Wednesday, June 18, 2014

Tekuni Disiplin yang Membangun


Ngoreksi belum mulai juga. Jangankan itu, shalat lohor saja belum. Tapi ngopi sudah. Tadinya mau lanjut pakai teh hijau, tapi ternyata air saja cukup. Ternyata aku haus. Porsi Soto Menara memang sungguh imutnya, seperti halnya Sunan Kudus. Tapi untuk tambah sungguh malasnya, mungkin karena harganya tidak murah, mungkin karena ya biasa saja. Hari ini seharusnya ke Santika membahas buku-buku HAN katanya. Aku pun punya buku sendiri yang harus dibereskan, yang mana harus cepat! Puasa membuat segala orang pengen cepat-cepat loh, cepat-cepat pulang maksudnya. Ah, hanya pertolonganNyalah jua yang dapat kumohon. Jika sampai buku ini, aku jadi ingat Komandan KRI Diponegoro. [bagaimana aku bisa begitu saja tahu ya kalau 365 itu Diponegoro?] Setiap jungkir, setiap anjir, setiap bantai, setiap tobat, itu semualah yang mengantar beliau sampai di situ. Apa yang sudah kulakukan untuk sampai ke mana? Aku menulis artikel tidak. Ikut seminar tidak. Ngurus golongan tidak. Emang aku mau ke mana? Gelar?

Jika gelar terlalu sumir, terlalu dangkal, lalu apa yang bernas, apa yang dalam? Buku? Itu saja sudah dihina Eka Surahman, dan memang pantas aku dihina. Goklas sudah menanyakan bagaimana buku. Ooh, aku berada dalam bahaya. Kupikir menulis di sini mungkin bisa jadi penumbuh suasana yang akan melontarkan aku ke suasana hati yang tepat untuk melakukannya. Hei, tapi ngoreksi dulu dong. Aah, rusak lagi deh. Buyar lagi. Tidak! Minggu depan, minggu terakhir bulan Sya'ban, sebelum Ramadhan. Bismillah. Mari kita mulai. Seperti kata Bang Samsoul. Kalau bisa final sebelum Ramadhan berakhir. Mantap! Ya Allah, hamba mohon ditolong. Hamba mohon dimudahkan memenuhi janji ini. Hamba mohon ampun. Uah, udara panasnya, dan aku berkeringat begini. Mantap. Memang menulis itu membuat semangat, apalagi jika dilakukan dengan bertelanjang dada. Kerja kantoran benar-benar tidak sesuai untukku. Enak 'kali jika bisa seperti Ernest, seenak jidatnya mengetik di mana saja, dengan siapa saja, pakai baju apa saja. Kasihan sekali anak bocah yang merasa dirinya Ernest, atau ingin menjadi seperti Ernest. [Hemmingway]

sumber gambar dari sini, silakan dibaca juga postingnya. Insya Allah barokah.
Ya, biarlah kuakui di sini. Timbul juga rasa iri ketika melihat mentor-mentor, kawan-kawanku pada jadi komandan KRI; dan aku boro-boro kebagian satu. Waktu belum pada jadi komandan sih biasa aja. Tapi sekarang ini, lucunya, timbul juga rasa itu. Rapopo. Iriku ya cuma sampai di situ saja. Kalau tidak kuabadikan di sini tidak mungkin ia abadi. Macam aku peduli saja. Dan kita tidak akan pernah tahu rasanya menjadi orang lain, menjalani hidup orang lain, karena yang kita jalani adalah, dan selalu adalah, hidup kita sendiri! Seperti sekarang ini, enak benar aku bertelanjang dada begini, keringatan, kepanasan di rumah Istri sendiri, mengetik-ngetik entah apa seenak jidat sendiri. Badan terasa sehat, meski gendutnya sudah tidak ketolongan. Uang ada, meski tidak berlimpah-limpah. Istri Cantik. Kurang apa lagi? Kurang Iman. Kurang Iman untuk terbirit-birit shalat ketika waktunya sudah masuk. Apalagi seperti bapak-bapak tua yang sering kuamati. Sekitar lima belas menitan sebelum waktu Maghrib masuk, sudah rapi dengan koko dan sarung terbaik, pecis tiada lupa. Langkahnya menuju mesjid saja terasa begitu khusyu'nya.

Sebentar lagi, Insya Allah, maghrib akan menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh lebih banyak muslim dari biasanya. Jika biasanya ia disambut sekadarnya, sambil lalu, setengah hati, acuh tak acuh, Insya Allah sebentar lagi semua muslim tua muda besar kecil laki perempuan tak terkecuali akan menunggu-nunggunya dengan penuh harap. Hampir saja kukatakan, aku ingin jadi seperti bapak-bapak tua berkoko bersarung berpecis itu. Namun sejurus kemudian aku segera ingat. Tidak perlu menunggu tua, jangan-jangan adikku Norman Edwin sudah begitu. Tempo hari aku ke mesjid yang tidak sengaja itu, waktu lohor, kulihat ia sudah ada di shaf terdepan! Jangan-jangan begitu kelakuannya lima kali sehari. Lalu ada juga Sakti. Beberapa kali saja kupergoki ia sedang menekuni Qurannya. Jangan-jangan sudah khatam bolak-balik ia! Kalau sudah begini, jelas 'kan, mengapa nasibmu seperti ini? Sudahlah jangan banyak berkhayal. Jalani hidupmu seperti apa adanya. Tepati janji-janjimu. Terlebih penting, tepati waktu shalat!

