Friday, July 27, 2018

Kemasukan Kamikaze Gelombang Panas 2018


Nah, ini dia. Ini bukan acaranya Bang Mohan Mehra. Ini suatu teknik baru dalam menerbitkan entri. Jika selama ini aku kerap menyalahgunakan retroaksi, kali ini, setelah dibantu Thesaurus, aku mencoba progresi. Ya, karena aku pada dasarnya tidak ingin menyalahi janjiku pada Januari. Jika Juli harus seperti Januari, maka enam-lah ia. Meski tadi ketika turun dari trem nomor 7 ada sedikit godaan, jangan-jangan Juli jadi tujuh. Baru saja aku terpikir mengenai progresi ini. Apa salahnya dicoba.


Mencoba progresi seharusnya ilustrasinya progresif juga, lha ini koq malah Sinatra campur Jobim. Sebelumnya sempat Fausto Papetti, namun terasa terlalu melangutkan jiwa di petang hari kala sang surya nyaris tenggelam begini. Aduh, sepertinya Sinatra campur Jobim ini pun harus segera diganti... jadi Rapsodi Gelandangan! ...atau tanpa ilustrasi sama sekali? Ah, biarkan saja! Setidaknya sampai entri ini selesai. Masalah nanti melanjutkan bekerja atau entah apa, itu urusan belakangan. Sebagai pilot kamikaze, aku tidak boleh banyak berpikir.

Ini seperti pagi-pagi sehabis subuh mendengarkan kisah-kisah mengenai pilot kamikaze, sedangkan jendela dibuka, lantas kaki perlahan-lahan mendingin dan makin dingin. Pagi yang dingin aku sendiri. Dingin-dingin, tambah dingin, semakin dingin... Halah! PYMM apa kabarnya? Aduhai cucok! 'Udah edan hari 'gini Rapsodi Gelandangan bertingkah. Menulis entri hari 'gini juga edan, sebenarnya. Setidaknya tidak dengan Dalam Rahimnya Nirwana. Hebat ini menulis entri tanpa peduli suasana hati. Mungkin karena sedang kemasukan kamikaze. Mungkin karena hari ini kode oranye.

Apakah setelah ini justru menuntaskan 'nonton Flash Gordon yang beberapa tahun lalu pernah Jumat dua rakaat, bisa jadi. Ya, ini sih tidak ada bedanya dengan entah berapa ribu hari-hari panas yang pernah kulalui, yang membuatku kemasukan juga. Akan halnya aku bungkruh, mau bagaimana lagi. Ini cucok dengan beberapa tahun lalu itu juga, di mana terjadi jungkat-jungkit yang sekarang sedang menghadapi kemalangan. Astaga. Mengapa yang terkenang justru memanjat ke lantai empat, sesampainya di sana malah cegukan.

Ah, Ratu Pembunuh memang selalu berhasil membangun suasana. Masalahnya suasana seperti apa yang terbangun olehnya? Apakah sore-sore juga di Radar AURI. Uah, ini juga jadi cucok. Bedanya sekarang aku mengerjakannya untuk diriku sendiri. Masya Allah, tidak pernah kusangka, setelah duabelas tahun terjadi juga ini padaku. Berapa banyak lagi sisanya, betapa kita semua saling bersilangan, namun ujungnya sudah jelas. Sudah pasti! Tanda seru kurasa lebih baik dari tanda tanya. Lebih asertif. [nasib buruk menimpa orang baik...]

Mungkin di sini sudah pernah ada Gadis Berpantat Semok. Tidak perlu juga kutonton di bioskop. Mana tahu, ketika sedang duduk-duduk menghadap Cikumpa ia akan muncul begitu saja seperti James Brown, Ray Charles, siapa lagi. Bedanya kali ini aku sedang memperjuangkan sesuatu. Apa memang. Entah, sedangkan belum pukul sembilan matahari sudah kehilangan keperkasaannya. Demi masa. Demi waktu senja. Masih haruskah aku berusaha mencari kesenangan, sedangkan yang terpasang tinggal lagi Peradaban Lima Dunia Baru yang Berani begini.

