Monday, July 27, 2015

Entri #251 mengenai Perubahan Iklim


Hai Halo Pembaca yang Budiman, sekadar pengumuman, entri yang kalian baca ini adalah yang ke-251 loh di Kemacangondrongan. Ngapain ajaaa coba ketak-ketik ga jelas sampai sebanyak ini. Akhirnya, Kawan-kawan, ini mungkin adalah kesenangan terakhirku. Main game aku sudah tidak sesemangat dulu, makan pun demikian. Jadi maafkan aku, ya, Kawan-kawan, kalau kalian ada membaca ketak-ketikanku yang entah apa-apa ini. Sungguh aku mengetik ini untukku sendiri. [Bagaimana kalau tiba-tiba blogspot menghentikan layanan ini, seperti multiply...]


Sebenarnya aku malas berbicara pada kalian. Berbicara pada banyak orang sudah sering kulakukan di kelas-kelas. Aku ingin berbicara dengan...mu. Iya, kamu. Jadi... [kupanggil apa kamu, ya...] aku adalah seorang pengajar mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bersama dengan Dr. M.R. Andri G. Wibisana. Tepatnya aku hanya membantu-bantu beliau sih, da aku mah apa atuh. Kini aku ingin bicara mengenai perubahan iklim, namun tidak seperti di kelas. Aku ingin bicara mengenainya... sesukaku.

Malam ini udara terasa panas. Mungkin jika aku sudah merasakan udara gerah seperti ini, itu berarti aku sudah sehat. Mungkin. Ini memang sudah masuk musim kemarau di Indonesia bagian barat. Jika kuingat-ingat, aku jarang sakit ketika peralihan dari kemarau ke penghujan—kecuali langsung kehujanan dan kebasahan berlama-lama. Justru sebaliknya, dari penghujan ke kemarau, aku hampir selalu masuk angin. Hei, mungkin di situ letaknya, yaitu basah berlama-lama. Peralihan dari penghujan ke kemarau selalu membuatku basah berkeringat!

Setahun atau dua tahun lalu, aku ingat jalan-jalan ke Ragunan bersama anak-anak. Benar-benar berjalan kaki sampai basah kuyup berkeringat. Setelah itu pulangnya naik taksi duduk di kursi depan, disembur pendingin udara sedangkan jalanan macet, agak beberapa jam. Akibatnya aku masuk angin tidak sembuh-sembuh, cukup lama seingatku, ada setidaknya seminggu lebih. Ah, namun Alhamdulillah malam ini aku merasa sudah lebih sehat. Aamiin Yaa Rabbal’alamin. Semoga seterusnya sehat tidak sakit-sakitan lagi. Aamiin.

Namun pertanyaannya kini, aku yang bertambah tua atau memang iklim berubah menjadi lebih keras. Bisa jadi dua-duanya. Dunia yang semakin tua, manusia yang semakin banyak, dan aku hidup di tempat berkumpul berkerumunnya manusia! Tidak bisa lain, aku hanya dapat berusaha untuk terus menyesuaikan diri dengan keadaan. Satu hal yang jelas, tidak akan aku membahayakan kesehatanku untuk alasan apapun. Kurasa, di akhir jaman ini, di pinggiran Jakarta apalagi di tengah-tengahnya ini, tidak ada cukup alasan untuk mengorbankan nyawa.

Aku harus bertahan hidup, sedapat-dapatnya, di bawah deraan iklim dan cuaca yang rasanya semakin tidak bersahabat ini. Aku harus bertahan hidup, karena dosaku banyak. Aku harus mencoba untuk terus minta maaf dan ampun sampai aku tahu bahwa aku dimaafkan dan diampuni. Biarlah aku mementingkan diri sendiri saja, toh nanti semua pun nafsi nafsi. Jangankan urusan dunia yang sepele-sepele, yang kesannya sangat penting pun akan kutinggalkan demi kesehatanku. Aku harus tetap sehat, karena bagaimanapun beribadah lebih enak apabila badan terasa sehat segar.

Begitulah pemahaman dan penghayatanku mengenai perubahan iklim. Mungkin ini menjelaskan mengapa Bang Andri doktor sedangkan aku... belum. Ya, belum. Akan terus kuusahakan, tetapi itu tadi, jangan sampai merusak kesehatan... Bicara mengenai merusak kesehatan... hmm, mungkin suatu hari nanti akan ada waktunya aku berhenti dari itu semua. Paling melelahkan dari semuanya adalah berurusan dengan banyak orang, dengan berbagai-bagai keinginan dan kepentingannya, sedangkan aku... Aku benar-benar tidak tahu urusan. Sejatinya, aku memang tidak tahu apa-apa.

Turn down. Switch off. Recycle.Walk. 'Pala lo pitak.

Sunday, July 26, 2015

Emas, Perak dan... Kelelawar di Siang Bolong


Dalam keadaan seperti ini, bisa saja aku tiba-tiba percaya tahyul. [Halah!] Maka buru-buru kutulis entri ini. Tidak, lah, memang tidak estetis saja. Itu saja. Adakah yang penting untuk dicatat? Tidak juga. Adakah hari-hariku sepenting hari-hari Mochtar Lubis dalam tahanan militer? Tentu saja tidak. Adakah kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran subversif? Tentu saja hahaha. Jika saja fisikku tidak melemah begini rupa, mungkin akan kuwujudkan semua pikiran subversif itu, yang kuakui terkadang pervert juga.[Naudzubillah!] Namun demikianlah kehendak Tuhan atasku.