Monday, June 16, 2014

Pakde Boni yang Punya Gardu Belajar


Selamat pagi, Depok. Masih bersama saya di lantai dasar FHUI, sedangkan Frank merintih minta ganti pasangan dansa; setelah pagi-pagi umek sendiri gara-gara menurut Bu Myra SP Koperasi dimulai Senin, pagi hari ini juga. Setelah jelas bahwa mulainya sebenarnya Kamis, maka segera ngacir ke kantin mendapati keparat-keparat eks-JHP yang tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari mereka. Maka makanlah jadinya, berat. Nasi merah, terong balado, krecek, telor dadar, minumnya teh adem. Setelah boker dan umek sendiri ga penting, ngantuk. Katanya, itu berarti otak kekurangan oksigen karena darah begini dan begitu. Mengingat gaya hidupku yang sangat inaktif sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak heran sih kalau darahku sampai begini begitu.

Nah, bagian ini kuteruskan setelah tidak lagi pagi; bahkan, tepatnya, setelah lepas lohor. Bukan lagi Frank pun yang merintih-rintih, melainkan Neil dengan musiknya yang riang-gembira, dan aku ngopi lagi! Ya, Allah jauhkanlah mudlarat kopi ini dariku dan sampaikanlah manfaat sebesar-besarnya. Amin. Eh, aku tadi shalat lohor di mesjid loh, meski tidak sengaja. Gara-garanya aku ngantuk tak tertahankan, sampai-sampai memutuskan untuk berkeliling lingkar dalam UI. Ketika melewati mantan kantor Satgas Sisfo itulah entah mengapa hatiku agak mantap mengikuti Dede Wawan dan Andi Wantemas melangkah menuju mesjid. Setelah shalat maka mantap juga hatiku menelepon Redy Zulkarnain di Berau! Sambil berkeliling-keliling Perpus, entah bagaimana hatiku agak mantap menelepon Mang Imas, yang, sayangnya, tidak bisa dihubungi. Alhamdulillah. Hidup ini indah!

Jiah, ini mah gardu beneran tea keur siskamling yeuh. (sumber)

Bicara mengenai keindahan, memang lucu; Apalagi dengan Indocafe Coffeemix dalam secangkir motif bola boleh beli di pasar lama Depok. Keindahan hidup adalah memandangi Istri yang Cantik, yang, meskipun nakalnya kadang sampai ke ubun-ubun, justru menambah kecantikannya. Apalagi kalau dia nakal sudah tidak ketolongan sampai-sampai menangis, sampai-sampai mecucu bibirnya; yang seperti itu tuh langsung mancing-mancing minta dipeluk-peluk dan dicium-cium. Ya, karena aku percaya bualan mengenai belahan jiwa. Belahan jiwa itu terlahir untuk belahan lainnya. Satu untuk satu. Aku tidak percaya jika jodoh ada yang "cuma sampai segitu." Kalau sampai bubar ya namanya tidak jodoh. Kalau sampai campur ya namanya kesalahan. Bodoh memang. Biar saja. Ini membuatku nyaman. Keindahan itu buatku ketika sepasang kakek nenek bergandengan tangan pulang dari mesjid habis tarawih. Subhanallah, itu indah!

Jika pun sampai kakek-nenek, to while the time away, maka berurusan dengan hukum. Ini idenya kudapat ketika membuat kopi tadi, karena dekat pengser ada rak berisi JHP. Ada lah orang bikin artikel, hubungan antara etika bisnis dengan kontrak perbankan, pengaruh kebijakan impor pangan pada kemiskinan petani, dimuat dalam sebuah jurnal hukum? Ketika itulah aku terpikir, menjadi yuris itu memang cocok denganku, karena yuris tidak pernah berurusan dengan yang tanggung-tanggung. Pilihannya hanya dua: (i) teknis sekali, melanggar hukum atau tidak, atau (ii) transenden sekali, berurusan dengan kecocokan atau kepatutan nilai-nilai. [Akankah aku punya kesempatan untuk melakukannya, Menulis panjang-panjang mengenai pekerjaan yuris yang cuma dua macam itu?] Lantas apa tengah-tengahnya? Kuantitatif! dan itu bukan urusan yuris. Mengenai itu serahkan pada ahli statistik. Yuris cuma punya dua pilihan, mengenakan binokular atau mikroskop di matanya.

Begitulah hidup yang kukhayalkan. Yah, mungkin ketika aku merenung-renung lalu mengetuk-ngetuk, Cantik akan pergi meninggalkanku entah untuk apa. Biarlah sepanjang ia pulang padaku, untuk kupeluk-peluk dan kugemes-gemesi. Toh, sekali dua aku masih mau dan menikmati jalan-jalan. Tapi ya itu, sekali dua saja jangan sampai lebih. Uah, sebuah gardu belajar pasti ideal sekali untuk keperluan itu. Jika Allah menghendaki, pasti kejadian itu gardu belajar. Sudah begitu saja yang kukhayalkan mengenai hidup ini. Jika cita-citaku untuk menjadi merbot mesjid yang menghuni ruangan kecil dekat mihrab tidak dapat tercapai, setidaknya gardu belajar itulah penggantinya yang sepadan. Jika tidak mungkin aku menjadi Paman Quentin yang punya Pulau Kirrin, maka cukuplah aku jadi Pakde Boni yang punya Gardu Belajar. Suatu hari nanti Adjie akan datang main ke rumah lalu bertanya, "Pakde Boni di mana?" Akan dijawab: "tuh di Gardu."