Masih ingatkah kau akan Bangkitnya Bangsa-bangsa. Adakah ia masih menarik. Bersedia, siap, yak! Mengapa tidak pergi. Mengapa sepeda menyebabkan sentlap-sentlup. Mengapa jika sadelnya sudah disetel aku harus yakin bahwa ia tidak akan menyodomiku lagi. Aku tidak mau menjadi Presiden Amerika Serikat, apalagi Presiden Republik Indonesia. Itu biar Jokowi saja. Biar dua periode, jika maunya begitu. Aku hanya ingin Sahabat Terbaik dan itu adalah Cantik. [Aku merindukannya itu sudah pasti, meski kutahan-tahan agar jangan sampai terlintas]

Wednesday, July 25, 2018

Sore Musim Panas Menulis Entri Jadi Jelek


Mungkin memang sudah pada tempatnya jika Juli, sebagaimana Januari, memiliki enam entri. Juli merupakan awal dari paruh kedua tahun ini, seperti halnya Januari adalah awal dari paruh pertamanya. Alhamdulillah, tahun ini sudah hampir setengah jalan, dengan rutinitas baru! Aku tidak ingat, atau sekadar sedang malas mengingat, tetapi rutinitas yang kutinggalkan memang sudah mengurungku, membuatku menjadi seperti ini. Siapa tahu, rutinitas baru ini menjadi semacam pembalik ke sediakala, ke arah yang lebih baik. Insya Allah Ta’ala.

...yang istimewa itu, ada kaas croissant yang sudah digigit, makan malamku...
Sungguh unik suasana sore ini. Ini seperti jam setengah enam sore kalau di kampung, padahal sekarang jam sembilan. Pernahkah aku menulis entri pada waktu seperti ini, aku tidak ingat. Apa yang biasanya kulakukan pada jam-jam segini. Bisa jadi di kelas, selebihnya aku lupa. Entri ini mungkin akan jadi entri kedua yang ilustrasinya gambar yang kuambil sendiri. Akankah seterusnya seperti ini, mengingat ada saja yang ilustrasinya hilang. Bisa jadi. Ini adalah blog kata-kata bukan gambar, bagaimanapun.

Jam begini memang tidak sesuai untuk menulis entri. Biasanya, badan sudah penat apalagi pikiran. Maka sekarang pun tidak lancar, namun kupaksakan juga. Membaca Verstappen aku sudah malas, melamun sangat membahayakan, meski aku bukan pelamun. Ada rasa rindu yang sekuat tenaga kutahan. Sungguh indah sore menunggu maghrib jika bersama dengan orang-orang yang dicintai. Di sini, demikianlah keadaanku. Semoga derita ini menghapus dosa-dosaku. Makanya jangan ditambah, dong. Dalam kasus Hadi empat bulan. Aku berapa lama, tidak tahu.

Ya Allah, berkelebat-kelebat itu berbagai kenangan mengenai sore-sore indah yang telah kulewati. Suatu hari nanti, mungkin gambar ini pun yang akan mengelebat. Mengetik entri, menghadap jendela yang mempertontonkan langit sore yang nyaman, sedangkan kelak bangunan-bangunan ini mungkin sudah jadi. Dua orang perempuan keturunan Afrika melintas di kejauhan. Mereka tidak mempedulikanku. Ya, ini musim panas. Akhir Juli. Lalu masuk Agustus, dan kertas delapan bulan alias disain penelitianku pun selesailah. Insya Allah. Lalu berbagai kursus yang menggairahkan.

Ini entri tidak bagus, tidak mengalir, meski tiba-tiba saja melintas persekitaran Jalan Tambak di waktu-waktu seperti ini. Uah, aku mungkin tidak akan begitu suka. ‘Tuh ‘kan, bahkan di sana saja ada kemungkinan tidak suka. Jangankan itu. Tepat di samping Cantik, di atas kasur nyaman pun masih ada kemungkinan itu tidak suka. Lantas apa bedanya, jarak, waktu tidak menentukan. Kau bisa di manapun, kapanpun, dan tetap merasa suka. Jangan pedulikan apapun yang dirasa, tetap ingat Allah.