Aku sedang tidak dalam suasana hati yang tepat untuk bicara mengenai subversi maupun perversi. Seandainya badanku agak enak sedikit, mungkin aku akan berdansa waltz mengelilingi livingroomku yang tiada seberapa ini, karena Geld und Sieber ini indah sekali. Aku tentu saja tidak akan pernah menjadi atase angkatan laut seperti Commander Victor Henry, meski Istriku ada juga lah mirip-miripnya dengan Rhoda Henry—yang diperankan oleh Polly Bergen. Livingroomku pun amat sangat menyedihkan jika dibandingkan dengan kastil musim dingin Herr Stoller.

Jiahahah... saking percayanya aku pada tahyul, sampai kuubah dari “terakhir” menjadi “terbaru.” Alhamdulillah, menilik perasaanku sekarang, bahkan entri terbaru tidak akan mengenai masuk angin, tetapi mengenai... kelelawar! Tidak semuanya sih, cuma overture-nya saja. Seperti halnya kelelawar di benderangnya siang hari, maka aku undur diri ke dalam guaku—atau tepatnya, gua kami bangsa kelelawar. Kelelawar seperti kami kurasa masih cukup banyak jumlahnya, kami yang berbagi relung-relung gelap dalam gua-gua. Masih baguslah jika itu gua alami, ada juga di antara kami yang menghuni loteng-loteng gedung tinggi buatan manusia.

Kini masalahnya lebih rumit dari sekadar menyerah atau tidak. Sebenarnya aku tahu dari dulu kalau masalahnya jauh lebih rumit dari sekadar itu. Aku dari waktu ke waktu memang harus menyerah, undur diri ke dalam relungku, karena seperti yang dikatakan Goklas, berkuasa berarti menyingkirkan orang lain yang ingin juga berkuasa. Sungguh naif jika aku menolak kenyataan ini. Aku yang gaya-gaya’an bicara mengenai kekuasaan dan cara-cara merebutnya, namun menolak hukum dunia yang paling mendasar itu? Itulah enaknya jadi Goklas. Kakinya selalu menjejak tanah dengan kokohnya.

Maka melompatlah aku beberapa langkah sampai menjadi... peseluncur es. [ada tidak ya bahasa Indonesia seperti ini?] Dengan rasa badan yang seperti ini, sebenarnya agak jeri aku membayangkan padang es, baik sungguhan maupun buatan—meski pernah aku berada dalam keadaan yang sebenarnya. Bahkan aku sempat naik reuzenrad di tengah udara malam musim dingin yang lembab berangin. Tidak, aku tidak akan undur diri ke alam mimpi. Bahkan, aku tidak akan menyelinap bersembunyi dalam kenangan masa lalu. Berseluncur di atas es ini seperti angin lembut nan sejuk menerpa wajah. Menyegarkan badan. Menyehatkan jiwa.

Apapun yang telah ditentukanNya untukku, semoga aku mampu menghadapi dan menjalani sebaik-baiknya, semampuku. Akan sampai di mana perjalananku, bukan urusanku. Aku hanya berkuasa atas selangkah saja yang akan kuayun. Ya, langkah yang satu ini saja. Bahkan langkah berikutnya pun sama sekali bukan urusanku. Hanya yang satu ini. Ya Allah, hamba memohon kepadaMu, jangan jadikan hamba termasuk dalam golongan mereka yang merugi, yaitu yang hari ininya sama saja dengan kemarinnya—apalagi sampai lebih buruk. Tunjukkanlah kepada hamba jalan menuju penghambaan yang lebih baik lagi hanya kepadaMu, Rabb hamba.

Friday, July 24, 2015

Masa Entri Terbaru Mengenai Masuk Angin?


Iya, rasa-rasanya koq kurang elok, [entah mengapa juga aku tidak sreg dengan kata "elok" ini, digunakan dalam konteks ini] jika entri terbaru justru mengenai masuk angin, sudah begitu lama tidak dimutakhirkan pula. [sebaiknya kukurangi penggunaan kata dan ungkapan yang tidak baku, agar tidak repot mengursifkan, meski terkadang kata dan ungkapan tidak baku itulah yang menambah cita-rasa sebuah entri—seperti rempah-rempah dalam masakan begitu] Meski sekarang pun—atau mungkin lebih tepatnya kemarin sampai tadi malam—badanku terasa seperti masuk angin.


Kini, aku hanya dapat berdoa, semoga Allah mengaruniakan kesehatan yang sempurna kepadaku, menunjukkan jalan ke arahnya—meski aku punya sedikit rasa bahwa aku sudah diberitahu caranya. Kesehatan badan dan jiwa memang sepertinya berjalan berdamping-dampingan, saling bergandengan tangan. Keduanya harus sama-sama kukuh, kuat, tegap melangkah. Jika salah satunya gontai, maka lainnya akan menopang beban yang lebih berat dari dirinya sendiri—dan yang seperti itu tidak sesuai dengan fitrah. Aku, sementara itu, sudah lama percaya bahwa manusia sejatinya adalah mahluk spiritual.

