Saturday, October 15, 2016

Suatu Malam di Ketinggian Cosmo Amaroossa


Meski sama-sama di ketinggian, yang kupandangi ini bukan Monas. Meski sama-sama di ketinggian, ini bukan Menara Pengawas CGK, bukan Sentra Operasi Penerbangan, (Senopen) bukan pas yang ada tulisan shift leader-nya. Meski tetap ini mengenainya, karena yang kupandangi adalah gedung Fedex hampir di kaki langit. [Kali ini akan kucoba tanpa tanda-hubung ganda tolol itu] Entah mengapa aku kesakitan. Tidak bisa lain ini karena dosa-dosaku, ketololanku sendiri. Di ketinggian ini aku merasa tolol dan tidak berdaya. Hanya bersabar yang masih dapat diandalkan.


Ya, karena ini masih di dunia. Kelak di akhirat, [neraka...] sabar tidak ada gunanya. Sama saja engkau sabar atau tidak. Ampun Rabb hamba, ampun. Hanya satu harapan si Tolol ini, mana tahu semua kesakitan ini dapat mengikis habis semua dosa dan kedurhakaan, agar agak pantaslah si Tolol ini menghadapMu. Kutulis ini dalam keheningan malam, kecuali hembusan AC saja yang terdengar di ruangan berjendela kecil ini. Aku tidak suka jendela kecil, meski dari jendela ini kupandangi waktu-waktu, yang tampak begitu jelasnya menari-nari di hadapanku. Masa lalu tidak ada. Yang ada hanya yang di hadapanku ini.

Biarlah di sini kutuliskan betapa aku mulai kehilangan kepercayaanku, keyakinanku. Ya, itu aku di sudut, di bawah siraman lampu sorot, kehilangan kepercayaanku pada... Pancasila dan UUD 1945 hahaha. Menulis delapan alinea itu menguras imajinasi tauk. Namun apa yang sudah kaumulai harus kauselesaikan. Ini adalah, sebagaimana biasa, entri mengenai cinta. Cinta yang tidak pernah disampaikan sebagaimana harusnya cinta, karena tidak ada kata "musti" atau "mesti" dalam Bahasa Indonesia. Satu-satunya penanda bagi gagasan Kebangsaan Indonesia yang sungguh rapuhnya, yang mengeringkan jiwa karenanya.

Pergilah, pergi bersama Tuhan. Bunda Maria pun bersamamu, jadi untuk apa khawatir? Mengapa takut mencelupkan belati ke dalam daging hidup? Amboi, itu lebih baik, jauh lebih baik daripada mencelupkan daging ke dalam lubang berdaging berlendir. Jauh lebih baik, 'Nak. Semua kehidupan berharga, semua kehidupan adalah kehendakNya. Jangan kaucabut sekehendak hatimu, kecuali bila menjadi kehendakNya. Bagaimana aku tahu kehendakNya, Bapa? Sedangkan makan saja aku merasa bersalah. Haruskah aku mempertahankan hidupku dengan bernafas saja? [Aduhai, banyak sekali kata serapan dari bahasa Arab!]

Pada ketika itu aku memutar badan, memunggunginya, lalu melangkah pergi. Dramatis sekali! Sedangkan ia memandangi punggungku bergerak menjauh seakan-akan lesan sasaran bulat-bulat hitam di tengah-tengah. Aku tahu ia membidiknya. Lengannya sudah terangkat mengamangkan belati. Kuhentakkan dalam hati, "Lakukan! Sekarang!" "Bapa maafkan aku! Tuhan maafkan aku! Bunda Maria maafkan aku!" Ia meraung dan hanya seberapa ketika sesuatu kurasakan menghantam punggungku. Suatu bidikan yang sangat terlatih dan sangat tepat, bersarang di antara belikat di antara iga.

Darahku mengering karenanya, meninggalkan nadi-nadiku dengan cepat, mengosongkan otak dan jantungku. Jiwaku mengering karenanya, aku-ku kosong karenanya. "Terima kasih, 'Nak. Terima kasih, Tuhan." Itulah kata-kataku terakhir di minggu pagi yang cerah ini, yang lantas tidak punya arti. Engkau, 'Nak, yang masih harus mencari arti bagi hidupmu. Aku sudah tidak. Tidak ada bedanya kini apakah hidupku kemarin berarti atau tidak. Kau masih harus menjalani hidupmu yang penuh kesia-siaan, kecuali jika diisi dengan perbuatan-perbuatan baik, untuk menunjukkan penghambaanmu padaNya. Semata-mata.

Maka pergilah ia ke tempat ramai, di mana orang berkata-kata sesukanya. Pergilah ia ke pasar di mana orang saling menipu, bahkan meminta meratap agar ditipu habis-habisan. Baik si Penipu maupun si Tertipu tidak ada bedanya bagi ujung belatinya. Ia celupkan dalam-dalam terkadang di tempat-tempat di mana tidak ada pembuluh nadi. "Agar lebih lama ia kehabisan darah," gumamnya selalu sambil mengingatku, mengenang wajahku kala terakhir menatapnya. Dalam ingatannya, wajahku teduh penuh kasih, seakan wajah Bunda Maria sendiri memandangi putranya yang mengorbankan diri menebus dosa manusia.

Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang perempuan. Pertama, dipandanginya lekat-lekat perempuan itu pada dadanya. Selanjutnya, entah bagaimana ia merasakan suatu dorongan kuat untuk menubruknya, dada itu sepasang buahnya. Sungguh ranum di matanya, bagaikan kelapa tua. Ia tidak peduli lagi pandangan mata orang, bahkan mata, bahkan wajah perempuan itu. Matanya terpaku pada dada, dan hanya dada itu saja. Ia merasa selain belatinya ada juga yang mengacung. Ia menatap nanar sampai matanya terasa perih, sehingga tak terasa ia mengerjap-ngerjap. Ketika itulah ia melihat neraka.

Sunday, September 25, 2016

Adakah Cinta di Hatiku? Bisa Juga Tidak


Entri-entri di bulan-bulan 2016 tampak seperti strategi sepak bola saja. Apakah entri ini sekadar agar September tidak satu, atau yang lainnya, di dunia Kemacangondrongan ini tidak ada pentingnya. Di sini pertanyaan tidak untuk dijawab dan jawaban tidak harus atas pertanyaan—meski tanda baca sedapat-dapatnya harus tetap dijaga akurasinya. Malam ini aku bersama Oom Philippe Pagès dengan mini orkestranya—setelah agak beberapa hari terakhir ditemani Opa Fausto Papetti dengan dehaman saksofonnya.


Lantas sekarang Oom Phillipe memainkan gubahan kompatriot dan sebayanya, Jean-Claude Borelly, yakni Dolannes Melodybah, hari-hariku diisi oleh Perancis-perancis ini—bedanya, Oom Phillipe pianis, Oom Jean-Claude terompetis. Lantas... oh, Einsames Herz, Hati yang Sepi, salah satu lagu yang agak bisa kumainkan pada piano, meski tangan kiriku terlalu ribut. Maka tepatlah apa yang biasa kukatakan, tegangnya senar gitar hanya cocok bagi hati riang—ketika hati sedang rusuh, kelembutan tuts-tuts pianolah penawarnya.

Apa rasanya jika ambiens sebuah lobi hotel dijejalkan pada kedua lubang telingamu, ya, seperti inilah. Hotel-hotel memang sengaja dibuat nyaman karena itulah fungsinya. Semakin nyaman tentu semakin mahal, semakin seadanya semakin murah. Ini sesungguhnya adalah bentuk keputusasaan dalam menemukan persekitaran yang membangun dan mendukung suasana hati, sedangkan hal-hal seperti keharusan untuk bolak-balik ke dan dari bilangan Segitiga Senen betul-betul menggerusnya. Uah, La Mer! Ini di lobi hotel yang nyaman, lengang.

Ini pula adalah kekecewaan yang meronta-ronta meminta penawarnya, yang sehingga kini belum juga kunjung diketemukan. La Mer memang sudah sesuai dengan berkurangnya hiruk-pikuk, akan tetapi rasa badan yang tidak seberapa, lengket karena udara yang berada di tepi hujan deras, malam yang sudah tidak muda lagi menghancurkan semua harapan akan suasana hati yang prima. Apa aku hanya dapat ber-Mimpi [tentang] Cinta (Liebestraum)—sedangkan Ibu sekarang tiap hari menonton dangdut saja kerjanya.

Tentu saja berlebihan jika kukatakan duniaku runtuh sedikit demi sedikit. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Yahudi-yahudi yang menjadi korban rezim Nazi atau yang semacamnya—ada juga cerita mengenai keluarga yang hancur tercerai-berai gara-gara ramai-ramai 1965. Ini masih belum melibatkan kejahatan yang tiada tara. Ini masih sekadar dunia yang memang tidak pernah diciptakan sempurna, Insya Allah, agar manusia tidak terlalu cinta kepadanya. Ini sekadar menjalani hari-hari seperti dilakukan semua orang.

Alangkah mahalnya—jika demikian—khayalan mengenai trotoar yang tidak bersih dan tidak rapih—khas trotoar-trotoar di Jakarta—bermandikan cahaya kuning temaram lampu jalan, mungkin di sekitar Terminal Senen. Apakah itu berarti naik PPD nomor 10 atau 11 tidak terlalu menjadi masalah. Apakah ketika itu makan dulu di salah satu warung atau entah penjaja makanan apa di sekitar terminal, bisa jadi. Apakah cukup uangku di dompet untuk itu semua, tidak mengapa.

Terpenting dari itu semua, aku menuju pulang. Malam sudah cukup larut dan mungkin ini adalah bis terakhir yang dapat membawaku ke Terminal Blok M. Sesampainya di sana, maka berjalan kakilah menuju Blok M Plaza, di bawahnya ada McD yang buka 24 jam untuk sekadar membeli ice cream cone—karena untuk yang lain kemungkinan uangku tidak cukup. Apakah saat begitu di benakku menggeremang Moon River yang dimainkan dengan piano, boleh jadi.

Lalu langkah-langkahku menjadi ringan berjalan kaki menuju Radio Dalam, bisa berbelok pas di Hero atau melewati kuburan dulu tidak menjadi masalah. Terlebih penting lagi, suatu pertanyaan: Apakah saat itu di hatiku ada cinta? Apakah sesampainya di rumah Bapak dan/atau Ibu masih wungu—jika tidak, tentu saja aku terpaksa mengetuk-ngetuk pagar dengan gembok agak keras, atau malah lompat pagar. Bisa masuk ke kamar belakang, bisa juga tidak. Adakah cinta di hatiku?

Thursday, September 22, 2016

Sesakit-sakitnya Hatiku, Lebih-lebih Cintaku


Seedan-edannya aku, tidak mungkinlah aku melakukannya terhadap Emma—panggilan dari Emmanuelle. Gila ini! Ini adalah malam-malam sangat larut, atau bahkan dini hari sekali, ketika kabut baru turun dan embun sudah membulir. Bisa jadi karena akulah orang Venesia tak bernama itu. Sangat bisa jadi, karena aku bukan pedagang buah dan tidak dari Napoli. Lagipula, aku tidak pernah menerbangkan Mirage III dari varian apapun; justru kebanyakan pesawat-pesawat pemburunya Angkatan Laut Amerika Serikat.