Sunday, June 15, 2014

Pesiar ke Pecinan, Nonton di Bayeman


Selamat pagi, My Dear Diare. Entah mengapa, gara-gara lihat Cincha Lowra di Inbox aku jadi ingin meluapkan perasaanku padamu. Tidak, sih. Mungkin gara-gara nasi goreng bikinan adikku, disambung Teh Sosro Heritage kesukaan Bapak, lalu masih ada Nescafé boleh beli bulan lalu gara-gara pingin cangkirnya, limited edition 75th anniversary apa'an tauk. Di Minggu pagi yang mendung gelap begini, entah mengapa ingatanku melayang pada Eri Budiman dari duapuluh tahunan yang lalu, yang begitu sedapnya menikmati snêk berupa dua tangkup krêkers yang tengahnya diberi ragout-ragoutan dengan sepotong kecil telur, [ya, telur, satu unsur dalam makanan yang selalu membuatnya menjadi speisyal] lalu dibalut tepung dan digoreng. "Kalau ada sepiring, aku bisa habis sendiri," begitu katanya sambil menikmati. "Masalahnya, Er," tukasku, "tidak ada yang mau memberimu sepiring." Aku tidak ingat kelanjutannya. Mungkin ia mencoba bertanya pada teman-teman sebarak, adakah yang tidak suka snêk itu. Tentu saja itu usaha sia-sia, karena semua orang tampaknya menyukai snêk krêkers goreng; tidak seperti, misalnya, arem-arem dan bika ambon yang warnanya coklat kehitaman itu.

Alm. Bayeman Theatre, sebelum dirubuhkan pada 2008. (sumber)

Sekarang sudah hujan. Jika mengingat suatu pagi yang mendung, ada beberapa hal yang hampir pada ingatanku. Pecinan Magelang, roti pizza-pizza'an, es krim (...mungkin) dan lagunya Errol Brown, This Time It's Forever. Itu pasti kelas dua, di Graha 3. Seingatku aku sendirian saja menikmatinya. Aku lupa apakah aku memang mendengarkan lagu itu sementara makan, atau, seperti biasa, lagu itu sekadar mengiang-ngiang karena kudengar di graha sebelum berangkat pesiar. Siapa dulu, ya, di pojokan pintu belakang Graha 3, yang suka menyetel radio keras-keras? Cecak Andigus Wulandri? Pojokan itu, antara '92-'93, penghuninya Andri Supratman, Mappalara "Mappy" Simatupang, Cecak Andigus Wulandri, Aris Yudhi "Adhitya" Prasteya, Rully Kusuma Jaya, Ramdan Lukiswara, Iron Setiawan dan aku. Ahaha, kelas dua dan pesiarnya, tiap Minggu dari 08.00 - 18.00 dan boleh ke Yogya. Aku mana pernah ke Yogya. Pesiar sampai agak sore beberapa kali pernah, lah, tapi tidak pernah mepet sampai Maghrib. Untuk apa pun? Sedangkan pesiarku selalu untuk makan dan makan saja. Beberapa kali menonton memang, namun sangat jarang.

Ini tentang menonton di Magelang pada tahun '90-an: "Nonton ki yo neng MT. Nek neng Tidar sok ono corone. Bayeman rodo kere, sok ono tikuse." (Nonton itu ya di Magelang Theatre. Kalau di Tidar sering ada kecoanya. Bayeman lebih menyedihkan, sering ada tikusnya) (magelangimages.wordpress.com 2013) Apalagi menonton di Bayeman pakai baju pesiar. Seru deh pokoknya. Seingatku waktu itu bersama Catur Agus Sulistyo, atau malah bertiga bersama Rully? Bisa jadi. Ada setidaknya 4 (empat) film yang seingatku kutonton di sana: Mobster, Harley Davidson and Marlboro Man, Young Guns II, Tombstone. Persis seperti diceritakan Magelang Images, di tengah-tengah film pakai putus segala, dan segala kata mutiara pun berhamburan di antara penonton hahaha... Tentang menonton ini ada lagi. Suatu ketika cuti ke Jakarta sedang diputar Jurassic Park di bioskop-bioskop 21. Agak 2-3 bulan setelah cuti, tiba-tiba muda-mudi Magelang saling ber-du-du-an di GKL FM dengan panggilan Bronto, T-Rex... ada apa ini? Ternyata Jurassic Park sudah main di Jogja, kiblat blantika muda Magelang. Baru setelah mendekati cuti berikutnya, hampir enam bulan kemudian, Jurassic Park main di Magelang Theatre hahaha... Jian ndeso pol!