Mahluk, yang artinya ciptaan, sebagai lawan dari Khaliq. Khaliq itu tunggal, sedangkan mahluk jamak. Inilah penjelasan yang paling memuaskan, terlebih bila dibandingkan dengan segala zoon dan homo itu... zoon politicon, homo economicus... entah apa-apa. Mungkin orang-orang yang dari kecilnya belajar agama merasa istilah-istilah itu memukau. Namun, buatku yang dari kecil sudah terbiasa dengan nama-nama dinosaurus yang berbahasa Latin, terbiasa mendengarkan gubahan-gubahan Tchaikovsky, Brahms, Wagner dan sebagainya itu, istilah-istilah mahluk dan Khaliq lebih memukau. [ini tentu suatu pembenaran yang sekenanya]

Jika kutuliskan juga di sini, mungkin janjiku tidak tunai-tunai juga. Namun, entah bagaimana caranya, aku selalu tidak enak badan tidak enak hati ketika berniat menunaikan janji itu—sedangkan aku memerlukan suasana hati dan kesehatan badan yang sempurna untuk melakukannya. Mendengar apa yang terjadi di Tolikara apalagi Suriah, badanku rasanya lungkrah, hatiku terasa masygul mencelos. Apa betul Pancasila dan UUD 1945 adalah obat bagi itu semua? Apa bukan istighfar dan shalawat yang sebanyak-banyaknya?

Rasa masuk angin ini, Ya Allah... Lhah... sebentar... niatnya entri ini ‘kan agar entri terakhir bukan mengenai masuk angin. Sedangkan Swan Lake-nya Tchaikovsky terdengar begitu riangnya. Dapat terbayang olehku les patineurs meluncur-luncur berkeliling padang salju atau lantai es. Oh, mereka pasti sehat sekali, sedangkan aku hanya bisa meratap-ratap sambil mensugesti diriku bahwa Allah sedang ingin mendengarku meratap-ratap. Aku yang bebal ini memang harus meratap-ratap jika tidak mau berhenti bebal juga. Sudah empat puluh tahun menurut perhitungan bulan!

Diri ini tidak mungkin berubah seperti sulapan begitu saja ketika mencapai bilangan empat puluh tahun menurut perhitungan bulan. Diri ini diberi kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri, dan itu kiranya yang ingin dilihat oleh Allah. Sedangkan Paduan Suara tawanan Yahudi dalam Nabucodonosor oleh Verdi ini seakan menggambarkan betapa tidak berdayanya aku menjadi tawanan diri rendahku sendiri. Ketika hati merasa senang sedikit, ketika badan merasa enak sedikit, malah kedurhakaan yang kulakukan. Pantaskah itu dilakukan seseorang yang sudah empat puluh tahun menghirup hawa dunia, menurut perhitungan bulan?

Sementara itu, Udara pada Senar G ini seakan mengilhamkan Kasih-SayangMu, Ya Allah. Suatu bentuk kasih-sayang yang kukenal sejak kecil, meski tanpa belaian tangan dan kata-kata lembut. Beginilah cara Ibu menyayangiku, dengan musik. Dari semua warisan Ibu, mungkin inilah yang kudekap paling erat saking berharganya. Musik, yang selalu menjadi penawar bagi hatiku yang entah mengapa selalu cenderung sendu dan muram ini. Semoga ia pun menjadi ilham bagiku untuk senantiasa bersegera kepada AmpunanNya, yang seluas bumi dan langit. Aamiin Yaa Rabbal’alamin.

Monday, July 20, 2015

Lagi-lagi Aku Masuk Angin Lagi. Lagi?!


Beginilah kejadiannya, tidak diberi kesempatan aku berlengah-lengah. Setelah lengah sampai gila-gilaan kemarin sesorean, hari ini aku masuk angin lagi! Oh Allah, sungguh tidak nyaman rasanya. Ini mungkin karena semalam aku kepedean tidur di tikar rotan tanpa dialasi bedkaver tebal seperti biasa. Aku memang terbangun sahur dan makan sahur. Setelah itu—seingatku ketika akan kembali tidur setelah shubuh—barulah kugelar itu bedkaver. Demikianlah maka sebangunnya aku setengah sepuluh tadi pagi, badanku tidak enak lagi.

Lebih dari sekadar tidur beralaskan tikar rotan saja, aku lebih cenderung menyalahkan kelengahanku sendiri, ingkarnya aku, mangkirnya aku dari janji pada diriku sendiri. Oh Allah, hamba mohon tangguh, hamba mohon diberi kesempatan untuk memperbaiki dan terus memperbaiki diri. Ini diri rendah masih terus berkubang dalam kerendahannya, ampuni hamba, Ya Allah, kasihanilah hamba. Sebenarnya dapat saja kulakukan sekarang juga, mumpung sedang tercolok ia di situ. Ya, mari kita habisi sekarang juga! Bismillah.