Akhirnya, Kawan-kawan, aku setua ini dan tidak lagi memiliki keinginan apapun. Dulu pun apakah benar kuinginkan, tidak. Seperti inginnya aku pada sebentuk saksofon, seperti itulah semua keinginanku. Menguap semua, bahkan aku tidak ingin membuat metafora apapun untuk menguapnya semua keinginanku. Tersisa padaku hanya ketololan yang mengerikan, jauh mengerikan dari apapun yang patut membuat ngeri. [Apakah termasuk kemungkinan tertangkap dan disiksa seperti para tertuduh PKI dan Gerwani, aku tidak tahu apa-apa]

Kenyataannya, senandung saksofon Kawan Nyoto ini memang agak merdu. Desahan dan dehamannya, getarnya bilah bambu yang diperkuat getarnya udara dalam ruang pipa kuningan. Ini seperti rasa simpati yang terbit pada kesintingan-kesintingan yang diberondongkan Bang Fahri Hamzah pada sasaran-sasaran empuknya, meski dalam hal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jelas pendirian kami beda. Mungkin karena ia dari Bima aku dari Jakarta. Aku tidak pernah merasakan kedaerahan itu meski lidahku sungguh betapa medok Jawanya.

Ini bukan Amerika, Bung! Di Amerika ada kengerian? Di tiap-tiap lipatan, tiap-tiap belahan pelosok bumi ini kuyakin ada saja kengerian. Kesadisan. Aku belum mengecek apa yang terjadi sepanjang Perang Sipil. Perang melawan Indian yang pakai menguliti kepala dan merebus lidah dalam minyak panas tentu saja sadis. Astajim ini samba dari suatu masa ketika pintu belakang terbuka pada kegelapan, temaram lampu bohlam yang menyinari tali-tali jemuran yang diikat pada lubang-lubang angin.

Jiahaha akhirnya kuketahui ulah siapa. Ah dari hampir duapuluh tahun lalu. Mungkin itu sebabnya aku tadi membeli sekaleng Guinness. Ini seperti sehisap sekepulan entah di pintu belakang maupun pintu depan. Teras dengan bantal-bantal merah kursi rotan, tetap dengan temaramnya bohlam. Oh mengapa semua berakhir? Mengapa pun aku harus mengakhiri mimpi orang lain akan kebahagiaan sepanjang masa, hingga akhir jaman? Aduhai begini benar nasibku, begitu benar nasibmu, Wahai Kecoak Jelek, Mampus!

Kini aku begitu saja tua, masih memberondongkan kata-kata tanpa makna, seperti dahulu di kamar setrikan—yang sekarang kamar Mbak Nung—menulisi buku tebal dengan puisi tolol mengenai orang tua tolol dan asap rokok. Tolol! Astaga, malam ini kurindukan kalian teman-teman lamaku. Kepulan dan kepulan. Asap dan uap. Tolol kalian semua hahaha. Tak satupun akan kutemui kalian meski kurindukan, malam ini saja. Kalian saja, lainnya tidak. Lain-lain yang juga temaram tidak!

Namun malam ini entah bagaimana caranya aku merasa muda... setelah sempat melihat sedikit film tolol tentang pembunuh berantai khas kesukaan Ige, sekarang mendengar Mack Si Piso. Hahaha betapa tololnya kemudaan ini. Sedangkan yang kusanding kini adalah Minuman Botani. Hah, apa pulak?! Selamanya aku akan menjadi Orang Asing di Malam Hari, meski direndisi seperti ini, tanpa romantisme apapun. Selamanya mungkin akan menjadi khayalan, ya, karena kuputuskan begitu! Romantisme semata adalah khayalan!

Mungkin karena seharusnya ada dua orang asing. Ini tidak pernah dua. Ini selalu satu dan itu selalu aku saja. Biarlah aku berdua dengan diriku sendiri, bertiga dengan kesepianku, berempat dengan kesepian diri, berlima dengan kesepian kami, akhirnya jadi beramai-ramai ‘kan. Ramai-ramai kami melonjak-lonjak riang di seputaran Katedral Winchester, sedangkan ia juga merek senapan pendobrak. (shotgun) Aku pasrah saja pada Sang Maha Kuasa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku lelah.

Monday, August 15, 2016

Eulogi: Fantasmagoria Purgatorama


Agustus tidak pernah mengenai cinta, atau iya? Atau memang tidak pernah mengenai cinta kapanpun? Mungkin juga. Aku yang selalu menyangka sudah tersedia bagiku seorang perempuan, seperti tersedianya Ibuku untuk Bapakku. Dengan adanya “yang” maka menjadi seperti kalimat yang tidak selesai, apakah aku selalu gila ataukah gila yang tidak pernah tidak? Memang seingatku aku selalu ber-dungtakdung entah-entah jika sedang bersama diriku sendiri. Satu-satunya kawan yang tidak pernah kutinggalkan. Semuanya saja kutinggalkan.


Lalu Gisselle. Apa yang telah diperbuatnya padamu? Ia pun tidak hendak menikahimu, menjadikanmu perempuan baik-baik, menjadikanmu seorang istri, ibu dari anak-anaknya. Itu tidak akan terjadi. Ia melangkah pergi meninggalkan Gisselle, dan Gisselle pun tampak maklum. Hanya seks sekejap dan kejantanan yang lemas, sepercik benih bececeran di mana-mana, sudah itu... sudah. Gisselle tidak butuh melankoli, sentimentalisme. Ia hanya butuh uang untuk mengecat kuku-kukunya warna-warni, kadang ada motif-motifnya, kadang blocking warna saja.

Lalu matamu! Lebih baik kurusak saja matamu. Kupopor saja berkali-kali wajahmu sampai seperti wajah Oom Pierre sebelum masuk sumur, versi Arifin C Noer. Ini lebih realistis dibandingkan memaksa makan orang kegendutan sampai perutnya pecah, apa mungkin? Aduh, jangan jahat-jahatlah pada sesama manusia, kini kau mengajar Kewarganegaraan. Mengapa tidak kenapa? Mengapa tidak kutatap saja matamu sambil memasang wajah sok manis seperti Mang Untus? Mungkin karena kau mengakhiri lagu dengan kunci A.

Lalu Danza Rumena, tidak bersama Tante Roweina. Tidak perlu itu, sedangkan Warkop DKI akan terlahir kembali. Mana lebih menjijikkan, nekrofili atau nekrofagi? Sial, kenapa aku tahu istilah-istilah ini? Mengapa kini kenapa? Jangankan sekadar Adipura atau Kalpataru, sedangkan geofagi saja aku tahu dan salah satu faedahnya, konon, adalah memperlancar persalinan, kelahiran. Hija, [atau hiya?] ini seruan yang cucok jika engkau harus berdansa berputar-putar dengan kerangka manusia sungguhan koleksi Museum Zoologi Bogor.

Dan kondor itu entah semacam slepot entah sontolmeong, mengingatkanku pada celana pendek biru ketat, baju dikeluarkan, tidak pakai kaus kaki. Tidak pernah. Pukulan demi pukulan, bertubi-tubi apakah itu kepalan maupun aspal, bahkan cakaran, semua terasa seperti melodia bagiku. Semua seperti selokan kering dan gadis remaja usia awal belasan dengan rambut keriting kecoklatannya yang mengembang. Apa yang kucicipi justru keringnya selokan, tidak pernah basah lembabnya bibir gadis remaja usia awal belasan.

Mungkin itulah sebabnya kepalaku penuh dengan otak berhamburan diterjang proyektil yang dimuntahkan Brown Bess. Gadis dan kekasihnya sekali. Tidak pernah aku mengenai sasaran apapun sebelumnya. Kali ini, kepala gadis dan kekasihnya dibuat buyar oleh Brown Bess. Olehku? Pak Hakim, anda tuli? Brown Bess, kataku berulang-ulang! Brown Bess! Bukan aku yang membuyarkan otak-otak mereka. Brown Bess! Tidak ada bedanya. Jangan kaugantung ia. Gantung saja aku pada leherku, atau terbalik pada kakiku.

Asaptaga, Johnny Guitar apa kabar? Lama tidak bersua, begini kau rupanya. Johnny Guitar, biar kusebut namamu sekali lagi, biar ingat selalu meski ke neraka sekalipun. Neraka? Aku yang tidak pernah merasakan basah lembabnya bibir gadis remaja, aku yang seumur hidup merasakan pahit getirnya selokan kering, masuk neraka? Aduhai Algojo, Aduhai Romo, apa iya? Algojo dan Romo hanya memandang penuh iba, dan tepat saat itulah aku menggeliat-geliat minta diturunkan dari tiang.

Gila apa? Biar kucicipi dulu bibir gadis remaja. Aku tidak mau masuk neraka! Turunkan aku! Turunkan! Pak Hakim! Romo! Di mana keadilan? Aku yang tidak pernah mengenal cinta dibakar di neraka, sampai hangus dibiarkan menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi, dibakar lagi sampai hangus menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi...sampai akhir jaman? Edan! Aku yang bahkan belum pernah tahu hangatnya dekapan wanita kecuali Ibuku sendiri? Turunkan! Pak Hakim! Algojo! Romo! Tuhan... Engkaukah? Tiada... (ctak!)

Sunday, July 24, 2016

Menetapkan Langkah Pelaksanaan Protokol Nagoya


Ini adalah sejenis entri yang mungkin akan menyesatkan anak manusia yang sungguh-sungguh ingin mencari informasi yang sesungguhnya mengenai Protokol Nagoya. Untuk itu, sebelum terlalu jauh, perkenankanlah patik memohonkan maaf yang sebesar-besarnya, karena mungkin apa yang patik tulis mengenai Protokol Nagoya di sini tidak ada gunanya sama-sekali bagi Tuan-tuan dan Puan-puan sekalian. Ini sekadar tulisan berolok-olok, sebagaimana blog ini pun, bahkan hidup patik seluruhnya ini pun, tiada lebih dari olok-olok belaka. Hanya suara Puan Karen Carpenter yang sungguh merdu tiada tara ini sahaja yang membuat hidup patik ini terasa lebih tertahankan.


[Apa keq selain Penelope dan Burung Mekanik Kecilnya, meski kini Puan Carpenter tidak ada. Ya sudah, ini sajalah Pasokan Udara] "Establishing Measures to Implement Nagoya Protocol," sebuah Workshop yang terselenggara atas kerjasama The Secretariat of the Convention on Biological Diversity (SCBD) yang bermarkas besar di Montreal, Canada; International Development Law Organization (IDLO) yang bermarkas besar di Roma, Italia; dan, Center for Law and Good Governance Studies (CLGS) yang bermarkas kecil di ruangan saya biasa nongkrong setiap hari—tidak ada yang istimewa darinya, kecuali ia sekarang sudah terasa seperti markas ICT 2014 atau Sesfak 2012-2013.