Jendela kubuka lebar-lebar hampir satu jam tadi, semoga tidak ada serangga masuk. Apapun rasanya, tempat ini akan menjadi kenangan indah setelah dilalui. Insya Allah, jika sampai waktunya nanti, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. Bisa jadi aku akan tinggal bersama Hadi. Setidaknya aku pulang akan bertemu orang, meski seperti itu bentuknya. Insya Allah, aku selalu bisa masuk kamar, namun selalu bisa keluar dan bertemu dengan orang, meski Hadi. Mungkin kami memang sama-sama kesepian.

Aku merasa seperti ada serangga. Semoga itu perasaanku saja. Buat apa gelisah, toh maghrib Insya Allah segera menjelang. Setelah itu, seperti biasa, tinggal menunggu Isya’. Setelah Isya’ tinggal menunggu kantuk. Jangan lupa minum obat, seperti sudah kaulakukan satu setengah tahun lebih. Siapa tahu suatu saat nanti kau akan terbebas dari itu semua, seperti yang selalu kaupinta selama ini. Aku memang terlahir murung, namun tidak berarti aku tidak bisa optimis. Apa lagi yang kupunya selain optimisme?

Sunday, July 22, 2018

Amsterdam Sudah Cukup Bagiku, Stockholm


Meski terpisah ribuan mil, pagi ini aku bersama teh Bapak, Sosro Heritage Jasmine Tea. Entah sejak kapan Bapak selalu ngunjuk teh ini. Mungkin semenjak kutinggal ke Magelang. Aku tidak ingat pasti. Teh ini sepanjang ingatanku selalu bersama kami sambil menikmati nasi uduk Mpok Mar. Beberapa bulan yang lalu aku terpisah hanya belasan mil dan sekitar dua jam naik go-car dari Bapak. Kini entah apa yang memisahkan kami dengan Mpok Mar. Di manapun tidak akan kutemui.

Nasi Uduk Piking yang tidak anying. Pokoknya bukan nu aing, Ma Jolie Fille.
Mungkin hanya sebentuk nisan bertuliskan namanya. Itu pun kemungkinan besar aku tidak akan mengenali. Hanya doa yang dapat kukirimkan padanya, semoga Allah menghapus dosa-dosanya, melipat-gandakan pahalanya, memasukkannya ke dalam surgaNya. Amin. Betapa Mpok Mar telah membuat pagi-pagiku bahagia dengan nasi uduknya yang sederhana itu. Langkah yang ringan menuju ke beranda sederhana tempat ia berjualan. Mengantri bersama orang-orang sederhana sesama pelanggannya. Langkah kembali pulang yang bertambah riang saja karena segera akan menyantap sederhananya hidangan bersama Bapak.

Pagi ini, meski bersama teh Bapak, aku tidak bersama Bapak, apalagi nasi uduk Mpok Mar. Mungkin ini sesuatu yang harus kulatih agar terbiasa. Aku justru bersama dengan kari entah-entah, roti macan berisi salad kentang dengan kilasan saus kari, keju murah yang hambar dan abon yang mantap dari Muhammad Ilham Rivanny. Beberapa tahun ke depan ini aku harus terbiasa dengan yang seperti ini. Insya Allah, nanti tidak akan sesepi ini. Siapa tahu ke depannya bersama Hadi.

Bersama dengan siapa aku, tidak lagi bersama dengan siapa aku, tidak banyak berarti. Jika pagi ini aku bersama Pakde Frank Mills, itu sama saja dengan tidak mungkinnya aku bersama lagi dengan Pakde Binto maupun Pakde Lentu. Insya Allah, tidak lama lagi Adjie bisa bersama lagi dengan Pakde Boni. Begitu saja terus. Seperti halnya ada ketukan dua perdua, sedang yang lainnya entah tiga atau empat perempat, suasana hati seperti apa yang diciptakannya, semua tidak banyak berarti.