Nah, tentang pesiar di Pecinan sendiri ada lagi. Tidak tepat di jalan Pecinan itu sih, agak masuk ke dalam. Tepatnya aku sudah lupa. Bosan juga 'kan makan mie ayam food court Matahari apalagi Gardena yang semakin redup pamornya, maka bertualanglah aku dengan niat cari chinese food, di Pecinan! Akhirnya ketemulah, langsung pesan mie ayam jamur. Ternyata di dalam sudah ada beberapa teman yang kebetulan beragama Kristen, salah satunya seingatku Yesayas "Jesse" Silalahi. Tak berapa lama datanglah pesananku. Itu jamurnya, Saudara-saudara, menggunung seperti es serut di es campur! "Wuih, banyak sekali jamurnya, Pak," seruku. "Iya ini 'nanam sendiri, Mas" sahutnya bangga. [...mungkin maksudnya, karena jamurnya menanam sendiri, jadi bisa banyak...??] Belum lepas terkejutku, kuperhatikan kawan-kawanku itu di meja lain sedang mengepung sesuatu hidangan. Kudatangi mereka dan aku tidak mampu mengenali apa yang mereka makan itu, di atas sebuah schaal dari logam, sudah dimakan di beberapa bagiannya. Tidak mau berlama-lama membuatku bingung, salah satu kawanku mengambil daftar menu dan menunjuk nama hidangan itu: Babi Kecil Panggang, (?!) yang, kata Jesse, paling enak kuping dan buntutnya yang seperti pembuka botol anggur itu. (?!) [...sedangkan mie ayam jamur menggunung tetap kulahap habis juga. Mana kutahu kalau mereka dimasak di dapur yang sama dengan peralatan yang sama pula...]

Saturday, June 14, 2014

Kenikmatan Dunia, Kesakitan Manusia


Aku menulis ini dalam keadaan jasad kotor batin apalagi. Aku belum shalat lohor seraya berkata pada diriku sendiri, nanti kukerjakan setelah beres-beres rumah, biar sekalian. Dalam keadaan seperti inilah, ditemani segelas permata teh hijau beraroma bunga melati dan nyanyian Neil Sedaka, aku menulis tentang kesakitan manusia, kepedihan hati dan batin mereka akibat nikmatnya dunia. Ini adalah omongan pembual pandir lagi pongah yang tidak perlu didengarkan, bahkan oleh penuturnya sendiri. [Ini meja laptop sudah goyang-goyang begini...] Si Pandir berusaha mengingatkan dirinya sendiri yang tidak pernah ingat, yang selalu ayal.

[Lelaki pandir sekarang merana, anak istrinya dibuat sengsara. Uang yang banyak telah dibikin musnah, karena malas dan kurang upaya!] Sungguh, sebaiknya aku segera shalat setelah ini, dan berusahalah khusyu' hei, Pandir! Membereskan terjemahan syarah Futhuhul Ghayb tidak kauteruskan karena merasa sudah membeli syarah yang baru, itu pun tidak kau baca! Ya, Allah harus mulai dari mana hamba? Hamba si Gendut berlumur dosa, yang lalai dalam bersiap-siap menyambut Ramadhan Karim, seakan ia sudah pasti datang padanya, seakan sudah pasti ia akan disampaikan padanya.


Dulu sekali aku sering membatin pada diriku sendiri, beberapa kali bahkan kutulis juga di sini, betapa dunia ini tempat yang mengerikan jika bukan karena belas kasih dan sayangNya. Tetapi apa kini? Apa aku mencari belas kasih itu? Adakah sejengkal saja aku melangkah kembali ke sana? Ada juga, aku terus melumuri jasadku yang celaka dengan kenikmatan dunia, yang sesungguhnya merupakan karuniaNya, seakan-akan aku merasa berhak atasnya, atas segala kesakitan dan kesakitan yang pernah dan sedang kualami, atau setidaknya begitulah sebagaimana dipahami oleh diri-rendahku! Astaghfirullah! Aku berseru minta ampun kepadaNya, meski bibirku terkatup.

Ya, jariku yang menyerukannya namun hatiku tidak. Amboi, betapa kerasnya kau hati... apa saja yang telah kulakukan terhadapmu selama ini? Ampuni hamba Oh Allah, kasihanilah hamba yang bebal ini. Ini jelas kejumudan. Aku berhenti. Aku tidak beranjak sejengkal pun. Ketika sekelilingku bergegas menujuMu, maka jelaslah pada hakikatnya aku mundur. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Apa yang dapat hamba lakukan untuk sekadar mengangkat pantat dari tanah kejumudan ini, Ya Allah? [Ampun, ampun jangan hamba dipukul Ya Allah.]

Ada! Itulah dia! Hei, Tolol, tidakkah telah terpikir olehmu entah sejak kapan, selalu, setiap kali kau dibuat ketakutan oleh sakit dan penyakit?! [Hari inikah, ya, siang hari ini jugakah?] Ya! Lantangkan! Camkan! Segera setelah ini tanpa ditunda. Ramadhan Karim segera menjelang dan jangan biarkan sakit dan penyakit yang mengingatkanmu. Ingatlah, hei, bangunlah, Tolol! Lagipula, Tolol, mana mungkin hal-hal yang baik, yang thayyib, dapat muncul dari benak yang jumud dipenuhi kepalsuan nikmatnya dunia? Lihat badanmu sekarang. Gendut! Jijik! Apa? Kau merasa harus melakukan sesuatu, hal-hal yang mulia?

Jih! Apa lagi sebutannya jika bukan sesat, apa pula yang telah menyesatkanmu selama ini? Ingatlah selalu akan satu hari, ya SATU hari yang nista itu, yang satu sebagai sekadar pengingat dari yang banyak, yang terjadi karena kau mengharu-biru dirimu sendiri dengan kesakitan yang kau khayal-khayalkan sendiri untuk dirimu! Sudahkah, ya, mampukah kau membayarnya, menebusnya? Itulah yang seharusnya menjadi ketakutanmu dan bukan yang lain-lainnya. Astaghfirullahalazhim. Bisa-bisanya engkau dibodohi oleh sesuatu yang sudah kaulatih entah sejak kapan, jauh di masa kecilmu. Hentikan itu, kini kau dewasa, dan dewasa adalah pilihan. Beranjaklah! Bangun!

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Wednesday, June 11, 2014

Lugut Sigatel Itu Miang-miang Bambu


Judul seepik ini harusnya isinya keren, namun kini aku sedang tidak ingin keren. Siang tadi seingatku aku ingin mengabadikan cuaca yang luar binasa panasnya, dan betapa badanku rasa tidak enak. Namun malam ini, ketika aku benar-benar menghadapi Asus X450C-ku, tidak demikian lagi suasana hatiku. Apa karena Thais Meditation, atau gara-gara habis lihat Peter Schmeichel di BeIn 3, atau karena Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang? [Aku harus benar-benar masuk ke dalamnya, sebelum bisa asyik. Namun, segala sesuatu seakan mencegahku untuk melakukannya. Setan! ...dan yang paling nyebelin tentu saja koreksian, meski banyaknya tak seberapa; tidak seperti dulu-dulu yang pernah kulalui.] Nah, bicara koreksian... entah mengapa satu kenangan ini selalu mengemuka. Seingatku itu adalah final push, beberapa lembar terakhir. Jika tidak, tentu saja aku tidak akan merasa perlu merayakannya, sampai mengajak Dedy Nurhidayat segala, ke KFC Mal Depok segala. Tidaklah. Namun memang naik mobil dia yang hijau itu. Aku masih ingat, kursi samping supir itu kurebahkan, dan aku tidak melihat keramaian Margonda. Ya, hanya langit malam Depok yang kulihat, setelah meneguk Earl Grey, dan mencuil-cuil kue coklat yang dalamnya meleleh.

Lalu kami kembali ke Gang Pepaya. Berapa lama kami di situ? Satu setengah tahun. Banyak hal terjadi selama itu. Sejak di situlah aku belajar hidup seperti aku hidup sekarang. Lantai dasar yang remang-remang, dengan lampu kuning di depan kamar mandi. Remang-remang dan dingin, karena ACnya kurasa cukup kuat. Uah, memang cocok sekali untuk malam-malam sepanas ini. Ada pengser di bawah, meski di atas juga ada. Kopi biasanya di bawah situ juga. [mungkin karena, entah bagaimana, saat ini aku ingin ngopi. Padahal hampir tengah malam. Padahal tidak berapa sehat. Mungkin gara-gara Ave Maria ini...] Pernah juga jus mangga Country Choice pakai es. Hmm... segar. Seperti ini juga, menulisi Kemacangondrongan di atas meja direktur abangnya Sopuyan. Di depanku sofa yang sudah diubah bentuknya oleh Mang Yayan. Lalu bagian belakang dari lemari buku boleh bikin di Lenteng. Ya, sejuk. Bahkan dingin. Jika ke atas, maka yang pertama menyambut satu set sitje bambu boleh beli jaman di Jang Gobay. Di atasnya suka banyak apa-apa. Oh ya, cermin. Menoleh ke kanan, maka ada kulkas, wasbak yang ngecembong banyu, pantry dengan kompornya Dedy, rak piring... di baliknya, TV. Barulah di ujung kamarku. Meja tulis yang sudah tidak pernah dibuat menulis lagi semenjak pindah ke situ. Rak yang entah apa-apa isinya, dan... kasur palembang kesayangan. Oh, they are very dear to me, their memories...



Tak disangka aku jadi berpanjang lebar mengenai Gang Pepaya. Belum lagi gangnya itu sendiri. [Aah... aku harus buat kopi!] Mulut Gang Pepaya diapit oleh syowrum-syowruman. Memasuki gang, segera terlihat warnet. Sebelum warnet, jika melirik ke kiri, maka warung dalam gambar itulah yang tampak. Aku sekali dua membeli kopi di situ, atau di warung satunya dekat pintu masuk tapsiun. Nah, di samping warnet ada bimbel-bimbelan yang prestation. Pas di belokan ke kiri ada pangkas rambut gaul, lalu emperan tempat jual buah, lalu warung sate gajah yang lebih laku ayam nyepetnya. Di seberangnya tempat entah apa, pernah ada orang jual jus di situ, lalu tempat nasi goreng. Sebelah ayam nyepet itulah ruko-rukoan yang dalemannya sudah kuceritakan di atas. Lalu warnet, pernah jual mie ayam yang edible, di seberangnya londri-londrian punya kawan lama, [buset, sekarang aku lupa kawan di mana siapa namanya] orang jualan pulsa dan alat pemadam kebakaran, kos-kosan cewek banyak yang depannya sering buat mangkal tukang nasi goreng gerobak, seberangnya kadang ada tukang otak-otak sapu-sapu, warung yang kuceritakan tadi, mesjid, dan pintulah tempat babe temennya Agam jualan herbal, lalu peron. Masih banyak lagi. Warung nasi yang bakwan jagungnya oke, fotokopian di depan jualan gas, warung jual minuman, warung alat tulis... Mati semua! Semua! Mati!