Dari bunyi-bunyinya memang terasa gagah. Mentereng, setidaknya untuk gagah-gagahan, karena memang itu saja kurasa gunanya—untuk gagah-gagahan. Dari LUAR NEGERI, seperti M.Sc.-ku begitu. Makanya ruangan kecil tempatku biasa nongkrong pun diberi nama mentereng begitu agar terkesan gagah, padahal ia tidak lebih dari tempat melepas penat, bahkan tiada jarang pula digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nirguna nirmanfaat, kecuali untuk menambah rasa penat di hati. Namun bisa apa aku di tempat di mana semua orang adu gagah-gagahan begini, seperti burung-burung tolol memamerkan jambul-jambul mereka yang tidak kalah tololnya, sejak jaman dinosaurus.

Aku—sementara itu—memang tolol, maka kupamerkan saja kemaluanku. Biar kumuntahkan semua kepenatan di sini, di dalam guagarba nenek-nenek celaka yang terus saja bersolek dan bersolek ini. Biar mengerang ia pura-pura mencapai puncak, aku sudah tidak peduli. Biar mendelep itu ditekan, lalu monyong ditarik, persetan! Kemarahan, kekecewaan hanya membawa penyakit, sedangkan kemaluanku sudah mendelep masuk perut tidak peduli udara panas atau dingin, aku lelaki gendut usia empat puluh! Biarlah suatu saat nanti Pak Erie Tamale menggugling namanya, mungkin dengan menambahkan kata "Indonesia" dalam kuerinya, dan ia akan berakhir di sini, dan ia akan berakhir menyesali investasinya padaku!

Akses dan Pembagian Keuntungan? Anjing! [Hah! Akhirnya muncrat juga bisanya] Tahukah seperti apa ia terdengar olehku? "Silakan nikmati kelamin kecilku atau lubang tahiku ini, asalkan kau membagi sedikit uang yang kaudapat dari apapun yang kaukerjakan, setelah melepas penatmu padaku, seperti telah kaulakukan pada kelamin-kelamin kecil dan lubang-lubang tahi lainnya sepertiku." Iblis Laknat! Perlindungan produk bioteknologi telah dilakukan melalui hak kekayaan intelektual. Sumberdaya genetik, bahan dasar dari produk itu, oleh karenanya, harus dilindungi dengan Akses dan Pembagian Keuntungan (access and benefit sharing; ABS) ini. (sic!)

Nah, jika sudah keluar semua upas racun begini, barulah kubuat catatan kecil di sini—biar terbaca ia oleh Bang Andri G Wibisana yang keren abis internesyenel. Terserah kau, Bang, mau kauapakan mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim-mu, tapi tidak akan kubiarkan kauacak-acak Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Nasional Indonesia)-ku! Aku tidak peduli! Udara, baik sebagai ruang maupun campuran gas, yang ada di atas air dan bumi Pertiwi adalah milik Bangsa Indonesia sampai kapanpun; dan terserah Bangsa Indonesia untuk menentukan sumberdayanya sendiri termasuk penjenisannya. UUPA tegas menambahkan "udara" selain bumi dan air yang sudah disebut dalam Pasal 33 UUD 1945, maka udara adalah sumberdaya!

Well, untuk menghormati kecoak, semua asumsi memang harus di-challenge. Aku setuju itu. Aku juga tidak suka pada argumen "pokoknya..." Namun ada yang namanya "keberpihakan." Tidak, Bang, aku juga tidak akan membiarkan orang tolol berdalih "terserah kami, kami masih butuh pembangunan, [ekonomi] maka biarkan kami mencemari atmosfir kami sendiri." Oleh itu, bantulah aku membangun konsep dan teorinya, Bang. Bukan untukku, melainkan untuk Para Pendiri Negara ini, Leluhur-leluhur Bangsa sendiri. Anak-cucunya, kita semua, butuh udara bersih, udara segar dan ruang udara yang bebas merdeka untuk mewujudkan Keadilan Sosial, tidak saja bagi Bangsa Indonesia, tapi bagi Umat Manusia, bahkan seluruh mahluk Allah. Amin. Merdeka!

Friday, July 08, 2016

Entri Ketiga Yang Ditulis di Bagasnami


Harus banget ya judulnya seperti itu? Apakah yang Pertama dan Kedua juga seperti ini, ditemani oleh Penelope dan Burung Mekaniknya yang Mungil? Yang jelas, ini kutulis setelah bangun tidur, setelah sahur dan shalat shubuh, bahkan sempat tadabbur al-Qur’an. [Insya Allah] Yang Pertama dan Kedua seingatku ditulis sebelum tidur, di sini juga, di ruang tamu Bagasnami yang remang-remang temaram, dihembus dinginnya pendingin udara. Seingatku, Penelope justru tidak pernah menemani hari-hariku di Eropa. Selama di sana, Kerjaku hanya Memikirkanmu.


Teringatnya, aku sempat membaca postingan mengenai bagaimana ngeblog yang baik. Seingatku, hampir semua kiat di situ kulanggar hahaha. Aku memperlakukan blogku seperti sebuah diare, dan aku memang tidak ingin dan tidak butuh ngeblog, jika begitu definisi dan tujuan ngeblog. Aku sendiri pribadi. Namun kebutuhan untuk menulisi selalu kurasakan entah sejak kapan. Apakah sejak SMP ketika aku mulai menulis Bonoisme? Sangat bisa jadi. Ketika kebanyakan bocah baru gede mulai merintis karir sebagai pemain asmara, aku justru berpikir-pikir mengenai Bonoisme.

Akibatnya, nyaris tidak ada yang kuingat mengenai Metty Mediawati, Yashmine apalagi Ririn Andriani yang padahal sekompleks denganku. Uah, panjang sekali alinea di atas! Hanya karena ingin menulis nama-nama itu. Maka kupindahlah kalimat itu ke alinea yang ini. Ini bukan blog, karena apa yang kutulis di sini semata-mata mengenai aku dan aku saja. Lagipula, aku memang tidak tahu apa-apa yang lain kecuali diriku sendiri. Alangkah bodohnya jika aku merasa mengenal Nietzche, atau Feuerbach dan Freud sekali, hatta menyebut diriku Nietzcheian, Feuerbachian atau Freudian.

Sedangkan aku sendiri memaksa anak bocah untuk menulis makalah Owenian. Sedangkan kutegur Ciki karena ia merasa lebih menguasai bagian “ideologis” dari Hukum Koperasi. Jika demikian memang yang kaurasakan, Cik, maka lebih tepat jika engkau bersama Sopuyan saja. Lebih cucok jika engkau berusaha mencari jalanmu ke dalam Dasar-dasar Ilmu Hukum. Untuk sementara, karena jika sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. [halahmadrid!] Asal goblek, asal ngomyang begini memang terasa sangat ideologis, terasa manis-manis filsafatinya.

Nyatanya, di sinilah kutemukan diriku. Apa yang kuinginkan? Semangkuk Sop Ikan Batam bersama nasi putihnya sekali, dengan rajangan cabe rawit direndam kecap asinnya? Apa kukira diriku Jason Yeoh? Apa karena aku terancam goblek ngomyang mengenai Protokol Nagoya lantas aku merasa berhak untuk melakukan itu semua? Apa karena Rosewitha Irawati berlebaran di rumah tahun ini, sedangkan Sopuyan merasa yakin akan kediktian tahun depan, lantas aku merindukan Sop Ikan Batam, padahal baru saja, apa sehari sebelum puasa, aku menikmatinya?

Jama’ah Goblekiyah yang [semoga] diampuniNya Sang Maha Berbelas-kasih, haruskah alinea ini juga kupenuhi dengan kalimat-kalimat tanya, meski memang masih ada satu tanya lagi yang mengganjal entah di bagian mana tubuhku? Atau jiwaku? Apa salah jika aku bersimpati pada apa yang diyakini oleh Bang Junaidi Madri? Terkadang aku merasa hatiku lunak pada abang-abangku, sedikit orang di dunia ini yang dengan sepenuh kerelaan kupanggil “Bang.” Sedangkan ia menuduh adik-adiknya pemuja setan. Tidakkah kau takut dituduh begitu?

Jiah, alinea terakhir ini seakan menunggu Toccata untuk menemaninya. Menemani jiwa yang dirundung, diharu-biru oleh entah apa, rasa sayangnya pada kedua orangtua atau sekadar masa lalu, atau sekadar khayalan konyolnya mengenai masa lalu. Sedangkan bunyi hapsicord itu masih terdengar, meski dalam ingatannya sepanjang lagu tanpa ditingkahi piano. Toccata ah Toccata, kaulah gadisku yang sebenarnya, yang selalu gadis, selalu perawan, selalu bulat montok, segar dan sebaya. Biar kau kunikmati di fananya dunia ini, nanti hanya WajahNya yang kuinginkan.

Wallahua’lam bishawab

Thursday, June 30, 2016

Ramadhan Yang Pergi Karena Kuacuhkan 2016


Ketenangan pagi adalah bagi yang belum tidur sejak sahur, entahlah apa masih bisa menghasilkan suatu entri sesuai patokan mutu Kemacangondrongan. [halahmadrid!] Kegagalan adalah martil yang menempamu pada landasan kerasnya hidup, sehingga engkau menjadi setajam, semengilat pedang. Dibakar hingga merah membara, ditempa berdentang-dentang, didinginkan tiba-tiba mengepulkan uap putih, dibakar, ditempa, didinginkan tiba-tiba, merah, berdentang-dentang , putih, begitu seterusnya. Puji-pujian? Keberhasilan? Puh! Tidak ada artinya semua itu, kecuali keharusan untuk menghormati sekadarnya ‘pabila tulus, terlebih khusus kepada yang mengaruniakanNya.


Apakah rumah sekadar khayalan bagi seseorang yang sepanjang hidupnya dihabiskan disangga papan-papan di atas kali, bukan hakku untuk menentukannya. Meski aku dibesarkan sebagai ksatria, yang sepatutnya memahami tugas-tugas, aku hanyalah seekor gajah, yang tentu bukan Gajah Mada. Sudah barang tentu pula aku bukan Ramabergawa yang digambarkan membawa busur raksasa, padahal sebagai Parasurama ia seharusnya memanggul parasu. Aku sejatinya adalah Sam Siu yang bertangan kosong, sedangkan kedua saudaranya, Han to dan Beng Kiam keduanya bersenjata.

Ini adalah mengenai Ramadhan, meski harus kuakui godaan air mata yang tak terlihat sangat besar. Berdentam-dentam rasa sakit yang tak terkatakan, akan kenangan yang tak terhancurkan mengenai engkau yang manis dan mendatangkan rasa sayang. Sedang kecupanmu lebih manis dari anggur merah yang selalu memabukkan diri. Kuanggap belum seberapa [jeda tujuh ketukan] dahsyatnya, bila dibandingkan dengan senyumanmu, selalu membuatku lesu darah. Hanya Boker yang kelebihan “o” satu, yang sanggup berkata jujur, “Aku datang untuk mencintaimu.”

