Saturday, November 29, 2008

Setelah Segala Apa yang Kulalui


Jam Bostonku sudah meregister angka dua tiga tiga puluh, padahal tangan kananku sangat ingin membelai senar-senar gitarku. Dimulai dengan desahan senar bas, dilanjutkan dengan senandung senar-senar trebel, jari-jari tangan kiriku lembut menyentuh. Malam ini, aku merasa sangat ingin bernyanyi. Bahkan jika menilik dari rasa hatiku sekarang, tampaknya aku dapat menghasilkan selantun melodi yang cantik. Bukan tidak mungkin jika terus kuikuti perasaanku, melodi itu dapat kulengkapi dengan syair malam ini juga. Sungguh langka perasaan seperti ini. Sukar dilukiskan, namun teramat berharga. Kuikuti saja detik demi detik ia membawaku, mengalun, mendayu, menghanyutkanku.

Malam ini aku sedang tidak ingin cerdas, gila, atau apapun. Malam ini, aku ingin mencinta. Terserah cinta yang seperti apa saja, yang mewah maupun yang bersahaja, semua aku curahkan dengan hati terbuka. Hanya saja, cintaku malam ini begitu inderawi, dan tidak pada tempatnya jika pada jam dua tiga empat lima ini, di lantai dua Laathofpad Zes ini, aku bercengkerama dengan gitarku, satu-satunya penambat cinta inderawiku. Sebetulnya bisa saja aku meminjam kibor-kiboran yang ada di kamar Laura, lalu memainkannya sambil menyumbat telinga dengan earphone. Ya, kurasa itu pemecahan yang sempurna untuk masalah seperti ini --pemenuhan hasrat cinta inderawi di Laathofpad Zes, di tengah malam buta. Mungkin akan kucoba besok pagi, jika masih tersisa perasaan ini, dari malam ini.

Ngomong-ngomong, shoutout-nya Annelien Ronda menarik juga. Kau akan lebih cepat berteman jika tertarik pada orang, daripada berusaha membuat orang tertarik padamu, begitu kurang-lebihnya. Itulah masalahku. Jika aku mendengarkan orang, kepalaku malah sibuk sendiri sampai tiba-tiba melompatlah dari mulutku tanggapan yang sangat egois dan tidak simpatik, yang ujung-ujungnya adalah mengenai diriku sendiri, sudut pandangku sendiri. Well, kau sudah terlalu tua untuk masih saja berkutat dengan masalah seperti ini. Satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah: Berusaha lebih keras! Jadilah pendengar yang lebih baik. Ambillah pelajaran lebih banyak dari pengalaman orang lain. Beginilah jadinya kalau kurang dzikrullah. Ingat! Bahkan bumi tidak pernah ditakdirkan menjadi pusat apapun, apalagi manusia yang jauh lebih sepele!

Aku masih ingin menambah satu paragraf lagi, dan yang ini akan kudedikasikan pada perasaanku malam ini. Lalu bagaimana dengan kutukanku pada diriku sendiri? Jika kubilang, ah, itu 'kan bisa-bisamu saja, dan tiba-tiba aku ingat pada-Nya, aku takut tepat di situlah menyelinap hasrat-rendahku --meski kutukan itu juga akibat dorongan hasrat-rendahku. Hey, katanya tidak mau cerdas?! Okay, begini saja, kita lihat besok pagi apa yang terjadi. Mungkin begini jugalah sampai Pandawa Sulung suka berjudi mengundi nasib. Sentuhan, belaian, dan dekapan inderawi memang menguatkan jiwa, namun jiwa yang kuat mampu mengolah rasa yang terlatih untuk menguatkan jasadnya. Aku tidak kuat, meski mungkin hanya karena hampir tidak pernah lagi berlatih. Di jaman serba instan ini, mengapa pula masih harus repot-repot menyiapkan segala bumbu...

Woman in love needs only one man

Friday, November 28, 2008

Jika Dibawa Tidak Dipergunjingkan (Aku Jahat!)


Setelah nonton the Flag of our Fathers yang bercerita tentang marinir Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan dengan menghancurkan Bonn, Vienna, dan Berlin, terus memaki-maki, aku mendengarkan harmoni Phil dan Don Everly, yang mantan marinir Amerika Serikat juga. Sekarang jam dua tiga tiga enam waktu Limburg Selatan, dan suhu di luar ruangan, kata Yahoo, sekitar empat derajat celsius. Langit agak berawan dan udara sedikit berangin. Sudah seharian ini aku menunggu untuk ngobrol dengan Macan Gondrong, karena aku tidak suka jika dalam satu hari sampai ada dua atau lebih entri. Terlihat sangat tidak rapi, seperti tidak ada disiplin militernya.