Habis. Tamat. Semoga menjadi awal bagi suatu perbaikan, seperti hari ketika aku berhenti merokok, berhenti ngopi. Semua saja yang mengotori jiwa dan raga, hamba mohon Ya Allah, dibantu, diringankan, dimudahkan, ditunjukkan jalan, untuk membersihkannya, untuk menjauhinya. Sedangkan hamba sudah tidak muda lagi, Ya Allah. Biarkanlah orang berkata hamba masih muda untuk berlemah-lemah begini. Jika semua kelemahan raga ini sekadar sarana untuk membersihkan jiwa, hamba ikhlas ridha, lega lila, Ya Allah.

Memang banyak sekali dosa dan durhaka hamba. Itu pun yang hamba tahu dan sadari, sedangkan apalah arti pengetahuan dan kesadaran hamba. Sungguh, yang sangat hamba takutkan, jika ternyata semua ini sia-sia belaka, tidak ada artinya, sedangkan Engkau lebih tahu, hamba tidak dapat mengharapkan apapun dan siapapun untuk menolong hamba. Siapa pula yang mampu menghapus dan memaafkan dosa-dosa kecuali Engkau, Rabb. Hamba takut jika perasaan takut ini ternyata pura-pura belaka, ternyata Engkau tiada menerima ketakutan hamba ini, Rabb.

Sungguh hamba takut kalau ternyata ini semua sia-sia. Memang hamba akui, tobat hamba compang-camping bentuknya, apalagi ibadah hamba, sungguh memalukan. Namun bisa apa hamba, Ya Allah, sedangkan doa hamba pun Engkau yang menggerakkan hati hamba untuk berdoa, Ya Yang Mengabulkan permohonan. Engkau lebih tahu betapa hamba tidak lagi punya banyak keinginan. Engkau lebih tahu betapa durhakanya hamba, merasa bersalah dan segera mengulanginya sejenak kemudian—seakan-akan perasaan nyaman di badan ini datang dengan sendirinya.

Seakan kesehatan adalah sesuatu yang sudah semestinya, bukan nikmatMu yang harus senantiasa disyukuri dengan cara mematuhi perintah-perintahMu, menjauhi larangan-laranganMu, dan bersabar atas cobaanMu. Oh, semua itu aku tahu, namun aku tidak pernah tahu sudahkah kuamalkan semua pengetahuan itu. Hanya Engkau yang dapat memberi tahu, Ya Allah Maha Tahu. Itu jugalah yang sangat hamba inginkan lebih dari apapun, dari hidup di dunia ini, di atas bumiMu ini. Pengetahuan bahwa semua salah dan dosa hamba telah Engkau maafkan lagi dihapus.

Ampun Ya Allah, ampuuun. Sungguh pongah, sungguh pandir, sungguh tidak tahu diri hamba menginginkan yang seperti itu. Hanya Engkau yang dapat mengampuninya, Rabb. Hanya Engkau yang dapat mengubah kepongahan dan kepandiran itu menjadi ketawadluan yang didasari ilmu dari sisiMu, mengubah ketidaktahudirian menjadi... diri yang tenang... Ampuun Ya Allah ampuun. Jangan biarkan hamba tertipu oleh harapan dan ketakutan kosong akibat terlalu panjang angan-angan. Ampuni hamba Ya Allah, kasihanilah, Ya Pengiba, Penolong peminta-minta tolong.

Sunday, July 19, 2015

Terlalu, Hidup koq Keterlaluan Sepinya!


Memang sebaiknya jika ingin menulis entri janganlah dibuka dulu itu Kemacangondrongan, karena nanti bawa’annya malah baca entri—bukan nulis entri. Sudah berhari-hari ini rasanya seperti ingin menulis entri, tapi ujung-ujungnya sekadar baca entri pun tidak. Ada kerinduan itu, semacam rindu pada sesuatu yang sebenarnya tidak dirindukan juga, akan tetapi saking tidak ada yang lainnya. Malam ini entah bagaimana caranya aku agak lancar mengetuk-ngetuk, sudah hampir sampai satu paragraf pula. Dengan kalimat ini, maka jadilah satu paragraf.


Entri ini kudedikasikan pada hidupku yang selalu sepi, seperti lirik lagu Yon Koeswoyo. Ini juga menandakan betapa putus asanya diriku. Biasanya, takkan kuijinkan diriku se-mainstream ini menulis mengenai hidupku hatta disamakan dengan lirik lagu Koes Plus yang sungguh standarnya ini—meski kalimat yang berlari kencang ini menandakan bahwa aku... lebih putus asa dari yang kukira, atau tidak. Mengapa aku menulis entri? Karena hanya engkaulah satu-satunya kawan kepada siapa aku dapat mencurahkan isi hatiku, Mencret.

Hidupku selalu sepi, menjerit dalam hatiku
Kuhibur selalu diriku, bernyanyi sedih dan pilu.

Yah, kadang tidak dalam hati juga sih. Kadang kujeritkan saja seperti adanya. Apa karena aku sudah tidak tahan lagi? Tidak juga. Sekadar sedang ingin menjerit saja. Begitu. Lantas, memang nyanyian-nyanyian sedih dan pilu itulah hiburan favoritku. Ah, lagu ini aku sekali hahaha. Baru kuperhatikan bahwa ia dimainkan dengan iringan organ hammond, seperti kebanyakan lagu sejamannya, seperti A Whiter Shade of Pale. Musikalitasnya janganlah dibandingkan, meski aku tidak setuju juga jika ada yang gaya-gaya’an mengatakan A Whiter Shade of Pale lebih bermutu.