Wednesday, June 04, 2014

Saroso Ber Harsanto, Kenangan Akan Beliau


Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Keselamatan semoga atas Para Sanak sekalian, demikian juga kasih-sayang Allah, barokah dan ampunanNya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w beserta keluarganya dan para pengikutnya sampai akhir jaman. Amma ba'du.

Di pagi hari yang berbahagia ini, entah mengapa, ada dorongan yang begitu kuat dalam hati patik untuk membagi kepada Para Sanak sekalian dua buah kisah yang sangat ajaib, yang selalu terngiang dan memukau sanubari patik. Tiada lain maksud patik kecuali mengeluarkannya dari dada patik, seraya memohon ampun kepada Allah, semoga dijauhkan kiranya dari segala niat buruk dan perbuatan cela. Semoga kita semua terutama patik dapat mengambil ibrah pelajaran dari kisah ini.

Sesungguhnyalah ini bukan kisah patik sendiri. Patik mendengarnya dari guru agama patik ketika bersekolah di Magelang. Beliau bernama Saroso Ber Harsanto, terbaca dari papan nama yang beliau kenakan di dada kanan, sebagaimana diwajibkan atas para guru, termasuk kami para murid, di sekolah itu. Ketika itu patik memang punya satu kebiasaan membaca-baca papan nama dan mengingat-ingatnya. Betapatah tiada teringat selalu akan nama yang demikian uniknya: Saroso Ber Harsanto.

Monumen Kresek, Madiun (sumber)
Sebelum menuturkan kisah, ingin patik sedikit mengenang pelajaran agama jaman sekolah. Sayang, bukan isi pelajarannya itu sendiri yang terkenang, melainkan suasana belajarnya. Ini pun teringat oleh patik karena tempo hari bertemu adik-adik kelas dan mereka tertawa-tawa mengenangkan pengalaman belajar agama di sekolah. Demikianlah kata adik-adik patik, suara guru-guru agama ini laksana hipnotis sangking lemah-lembutnya, mengakibatkan kantuk yang tiada tertahankan. Kurang ajarnya, mereka tiada ingat siapa nama guru agama kami. Patiklah yang mengingatkan: Saroso Ber Harsanto.

Jika mengajar, Pak Saroso selalu rapi jali. Meski di usianya yang sudah cukup senja di awal '90-an itu, beliau tampak jauh lebih muda. Berdirinya masih tegap dan gagah. Rambutnya selalu disemir hitam dan mengilat oleh minyak rambut. Kemejanya rapi terseterika, bahkan tampak kaku pula seperti dikanji. Tampaknya, Pak Saroso suka tampil dandy. Paling terkenang oleh patik adalah sepatu beliau yang selalu mengilat dan... berhak agak tinggi. Sepertinya bukan sepatu jatah atau sepatu dinas, melainkan pantofel yang lumayan bagusnya.

Seraya menulis ini patik juga jadi terkenang, betapa Pak Saroso dulu, di tengah suara beliau yang lembut mendayu-dayu, bercerita entah tentang kisah nabi-nabi ataupun rukun iman, suaranya bisa tiba-tiba keras, membuat kawan-kawan patik yang tengah lelap mendengkur, sampai tertunduk-tunduk kepalanya, menggeragap terbangun sambil menghirup dan menjilat liur sendiri yang terlanjur menetes. Dalam pada ketika seperti inilah, mungkin maksud beliau untuk mengusir kantuk, Pak Saroso menceritakan kisah yang patik tidak dapat lupa sehingga kini.

Sebelumnya, patik mohon maaf jika rincian cerita ini tidak sesuai dengan aslinya, sebagaimana terkenang oleh kawan-kawan yang lain. Namun Insya Allah, inti ceritanya tiadalah terlampau jauh berbeda. Alkisah suatu ketika di masa Pak Saroso masih muda perkasa, nun di suatu tempat di Madiun, di tengah berkecamuknya revolusi fisik, Pak Saroso bersama beberapa belas atau puluh kawannya ditangkap dan ditawan oleh tentara yang bersimpati pada PKI Muso. Mereka diikat dan dikurung dalam suatu kurungan yang sangat tidak berperikemanusiaan; Seingat patik bahkan hanya cukup untuk berjongkok berhimpitan di antara para tawanan.

Pada ketika itulah kawan-kawan Pak Saroso ada yang meradang memaki-maki, ada pula yang menangis meratap-ratap, demi menyadari tiada lama lagi hidup mereka akan diakhiri, entah dengan cara bagaimana, oleh simpatisan PKI yang saat itu terkenal kejam. Lapar. Haus. Sakit. Penat. Pak Saroso pun tiada terkecuali merasakan hal yang sama. Akan tetapi beliau memilih untuk berdzikir menyebut namaNya, memasrahkan segala sesuatu kepada Yang Maha Kuasa. Sebenarnya patik lupa dzikir apa, atau bahkan Pak Saroso memang tidak merincinya. Hanya saja yang patik ingat, Pak Saroso ketika itu entah berdoa entah berdzikir.