Masa begini entri mengenai Ramadhan? Masa harus kuubah semua judul entri mengenai Ramadhan, yang kukatakan “kuacuhkan,” padahal arti “acuh” adalah peduli; mengindahkan? Harus, dong! Bagaimana reputasiku sebagai polisi tatabahasa terhadap diriku sendiri? Akan kulakukan, meski kurasa Ramadhan ini tidaklah lebih berkualitas dibandingkan dengan tahun lalu—hanya dua surat pendek, itu saja prestasiku. Selebihnya tidak ada yang patut dibanggakan, tidak tarawihnya, tidak apapun ibadah tambahan. Jangan-jangan puasa-puasaku pun boncos pahalanya, naudzubillah! Maka dari itu, setidaknya, gantilah judul-judul memalukan itu.

Buka bersama beberapa kali sempatlah dengan nasi liwet Omah Solo, dan satu yang sangat patut dicatat di sini: Jangan lagi-lagi pergi ke mal waktu berbuka, sekali-kali jangan! Sungguh menjengkelkan tempat-tempat mahal seperti itu dengan pongahnya mengatakan “full table,” meski mungkin maksudnya agar terdengar sopan—dibandingkan “sudah penuh, Pak,” meski mungkin perasaanku saja mereka pongah. Sedangkan di luar Ramadhan saja aku bisa marah jika dikatakan “waiting list,” apalagi Ramadhan. Tidak karena aku ingin buru-buru buka, tapi sungguh tidak pantas!

Selebihnya adalah transisi dariku kepada adikku sendiri untuk mengurus Masyarakat Pancasila nan menjengkelkan. Bukan Pancasilanya sekali yang menjengkelkan, melainkan Masyarakatnya—karena tidak kunjung ada. Terlebih lagi, markas barunya Gobang plus medmonnya sekali tidak terasa... rumahan. Sungguh tidak ada yang sanggup menggantikan rumah dekat al-Barkah itu, yang pemiliknya sudah meninggal kemarin itu. Rumah baru ini seperti... entahlah. Dengan tangga-tangganya yang curam, dengan service area yang... kenapa banyak titik-titiknya begini? Kolam renangnya tidak terasa mengundang, dan langit-langitnya yang dicat awan-awan itu...

Alinea terakhir ini biarlah kudedikasikan bagi peluang baru. Sepertinya aku membutuhkan peluang baru ini karena banyak bagaimanapun lebih enak daripada sedikit jika sama berkahnya. [amin] Masalahnya, apakah Andi Putri Fathania dan Deystia Ayesha Rae, terlepas dari ke-ambi-an mereka, sanggup melakukannya? Apakah cukup bagus bagi standar Wiyono Partnership yang kesohor tingginya itu? Sekadar ambi saja tidak akan cukup untuk mengantar mereka sampai jauh, begitu kurang-lebih dikatakan Wiyono. Ini peluang tidak main-main, maka dari itu tidak boleh main-main. [aku jadi khawatir sendiri...]

Sunday, May 29, 2016

Aku Suka Kamu Suka Jatuh Cinta


Uah, sudah saja kutulis! Biar tidak lama, meski diiringi dentingan piano memainkan melodi entah apa. Sementara dalam angan melambai-lambai membayang sesuatu yang jelas kesia-siaannya, seperti sia-sianya akhir pekanku kini. Eh, begitu pakai irfon bunyinya lumayan. Apa yang tadi terbayang seperti kesia-siaan tiba-tiba menjadi indah, menjadi syahdu mendayu. Ya, setidaknya begitu. Setidaknya apa? Baca berita! Berita apa? Difoto apanya? Tidak. Beginilah saja adanya. Gendut mbededet, mungkin air isinya, ditahan oleh garam. Bisa jadi.


Di meja makan, sementara itu, menungguku segelas liang teh yang sudah diteguk agak sedikit. Menunggu seperti teman misterius, mengawasi apa-apa yang diperbuat oleh benakku. Benak yang ditenagai oleh keju sisa martabak yang sedikit dilumuri susu kental manis, yang kesal karena kerang saos padang. Jangan lombok yang asin dipadu dengan nasi uduk, seharusnya pakai bala-bala. Maka jadilah kenangan SDN Cimone 3 di bawah asuhan Bapak Sawira. Jadilah Jalan Jayapura di akhir '80-an itu, yang enggan kukenang kini karena sakit saja terasa di hati.

Biar seribu tahun memutih rambutku, hatiku tetap selembut salju. Hahaha salju tidak lembut, Bos! Dan tawa itu hanyalah padaku yang hanya sejenak mengecap, seperti juga Sandra. Bahkan Ayu dan Budi sepertinya jauh lebih baik dari kami. Bagaimana Nuni, Nuri, Yolan, Bowo? Semua masa lalu belaka, sedangkan masa kiniku adalah kenyataan mengenai surat keterangan telah melaksanakan tridarma, atau dasasatya? Gimana sih? Hidup benar-benar memaksaku untuk percaya sepenuhnya bahwa kebutuhan, bukan keinginan, akan selalu terpenuhi.

Kalau tidak percaya rasanya seperti tidak ingin hidup, soalnya. Buat apa hidup jika hanya menahan gejolaknya keterbukaan, meski itu hanya satu di tempat yang sangat strategis. Selembar post-it merah sempat menampung keraguan yang sok yakin, hanya untuk berakhir uwel-uwelan di tong sampah. Akhirnya, berujung pada kelecetan yang satu sampai anyang-anyangen yang lain. Sedangan rasaku tidak nyaman seperti kebanyakan gula, dan musik-musik sok relaxing ini memang ngeselin kecuali sedang dipijat-pijat penuh kelembutan oleh terapis yang jarinya tidak jempol semua.

Apa katamu? Penari angin? Lalu ada lagi bocah main debat-debatan memancing murka. Aku selaku pendidik [halahmadrid!] tentu saja tidak boleh murka. Aku harus sabar, meski tarikan urat muka tampak jelas menahan bosan dan jijik. Setan, mengapa tidak kuusir saja bocah-bocah itu, biar menjadi pelajaran bagi mereka dan yang lain-lainnya. Apa yang kulakukan ini... sia-sia. Bahkan bocah-bocah ini mencibirku. Bocah! Betapatah dengan oom-oom. Diberakin ada juga. Ya Allah hamba mohon ampun. Hamba mohon pertolongan. Hamba mohon ampun.

Apa tidak lebih baik jatuh cinta? 'kan enak? Jatuh itu sakit, sakit itu enak. Enaknya seperti keropeng setengah kering digaruk-garuk dithithili. Seperti itu 'kan? 'tuh sana jatuh cinta pada koreksian Hukum Adat hahaha. Tidak pada apapun yang dimasukkan ke perut. Lebih tidak pada apapun yang dijejalkan ke otak, apalagi ke dalam sanubari... dan penari angin dengan monotoni ini benar-benar menggangguku, apanya yang relaks?! Bisa edan aku dibuatnya. Nah, ini agak bolehlah, secara aku pun biasa memainkannya: Kenangan yang ada lampu jalan dan keheningan jalan setapak.

Tidak, sekali-kali tidak! Tidak, sekali lagi tidak! Meski buntu jalanku, meski beku otakku, meski gelap mataku, meski remuk hatiku, hanya Yang Tersembunyi itu yang kudamba. Biarlah aku menenggelamkan diriku ke dalamnya, Telaga Sunyi itu, meski siap aku berbantah-bantah dalam sunyi. Kecipaknya, gericiknya, tidak ada. Denting-dentingnya tak bersuara. Hanya nyaman dan kempisnya perut kini kudamba, agar tidak sesak ketika duduk, sepantas patutnya hamba, sudah selayaknya. Menekur menekuk punggung melipat perut. Sungguh, aku khawatir.

Saturday, May 21, 2016

Antara Aku, Kau dan Bekas Sukarnoku


Bulan Mei belum berakhir dan aku masih menulis entri dengan beban perak sepuluh gram plus batunya sekali di jari manis kanan. Aku menyukainya, meski Cantik tidak. Entah mengapa sudah lama aku merasa perlu untuk mengenakan artefak. Aku tahu sih. Ini gara-gara Pahlawan-pahlawan [yang menggunakan] Kekuatan dan Sihir. Biarlah. Setidaknya bukan mahkota atau sepatu entah-entah. Jangankan pedang atau tongkat, sedangkan kalung saja tidak terpikir olehku. Sebentuk cincin cukuplah, dan batu untuk digenggam-genggam.


Sungguh tidak ada yang ingin kurekam darinya, kecuali bahwa akhirnya kucicipi juga gurame a la Dapur Sunda di Hanggar Teras MBAU Pancoran yang kelezatannya matak lupa mitoha. Sayang ketika itu aku tidak berminat untuk mencicipi es goyobodna. Ketika baru pindah ke KSU pun, meski ada seingatku di pinggir jalan berjualan es goyobod, tidak juga kubeli. Itu sudah sepuluh tahun lebih. Itu adalah hari-hari terakhir Delta FM 99.5 the Best Oldies Station in Town, ketika iklan Dapur Sunda dan Patuna ditingkahi oleh berita-berita dukacita.

Teringatnya, aku berpuasa hari ini. Alhamdulillah. Sungguh ajaib! Kemarin-kemarin selalu saja gagal, sedangkan kini aku tengah ngabuburit sambil menulis-nulis entri. Masya Allah! Berhubung di sini tempatnya ngomong asal-asalan, maka boleh saja kukatakan jangan-jangan ini gara-gara kuarsa jernih. Sejak aku meremas-remasnya, entah bagaimana aku membeli Keagungan Surat-surat al-Quran Juz ‘Amma di toko buku mesjid, meski pembahasannya agak kurang ajib menurutku. Hahahah sekali lagi ini cuma asal bicara. Seperti sudah kukatakan, ini semata karena kesukaanku pada artefak.

Hari ini sejak pagi-pagi sekali, bahkan lebih pagi dari biasanya ketika ada kelas pagi, aku dan Cantik ngacir ke kampus. Cantik sih alasannya menghindari kerja bakti mengecat masjid beramai-ramai. Aku tidak peduli alasanku apa, yang penting ngacir. Seharian ini tidak ada yang benar-benar produktif yang kukerjakan, kecuali sedikit membaca-baca Juz ‘Amma—meski harus kuakui, Insya Allah, suasana Ramadhan itu sudah terasa. Alangkah asyiknya jika aku dapat nyolong start. Memang benar, Ramadhan itu yang asyik adalah mengantisipasinya.