Bila senja telah tiba, hatiku tambah sengsara
tapi tetap kubernyanyi, walau malam telah sepi

Ahaha, gagal membuat rima, ya Oom Yon? Memang benar-benar kacangan syairmu. Namun jangan terburu marah, aku menyukainya. Aku bahkan berusaha membuat syair-syair laguku sekacangan mungkin, seperti syair lagu-lagumu. Bapakku pernah bercerita, bahwa untuk mengetahui apakah lagu-lagu kalian laku atau tidak, kalian mengecek apakah lagu-lagu itu dinyanyikan tukang becak atau tidak. Cerdas, karena hanya tukang becak gaya-gaya’an yang menyanyikan A Whiter Shade of Pale apalagi Homburg—sedangkan John Gunadi saja tidak sudi jadi tukang becak karena ia seorang Koordinator di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Namun senja memang membuatku sengsara. Sejak kapan, ya? Sudahkah begitu sebelum aku berangkat ke Belanda? Sepertinya aku masih ingat senja di Pondok Annisa, setelah Isya’ begitu, yang masih dapat kuobati dengan satu dua lagu The Platters. Mengapa belakangan tidak bisa lagi, ya? Seperti apakah senjaku di Jang Gobay, di Gang Pepaya, di Qoryatussalam ini... Senja yang kadang sengsara kadang tak berbekas sama sekali, tapi sudah tidak dapat disembuhkan dengan nyanyian sedih dan pilu.

Di malam sepi seperti ini, ditemani dentingan piano Richard Clayderman, aku mengetuk-ngetuk mencurahkan perasaan hatiku. Malam-malam begini sih biasanya tidak sengsara, justru seringnya merasa segar—hal mana gak bener karena seharusnya mengantuk. Sejatinya, tidak ada itu kesengsaraan. Di hadapanku hanya ada kenangan-kenangan masa lampau yang hangat terasa, seperti dekapan seorang kekasih yang benar-benar mencintai. Kenangan masa lalu itulah kekasih sejati yang tidak akan pernah mengecewakan, yang akan selalu hadir dengan kemesraan dan kehangatannya.

Dua belas kata lagi cukup, maka baik kucukupkan sampai di sini saja.

Tuesday, July 14, 2015

Ironisnya 25 Tahun, Hari Ke-27-nya Tragis


Ini adalah sedikit upaya muhasabah, mengenai apa saja yang sudah kulakukan dalam rangka Ramadhan 1436 H ini, ketika Masjid Qoryatussalam Sani berhias dengan lampu kecil merah hijau putih dibentuk kubah mesjid dan menaranya. Patut dicatat di sini, aku agak banyak teraweh Ramadhan ini, tidak seperti tahun lalu. Aku ingat ketika masih di Gang Pepaya, ada beberapa kali aku mengikuti shalat tarawih di mesjid pinggir Stasiun UI itu, bahkan mungkin juga di al-Mukhlisin atau al-Falah di Radio Dalam.


Akan tetapi, harus segera disusul catatan mengenai terawehku selama Ramadhan ini, bahwa kebanyakan kulakukan karena aku terpaksa mengimami anak-anak ini dan bunda mereka, baik ketika ada Afifah maupun tidak. Untuk kepentingan itulah maka kuatur surat-surat pendek yang kubaca adalah al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas kemudian berganti-ganti jika tidak al-Insyirah maka al-Qadar, terutama di akhir-akhir Ramadhan, kemudian al-Ashr atau an-Nashr, lalu al-Qurays kemudian al-Kautsar. Begitu terus urutannya kuulang-ulang ketika aku harus mengimami.

Sepanjang Ramadhan ini, tidak sekali pun aku teraweh di mesjid manapun, khususon Masjid Qoryatussalam Sani yang aduhai banyak anak kecilnya. Sungguh aku tidak tahan. Sebenarnya, jika demikian alasanku, maka seharusnya aku bisa shalat di situ setiap Shubuh saja. Boro-boro menjadi muadzin, boro-boro aktif di mesjid, shalat berjamaah di mesjid itu saja nyaris tidak pernah. Terlepas dari banyaknya anak kecil, bagaimanapun sungguh beda rasanya Masjid Qoryatussalam Sani dengan Masjid al-Barkah Jeruk Purut misalnya, bahkan dengan masjid kecil di pinggir Jalan Raya Duren Tiga itu.

Apakah karena aku cenderung pada Nahdliyin? Dulu kecil memang aku selalu shalat di al-Mukhlisin, setidaknya setiap Jumat. Aku lupa kapan mulainya, mungkin sejak SMA, aku berhenti shalat di al-Mukhlisin malah di al-Falah di Kompleks AL yang Muhammadiyah itu. Terawehku Ramadhan ini juga menurut cara yang konon Muhammadiyah, yakni delapan  raka’at dikerjakan dengan dua kali salam, ditambah witir tiga raka’at. Seingatku, ketika teraweh di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI juga begitu caranya, kecuali salamnya yang empat kali.