Anacani Montoya was a singer in US ABC's Lawrence Welk Variety Show, that was very famous during '60s, '70s, and early '80s. She used to sing Spanish songs.

Dulu, Pak Priyo Waspodo pernah menunjukkan kepada kami, siswa kelas I-2 TN-2, sebuah kliping koran atau majalah --seingatku dari majalah Forum ketika namanya masih Forum Keadilan-- dengan judul "Fenomena Pahalawan-Dosawan." Aku tidak ingat betul mengenai apa artikel itu, namun aku ingat pada kesempatan yang sama ia mengatakan bahwa Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo pernah tinggal satu atap di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Cerita selanjutnya sudah menjadi bagian dari sejarah, dan semua pun maklum kiranya. Ada yang tidak maklum? Aku hanya tahu yang dari Soekarno, dia mengingatkan kita semua agar jangan meninggalkan sejarah. Jadi, jangan tinggalkan mereka. Aktiflah mencari tahu, begitu kata Teddy Rusdi!

Aku bukan sejarahwan, dan aku tidak terlalu berminat pada akurasi fakta historis. Namun, kurasa aku adalah salah satu penutur "sejarah", karena kesukaanku pada topik ini. Entah sudah berapa orang saja yang kubombardir dengan "fakta-fakta" sejarah sebagaimana kusuka dan ingin kupercaya. Sialnya, aku adalah pendongeng yang baik, bahkan seringkali terlalu baik. Kutanamkan dalam-dalam berbagai fakta sejarah jadi-jadian ke dalam kepala siapa saja yang mau mendengarkan dongenganku. Meski begitu, aku tidak perlu terlalu cemas, karena mereka yang mau mendengarkan dongengku biasanya orang-orang kebanyakan yang tidak punya hasrat berkuasa. Sebaliknya, orang yang berhasrat akan kekuasaan biasanya menjauhi dongeng-dongengku. Jadi, aku tidak perlu khawatir dongengku kelak berubah menjadi "sejarah".

Malam ini, aku bertanya pada Ki Macan Gondrong, mengapa banyak orang begitu yakin pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apanya yang "kesatuan" dari subyek hukum internasional ini? Apa makna "republik" dalam selarik mantra ini? Apa pula makna nama "indonesia", yang memang terdengar modern ini? Ki Macan mengibas-ngibaskan perutnya yang gondrong sambil berdehem. "Apapun itu, ia terkutuk," sahutnya. Kita semua memang harus hidup dalam kutukan ini, sementara ini, sampai waktu yang dijanjikan tiba. Serumpun padi tidak akan selamanya hidup nista, meski waktu beratus-ratus tahun tentu saja terasa seperti Keabadian itu sendiri. Betapa tidak terasa abadi ketika yang diingat tentang bapak, dan bapaknya lagi, dan bapaknya lagi, adalah kemudlaratan hidup? Tidak semua pemangku kepentingan NKRI dahulu sepakat pada pengakhiran keabadian ini sebagai satu-satunya tujuan.

Gila juga kita membicarakan hal ini sembari mendengarkan "musik-musikan ngak-ngik-ngek gila-gilaan" --istilah Soekarno dalam Manipol atau Djarek, ya... Ki Macan menyeringai, kemudian melanjutkan, "Ketika segala macam konsep ultramodern dituangkan ke dalam kenangan dan kerinduan akan kejayaan masa lalu, inilah jadinya." Bukan macam-macam yang diinginkan rakyat djembel mudlarat dari generasi ke generasi, hanya cukup makan, tutup yang patut bagi auratnya, dan tempat berteduh dari panas dan hujan. Itulah kejayaan! Bukan sebuah imperium, bukan kekuasaan seluas dunia, bukan dominasi, bukan hegemoni, bukan keserakahan, hanya hidup yang patut bagi semua, sementara berada di bumi-Nya. Itulah kejayaan! Tantrayana, bhairawa, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa! Namun, jika kekuasaan seluas dunia dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu, kita berpantang surut!

Wuih, serius sekali entri malam ini. Ini pasti gara-gara ada Ki Macan Gondrong di sini he he he... Baiklah, terima kasih Ki Macan sudah sudi hadir di tempat sahaya malam ini. Ia pun menghilang di kegelapan. Kini tinggallah kusendiri di kamar lantai dua Laathofpad 6, memandang ke luar jendela, ke arah perbatasan Belanda-Belgia di ufuk barat. Seharian ini aku makan pisang, mie cup ABC rasa seafood, gebakken mosselen, nasi goreng gak jelas... kurasa aku kehilangan kreatifitas. Yah, mau bagaimana lagi, PPA merusak segalanya, dan memang konyol bila bergantung hanya pada satu sumber saja. Memang harus ada diversifikasi, khususnya untuk saat-saat seperti ini. Lagipula, yang benar saja... coba kau lihat dari jarak setidaknya sepuluh meter... Gila apa?!