Menjalani juga asyik sih, karena bersama-sama. Degup kehidupan, iramanya seakan berubah ketika Ramadhan. Entah bagaimana caranya, segala sesuatu terasa relijius asal jangan menonton tivi. Semoga Ramadhan ini benar-benar aku dapat meningkatkan kualitas penghambaanku, jangan sampai disibukkan mengejar-ngejar entah apa sampai-sampai Ramadhan berlalu begitu saja. Dapatkah aku bertekad untuk tidak menulis entri mengenai berlalunya Ramadhan karena kuacuhkan tahun ini? Halah gak usah aneh-aneh lah. Dijalani saja, mulai dari sekarang. Insya Allah. Amin.

Banyak sesungguhnya yang dapat diantisipasi, baik hal-hal yang mengasyikkan maupun yang menyebalkan. Apakah ini berarti aku sudah mulai bosan? Ah, kemarin makan rambut bidadari minyak bawang masih enak. Jamurnya banyak sekali dan udangnya ada agak empat atau lima ekor. Tujuh puluh ribu satu porsi! Itu jelas mengasyikkan, apalagi dengan prospek adanya WS baru. Ah, pasti mengasyikkan berkantor di situ. Bagaimana cuacanya nanti? Nyamankah bermotor mengejar buka puasa bersama Cantik di rumah? Wallahua’lam bishawab.

Hahahah tak satu kata pun dalam entri ini mengenainya. Salah sendiri. Sejujurnya, aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka. Orang-orang macam apa ini? Aku hanya mengikuti alirannya saja. Beliau memang orang hebat, tapi mengultuskannya? Gagasannya, jangan orangnya! Dan gagasan itu, aku yakin, dibentuk, dibangun, dipupuk oleh beberapa benak sekaligus, setahap demi setahap. Tidak mungkin hanya satu. Jika itu adalah Rasulullah SAW, maka tiada pertanyaan sama sekali mengenainya. Tidak ada keraguan sedikitpun! 

Friday, May 06, 2016

Shalat Jumat Perdana di Masjid Qoryatussalam


Masa tidak ada lain yang kauhasilkan kecuali entri-entri tikbergun? Maafkan aku ya HP Stream 8. Insya Allah aku akan segera membuatmu berguna. Insya Allah, setelah backend Revtal bentuknya sudah nyaman bagiku yang obsesif kompulsif ini. Memang untuk sopannya aku harus bertemu dengan Gobang sendiri—jika bukan karena ingin mempertahankan empat juta sebulan hikhikhik. Sementara itu, selamat tinggal John Gunadi dan gerombolannya. Mungkin memang sebaiknya aku tidak perlu berurusan barang suatu apa dengan mereka.


Untunglah pagi ini aku ditemani Maria Elena, yang memang dibuat indah sedap terasa inderaku oleh Sang Perkasa nan Serba Tahu. Apakah seperti kayu manis indah warna kulitnya? Apakah hitam legam seperti arang, seperti gulita malam hitam-hitam matanya? Aku suka begitu, meski lebih baik lagi bila namanya Maria Dolorosa. Begitulah selalu kunamakan kapal-kapalku, dari schooner sampai brigantine sampai frigate, semua Maria Dolorosa—dengan tatapannya yang sayu sendu, seakan hampir menitikkan air mata.

Tidak. Sulit bagiku untuk memulai jika semuanya belum sempurna, belum tepat di tempat masing-masing. Itulah sebabnya aku masih saja menulisi—bahkan hampir-hampir kuminta mengarahkan ke sebuah blog saja dimana penuh kendaliku atasnya. Memang kenyataannya aku sendiri yang bersemangat seperti biasa. Menunggu sampai mereka antusias? Meski mereka tidak kunjung antusias aku akan tetap begini. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasa hebat. Apa hebatnya menjadi diri sendiri? Tidak ada pula usahaku yang benar-benar ke arah itu.

Ini, Insya Allah, untuk mengingatkan diriku sendiri. Sudahkah aku hari ini;
  1. berlaku jujur,
  2. bersikap berani,
  3. bermurah hati,
  4. bersopan santun,
  5. bersungguh-sungguh,
  6. menjaga kehormatan,
  7. membalas budi,
  8. berlaku adil?
Meski ingin juga aku membuatnya dalam cetakan yang baik sehingga dapat dibaca setiap saat, mana tahu mengilhami generasi terbaru Indonesia. Ini ‘kan Insya Allah jauh lebih mudah dipahami daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nah, ini baru lucu. Aku mengetik seakan-akan sedang menyalin atau menerjemahkan sesuatu di sebalah kanan kiborku, padahal yang ada di sebelah kanan adalah hasil ketikanku itu sendiri—sedang di hadapanku terhampar rerumputan di siang hari yang berawan dan sumuk ini. Aku baru saja shalat Jumat perdana di Masjid Qoryatussalam nan ramah anak. Mesjid ini baru mengadakan shalat Jumat jika hari libur. Di hari-hari kerja, kebanyakan jamaahnya shalat Jumat di tempat kerja masing-masing.

Meski ramah anak, kurasa sebenarnya aku dapat menahankannya. Masjid sedekat itu dari rumah, hampir tidak pernah aku shalat di situ. Apa ini ada kaitannya dengan berat tubuhku, berat dosaku? ‘Duh, sedangkan aku habis makan telur untuk yang kedua butir hari ini. Di hari Kenaikan Isa al-Masih ini, Tante Lien berkunjung ke rumah kami bersama Ihza dan Afi sekalian mengembalikan KTPku yang kemarin digunakan memperpanjang STNK Honda Beat B 6541 EVC.

Hari ini pula hampir aku lupa mengirim untuk anakku Fathia Rizqi Khairani, anakku satu-satunya yang nyaris tidak pernah kubesarkan sendiri. Baguslah ada Bapak Janus yang menggantikanku melakukannya, hal mana aku berterima kasih. Mungkin kalau ada nasibnya berjumpa, akan kukatakan sendiri kepadanya. Ini gara-gara Ibu dan Gendut baper mengira aku tidak sayang pada anakku sendiri—saking saja aku tidak diberi kesempatan membesarkannya. (sic!) Hah, untuk apa yang begini kutulis di sini.

Monday, May 02, 2016

Tapa Perdanaku di Sari Kenangan Satu


[Ini adalah suatu gejala (halah) sindroma gila menulisi, sudah tiga hari ini berturut-turut ada entri] Namun aku memang merasa perlu untuk mengabadikan tapa perdanaku di Sari Kenangan Satu. Boleh jugalah entri ini disebut Ke Barel Aku ‘kan Kembali atau apalah semacam itu. Memang itulah yang senyatanya terjadi. Kapan aku meninggalkan Barel? 2011? Mungkin iya, atau bahkan sepanjang 2011 itu aku sudah tidak di Barel—setidaknya sudah bolak-balik ke Pepaya. Sudah cukup lama.

Namun Sabtu lalu seharian sudah kuhabiskan di Barel dan sekitarnya. Campur-aduk rasa hatiku. Sensasi menyiapkan kos-kosan baru yang biasanya selalu kotor dan kumuh setelah lama ditinggalkan. Sensasi bergumul dengan debu-debu apak, hitam dan membuat gatal. Sensasi menggosok kamar mandi yang kondisinya ya sudahlah, dalam keadaan normal dapat saja membuat bergidik. Tambahan lagi, kasur kapuk! Ya as-Salaam, sudah berapa lama aku tidak melihat benda ini. Bahkan Markas Beto dahulu pun berkasur busa. [atau ada yang kapuk juga, ya?]

Untunglah sepanjang Sabtu itu cuaca sangat bersahabat. Sepanjang hari dari pagi langit terus saja mendung. Matahari tidak mengintip barang sepicing pun, bahkan ba’da ashar sempat hujan lumayan deras. Lelah memang, namun cukup dengan duduk dan berbaring sebentar mengusirnya. Semakin yakin aku biang keladi lemahnya tubuhku belakangan ini adalah cuaca yang tidak menentu. Hei, cukup banyak juga kuhabiskan untuk menyiapkan kos-kosan ini, mungkin sekarang sudah hampir satu juta. [belum sih… masih di bawah itu. Semoga]

Demikianlah maka hari ini—di bawah terik matahari setelah mendengarkan dongeng Claradika mengenai Public Private Partnership yang tidak sampai setengah jam itu, aku mencongklang Pario ke kos-kosan. Memang sudah kuniatkan terutama untuk membeli kursi plastik, karena satu-satunya kursi yang tersedia sudah dipatahkan Jay. Sesampainya di kosan, begitu saja aku terpikir barang lain: Kasur! Ya, karena kasur kapuknya sudah sedemikian tua kiranya sehingga menimbulkan polusi udara yang mencekik leher. Maka kugulung lagi itu kasur kapuk dan kuletakkan di luar di atas kursi patah.

Sesampainya di Hypermart Detos, segera kukelilingi bagian belakang toko mencari kursi plastik yang ternyata ada di pojok paling belakang. Dalam perjalanan mengelilingi belakang toko itulah aku melihat kasur lipat. Demikianlah maka kasur lipat lengkap dengan bantalnya sekali, juga kaus oblong—cocoklah untuk mendinginkan badan setelah terpanggang panasnya udara dalam seragam oranye Dhanny Dahlan koleksyen. Sesampainya di kosan, shalat dan segera menggelar kasur. Tadinya mau sambil membaca, namun nyatanya terlelap juga.

Pada saat terlelap-lelap ayam itulah hujan turun dengan derasnya. Sederas itu hujan turun, mungkin agak setengah jam lebih, masih tidak mampu mengusir gerahnya udara. Belum sempat terlelap maka bangunlah aku dan mendirikan shalat Ashar, bersiap-siap kembali ke kampus untuk mendongeng mengenai sumberdaya air. Demikianlah lebih dan kurangnya pengalaman tapa perdanaku di Sari Kenangan I yang merupakan salah satu kosan elit pada masanya. Delapan ratus ribu Rupiah sebulan kini, lebih mahal seratus dari yang diminta Babeh Tafran untuk kosannya.

Sesungguhnya, yang kusebut kosan dari tadi adalah “Sekretariat Bersama Komisariat-komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Universitas Indonesia,” yang karenanya harga sewanya naik menjadi Rp 1,000,000/ bulan—padahal hampir tidak pernah dihuni. Justru karena itulah maka aku bertekad membersihkannya dan menjadikannya semacam pertapaan pribadi. Tentu saja aku berharap sekali dua berkumpullah bocah-bocah itu di sini, terutama para kontributor revolusitotal.org. Namun janganlah berkumpulnya itu terlalu sering, karena aku yakin tak satu pun di antara mereka suka pegang sapu.

Sunday, May 01, 2016

Satu Mei di Danau Angsa, Insya Allah


Bolero ini, jika orang tidak suka-suka benar, maka pasti pusing dibuatnya. Namun jika sudah digelar ensembel string begini masa orang masih tidak suka? Apapun engkau, Bolero, aku lebih menyukaimu daripada harus menjadi tuan rumah untuk acara ramah tamah model apapun, meski tujuannya untuk membuat jalan yang mulus tempat bermain lima ekor gadis-gadisku. Ah, aku bisa membayangkan keanggunanmu. Keanggunan dan pesona yang tidak main-main, tidak dibuat-buat. Terpancar begitu saja dari hadirmu, dari adamu. Majestic!