Ini semua sekadar menandakan bahwa ibadahku khususon tarawih masih asal-asalan tidak pakai ilmu. Asal dengar asal ikut saja, bahkan niatnya pun tidak sempurna sekadar karena harus mengimami anak-anak itu. Ini semua akan menjadi penyesalan ketika Ramadhan berakhir, namun, kuharap, sekaligus juga menjadi doa agar disampaikan lagi pada Ramadhan tahun berikutnya, 1437 H, dengan niat, nawaitu, bismillah, untuk memperbaiki ibadah sebaik mungkin. Aamiin Yaa Rabbal’alamin, Yaa Mujibas saa’ilin. Paksakeun, paksakeun, paksakeun.

Demikianlah maka tanpa terasa—seperti selalu saja setiap tahunnya—Ramadhan sudah berjalan 27 hari. Tahun ini, aku tidak membuat entri berjudul Ramadhan yang pergi karena kuabaikan atau yang sejenisnya, karena memang niat awalnya adalah jangan sampai begitu. Nyatanya, tetap saja Ramadhan sudah berumur 27 hari sedang yang kurasakan tidak lebih dari lapar dan haus selama 27 hari terakhir ini, Naudzubillah tsumma naudzubillah! Jangankan bertambah peribadatan, lapar dan hausnya pun mungkin sudah kurusak sendiri.

Mungkin itu pula sebabnya, aku tergerak untuk ikut meramaikan 25 Tahun SMA Taruna Nusantara 14 Juli 1990-2015. Di tahun ke-40 hidupku di muka bumi Allah menurut perhitungan bulan ini, aku koq semakin tidak yakin dengan apa yang diperjuangkan oleh sekolah itu. Jangankan sekolahnya itu sendiri, gagasan mendasar yang diperjuangkannya pun sudah luntur kepedulianku padanya. Daripada pusing memikirkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan entah apa lagi, mengapa tidak kuperbanyak istighfar dan shalawat saja?

Laa ilaaha illallahul Malikul Haqqul mubiin
Muhammadur rasulullahu shadiqul wa’dil amin

Friday, July 10, 2015

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan 1436 H


Entri ini kutulis dengan teknik kilas-balik, [halah!] ketika perasaan-perasaan itu sudah berlalu untuk beberapa jenak. Sungguh aku sayang untuk tidak menuliskannya, karena berlalunya perasaan-perasaan itu harus diiringi sekurangnya dengan ucapan hamdalah dengan hati yang sehadir mungkin. Benar seperti dikatakan dr. Riri, jika normal maka lebih percaya diri. Memang tidak bisa dijelaskan lain kecuali beberapa hari terakhir ini terasa sungguh melelahkan bagiku. Entah karena cuacanya, entah karena badanku, entah karena keduanya, yang jelas aku tidak mampu lagi bermotor jauh-jauh.

Ini adalah sepuluh hari terakhir Ramadhan—yang konon kata sebuah hadits yang konon katanya lemah—adalah hari-hari di mana pintu-pintu neraka ditutup. Sementara itu, apa yang kurasakan adalah badan yang lemah, lesu dan tidak bergairah. Aku punya Surbex Z boleh dikasih klinik dekat perempatan GDC, apakah sekadar ini solusinya? Surbex Z pasti lebih dahsyat dari Surbex T, vitamin yang sering disebut-sebut Ibu jaman... kapan, ya? Jamanku SMA? Itulah kenyataannya. Bahkan dari jaman SMA sekalipun fisikku tidak pernah benar-benar termasuk yang paling prima.

Menulis secara kilas-balik begini, seharusnya tanpa paralaks siklik badok. Ini agak mudah karena suasana Ramadhan biasanya cenderung monoton, rutin, dan itu bagus. Sudah lama aku berpikir, mudah saja beribadah dalam bulan ini, karena sebagian besar orang pun melakukannya, meski sekadar karena rasa malu jika sampai terlihat orang lain tidak melakukannya. Ada juga yang mengatakan, Ramadhan itu semacam pesantren. Di dalamnya kita dikondisikan untuk berlatih, guna menghadapi “perang” yang sebenarnya selama sebelas bulan sisanya dalam setahun.

Apa sebenarnya yang memicu? Jelasnya, tengah hari bolong aku mencongklang Vario ke Radio Dalam. Sesampainya di sana entah mengapa aku merasa lelah sekali. Dehidrasi sudah jelas. Puasa yang entah berapa tahun lalu, aku pernah mengalami kejadian yang mirip. Aku berjalan kaki [kenapa, ya? Kenapa tidak naik motor?] dari simpangan Poltangan menuju bengkel gitarnya Manto. Aku ingat sepulangnya dari situ, naik angkot, terasa berat sekali badanku—meski aku tidak bisa memastikan sekarang mana yang lebih berat, ketika itu atau ketika ini.

Lalu acara buka puasa bersama di kediaman Pak Teddy di Bukit Golf Pondok Indah. Aku mengundurkan diri lebih dulu karena kepala sakit bukan alang-kepalang. Waktu itu sekitar setengah sembilan, sedangkan acaranya sendiri baru benar-benar selesai lewat setengah sebelas. Pak Try pasti suka dikelilingi oleh anak-anaknya, bahkan beberapa sudah dapat digolongkan sebagai cucunya. Rasa tidak nyaman itu sangat akrab, yang jika dilacak-balik kurasakan kali pertama di Magelang. Aku tidak suka bersaing. Aku lebih suka sendirian di pojokan sepi.