Ajaib! Entah bagaimana caranya, seraya tenggelam dalam dzikir, Pak Saroso mendapati dirinya berada di luar kurungan! Beliau dapat melihat kawan-kawannya, bahkan dirinya sendiri, dikurung, sedangkan beliau berjalan-jalan bebas di luar kurungan. Namun, orang-orang seakan tiada dapat melihat atau mengetahui keberadaan beliau. Tidak para penjaga, tidak kawan-kawan sesama tawanan, tidak pula diri sendiri dalam kurungan. Pada ketika itulah Pak Saroso pergi ke tempat kedudukan tentara Republik terdekat untuk mengadukan keadaannya beserta kawan-kawannya yang tertawan.

Demikianlah kata cerita, tentara Republik datang mengusir tentara PKI dan membebaskan para tawanan. Dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya tentara-tentara itu demi mendapati salah satu tawanan yang dibebaskan itu adalah orang yang memberitahu mereka tentang keberadaan tentara PKI dan tawanannya; sedangkan ia, sama seperti tawanan selebihnya, sama berjongkok, sama terikat, sama menyedihkan keadaannya, tidak seperti orang yang barusan melapor. Wallahua'lam bisshawab.

Maha Suci Allah. Tiada daya dan upaya kecuali denganNya. Semoga Allah berbelas-kasihan pada kita, mengampuni semua dosa kita yang mana saja tanpa terkecuali, menggantinya dengan kasih-sayang,  anugrah hidayah dan barokah berupa berdekat-dekat denganNya. Amin.

Tuesday, June 03, 2014

Meditasi Indomie Goreng Jumbo yang Asli


Sekitar ba'da Ashar aku berjalan dengan langkah agak lebar-lebar memotong tegak lurus pelataran depan kampus FHUI, tepat menentang arah pandang Pak Djokosutono, sambil menenteng nasi bungkus boleh beli di Sasari dan mulut penuh mengunyah cireng isi. Komandan Aris komentar, pantes jadi tembem. Kemarinnya, Hadi mengomentari leherku yang, katanya, lebih gemuk dari biasanya. Lebih pagi, Bu Riga juga memergokiku dengan mulut penuh roti isi kelapa boleh dapet jatah ngawas ujian, seraya berkomentar mengenai betapa aku gemuk. Inilah akibat meditasi dengan metode super speisyal ekstra jumbo dengan menggunakan Indomie Goreng. Kemarin, sepulang dari kampus, aku mampir dulu di Indomaret depan QS untuk membeli benda itu, sekaligus 5 (lima) bungkus. Ya, dengan itulah aku bermeditasi, karena cinta adalah hal tersedih jika ia pergi. Begitu saja suara sok berat Frank diganti dengan suara empuk Stan Getz ber-Garota da Ipanema.

Mangkuk Oranye Indomaret Kober dan Mangkuk Hijau Jang Gobay di Atas Bedong Faw

Mengetik juga semacam meditasi, ketika ada sedikit rasa kecewa di hati karena tidak bertemu dengan delegasi Leiden. Namun suasana hatiku memang tidak sedang ke situ tadi pagi, saking tidak-ke-situ-nya sampai-sampai ketinggalan HP. Demi menyadari bahwa topan sudah datang karena badai telah berlalu, dengan segala permohonan pencairan dana dan semacam laporan hasil pelaksanaan kegiatan, sungguh perut gendutku rasa meleleh; meski aku makan cinlok sudah lebih dulu sebelum mengingatnya. Memang ajakan Frank Lampard itu hampir selalu tidak benar. Jarang sekali sesi Frank Lampard berlangsung kurang dari setengah jam; bahkan yang paling asyik bisa sampai dua jam. [aah... suara Tante Astrud ini terasa seperti belaian kekasih yang memberahikan...] Ngomong-ngomong birahi, meski mungkin berhubungan, Frank Lampard ga ada apa-apanya jika dibandingkan Peabo Bryson; yang satu ini memang laknat! Gagal total semuanya. Makan, perang dan gejala ikutan Peabo Bryson adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hal-hal yang mengakibatkan.

Soal perang ini, benar juga kata Mas Mils. Ekspansi Peradaban Kelima terlalu rumit untuk diajak santai. Terlalu banyak aspek yang harus dieksplorasi, yang tidak mungkin dilakukan sambil melengkapi dokumen pencairan dana, apalagi untuk menggenapi sumpah setia bela Pancasila. Semalam kukatakan pada Cantik, aku tidak punya hobi kecuali yang satu ini, dan hobi yang satu ini sungguh-sungguh murah karena tidak menghabiskan uang sepeser pun. Namun ada satu yang dihabiskannya sampai habis-habisan: Waktu! Hahaha... ini mah lebih parrah! Insya Allah dua hari lagi akan ada selingan bagi rutinitasku. Ibu akan tindak dan menginap di M14 bersama Adjie dan Ibunya. Ya hanya ini yang dapat kuharap-harap. Jika dipikir-pikir, sebenarnya yang mampu mengubah rutinitasku ya hanya aku sendiri. Seperti sekarang ini. Entah sudah berapa hari jadi terbiasa begini. Jika Togar shalat, dan syukurnya tidak pernah terlalu jauh dari awal waktu, hal terkecil yang dapat kulakukan adalah segera menyusulnya. [Isya' dulu, ah]

Sunday, June 01, 2014

Dobel Cisburgernya Mekdi Lebih Enak dari Gurame


Mengajar itu sebenarnya capek ga sih? Capek tauk. Mengajar. "Mengajar..." adalah cara termudah mencari uang bagiku, ketika hidupku semata untuk mencari uang. Setelah sekian lama ini, habis motivasiku untuk sebagian besar yang biasa kukerjakan. Hanya keinginan untuk minum kopi saja yang tinggal, dan cisburgernya Mekdi juga kadang-kadang. Cisburger itu kalau dobel kebanyakan sampe begah, kalau satu ga nendang. Itu pun mudah hilangnya. Keinginan itu. Cukup mengingat bahwa bulan Mei kemarin ini aku hanya terima kurang dari sembilan juta. Hanya. Hanya?! Benar-benar ajaib. Masih segar di ingatanku, khayalanku, seandainya saja penghasilanku lima juta sebulan, maka sekian untuk ini, sekian untuk itu... Kapankah itu? Sepertinya tepat ketika aku baru pulang dari Belanda. Sekarang aku dapat hampir dua kalinya dan kukata "hanya"?! Ya, hanya. Itulah sebabnya hilang hasratku akan cisburger Mekdi, yang dobel maupun tidak. [Aku sampai ingin mengolah tahu susu baru saja, sayang tidak ada brambang bawang.]

Sambil menghadap ke timur, ke jendela belakang, aku membelakangi Cantik dan anak-anaknya yang sedang belajar entah apa-apa. Gara-gara mereka, aku tahu beberapa hal. Paragon dan nonton setidaknya. Jika dibandingkan lima [ya, lima] tahun lalu, memang inilah perbedaan terbesarnya. Jika aku harus hidup seperti orang normal yang mencapai ini dan itu, maka aku butuh... Istri, begitu batinku beberapa tahun yang lalu. Istri atau keluarga? Normalnya orang hidup berkeluarga. Begitulah sering kulihat dengan tatapan sok peduli beberapa tahun lalu. Keluarga-keluarga itu. Kecil-kecil. Menuntun anak-anak mereka naik eskalator. Apa benar itu yang kuinginkan ketika itu? Apa benar itu yang kuinginkan sekarang? Untunglah aku sempat melatih diri untuk menjalani apa saja yang terbentang di hadapanku. Sekarang pun begitu. Aku sekadar menjalani apa yang terbentang, membentang. Sudah berapa lama aku berkeluarga? Uah, peduli apa. Aku mencintai Cantik. Aku selalu merindukannya jika sedang tidak bersamanya; dan, kurasa, aku menyayangi anak-anaknya. Rr. Khairaditta dan R. Fawaz Hamdou Notoprawiro.

Sekarang, aku ingin mengopi lagi! Tidak, ah. Jangan. Setelah ini memang yang paling benar shalat lohor. Apa mandi dulu? Kemudiannya itu yang menceloskan hati. Dokumen-dokumen pengadaaan lagi atau langsung bbp_dji, atau malah soal SdA besok? Emang masbuloh kalau aku menekuni bbp_dji saja? Apa aku bakal lebih senang? Hari Minggu yang panas begini ditemani Now and Forevernya Air Supply mengingatkanku pada masa kecilku di Jl. Radio, mungkin jaman aku kelas 4 SD seperti Khaira sekarang. Memang keren adikku Haryo. Dia lah yang mengenalkanku pada Air Supply, sampai-sampai kami berdua sama-sama suka Come What May. Yah, apapun yang akan terjadi... Cukup sedih juga hatiku dibuatnya, ketika dini hari tadi aku membuka al-Hikam dan Futhuhul Ghayb dan tak satupun menggetar-gelorakan hatiku. Kini malah One More Chance, lagu temaku ketika menjelajahi atap-atap Gamma I. Semua itulah bianglala hidupku. Tidak apalah. Semoga aku dapat terus menjalani apa yang terbentang, terhidang di hadapanku. Semoga lurus jalanku, karena ya hanya itu yang tersisa dari harapan, keinginanku...

Ya, sungguh tidak keren memberi judul dengan awalan "Suatu Entri tentang..." maka dari itu sekarang ini kuganti. Ini sudah Maghrib di tepian Cikumpa, di Kampung Serab, tapi rasanya seperti harus kutambah sedikit entri ini sebelum ditutup. Akhirnya, hari ini untuk kali pertama aku makan di Saung Fitri. Tempatnya memang tidak pernah menarik hatiku, meski memang jarang sekali aku kepingin makan gurame goreng. Dan begitulah makanannya. Memang ada gurame-gurame yang memorabel, seperti Gurame Cobeknya Nging Kemang, lalu gurame entah apanya Bang Mayakan juga boleh, kalau tidak salah pesmol--dan kalau tidak salah lagi, sekarang sudah tidak ada menu itu. Yang baru saja kucoba di Saung Fitri... sangat tidak memorabel. Almost inedible, bahkan kataku tadi; tapi itu khusus mengenai cah kangkungnya. Jadi, cah kangkung itu disajikan dengan piring panas. Mungkin itu memang suatu muslihat agar rasanya yang ya sudahlah itu jadi tersamarkan, persis seperti taktikku jika ingin melupakan rasa makanan sel dahulu di AAL. Sayur asemnya... ini juga tidak dapat disebut. Awalnya aku membayangkan sayur asem yang segar. Nging Kemang juga tidak membuat sayur asem yang bening seperti Ibu Tamin, Bang Mayakan juga merah warnanya. Tapi yang ini... mungkin hanya satu strip di atas cah kangkung yang almost inedible tadi.