Aku juga tidak sabar ingin segera mencicipi bertapa di Sari Kenangan Satu. Sebenarnya aku bisa saja membuat pertapaan lagi di tempat Babe Tafran, seandainya masih ada yang kosong, untuk tambah-tambah rejeki dia. Ini terpikir karena Ibu Semang Sari Kenangan Satu tidak mengijinkanku melubangi dinding hahaha. Babe Faishal pasti membolehkan. Entah sudah berapa kamarnya kulubang-lubangi. Aku butuh pertapaan itu, terutama selama aku dipecat seperti ini. Mana tahu hanya sampai akhir tahun ini.

Selebihnya, Insya Allah aku akan bertapa di tepi Danau Angsa! Hari ini Satu Mei dan aku masih berkhayal mengenai Danau Angsa. Semoga tahun depan tepat di hari dan waktu yang sama aku sudah berada di sekitar Danau Angsa itu. Semoga pada saat itu bahagia dan semangat saja adaku. Semoga dilancarkan semua sehingga selesainya. Amin. Pada titik inilah aku merasa mengantuk karena tidak tidur lagi setelah subuh tadi, semenjak dibangunkan Anak Gendut.

Berkeliling-keliling lantai dansa, bagiku, hanyalah khayalan yang dipicu asalku dari kelas aristokrat. Selebihnya, aku tidak tertarik untuk berpakaian sepatutnya bagi kesempatan seperti itu—apalagi sampai harus beramah-tamah dengan mereka yang hadir di situ. Biarlah ia menjadi sisa-sisa. Biarlah aku menjadi bangsawan yang membusuk, sejalan dengan membusuknya kehormatan dan rasa hormat. Meski demikian, sedapat mungkin aku akan terus berusaha menjadi orang terhormat, menjaga kehormatan keluargaku dan bangsaku, menjaga martabat kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur.

Dan itu tidak termasuk memakai kaus kaki, karena rasanya gerah. Bertelanjang kaki sungguh nyaman rasanya, meski telapak kakiku sudah tidak pernah tersentuh lumpur sawah lagi—paling banter lumpur jalan-jalan becek perkotaan. Yang coklat masih mending lah, yang hitam bagaimanapun membuatku ingin segera mencuci kaki. Jelek tidak mengapa, yang tidak boleh itu kotor dan bau. Sederhana itu suatu keharusan yang jika berhasil menepatinya akan menjadi kebanggaan. Bukan membangga-banggakan diri sendiri, melainkan kebanggaan komunal dalam wujud rasa hormat dari saudara-saudara sendiri.

Itulah cita-cita moral rakyat yang luhur! Tepat pada saat inilah aku merasa sungguh kesepian. Don Kisot masih jauh lebih beruntung dariku karena tunggangannya kuda, masih mendengus ketika dielus. Tungganganku Pario yang dudukan kakinya somplak. Eh, tapi ia mengerti loh perasaanku. Remasanku pada gasnya selalu ditanggapi seperti seharusnya. Kami memang bertambah tua bersama, dan selama itulah kami semakin tua dan tua saja—tidak seperkasa ketika muda usia. Tidak apa-apa. Inilah kodrat kehidupan.

Terlebih ketika kebangkrutan moral melanda seluruh dunia seperti wabah malapetaka begini. Inipun sudah diingatkan oleh nabi-nabi dan orang-orang bijaksana, jadi buat apa mengeluh? Buat apa merasa sepi? Satu-satunya kesepian yang patut dikhawatirkan adalahnya sepinya perbuatan baik, sepinya tanda bakti pada Majikan Maha Baik oleh dirimu sendiri. Padahal peluang dan kesempatan berbuat baik senantiasa mengintai di semua sudut dan tikungan. Padahal bakti pada Sang Asal Tujuan, seperti jantung sendiri, berdegup konstan.

Saturday, April 30, 2016

Mencoba Mengingat-ingat Ramadhan


Masih belum kusentuh juga pekerjaan yang sempat kukibaskan lepas dariku, lalu kembali lagi. Iesu Cristo! Hari ini kurasa senang hatiku, karena sampul kulit yang telah lama kunanti bagi HP Stream 8 pun akhirnya datang juga. Jauh lebih ringkas daripada dompet bawaannya—meski kali pertama melihatnya sempat agak mengernyit, apa untuk benda ini harus benar mengimpor dari New Jersey? Yah, mungkin gara-gara jauh sekali mengimpornya itu maka harganya jika dirupiahkan menjadi Rp 350 ribu lebih.


Well, kapan lagi dapat kiriman dari New Jersey? Masalah haruskah ia lebih mahal daripada kalung kinyang banyu keluaran Bumi Hijau sampai lebih dari dua kalinya, itu sulit diukur. Halah macam aku telaten mengukur saja. Aku telaten… membuat paradoks hashashas. Aku telaten meragukan apapun… kecuali ajaran Islam dan Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Aku meragukan keraguan itu sendiri, termasuk lagu-lagu yang tak berpola ini. Selebihnya, apa lagi yang dapat kuminta lebih dari makan soto di dalemnya Bude Ning bersama Pakde Lik, Pakde Gandug dan Bapak?

Tidak ada. Hanya saja aku kangen Ibu. Kapan aku akan pulang? Sesegera mungkin, apalagi yang tengah kudengarkan ini lagu-lagu Ibu ketika seumuran Claradika bahkan lebih muda lagi. Tidak boleh aku memandang remeh kepada perempuan yang manapun karena ada kemungkinannya Insya Allah suatu hari nanti kelak di kemudian hari mereka akan menjadi ibu-ibu dari lelaki-lelaki seperti aku kini. [Yassalaam… Jupiter Jones, haruskah kau gunakan kalimat sepanjang itu? Bob Andrews menukas, kalau kalimat panjang dapat menyampaikan maksud yang sama, mengapa harus dengan yang pendek?]

Ah, sangat mengilhami! Entah berapa kali sudah aku Bertualang dengan melodi ini. Pastinya sudah kudengar jauh sebelum aku pergi ke Belanda. Namun, harus kuakui, Petualangan itu baru kujalani ketika di Belanda. Ya, tidak seperti Bang Andri, aku hanya pernah ke Belanda. Bang Andri, sementara itu, adalah Belanda itu sendiri, bahkan lebih dari itu. Bang Andri G Wibisana [biar kutulis lengkap namanya, siapa tahu ia menggugling namanya sendiri] adalah dunia! Bang Andri tidak peduli Dajjal atau Remason, karena memang asumsi seperti ini harus senantiasa diceleng. (baca: challenge)

Akan halnya aku, mungkin tidak jauh dari pembimbing skripsiku, Mas Jo. Aku hanya menemani Mas Jo ngopi dan merokok bersama dengan Bung Roso Daras dan Mbak Deci. Hampir tidak ada yang telah kulakukan sebagai wujud bakti kepada Mas Jo. Semoga ini bisa menjadi salah satunya. Aku memang, entah kenapa, terobsesi pada kemiskinan—sedang Khairaditta berkata pada Bundanya, kelak jika ia besar, ia akan kaya dan membawa bundanya berkeliling dunia. Jika dunia sudah habis dikelilingi, maka ia akan mengajak bundanya berkeliling planet.

Sementara itu, aku sekadar manusia planet. Badanku besar, ndikane Pakde Lik. Aku pasrah saja mengartikan itu sebagai gemuk, meski sebelumnya kami berbincang mengenai Jiwa Komando yang pantang menyerah, terutama dalam menunaikan tugas yang mulia. Komando tetap jaya! Sementara itu, sedari pagi dudukku di atas sadel Pario dan sekarang di kursi makan tidak nyaman gara-gara terkena Fuad Bawazir. Sementara aku sepenuhnya menyadari obsesiku pada kalimat majemuk, [lho tadi katanya pada kemiskinan?] kupu-kupu beterbangan di sekelilingku, di rerumputan yang dikelilingi semak perdu.

Ahaha… pantaslah tak habis-habisnya aku berkata gapapa, sementara itulah yang kali pertama menarik perhatianku ketika menyusun Suck Twilite. Jika demikian bentuknya Charmaine, tidak bisa lain aku lantas membayangkan bau—meski satu-satunya bau yang bisa kubayangkan adalah bau Cantik yang lucu banget karena masih kecil banget. Tidak menjadi apa, karena September masih jauh. Jadi hari-hari belum akan berkejaran. Masih ada musim kemarau untuk dihadapi. Masih ada Ramadhan untuk dinanti-nanti, dinikmati dan diratapi kepergiannya nanti.

Tuesday, April 26, 2016

'Kuingin Seluruh Dunia Tahu Betapa Bahagiaku


Jika kau bertanya padaku apa itu cinta, maka akan kujawab, “cinta adalah beha yang terserak di lantai setelah apa yang terjadi semalam.” Bukan behanya itu sendiri yang penting, tidak pula isinya, melainkan apa yang tersisa darinya berupa kenangan manis. Kenangan manis mengenai hal-hal kecil yang terjadi di antara kita berdua. Tawamu dan caramu tertawa, apa yang kautertawakan, itu semua akan tinggal mengendap sebagai cinta. Itu pula yang akan membuatku kuat menjalani hari-hari yang berat di atas bumi Allah ini.


Aku bertekad membuat hidupku sepuitis mungkin, meski hanya aku sendiri yang tahu, meski kau sendiri tidak peduli. Hidupku adalah puisi tentang cinta. Cinta kepadamu, meski tidak ingin juga aku mati tertembus ribuan panah seraya mengingatmu. Itu biar saja untuk penggambaran Leonidas oleh Holiwud. Aku memang suka narasi-narasi yang kuat, meski tentu saja aku bertekad untuk menciptakan narasi paling kuat setidaknya bagiku sendiri—meski seluruh dunia tidak ada yang tahu, meski tidak ada yang peduli.

Begitu saja anganku melayang pada DN Aidit dan Yasir Hadibroto. Begitu saja aku teringat mimpiku sebelum bangun subuh tadi. Aku seperti hadir di sebuah auditorium yang lumayan besarnya, di tengah-tengah rapat suatu organisasi masyarakat entah apa. [namun entah mengapa dalam kepalaku terngiang-ngiang MKGR, yang ternyata singkatan dari Musyawarah Kekeluargaan Gotong-Royong] Masalahnya, aku hanya memakai celana pendek, sedangkan aku mendapat giliran berpidato. Jadilah aku dipinjamkan selembar kain sarung. Demikianlah maka—berkain sarung—aku beruluk salam berpidato.