Thursday, November 27, 2008

Pergi ke Eindhoven Bersama


Hari ini kawan-kawanku pergi ke Eindhoven bersama... Orangutan! Mereka berenam, yaitu Babatunde, Trust, Alice, Dolly, Pim, dan Witri. Sebenarnya mereka bertujuh, tapi satunya lagi Orangutan, jadi buat apa disebut. Herannya, kebanyakan mereka ramah pada Orangutan. Seperti orang Dayak, mereka menganggap Orangutan tak ubahnya orang, hanya saja ia terlalu banyak cingcong, jadi tidak berguna. Namun kebanyakan mereka tetap ramah pada Orangutan. Padahal, Orangutan sedang merasa ekstragila karena harus mengelola perasaannya lebih cermat dari biasanya.

Belum lagi ditambah beban keharusan turut serta menganalisis kebijakan transfer sosial di Bananastan, Orangutan tambah merana. Tidak adakah yang dapat mengatakan pada Francisca bahwa Orangutan sudah hampir punah maka harus dilindungi? Siapa juga yang sudi?! Orangutan tahu, setidaknya satu, tak akan pernah mau melakukannya, meski mungkin itu jugalah yang menjadi harapan Orangutan. Ia berharap agar semua ini berlalu dengan begitu saja. Masih ada setidaknya sembilan bulan dan Orangutan berharap ini semua berlalu begitu saja? Dasar Orangutan!

Baiklah. Jika pergi ke Eindhoven bersama Orangutan terdengar tidak praktis, ada baiknya jika kawan-kawanku membawa serta... Tokek! Oh, ini membawa kenangan sedih bagi Tokek. Meski tidak termasuk satwa langka yang harus dilindungi, kenyataannya Tokek pernah mendapat perlindungan yang begitu hangat dan nyaman, suatu perlindungan yang membawanya sampai pada keadaannya kini. Perutnya tetap gendut dan menjijikkan. Kepalanya tetap besar penuh pikiran mesum. Punggungnya tetap berbintil-bintil jingga membuat semua menjauh darinya.

Meski begitu, Tokek pernah merasakan hidup dalam suaka margasatwa yang teduh dan nyaman, meski ia tahu takkan selamanya di situ. Kini, Tokek harus beringsut meninggalkan keteduhan yang nyaman itu. Kini, keteduhan itu telah berubah menjadi mendungnya temaram senja, meski mendung itu Tokek sendiri juga yang menghendakinya. Tetap Tokek sedih berpisah dari suakanya, bagai awan lembayung berpisah dari ufuk barat. Takkan lagi dapat ia rasakan hangatnya suaka di terang cuaca. Tokek harus melupakannya, tapi ia tidak lupa-lupa... meski sebenarnya mudah saja. Dasar Tokek!

Okay, jika Orangutan dan Tokek bukan teman seperjalanan yang menyenangkan, lalu APA yang dapat membuat perjalanan kawan-kawanku pergi dan pulang, ke dan dari, Eindhoven menyenangkan? Malam ini, aku teringat pada "binatang hewan". Tidak! Itu masa lalu! Tidak mungkin berpaling lagi ke situ! Tidak mungkin menyandarkan apapun di situ. "Binatang hewan" sudah punah! Jika pun belum, mari mencarinya di setiap relung sanubari dan BUNUH di tempat. Sanggupkah kau membunuh sesuatu yang telah menjadi bagian yang sangat berarti bagi dirimu karena telah menghidupimu, meskipun dahulu?

Sanggupkah kau membunuh dirimu sendiri, meskipun kini?! Malam ini, aku harus sanggup. Meski sekuat apapun aku mensugesti diriku sendiri bahwa aku Tikus Comberan, aku harus sanggup. Legenda Tikus Comberan tidak akan berhenti di Maastricht atau di mana pun. Legenda itu akan terus diceritakan, sampai kesombongan luluh bagaikan kelembutan mentega dipanggang perkasanya matahari khatulistiwa. Sampai tiba waktunya, baik aku sajalah yang pergi bersama kawan-kawanku ke Eindhoven. Hari ini. Babatunde, Trust, Alice, Dolly, Pim, Witri, ...dan Bono.

