Saturday, December 22, 2012

Di Manapun Berada, Nasihat Ibu Pedomanku


Nasehat Ibu, Pesan Ibu
Akan kuingat s'lama hayat
dan di manapun aku berada
Nasehat Ibu pedomanku

Ini adalah syair dari sebuah lagu yang diajarkan Bu Darsinah [...atau haruskah kupanggil Nyi Sudarsinah, karena beliau adalah seorang Pamong Taman Muda Perguruan Taman Siswa?] ketika aku masih bersekolah di bangku kelas 3 Taman Siswa Kemayoran Gempol. Melodinya sangat sederhana namun manis, sampai hari ini selalu terngiang dalam kepalaku. Sebenarnya ada satu lagi lagu yang diajarkannya, yang lekat dalam ingatan. Sayangnya yang ini aku tidak ingat seluruh syairnya. "Sungguh katamu wahai Saudara, duduk bercakap tidak berguna," hanya dua baris terakhir inilah yang kuingat; meski melodinya aku ingat semua. Mas Iwan dulu membuat lagu ini bercandaan, khususnya di dua baris terakhir ini. Sambil menyanyikannya, ia memegal-megolkan pantat. Menurutnya, itu adalah visualisasi yang tepat bagi melodinya. Aku sebenarnya tidak begitu setuju, tapi biarlah. Bu Darsinah, dan Bu Kus, adalah dua pamongku ketika di Taman Muda yang selalu kukenang. Sayang, aku tidak pernah bertemu dengan beliau-beliau lagi semenjak kepindahan ke Radio Dalam. Bu Kus yang lemah-lembut dan sering membelikanku teh botol Sosro, dan Bu Darsinah yang tegas namun terlihat betul kasih-sayangnya pada murid terpancar dari setiap tutur-kata dan gerak-geriknya. Ah, guru-guru yang hebat. Semoga bangsa ini tidak pernah kekurangan guru-guru seperti mereka.

Kemudian Bu Djasma, guruku di kelas 4 SDN Pulo 01 Pagi Jembatan Selatan. Yamto tidak berapa suka padanya, karena ia, menurut Yamto, pilih kasih, meyayangi Ronnie dan Donnie lebih dari yang lain. Aku tidak banyak ingat guru-guruku di SMP, baik Islamic Village Tangerang maupun SMPN 56 Jakarta. Hanya satu yang kuingat, Bu Edah Jubaedah, guru Bahasa Sundaku. Masalahnya aku bodoh sekali dalam mata pelajarannya, sedangkan untuk yang lain nilaiku baik. Ia sempat menyangka aku menyepelekan pelajarannya, namun seingatku aku memang kesulitan mempelajari bahasa itu [...meski mengingat apa yang terjadi dengan pelajaran Bahasa Jepang di SMA, mungkin memang benar aku tidak cukup terdorong untuk mempelajarinya...] Selain itu, Bu Edah, yang ketika itu pasti masih sangat muda, rambutnya bagus sekali. Aku disuruh ke rumah beliau untuk her atau mendapatkan pelajaran tambahan, dan di situlah aku melihatnya; karena selama di sekolah semua guru perempuan mengenakan hijab. Terlepas dari itu, Bu Edah adalah seorang guru yang sangat kompeten, meski waktu itu beliau masih sangat muda. Seingatku, Bu Edah sangat serius menyampaikan pelajarannya, dan aku sungguh menyesal kalau memang ternyata aku, dalam hati kecilku, menyepelekan mata pelajarannya dahulu.

Lalu guru-guruku, pamong-pamongku di SMA. Meski tak mungkin kuceritakan satu per satu semuanya, bukan berarti yang tidak tersebut kurang berkesan atau kurang berjasa. Secara umum, para pamongku waktu SMA benar-benar mengagumkan. Rata-rata mereka berusia muda ketika itu, mungkin masih 20-an atau awal 30-an; dan mereka melaksanakan tugasnya dengan sangat sempurna. Baiklah kusebut terlebih dulu Bu Eko, karena beliau wali-kelasku pertama dan pelatih paduan suara di mana aku tergabung. Bu Eko-lah yang menambah perbendaharaan lagu-lagu Nat King Cole-ku, terutama dengan beberapa lagu yang monumental seperti Walking My Baby Back Home, These Foolish Things dan satu kaset penuh itu. Tak heran beliau mencipta begitu banyak lagu yang sangat cantik jika lagu-lagu tersebut referensinya. Kemudian Bu Andras, wali-kelasku ketika kelas 2. Bu Andras, tidak seperti Bu Hartini wali-kelasku ketika kelas III, mungkin tidak termasuk lemah-lembut, bahkan cenderung tegas. Namun aku, meski nakal sekali, masih dapat merasakan kasih-sayang seorang ibu terpancar darinya. Bu Hartini, seperti sudah kukatakan, adalah seseorang dengan tutur-kata dan perilaku yang sangat lemah-lembut. Baik Bu Andras dan Bu Hartini adalah guru-guru Bahasa Inggris, dan mengingat nafkahku kini sebagian besar berasal dari kemampuan berbahasa Inggris, sungguh pada tempatnya jika aku selalu mengenang mereka dengan rasa terima kasih mendalam.

Kata orang, wajarlah bila bagi seorang anak laki-laki, ibunya adalah segala-galanya di dunia ini. Mungkin benar. Ibu, Meity Budiarti, memang segala-galanya bagiku. Sama-sekali tidak berlebihan jika kukatakan tahun-tahun dalam hidupku, terutama yang belakangan, kuhabiskan untuk mencoba membahagiakannya. Hatiku terasa sungguh ringan jika Ibu marem, ridha atas apa yang kukerjakan; dan sebaliknya, betapa susah dan berat rasa hatiku jika Ibu sampai bersedih hati, terlebih karena perbuatan maupun perkataanku. Sayang saja, kurasa, belum cukup untuk melukiskan apa yang kurasakan pada Ibu. Ibu, ya itu tadi, adalah segala-galanya bagiku. Ibu sering ngendika bahwa seorang ibu adalah pertapaan bagi anak-anaknya. Aku pernah mengalami tahun-tahun pernuh kebingungan di mana aku kehilangan diriku sendiri. Ketika aku menemukannya kembali, aku tidak peduli aku siapa, aku mau apa; yang terpenting adalah aku anak Ibu dan Bapakku, tertua pula, dan apapun yang mereka inginkan, terutama Ibu, itulah keinginanku. Tidak ada lagi yang lebih kudambakan di dunia ini daripada ridha Ibu dan Bapak, tidak ada lagi yang lebih patut kuusahakan dengan sepenuh-penuh kesungguhan hati; karena aku yakin, itulah sejatinya keberadaanku di atas dunia ini. Semua sebutan menjadi tidak penting, tidak bermakna, dan, lebih penting lagi, tidak akan kekal. Kenyataan bahwa aku anak Ibu dan Bapaklah yang tidak akan berubah selamanya.

...kata Bang Andhika Orangtua, sesudah itu Guru.

No comments: