apa. Hanya saja aku ingat pernah memainkan harmonika di bawah jendela putri-putri, bahkan sekadar berkaus putih sedang seingatku perut sudah mengalir ke mana-mana. Ya, dekat tanah kosong yang hampir dibuat lokasi wisata seks alam bebas Oom Bagas. Pada saat inilah aku terlontar jauh ke depan, seakan-akan dengan katapel uap kapal induk, seperti ketika aku menunggu keberangkatanku kali pertama ke Belanda.

Monday, September 06, 2021

Ah, Orang Asing Bukan Lelaki Misterius. Itu Aku


"Akan 'Kubuat Kau Puas Terus," begitu 'kukatakan. Aku bahkan kini tidak pede lagi menggunakan tanda-tanda baca. Setiap kali 'kubuat singkatan dari Angkutan Sungai, Danau, dan Ferairan, tadinya 'kupikir aku merasa geli. Ternyata tidak, demi mengingat betapa aku bukan siapa-siapa di mana pun 'kuberada, kecuali anak Bapak Ibu. Itulah mungkin yang membuatku tidak percaya pada embel-embel apapun. Semata karena aku tidak pernah punya. Bagaimana sampai 'kuberpikir aku ini semacam oye, padahal keple sataek. Sekarang ditambah satu: Aku kesayangan Cantik.


Apapun itu, tadi malam, sepanjang malam, aku tidak bisa tidur. Seperti biasa Cantik mengatakan aku ngorok. Mungkin iya, tapi sebentar-sebentar. Kalau ini bukan tempat meratap-ratap, lalu ini tempat apa, yang sekarang tanpa tanda tanya ini. Memang Bos Tikus ini agak 'maksa. Mungkin sepintas kilas benar agak terdengar seperti John, tapi jika didengar lekat-lekat ya seperti itu: Bos Tikus. Ini dahulu punya Oom Alvaro Julian. Sempat 'kudengarkan di suatu sore hari, di tempat Aryo dan Sodjo suka berbaring-baring sekarang. Tentu sudah dikembalikan Bapak.

Ujung Lidahku kuganti dengan ujung jari-jari tanganku. Memang tidak sepuluh-sepuluhnya benar. Tidak mengapa, yang penting tetap rampak; dan terkadang aku pun tidak perlu melihat ke papan-kunci. Mataku lurus menatap layar di mana makna-makna terus saja berserak, sedang huruf-huruf dan tanda-tanda baca teratur rapi. Aku biasa menguatirkan kata-kata jamak. Di sini, aku tidak kuatir apapun. Pendengaranku, seperti biasa, terpusat pada dentam-dentaman bass. Seperti Para Pemimpi, tafsir Bos Tikus ini jelas kalah oh yeah dibandingkan rendisi asli John dan Paul.

Ini Untukmu, dapat 'kupahami mengapa Brian tidak pernah memproduksi dan merilisnya. Ini khas eksperimentasi John yang entah mengapa suka sekali ketukan tiga perempat, bahkan enam perdelapan. Nah, kalau Masuklah Cinta ini tidak bisa lain pasti kerjaan Paul. Apapun itu, yang menjengkelkan, mengapa aku harus mempedulikan ini semua. Apa karena tidurku tidak benar tadi malam, sehingga aku merasa belum pas untuk mengerjakan apa yang harus 'kukerjakan. Benar belaka apa kata Bang Andri. Tantangan terbesarnya kebosanan. Itu-itu melulu bertahun-tahun.

Seperti itulah tak terkecuali, setiap kali terdenyut hasrat untuk berkarya, yang 'kubuka malah goblog ini. Aduhai begini benar. Sungguh, kalaupun pernah 'kumerasa lebih hebat dari Sopiwan, aku sudah lupa. Segala sesuatu mengenai diriku destruktif, bahkan suisidal, entah ada atau tidak kata ini dalam bahasa Indonesia. Kadang aku jengkel dengan transpos nada dasar yang rasanya tidak perlu. Nah, musik selalu saja masalah rasa, dan aku sadar sepenuhnya rasaku bukan yang paling halus dalam urusan ini. Uah, sangat bisa jadi aku tidak ada apa-apanya dibanding Mas Soeko.

Berapa banyak yang segera tahu kalau ini adalah Tanah yang Mengagumkan. Berapa banyak ibu yang seperti Ibuku. Berapa banyak bapak yang seperti Bapakku. Mengapa gaya-gaya'an sok mau menepati janji segala. Mengapa tidak sekadar menyebutnya berkarya, atau sudah kerjakan saja tanpa banyak teori. Ah, inilah aku di Tanah yang Mengagumkan ini, karena Ibu dan Bapakku, sedang orang bertepuk tangan riuh dan Pakde Hank berterima kasih karenanya. Berapa banyak yang segera tahu kalau ini adalah 'De Hank atau bahkan Stratocasternya.

Aduhai urusan justifikasi ini benar-benar membuat edan, terlebih di bawah kerukup mendung yang tak kunjung mencurah jadi hujan. Lebih baik begini, meski hampir dapat dipastikan di Amsterdam aku selalu merasa sejuk, sampai harus berpakaian dua lapis. Apalah artinya sejuk udara jika hati dicekam sepi. Di sini, Cantik selalu beberapa langkah saja jauhnya. Mereka tidak selalu mempedulikanku, tapi cukuplah bagiku perasaan ada mereka di sekeliling, entah-entah yang mereka kerjakan. Tidakkah kau hendak menunjukkan betapa kau peduli padaku. Ini lagi!