Wednesday, November 26, 2008

Pergilah Gadis Kecil


Tiada sesuatu pun di dunia ini merupakan kebetulan, dan aku masih saja bercerita mengenai diriku sendiri. Tentu saja. Buat apa aku berbicara mengenai yang bukan aku, sedang aku saja belum kupahami sepenuhnya? Beginilah perawakanku, seakan dirancang untuk menanggung beban dunia, seperti yang ingin kupercaya. Beginilah raut wajahku, meluputkanku dari begitu banyak dosa, yang ini kumohonkan kepadaNya. Sungguh semua ini tak kupedulikan benar, aku tidak pernah menyangsikannya. Namun, pengaruhnya pada persekitaranku, pengaruhnya pada orang lain, itu yang terkadang mengkhawatirkanku.

Hah! sebenarnya 'kan sederhana saja. Sembunyikan dirimu! Hmm... tidak, tidak semudah itu, Kawan. Kalau betul semudah itu, sudah kulakukan sejak lama. Memang benar semudah itu! Kau saja yang lemah hati, mudah takluk pada diri sendiri. Ya, itu harus kuakui. Lalu? Tindakan drastis lagi? Apa kau tidak pernah tahu warna lain selain hitam dan putih? Apa kau tidak tahu angka lain selain nol dan satu? (tertunduk) Ya, aku tidak tahu. Sungguh aku butuh bantuan dalam hal itu, atau buang saja aku jauh-jauh. Insya Allah, aku rela.

Tiada sesuatu pun di dunia ini merupakan kebetulan, dan aku meratapi dunia dalam keseriusanku menanggung malu. Aku telanjang, mempertontonkan tubuhku yang tidak sedap dipandang. Tak seorang pun mau memandang, dan aku memang tidak berhasrat. Aku telanjang, karena hanya kulitku yang budukan inilah yang jujur, seperti yang ingin kupercaya. Jika aku berada di tengah-tengah khalayak, pantaskah aku disebut teladan? Tidak! Mengapa? Tidak mengapa! Sayangnya, aku masih suka menebah dada, meski hanya di dalam dada, setidaknya lebih sering dari dahulu kala.

Mama, uuhh... aku tidak mau mati, terkadang aku berharap aku tidak pernah dilahirkan, kata Freddie. Iwan menimpali, "Aku lelaki tak mungkin menerimamu bila ternyata kau mendua membuatku terluka." Ah, kalian ada-ada saja. Aku hanya mahasiswa es dua di Maastricht Graduate School of Governance. Tak banyak dari kawan-kawanku di sini yang tahu apa yang kita bicarakan, kecuali Herman AB, Witri, dan mungkin Fleur. Malam ini, aku tidak mau minum es, meski Chocomelk-nya sedingin es. [tidak ada salju di luar]

Aku bisa! ...jika aku mau. Namun, kenapa aku tidak mau-mau? Heheheh... ini saatnya, Tolol! Ini saatnya! Lupakan omong-kosongmu tentang tidak mau berkelahi melawan yang lebih lemah. Nikmati kemenangan, dan itu hanya akan terjadi jika KAU yakin pada tingkat kepercayaan seratus persen bahwa yang akan kau lawan lebih lemah! Ia sudah menelanjangi dirinya, sedikit. [tidak ada yang lebih telanjang dari kau, Tolol!] Sebenarnya tidak akan pernah ada. Emang iya?

Langkah pertamanya bahkan jauh lebih ringan dibandingkan menggeser pion di depan raja sejauh dua kotak. Oh, dunia, mengapa engkau penuh dengan dendam. Tidakkah kau tahu dendam membuat hawa menjadi panas? Kau suka berkeringat, ya? Geen probleem. Ini bukan dendam. Ini kekejaman! Kau 'kan suka kekejaman?! Siapa bilang?! Semua harus ada aturannya, termasuk kekejaman. Jangan asal kejam saja, dong. Harus artistik. Kau pernah menyembelih ayam, belum? ...Belum. [sambil malu-malu] At my signal, ...unleash hell, kata Maximus.

Tenang saja. Nanti juga berubah lagi.

Saturday, November 22, 2008

Salju Pertama di Maastricht 2008


Kemarin, Jumat 21 November 2008, adalah hari kami mengikuti ujian Risk and Uncertainty. Sebelumnya, aku dan Bang Herman shalat di Masjid al-Fath, di Gentelaan mentok (aduh nama jalannya apa ya...? ada Sint-nya gitu deh... lupa). Waktu itu angin kencang, dan kurasa pada saat itulah salju pertama tahun ini sudah turun di Maastricht.