Sejurus kemudian ternyata terdengar adzan, keruan saja aku urung berpidato. Aku menunggu sampai adzannya selesai. Namun hadirin dan panitia terlihat gelisah, bahkan salah seorang membawa pergi mikrofon bersama tiangnya sekali dari hadapanku. Ketika adzan selesai dan aku akan melanjutkan pidatoku—maka aku meminta mikrofon—seseorang yang terlihat seperti panitia justru mengisyaratkan acara sudah selesai dengan menyilangkan tangan di depan leher, membuat gerakan seperti memotong. Demikianlah maka aku bersarung, mematung di tengah orang-orang lalu-lalang—dan terbangun. Alhamdulillah memang pas adzan subuh.

Untunglah aku urung berpidato. Untunglah terdengar adzan. Jika vonis mati terhadap Omar Dani jatuh tepat ketika malam takbiran sedangkan lonceng gereja berdentang-dentang, maka pidatoku diurungkan oleh adzan subuh. Jika sampai aku berpidato, mungkin bukan Si Panitia itu membuat gerakan memotong leher, melainkan Yasir Hadibroto menghamburkan satu magasen penuh timah panas berdiameter penampang melintang 7,62 mm ke arahku. Jika sampai aku berpidato, mungkin bukan auditorium, melainkan dasar sumur yang akan menerima jerembabnya tubuhku tak bernyawa.

Iya ‘Ndro, dengan cara lain aku sudah sepenuhnya sadar bahwa ini bisa berujung mati konyol. Jangankan ayam yang tidak dikasih makan, DN Aidit yang perkasa nan bijaksana saja mati sia-sia. [Aduh, aku memuji Aidit terang-terangan pula di sini. Semoga Kopkamtib tidak tahu] Tidak menjadi apa, ‘Ndro, sebagaimana namamu adalah nama Dewa Perang, seperti itulah aku siap menyia-nyiakan hidupku demi sebuah gagasan. Demi Revolusi 17 Agustus 1945. Demi Cita-cita Proklamasi, aku rela menyerahkan seluruh jiwa raga.

Hei, bukankah kau sendiri mengatakan, gagasan Kepemimpinan Hikmah Kebijaksanaan senafas dengan Wilayatul Faqih? Bukankah Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial adalah sama dengan Tauhid dan Keadilan—tepat itu pula kata yang digunakan? Bukankah tak perlu kuceritakan padamu betapa perasaanku kepada Imam Ali, Dimuliakanlah oleh Allah Wajahnya?

Tak perlu pula kuceritakan padamu gejolak hatiku tiap mengenang Cucunda-cucunda Rasulullah SAW yang pralaya di Madinah dan Karbala? Sama ‘Ndro, jika masih ada cita-citaku, khayalan gilaku, tiada lain mencium tangan Beliau dengan tangan dan bibirku yang nista ini kelak, ketika Beliau hadir di tengah kita—atau sudah?

Sunday, April 24, 2016

Kopi Itu Asam, Kopral!


Beberapa malam yang lalu aku mencoba mengetik langsung di editor teks Blogger ini, namun entah mengapa kuurungkan dan kembali ke kebiasaan lama. Nah, pada titik ini aku segera ingat—that mighty doubledash that I love most. Maka yang kulakukan kemudian adalah membuka Word, membuat doubledash, baru kembali ke editor teks Blogger hahahah. Silakan menertawakan tidak efisiennya cara kerjaku sesukamu, takkan juga kugunakan argumen seniman untuk ini. Jelasnya, aku sedang duduk menghadap selatan, memandang dedaunan, karena pandanganku setentang mata terhalang oleh papan bertuliskan Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH., MH.


Ya benar 'Ndro, sedangkan aku sekadar Bono Budi Priambodo SH., M.Sc. yang bahkan IIIB/ Asisten Ahli saja belum resmi—hal-hal seperti ini dalam duniamu pasti penting sekali. Terlebih lagi, aku pun sekadar pengungsi korban rezim yang ditampung sementara di sini. Bolehlah ruangan ini di Minggu pagi yang terik kadang mendung ini. Ideku, seperti biasa, belum banyak berubah. Buka jendela! Biarkan udara segar mengganti kepengapan yang entah sudah berapa minggu, bulan, mungkin tahun, mengisi ruangan ini. Kini aku duduk menghadap jendela, sayangnya terhalang oleh papan kubikel yang membuat Takwa prihatin karena kecilnya—semua kubikel, kurasa, kecuali kubikel ini.

Lalu Arman Raafi Seif yang mungkin sekadar agar cool mengatakan "that little event of yours." Aku Insya Allah tidak bermimpi membendung gelombang apalagi tsunami, Nak. Aku terlalu masa bodoh untuk itu. Terserah kalian mana yang menurut kalian baik. Aku orangtua hanya dapat memberi tahu, sebatas dan sependek yang kutahu. Tadinya, aku terpikir untuk memberikan judul yang oye untuk entri ini, misalnya, Fuhrerprinzip dan Budi Pekerti. Namun seperti biasa niat itu kuurungkan, karena bukan di sini tempatnya sok keren begitu. Sudah cukuplah aku pura-pura waras sehari bisa sampai empat lima kali. [itu pun lebih sering gagalnya] Di sini biarlah aku menjadi diriku sendiri.

Seadanya. Aku dengan nama pemberian orangtuaku sebagai satu-satunya embel-embel. Sisanya, telanjang. Telanjang seperti biasa aku beberapa kali menulisi dalam keadaan seperti itu. Telanjang, menyembunyikan perbuatan burukku dari mata manusia seraya—dengan bodohnya—berharap ampunan dan maafNya. Demikianlah begitu saja terbersit ketika aku mengetahui Ustadz Mashadi tengah menjalani serangkaian terapi. Segala kehendakMu pasti baik, 'duhai Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [apa pula aku yang nista durjana ini menyapaNya] Maaf jualah hamba mohon atas kelancangan ini, semoga segalanya yang terbaik bagi beliau dan keluarga, sekehendakMu.

Tua, gendut, botak, pongah dan pandir, dungu dan bebal. Betapa suatu citra diri yang mengerikan. Sudah tentu kepongahanku menyakiti hati banyak orang. Jika yang lain mungkin mencelakakan diriku sendiri, kepongahan ini berbahaya. Mengapa harus pongah meski hanya untuk pongah itu sendiri, meski hanya berolok-olok? Mengapa harus kuolok-olok kecil hatinya orang lain? Mengapa tidak kugunakan besarnya hatiku dengan semestinya saja? Lhah, baru saja sudah diulangi lagi. Haruskah kusebut-sebut besarnya hatiku, bahkan pada khalayak pembaca Kemacangondrongan? Tepat pada saat inilah Sopiwan  datang membuat keributan seperti biasanya.

Kini aku sudah pindah ke Ruang Sidang dan Perpustakaan Safri Nugraha dan pendingin-pendingin udara pun sudah dinyalakan. Memang memiliki teman bicara seringkali lebih baik daripada seorang diri. Sopiwan mungkin salah satu orang yang sering kusakiti hatinya. Jadi begitu 'Ndro, aku tidak dapat mengklaim kalau kita pernah menjadi kawan akrab. Namun engkau bagaimanapun memang selalu dekat di hatiku. Lebih dekat dari Buya Gunawan apalagi I Made Gede Antara. Apakah karena engkau 940353 sedangkan aku 940352? Mungkin saja. Aku pun merasakan sayang yang sama pada Teguh Rumi si 940351, nomor AK terkecil AL werving 1994.

Nah, seperti inilah seharusnya sebuah entri. Menyebut nama-nama.

Whoopsie Daisy, ternyata belum tujuh. Baiklah jika demikian aku cerita mengenai komentar Sopiwan yang diulang-ulangnya terus mengenai aku jadi selebritis. Ternyata itu ada kaitannya dengan proye'. Ternyata itu pun ada kaitannya dengan sahnya ia menjadi pemilik salah satu unit apartemen di Kemayoran sana, dekat sekali dengan tempatku dibesarkan sewaktu kecil. Suatu kebetulan yang manis karena, seperti kau tahu, nama blog ini adalah permainan dari nama Kemayoran—sesuatu yang mungkin takkan pernah kualami lagi dalam hidup yang ini. Sedangkan Tante Connie masih saja berdansa Waltz Terakhir. [Apa rasanya ber-waltz dengan Tante Connie ya] Semua sudah berakhir.

Monday, April 18, 2016

Berhenti Tepat Ketika Karnaval Dimulai


Kalau aku mengadu padamu mengenai tidak bahagianya aku, nanti aku disangka buta lagi. Entah mengapa di malam-malam gulita begini selalu saja Michael menyenandungkan kesenduannya, seperti telah terjadi bermalam-malam entah sejak kapan. Malam-malam ketika kusadari aku begini dan adikku juga tetap seperti adanya, entah dua puluh tahun yang lalu entah lebih—sedangkan Bapak dan Ibu sudah semakin tua dan tua saja. Sudah lama juga tidak kulihat jemuran melintang di ruang tamu. Sudah lama juga aku tidak tidur di bawahnya.


Maka tetap saja Michael menarikan Tarian Terakhirnya di malam-malam sunyi seperti ini, seakan menarikan sepinya hidupku, kosongnya batinku. Siulan gitar baja meningkahi pukulan perkusi yang nyaman bagai detak jantung yang tenang, damai. Lalu begitu saja Matahari Terbenam Karibia seakan melukiskan ufuk kesadaranku dengan desahan paduan suaranya yang mengilhamkan kasih asmara. Antara siapa dengan siapa? Ketika nada tiba-tiba kembali mineur, ketika itulah kenyataan menyentakku bangun dari lamunan akan cinta yang tak kunjung tiba.

Bapak dan Ibu, akhirnya itu saja, meski sakit selalu hatiku jika mengingatnya. Masa untuk ini pun aku hanya bisa mengkhayalkannya? Aduhai begini benar nasibku. Memang banyak dosa-dosaku, biarlah kutanggung. Semoga Allah mengampuni dan memaafkanku. Dunia ini, apa peduliku. Pecel Pincuk Mbak Ida atau Bu Ira terasa sama bagiku. Kenangan akan dosa dan dosa durjana sama pahitnya, bahkan lebih pahit dari Jamu Cak Mat yang entah di mana ia sekarang, turunan itu.

Anak-anakku tiada yang mengingatku, jangankan lima, jangankan empat, jangankan tiga, jangankan dua. Satu pun tak. Jika pun ada yang seperti mengingatku, TIDAK! Kalian anak-anakku. Kalian! Dengan mata-mata yang berbinar-binar seperti mata-mata Khairaditta, Aku ada Satu Pertanyaan. Apa yang akan kalian lakukan bagi dan terhadap saudara-saudara kalian yang tidak beruntung? Keadilan sosial, ‘Nak, ingatlah selalu itu. Berempatilah. Janganlah kalian menjadi pendusta agama. Berbelas-kasihlah. Bagaimana caraku mencegah kalian dari Days of Law Career hahaha.