Akankah dalam hidupku ini aku sampai di Stockholm bahkan Trondheim, tidak terlalu kupikirkan. Hanya saja, sekiranya sampai juga, hanya kepadaMu hamba memohon badan yang sehat nyaman dan hati yang ringan bahagia, sebagaimana di Amsterdam ini. Cinta memang seperti itu, meski aku tidak seberapa pandai memainkan piano. Pakde Frank Mills hampir selalu memainkan piano pada nada-nada tertingginya. Seperti halnya makan, semakin jarang kurasakan nikmatnya terharu-biru nyanyianku sendiri, seperti di masa-masa yang lebih muda. Seperti itu saja.

Ketika kau tersenyum, meski mungkin bukan untukku, aku tersenyum juga. Mungkin kukulum senyumku, atau kubiarkan lebar. Entah aku seorang ilmuwan atau pemberontak, atau sekadar orang gajian yang membeli nasi uduk padang di pagi hari dan nasi uduk malam di malam hari, tidak menjadi masalah. Akan halnya telah kuucapkan selamat berpisah kepada Parioh Sty, dan apakah itu berarti ia akan berganti menjadi semacam Splash, apa bedanya. Hanya saja, jika itu dapat membuat Cantik senang, akan kulakukan.

Tidur lima jam semalam, telanjang bulat, berselimut tipis saja, membuatku sarapan sambil berjaket. Je t’aime moi non plus, sementara matahari pagi menembuskan kuat-kuat sinarnya melalui celah-celah tirai, di pagi musim panas di Amsterdam ini. Entah berapa lama lagi ia dapat kusebut tepi hutan bambu dan tepi Cikumpa, entah apa yang menungguku di pesisir Teluk Jakarta atau kantor-kantor pemerintahan, mungkin juga Darmaga, Bogor. Semua tinggal dijalani saja, seperti Opa Paul Mauriat menarikan jari-jarinya pada tuts-tuts piano.

Sunday, July 15, 2018

Perancis Juara Dunia Sepak Bola di Meent


Sedangkan aku malah main-main bola sepak dengan Nayla Zahra, yang membuatku merasa penderitaanku tiada berarti apa-apa. Memang bisa-bisa konyol kelakuan memperbanding-bandingkan begini. Jikapun mau, lakukanlah seperti apa yang dicontohkanNya dalam Quran. Manusia memang suka membanding-bandingkan, dan dengan cara itulah mereka belajar. Sudahlah, ini bukan tempat sok bijaksana. Ini adalah pengabadian kolam kecil musim panas yang cantik, dikelilingi pepohonan, ditingkahi entah oboe entah terompet Perancis. Terlepas dari teriakan-teriakan para pendukung Perancis, bukan itu yang aku dengar.


Ada juga yang meragukan Royal Philharmonic Orchestra, (RPO) menuduhnya menggunakan kibor murah. Sempat juga terpikir begitu, meski seterusnya semakin ragu. Terutama setelah mendengar ratapan viola solo, mungkin memang benar RPO. Hanya terpikir olehku, jika lagunya seperti Bruno Mars atau Meghan Trainor seperti sekarang ini, RPO bisa gulung tikar; atau mungkin memang sudah gulung tikar? Dunia terus berubah. Anak-anak kecil menjadi orang dewasa. Tiada akan lama lagi sebelum Nayla tumbuh menjadi seorang gadis seperti kakaknya Fia.

Aku masih bisa meracau di sini, bagaimana dengan Nayla? Ia hanya punya bapaknya. Bahkan teman mungkin dia tidak punya, kemarin saja bertengkar dengan Linda. Aduhai, lelakon hidup manusia. Ada yang sekadar ngelakoni, ada yang beriman seraya beramal shalih. Begitu saja senandung flute melemparkanku ke masa-masa yang telah lalu, yang mempertemukan kami kembali di tapsiun Duivendrecht sampai Meent, berpisah di van Boshuizenstraat. Informatika Gajah Duduk jelas bukan sembarangan, terlebih dengan beasiswa pula, meski gagal menjadi penerbang.