Malamnya, ketika aku berjalan di sepanjang—monyong... lupa juga nama jalannya, pokoknya di depan tapsiun deh, sama Bang Herman juga, dari Night Shop balik ke (God help me) De Beurs Studentencafe, barulah salju menerpa wajahku, tutup kepala, dan jaket Bad Boy-ku yang terkenal tebal itu. Aku tidak bad koq, dan aku juga bukan boy (terus 'Kin mau dikemanain kalau aku boy?). Aku sudah lama tidak kepingin menyentuh khamr dalam bentuk apapun, dan malam itu juga tidak. Jangankan khamr, rokok juga aku sudah tidak berhasrat. Sepertinya aku sudah cocok masuk PKS niy ;'p

Bicara masalah hasrat... pertama, tiada lain kecuali aku memujiNya, satu-satunya yang pantas dipuji. Allah, Penambat segala kesah. Allah, Penyembuh segala gundah. Allah Illahi Rabbi, yang kasihNya melebihi ibuku sendiri, bahkan kasih ibuku dan semua ibu di alam ciptaan ini Ia-lah yang menciptakan. Rabb hamba, terurai air mataku, semoga ini adalah kerinduan hanya padaMu. Semoga mata ini tercipta hanya untuk memandangMu, dan apapun yang kupandang itu hanya Engkau. Allah Rabb hamba, jadikanlah aku hambamu yang tebal rasa malu.

Jangan biarkan hamba lupa diri lebih dari sekejapan mata, diri-rendah hamba ini, Illahi Rabbi. Demikianlah kehendakMu atas hamba dan semua manusia (anak Adam?), sebagai cerminan DiriMu yang tak terlukiskan. Langit, bumi, dan segala apa yang berada di antaranya tiada sanggup menanggungMu. Hanya hati seorang mukmin yang mukhlis-lah yang mampu. Allah Rabb hamba... dengarlah ratapan hamba pagi ini... Masukkanlah hamba ke dalam golongan itu... Semoga ini semata-mata kerinduan padaMu.

Aku mengidap Sindrom Robin Hood, kata Dik Witri. Dua kata terakhir memang aku sendiri yang memulainya, dia tinggal menambahkan satu di depannya. Betapa mengerikan jika sindrom ini dibarengi pamrih, aku berlindung pada Allah Maha Perkasa dari yang seperti itu. Aku adalah orang yang tinggi hati, dan mementingkan diri sendiri. Aku suka mengagung-agungkan diri sendiri. Sama seperti adikku yang paling kecil, aku suka memandangi pantulan diriku sendiri dalam cermin. Betapa berbahayanya! Amboi, betapa mengerikannya! Semua ini sangat mungkin menjerumuskan ke dalam kenistaan, dan itu sudah dijamin.

Jika sampai terjadi, benar-benar tak tertanggungkan. Di sini, aku mungkin masih dapat mengandalkan kesabaranku. Namun, ketika waktunya tiba, di sana, tak mungkin lagi siapapun bersabar menanggungnya. Aku berlindung pada Allah Maha Pengampun dari yang demikian itu. Illahi Rabbi, hamba mohon karunia kekuatan untuk mampu bersabar dalam memberantas semua pamrih dan menanggalkan semua atribut yang tidak pantas hamba kenakan. Mohon tangguh sebentar saja, tidak akan lama lagi.

Farewell Party February 2008 Cohort

Keindahan dunia yang menyilaukan mata, yang bagi kebanyakan orang bahkan membutakan. Menyergapmu dari segala penjuru inderawi, merasuk ke dalam alat kelengkapan kemanusiaan yang paling asasi... Tak mampu kuteruskan yang satu ini... satu paragraf ini... biarlah berlalu begitu sahaja. Apapun yang ada dalam benakmu, lupakan. Apapun yang ada dalam genggamanmu, berikan. Apapun yang ada di depanmu, hadapi. Mari bersuka-cita, karena tiada lama lagi kita akan sampai di rumah. Rumah yang hangat dan nyaman itu... yang kehangatan dan kenyamanannya saja sudah merupakan daya tarik tak tertahankan.

Di tengah rimba belantara ini, yang terus saja berganti-ganti dengan padang gurun (atau kini padang salju hehehe...), rimba belantara, padang gurun, hutan gelap, padang salju, rimba belantara, padang gurun... begitu saja seterusnya; Ini hanya pengembaraan. Hanya rumahku yang hangat dan nyaman itu yang kuinginkan, hanya itu saja yang mengisi benakku, hanya itu tujuanku! Sungguh aku menanti saatku mengucapkan selamat tinggal pada pengembaraan ini, dengan kata-kata perpisahan yang manis.