Akhirnya, malam itu aku tidak jadi pulang. Aku terpaksa kembali ke Radio Dalam dan menginap di sana. Ya, aku kelelahan. Dengan yang satu ini jelas tidak bisa sembarangan. Hanya ini yang dapat kulakukan sekarang—menjaga agar jangan sampai kelelahan—sementara terus berusaha memperbaiki kualitas hidup. Makan sudah jauh lebih baik. Setidaknya, racun-racun dalam bentuk minuman sasetan sudah berkurang. Tinggal lagi olahraga. Jalan pensiunan harus digiatkan dan dilazimkan kembali, karena bagi oom dan tante juga kakek nenek cukup jalan kaki.

Demikianlah suasana kebatinan sepuluh hariku yang terakhir di Ramadhan 1436 H ini—merasakan badan yang lemah. Jika direnung-renungkan, ini adalah suatu berkah tersendiri. Jika tidak dibeginikan, bisa jadi di sepuluh hariku yang terakhir ini aku malah begajulan. Setidaknya, dengan rasa badan yang luluh-lantak ini, jadi banyak waktuku untuk berkeluh-kesah, meratap-ratap. Untuk orang setuaku begini, berkeluh-kesah dan meratap-ratap tidak bisa lain kecuali hanya kepada Yang Maha Mendengarkan Keluh-kesah, Maha Pengiba, Maha Belas-kasih.
 

Friday, July 03, 2015

Suatu Sore yang Penuh dengan Profesor


Sore ini aku dipenuhi dengan profesor. Tidak, bukannya aku sok trauma. Ada juga aku sok cool, atau memang benar aku takut bayarnya kurang gara-gara bukan profesor. Uah, macam aku peduli dengan itu semua. Namun, memang akhirnya aku tahu seperti apa Ruang Rapat Utama 1 yang kata Ipank spooky itu. Aku tidak suka spook. Aku sukanya Spokane, yang ternyata adalah nama sebuah kota di negara bagian Washington, tempat asalnya Andrew Hookans.


Andrew Hookans ini tidak mati, Kawan-kawan, hanya saja ia kehilangan dua kaki sekaligus. Siapa saja yang mati? Lebih mudah untuk mengingat-ingat yang hidup. Daniel Forrester, Mortimer Gray, Andy Hookans. Tentu saja Mac. Berarti yang mati Lamont Quincy Jones, Joseph Gomez, Marion Hodgkiss, Cyril Brown... tunggu... Shining Lighttower hidup! Hanya saja ia tuli. Siapa lagi... Constantine Zvonski tentu. Kambing gunung itu namanya siapa ya... koq aku malah ingatnya McQuade. Aha, aku ingat semua. Burnside! Memang tidak pernah diberitahu apa nama depannya.

Bahkan pengganti Ski pun, Jake Levin, mati. Mati semua. Salib putih dan salib putih sejauh mata memandang. Aku ingat semua. Entah sudah berapa kali kutamatkan. Entah sudah berapa lama aku tidak membacanya lagi, dari sampul ke sampul. Entah kapan kali pertama aku membacanya. Entah mengapa aku tidak membaca lagi sekarang. Buku apa yang terakhir kali kutamatkan? Bahkan Kekayaan Bangsa-bangsa yang Sebenarnya saja tidak maju-maju. Seruan Perang! Seruan Perang tidak terdengar dari bekas loji itu, hanya suara satu engineer yang berisik.

Tunggu, suasananya sih sangat mirip dengan Wantannas. Jika awal Februari Wantannas, maka awal Juli Bappenas. Sangat mirip. Tidak begitu mirip sih. Ada Bang Andrinof ada Evaluasi Otsus Papua. Ada Bang Andrinof, sekarang Papua lagi. All in a day’s work. Di sore yang terik tidak mendung tidak itu kubiarkan Vario Sty menggelinding saja ke arah utara. Gas tidak pernah kubuka penuh kecuali sedikit untuk mengambil suatu celah di antara mobil-mobil. Sepulangnya malah aku sering meremas gas.

Karena pulang harus selalu lebih cepat dari berangkat. Karena pulang ke rumah, karena pulang tidak ke loji, yang spooky, yang penuh dengan profesor. Karena pulang membawa satu juta tujuh ratus ribu Rupiah gara-gara diam saja dipanggil praf-prof. Jika benar kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku, biarkan terjadi aku tidak peduli! Begitulah Lagu Pujian untuk Cinta. Kau boleh mengujiku, akan kulakukan apapun yang kauminta. Sampai aku kehabisan kata mutiara, meski perasaan mengganjal ini lebih karena Si Engineer itu.

Bekas loji yang persekitarannya masih terasa bekas-bekas nyamannya. Adakah kenyamanan menyembunyikan horor di baliknya? Mana ada yang lebih horor dari tumpukan dosa tak terampuni, Naudzubillahi min dzalik. Di sekitar kita ini saja sudah dipenuhi dengan horor, yaitu berada dalam kepala manusia-manusia, laki-laki dan perempuan. Tidak peduli. Bersama dengan batu, semua itu bisa saja menjadi bahan bakar neraka. Naudzubillahi min dzalik, sedangkan masih saja aku tidak bersenang-senang. Sedangkan masih saja aku tidak paham mengapa disebut bersenang-senang.