Lalu apa gunanya menulis di sini? Adakah tulisan-tulisan ini balik berbicara padaku? Tentu tidak. Adakah yang benar-benar kubutuhkan adalah seseorang yang balik berbicara padaku, seperti halnya Hadi yang terbiasa pulang bertemu orang dengannya ia akan bercakap-cakap? Mulai lagi kalimat-kalimat tanya ini. Aku berharap ini semacam posimpresionisme, eksibisionismeku ini. Jangan sampai ia menjadi puisi esei pula karena aku pun tidak punya duit. Bisaku hanya ini. Aku bukan Fred Holleman yang menulis novel. Aku Bono yang bertujuh-lima-lima-dua-lima.

Namun Holleman menyelesaikan disertasinya, bahkan mengucapkan pidato inaugurasi yang mengharu-biru Sofyan Pulungan. Aku sih tidak. Ini pula Budi Arsika nyela-nyela. Bukan. Kalau ada yang benar-benar harus kaulakukan, itu adalah ITU! Mengapa lancar sekali benakmu menyuruh jari-jari mengetuk-ngetuk, kemudian menghunjam enter? Apa tidak bosan? Lalu mengapa berlama-lama di rumah, tidak segera ke kantor? Apa karena tidak ada jadwal mengajar? Kalimat-kalimat tanya lagi, yang membuatku justru semakin tidak lihai menyusun pertanyaan penelitian. Bagaimana mau jadi ilmuwan ulung?

Aku juga tidak mau disapa sembarang orang. Huh, aku memang pilih-pilih, seperti Dr. Doel Salam pilih-pilih kuah bakso. Setidaknya aku bukan Hadi yang masih punya tenaga untuk ber-PPLN, atau Pak Ibnu Fikri yang tidak dibayar mengetuai PCI NU. Jika kau merasakan ini, ingatlah Nayla dan bapaknya. Sebenarnya ingat Allah sih. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Benar ini. Tidak. Aku tidak mau berdoa di sini, sedang ini mungkin adalah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.

Kotor? Maksudmu seperti lethek gitu? Seperti tuwa, bacin lagi? ‘Tuh kalimat tanya lagi. Sudahlah. Sekali menebak langsung benar. Sekali saja itu. Perancis juara dunia sepak bola di Meent. Seperti kata Gerben, kemungkinan besar nelayan kalah, maka bertemanlah dengan pengusaha, demikian Laurens hahaha. Tidak tepat begitu kata-katanya, sih. Jangan-jangan aku yang diam-diam ingin mewujudkan kebohongan yang terus saja kuulang-ulang. Astaghfirullah, bagaimana mau masuk surga jika begini caranya? Dengan ini berakhirlah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.

Friday, July 13, 2018

Menunaikan Puasa pada 29 Syawal 1439H


Jika benar-benar ingin menulis entri, pastikan tidak membuka penelusur dulu, tetapi pemroses kata. Jika penelusur dulu dibuka, maka akhirnya pasti membaca-baca entri-entri lama; meski memang itu maksud dari diadakannya entri-entri, agar dibaca-baca suatu saat nanti kelak di kemudian hari. Entri ini dibuat dengan maksud mengabadikan berhasilnya ditunaikan Puasa Syawal tepat pada 29 Syawal 1439H ini. Segala puji hanya pantas bagiMu, Pengayom alam, hamba mohon diajari bagaimana cara berterima kasih yang layak, yang menyenangkanMu, Duhai Mahakasih.


Setahun lalu, pada saat yang sama ketika menyelesaikan Puasa Syawal, aku masih dirundung ketakutan tipis-tipis, takut akan kecewa. Inilah jawaban atas ketakutanku. Setahun kemudian! Apa yang kurasakan sekarang? Sekarang ini yang kurasakan adalah menjalankan keseharian yang sama sekali berbeda, yang setahun lalu sama sekali tak terbayangkan. Jauh dari Cantik, itu sudah jelas. Senang atau susah, tidak banyak berarti. Sedangkan Musim Panas Mengetahui, memang sekarang sedang musim panas. Semua orang pergi berlibur kecuali kami para peneliti.