Bapak, Janganlah Berjalan Terlalu Cepat. Tapi kita harus cepat, ‘Nak. Mengapa harus? Mengapa tidak boleh kunikmati saja hidupku? Sungguh, aku rela jika itu untuk kalian, dengan tatapan-tatapan lugu kalian. Tapi tidak untuk oom-oom kelas menengah keparat yang tidak pernah menyimpang dari kekentuan! Aku bisa apa, ‘Nak? Hanya satu pengharapanku. Janganlah kalian hancurkan hidup-hidup muda kalian. Jangan kalian renggut paksa tatapan-tatapan polos kalian. Margaret, coba buatkan Bapak kopi. Ya, aku Bapak sungguh-sungguh. Tiada seleraku padamu.

Meski dimainkan engkau dengan recorder, meski dengan dood, meski pahit getir terasa olehku. Bagaimana ‘kan kujalani sisa hidupku? Dengan memainkan Mandolin dari Nicosia? Seperti sudah bermalam-malam entah beberapa ribu? Meski menungging di lantai kamar mandi dan mencolok dubur sendiri? TIDAK. ‘Kan kujalani sisa hidupku, Insya Allah, dengan mengingatNya, bersyukur padaNya dan memohon padaNya untuk dijadikan hamba yang lebih baik. Aku memang seperti ingin ngopi dari tadi, meski Takwa tidak mau, dan meski bukan kau yang membuatkannya, Margaret.

Namun tak ayal terjerumus juga kita dalam Permainan Terlarang itu. Hanya sekali itu kulihat tatapanmu lain. Sialnya, aku tidak bisa lupa. Kurang ajar kau mempermainkan orang tua, sedang dengan santainya kau katakan kawanmu sendiri tidak cantik, sedang kau puji kawanmu lainnya cantik setinggi langit. Haruskah kuperlakukan engkau seperti perempuan? Jih, untung saja aku sudah sampai di Desa, dengan ratapannya yang sungguh pilu, meski refrainnya nanti tiba-tiba riang-gembira entah mengapa begitu.

Saturday, March 26, 2016

Monyet Peliharaan Aku Ini... Sekadar


Memang sudah lama sekali aku tidak gila-gilaan menulisi Kemacangondrongan, terlebih di tengah malam yang kacau-balau begini perasaan hatiku. Tidak ada lagi yang kuinginkan, apalagi sekadar menuliskan buah-buah pikiranku. Buah? Setelah Michael menarikan Tarian Terakhir, aku benar-benar sudah tidak tahu [dan mungkin juga tidak peduli] pada apa yang kuinginkan. Tahun ini empatpuluh tahun usiaku menurut perhitungan surya, yang lebih lazim bagi kebanyakan orang. Empat puluh tahun masih juga begini saja terus.


Memandangi Matahari Terbenam Karibia, seperti sudah kulakukan setidaknya seperempat abad terakhir dalam hidupku. Di manakah akan kutemukan kebahagiaan? Tidak dalam hidup ini? Aduhai, adakah di antara kalian yang membaca ini dapat memberiku kebahagiaan? Apa itu bahagia? Sesuatu yang kuciptakan dalam pikiranku sendiri, sehingga tidak ada seorang pun kecuali diriku sanggup menjelangkannya padaku? Demikianlah dari jaman Asatron sampai sekarang dengan Winamp, aku harus menggesernya seperlahan mungkin agar jangan sampai bisu sama sekali.

Apakah kulakukan juga dengan walkman Sony dahulu, yang spikernya merah? Adakah kusangka ketika itu jika demikian adanya aku kini? Adakah aku ketika itu punya bayangan apa yang akan terjadi padaku di kemudian hari? Tidak ada! Tidak ada sesuatu pun, seseorang pun yang memberitahu. Jadi, jika demikian adanya aku kini, memang sudah dapat diduga dari dahulu, karena masih saja aku ditemani Dick Bakker di malam-malam seperti ini. Jika dulu kutulis Perang, Prajurit dan Persenjataan yang sepenuhnya mengarang bebas, [hahaha] kemudian Masyarakat yang Dikondisikan, maka sekarang adalah ini.

Bedanya, adalah kini shalatku entah betul entah tidak. Bedanya, sekepul dua asap entah Sampoerna King atau apapun sepanjang kretek. Oh, malam ini teringat lagi betapa nyamannya, meski mungkin itu juga yang mengantar Pak Widhi ke peristirahatan terakhirnya. Semoga Allah melapangkan kuburnya, senyaman perasaanku malam ini. Amin. Dunia ini... memang sekadar panggung Salihara, yang ternyata sulit juga membuatnya. Jika tidak sulit tentu bukan dunia, karena dunia ini tidak semulus alur film-film holiwud, apalagi sinetronnya Raam Punjabi. Mbulet.

Bunga-bunga rumput ini entah tidak mengerti entah tidak peduli kupandangi, meski lantas saja aku teringat Bang Ade dan sebangsanya. Sama saja sepertiku, semua saja berusaha mencari hidup dengan kebisaan masing-masing, apapun yang ada padanya. Meski rejeki sudah dijamin. Tidak berarti bahwa lantas berpangku-tangan, meski berpangku tangan aku yakin rejeki juga. Rejeki yang... entahlah, tidak pada tempatnya aku berkomentar. Kapan ini akan kuterbitkan di Kemacangondrongan? Entahlah. Saat ini tidak kurasakan dorongan untuk menyimpannya di flesdisk atau mencari koneksi Internet.

Apa yang akan membuatku bahagia? Memandangi Gubug Peceng dan Lanjar Ngirim di langit malam yang cerah benderang, seperti di tengah-tengah kebun tebu dahulu? Benar itukah yang membuatku bahagia, atau sekadar kemudaan dan ketololan dan kedunguan? Mungkin juga tidak, karena bagiku setidaknya, ketuaan juga masih tolol dan dungu, seperti wajah-wajah yang berkelebat-kelebat di depan mata. Mau diapakan? Mau diapakan rumah-rumah pedesaan yang temaram dengan lampu bohlam watt kecil, dengan jalanan tanah yang becek dan udara basah bekas hujan, dari sekitar Legok sampai di lereng-lereng Menoreh?

Aku sekarang ini memang seekor monyet peliharaan akibat mengundi nasib. Leherku dilingkari gelang besi yang dihubungkan dengan rantai ke gelang besi lain, yang melingkari batang pohon ketapang kecubung. Aku hanya bisa menyeringai memperlihatkan taringku yang sudah keropos. Selebihnya aku sekadar monyet peliharaan. Ah, aku mulai suka entri ini, meski ia tidak membawaku terbang Tinggi di Angkasa. Ia hanya menyeretku sepanjang karport yang tidak ada karnya. Tak apalah nyatanya aku ini monyet peliharaan.

Gidongdep Gidap Gidongdep Steiondesin

Tuesday, March 01, 2016

Sehari Setelah Hari Khas Tahun Kabisat


Apa seharusnya yang kurasakan ketika hal pertama yang dihasilkan oleh HP Stream 8 dengan dompet kibor blutut ini sekadar entri Kemacangondrongan? Haruskah aku bangga karenanya? Lega? Gundah? Malu? Tepat seperti yang kuinginkan, kibor blutut ini sangat ringkas dan ergonomis. Nyaman dipakai. [dan baru saja kusadari baik padanya maupun kibor pada-layar tidak ada kurung kurawalnya] Dompetnya pun fleksibel, dapat diatur kemiringannya sesuai dengan kenyamanan leher dan mataku. Jika ada sedikit gundah, itu karena, kurasa, aku khawatir ia tidak memadai digunakan untuk mengindeks.


Mengapa harus mengindeks dengannya? [Keni Ji harus kutengok sebentar tadi karena tiba-tiba diseling iklan] Untuk kepentingan-kepentingan selain menulis dan membaca sebaiknya diserahkan langsung kepada yang berwajib, yaitu Asus X450C. [atau haruskah ia kutukar dengan Desktop PC?] Lagipula, sungguh aku tidak berharap ada lagi yang harus kukerjakan di kemudian hari yang bukan merupakan membaca atau menulis. Sudah cukup itu semua! Membaca dan menulis, seperti Bang Andri begitu, yang menurut Bu Eti seharusnya sudah jadi profesor karena internasional reputasinya.

Aku juga ingin seperti Bang Andri. Aku ingin menjadi ahli. Sudah cukup kurasa semua kegilaan ini. Memang antara Pancasila dan pengelolaan perikanan skala kecil terdapat suatu pita kontinuum yang teramat lebarnya. Namun tidak berarti semua itu harus kontinyu spektrumnya seperti pelangi ‘kan? [Uah, ketika sedang mencari tanda aksen, akhirnya kutemukan kurung kurawal itu, seperti standarnya kibor ini, harus menekan tombol fungsi. Huft!] Biarlah spektrumku diskontinyu, karena meskipun ketika kecil aku sangat suka topi dan boneka, nyatanya aku tumbuh menjadi laki-laki yang sangat hetero.

Adanya saya bisa menulis entri tengah malam ini, ada Tolak Angin Care. Tadinya, tentu saja, ia tidak kuoleskan pada mataku. Paling pada hidung dan sedikit pada dahi. Entah bagaimana caranya, ketika aku sudah membaringkan miring badanku, mataku menjadi pedas. Aku lantas saja teringat pengalaman terbakarnya kulit belakang leherku karena sebab yang sama. Begitu saja aku menjadi parno dan tergeragap bangun, mengambil secarik tisu dan menekan-nekannya pada mataku. Nyatanya, setelah kupakai menulis-nulis begini, mataku terasa baik-baik saja. Bahkan dengan taraf perbesar 100 persen pada layar delapan inci ini, aku dapat melihat dengan jelas. Alhamdulillah. [akan halnya kini kuperbesar menjadi 130 persen, ini hanya mencoba saja]

Uah, sedap kali pun dehaman dan erangan saks oleh Keni Ji ini. Aku hanya bisa membayangkan apa yang terjadi di antara pasangan muda-mudi yang sudah cukup umur ketika lagu-lagu ini kali pertama tenar di awal sembilan puluhan. Mungkin akibat kekhilafan mereka adalah mahasiswa-mahasiswaku sekarang ini baik laki-laki maupun perempuan. Apapun mereka, seperti bagaimanapun tampaknya, bagiku mereka “akibat kekhilafan” semata. Seharusnya ada orang lain yang mengatakan betapa pilu caraku memandang hidup. Akan tetapi tidak satupun berkata begitu, jadi biarlah aku sendiri yang mengatakannya pada diriku.

Mantap ‘kali pun ‘lah! Insya Allah dengan perkakas ini aku bisa produktif membaca dan menulis. Sungguh ringkas dan praktis. Hanya dengan koneksi internet yang lumayan stabil seperti smartfren seratus ribuan sebulan ini, berbagai album penuh di Yutub dapat menemaniku mengetik—meski ada baiknya juga kupasangi kartu SD mikro agar kapasitas penyimpanannya lebih besar, dan tidak mengganggu penyimpanan di cakram utama. Ternyata ini entri mengenai HP Stream 8-ku yang baru ini. Tidak menjadi apa, asal jangan “kena apa.” Biarlah gambarnya pun HP Stream 8 yang lengkap dengan dompet kibor blutut.

Wassalam