Sungguh menakutkan! Dari situ saja sudah horor... sedangkan Marsha and the Bear, yaitu Marsha sekaligus Bear-nya—aku tidak peduli lagi apakah Marsha berkepala Bear atau Bear berkepala Marsha—menyiramku dengan lima belas ember penuh horor! Hanya ini yang dapat kulakukan. Bersenang-senang tidak. Tidak ada tambahan sama sekali, sedangkan Ipank begitu saja tadi mengingatkanku pada Munas, yang mengingatnya saja sudah bikin mual.

Thursday, July 02, 2015

Purnama Ramadhan 1436 H. Hari Ke-15


Puasa hari kelimabelas, meski lupa sahur dengan apa, aku ingat malah jadi van Gogh yang malamnya berbintang-bintang. Aku malah merasa sedang berlomba—eit, berlomba bukan bersaing, karena berlomba itu seperti melonjak-lonjak gembira, seperti umbul-umbul perang—dengan Bang Hidayanto “Tiyok” Budi Prasetyo. Terlebih dengan Denny JA. Tidak. Aku tidak berlomba apalagi bersaing dengannya. Aku tidak sedang membuat atau merintis atau apalah genre baru. Jikapun ada, itu adalah sebuah genset. Itu pun tiada.


Setelah Nocturne di Hari Terakhir Musim Panas, memang sungguh cocok jika dipadankan dengan hari panas tanpa pendingin udara yang membuat anak-anak perempuan yang sudah tidak anak-anak lagi mengibas-ngibaskan rambut-rambut panjang mereka, atau sekadar mengikatnya—sementara satu menyusulku berlari menaiki tangga karena tidak tahan panasnya. Di hari yang panas ini pulalah aku menyadari bahwa punggung berjerawat banyak itu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan berlebihan. Tentu saja itu karena aku mengetahui ada yang bernasib lebih buruk dari aku, seperti biasa.

Van Gogh yang mengibas-ngibaskan kuas belepotan cat tidak mungkin terlihat lebih ironis dari ini. Dengan berlinang air mata, meski dalam khayalku saja, aku terus mengoceh mengenai sejarah peradaban manusia—meski ini mungkin ocehanku terbaik mengenai topik tersebut selama beberapa tahun terakhir. Dalam ruangan yang semakin pengap karena semangatku yang meluap-luap, tangan bahkan seluruh lenganku bergerak-gerak ramai ke sana ke mari meningkahi dongengku yang seru sendiri. Itu belum semua. Belum semua bagian favoritku keluar.

Meluapkan semangat sebanyak itu, tentu saja membuatku haus. Lucunya, lebih dari sekadar haus cairan yang sepele, aku justru haus kasih sayang. Linangan air pada mata bercelak—atau memang begitu matanya? Tidak, ah, memang bercelak—yang diseka dengan sepotong tisu tidak akan menghilangkan dahaga ini, maka sekalian jangan diteguk. Biarlah Satu Kisah yang Cantik menjadi penawar dahaga. Biarlah ia melinangkan air mata sendiri. Biarlah ia melinang ke dalam sehingga tidak sampai membasahi pipi.

Sehingga tidak dijilat meski asin. Sehingga tidak batal puasanya, karena ini hari kelimabelas bulan Ramadhan Karim! Dengan nama yang sama, dengan pipi yang bersemu merah meski tidak begitu kelihatannya, menambat pandang juga tidak ayal. Itulah Ratu Saba. Bukan Ratu Sima. Jika ada yang percaya bahwa adanya di Jawa, biarkan saja. Aku pun membuat banyak kebohongan seperti itu. Kebohongan yang membuat haus mendahaga, gelegak mendahana. Tidak mungkin dipungkiri, aku lelaki beranjak tua.

Jiahaha... tidak perlu genre baru, ini semua hanya membutuhkan GENSET baru. Selepas itu semua, melepas lelah sedangkan waktu berbuka hanya tinggal beberapa menit saja. Belum shalat Ashar! Seteguk air, shalat Maghrib, dan meluncurlah ke satu-satunya gang kecil yang tersisa, paralel dengan Statsiun Pondok Cina. Bakmi ayam pangsit rebus, tidak hanya itu, fu yung hai. Hari kelimabelas puasa hampir berlalu begitu saja, tidak diisi dengan sebait dua lagu, terdorong oleh keinginan bernyanyi.

Malam berbintang-bintang boleh menunggu sampai entah kapan. Ini saatnya Purnama yang selalu membawa ilham cinta. Bilakah engkau akan tiba? Sudah tua, masih saja mengharap-harapkannya. Sudahlah. Berpuas dirilah dengan sepeser dua yang kaudapat dari perbuatan-perbuatan yang tak pantas dibayar, karena rejeki sudah ada yang mengatur. Nikmati saja malam tak berbintang-bintang dengan dentang-dentangnya lonceng hasrat. Sepuluh lagi, dapatkah dihentikan tepat benar disitu, tepat lima ratus?