Mantap kali ‘pun! Peneliti pada Amsterdam Institute for Social Science Research yang dipelopori oleh Profesor Willem Wertheim sendiri, Guru Besarku sendiri dari Rechtshogeschool te Batavia! Batavia, lalu Amsterdam, dan aku pun telah pernah menghadiri serial kuliah yang didedikasikan baginya. Adakah aku akan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas intelektual ini, komunitas epistemik, yang didalamnya ada Karim, ada Fajri, sisanya perempuan. Seorang gadis bermain sepatu roda, yang sudah kukenal baik dari masa kecilku. Sungguh riang gembira!

Kini aku mengharap lebih. Sungguh lebih dahsyat. Aku berharap dua embel-embel sekaligus di depan, Masya Allah. Memang hanya ini yang dapat kulakukan, berharap-harap, sedang yang kukerjakan sehari-hari hanya seperti bebek-bebek di selokan depan, bertahan hidup. Seperti yang telah kulakukan bertahun-tahun. Dihampirkan di mana aku, disinggahkan di mana pun, terserah padaNya. Namun dalam keseharianku ini jelas ada harapan-harapan Bapak, Ibu, Akung dan semua saja yang sayang padaku. Aduhai betapa dunia ini penuh cinta dan belas kasih-sayang!

Seperti ketika aku menggenapkan Puasa Syawalku dua hari terakhir ini, pada hari pertama aku khawatir dengan laukku. Maka kupesanlah secara daring pad thai tofu vegan dari Kitchen of Happiness (KOH) di Ijburg, masih dengan fish cake-nya sekali. Sungguh mewah makanan ini, yang berarti hambar serba kurang garam. Keesokan harinya, begitu saja Ilham menawariku pempek. Masya Allah, sesampai di kamarnya, bukan hanya pempek, melainkan dendeng bahkan abon sekali! Shalat Jumat bertemu Bison, masih ditambah lahmacun sayur.

Begitulah, betapa takutnya hamba tidak cukup mensyukuri ini semua. Betapa baiknya Allah! Hamba di sini sebatang kara, namun Engkau selalu punya cara-cara untuk menghibur hamba. Sungguh hamba yang nista ini malu sekaligus takut. Tunjukilah kepada hamba cara berterima kasih atas ini semua, Oh Allah Maha Berbelas-kasih. Di hari yang mulia ini Engkau perkenankan hamba menyelesaikan penghambaan Puasa Syawal, semoga Engkau pun berkenan menerima persembahan sekadarnya, serba tidak berarti ini, di hadapan segala Kemurahan dan KebaikanMu.

Ada satu masih mengganjal. Seperti yang tengah kulakukan kini, aku membuang-buang waktu! Jangan banyak alasan. Banyak hal berguna yang dapat dikerjakan. Setidaknya aku belum melakukan kesia-siaan serba mengerikan itu setelah tunai Puasa Syawal ini. Dapatkah aku sama-sekali meninggalkannya. Kalimat tanya tanpa tanda tanya, itu saja andalanku, agar tidak berbohong pada diri sendiri; sedangkan Bison menghisap-hisap uap air kini, yang rasa kretek, katanya. Memang manusia itu selalu dekat dengan kesia-siaan, kecuali yang beriman dan berbuat baik.

Dan atas nikmat Tuhanmu maka sebut-sebutlah

Thursday, July 05, 2018

Lho, Janet 'Gak Pernah Main Gadsam-gadsaman?


Kenapa? Padahal kamu ‘kan cantik, 'Dik? Hahaha iya aku salah orang. Maaf ya, 'Dik. Aku selalu berusaha mengenali kalian semua satu persatu, tapi kalau kelas besar seperti MMI, Hansek dsb. pasti ada aja yang miss. Akhirnya ada alasan beneran 'nulis surat buat Janet. 'Ga beneran diminta, sih. Aku 'aja yang merasa bersalah. Iya, 'Dik, daripada gadsam-gadsaman, muting-mutingan jelas lebih keren. ...dan budak korporat, jangan begitulah, ‘Dri. Ini ‘kan salah satu bidang hukum yang sangat penting.


Akan halnya aku lebih memilih Hexa, semata karena preferensi fisik. Kalau aku punya anak perempuan, besar kemungkinan ia akan hitam manis sepertinya. Sebaliknya, kecil kemungkinan anak perempuanku seperti kamu ‘kan. Ngomong-ngomong, mungkin ke depan wajah hukum Indonesia akan semakin feminin dan feminis, mengingat dari satu angkatan ke angkatan berikutnya jumlah mahasiswa perempuan di FHUI selalu lebih banyak. Dan ini adalah suatu pertanda baik. Sudah sekitar empat milenia peradaban manusia didikte oleh perspektif laki-laki letoy pemalas.

Kuharap Conrad dan Pongtiku sudah tidak bertanya-tanya lagi apa rujukanku untuk ini, tapi yang jelas ada. Membaca tulisan Conrad dan Hexa aku jadi ingat kelakuanku jaman masih gaya-gayaan foucaldian, gramscian, dsb. Sialnya sekarang, lagi 'nulis disertasi, mungkin aku harus mengingat-ingat lagi cara melakukan itu hahaha. Hanya saja, aku bermimpi suatu hari nanti lembaga pendidikan apalagi tinggi selalu menjadi tempat orang, siapapun, mencari terang. Dulu sekali cerdik-cendekia mengembara keluar-masuk kampung memberi terang dengan keterampilan dan kefasihannya.

Sungguh sampai sekarang aku merasa canggung menyebut diriku sendiri dosen. Sampai beberapa tahun sebelumnya aku karyawan seperti Pak Roni atau Pak Mono. Setiap kali berdiri di depan kelas, aku tidak merasa sedang menghadapi mahasiswa, tetapi masa depan hukum Indonesia, yang mana aku sangat berkepentingan. Ya, karena kalianlah pembangun bangsa dan negara, sedangkan tetangga kita yang dekat Kukusan itu paling cuma bangun jembatan. Aku menaruh harapan besar kepada kalian, terlebih setelah aku merasa semakin tidak berdaya.

Begitulah, jika kalian berlebihan membelanjakan pendapatan dari berpraktik hukum korporat sampai selalu merasa kurang, ingin lebih banyak lagi, tidak puas dengan es kepal mailo, mungkin benar kalian budak korporat. Namun kalau kalian menggunakan secukupnya untuk diri sendiri, jika ada sisanya digunakan untuk memberi manfaat bagi yang lain, misal, 'nraktir kaum dhuafa seperti Adri dan Efraim biar taunya ngga cuma Mang Ade Madris, sedang kalian terus mengasah keterampilan hukum korporat, itu artinya kalian praktisi hukum korporat.

Begitu saja bedanya. Aku sendiri berpendapat setiap sarjana hukum hendaknya pernah merasakan lawyering, apakah litigasi atau non-litigasi. Dalam suatu tata-hukum yang sempurna, dalam hidupnya seorang sarjana hukum seharusnya pernah merasakan menjalankan praktik privat, mengemban jabatan publik di bidang hukum serta meneliti dan mengajar. Berhubung sekarang belum memungkinkan, setidaknya pelihara dan usahakanlah wawasan ini, setidaknya tularkan kepada sebanyak mungkin orang. Jika belum di masa kalian, mungkin jaman adik-adik, bahkan anak-anak kalian. Kapanpun itu, peliharalah harapan ini.

Berhubung ini surat untuk Janet, biarkanlah aku menyapamu lagi... eh, Hexa juga ding. Dulu ketika masih umur duapuluhan aku selalu ingin punya anak laki-laki. Sekarang di umur empatpuluhan ini, entah mengapa aku lebih sayang pada anak perempuan. Kudoakan kalian berdua kelak menjadi manusia paripurna, dan itu artinya menjadi seorang ibu. Sejatinya, tidak ada lagi kedudukan lebih mulia yang bisa dicapai manusia kecuali menjadi ibu. Conrad bisa bertakwa pada Tuhan, tapi tidak akan pernah menjadi ibu.

Salam Sayang,

'Lik Bono