Monday, September 13, 2010

Dum Dum Dum WOW Bad Bad Girl


Dapatkah aku menyembunyikannya dengan permainan kata? [Gramsci, ketika menulis risalahnya... apa ya judulnya... juga memainkan kata-kata untuk menghindari sensor penjara. Itulah sebabnya sulit dimengerti.] Lagu-lagu. Ya, lagu-lagu keparat itulah yang kuminta. Selain itu juga kesenangan duniawi yang paripurna [benarkah?]. Semuanya kudapat! Akan tetapi rintangannya luar binasa sulit dilampaui... Astaghfirullah... tak pernah kusangka akan begini jadinya. Semua tepat seperti yang pernah hadir dalam penglihatanku. Rinciannya? Kurasa aku cukup fleksibel. Aku bisa sangat fleksibel karena alasan cinta. Karena aku tidak sering-sering mencinta, jadi tidak apalah, sekali mencinta sesekali semua ditekuk-bengkokkan [kata bentukan apa pulak ini?!] Dan aku sudah menekuk sesuatu yang, menurut patokan apapun, sungguh tidak patut ditekuk. Demi cinta, cinta dengan huruf "c" kecil! Tidak ada lagi alasan, tiada tersisa pembenaran. Kata-kata sudah habis. Hanya kata itu yang tinggal. cinta. [perhatikan huruf "c"-nya kecil]. Mungkinkah cinta yang kecil ini membawaku pada Cinta? Dengan terlebih dahulu melewati rintangan ini? --aku cari makan dulu, ah. Lapar...

Mulia? Tidak, Cantik. Orang mungkin berpikir yang kucari adalah kemuliaan. Hahaha... mulia apanya? Aku cuma tidak bisa yang lain saja. Namun memang kesukaanku pada tragedi, kebiasaanku merengek-rengek, meratap-ratap, memang harus ditekan. Aku harus belajar lebih menikmati hidup. Makanya temani aku, dong. Kalau aku sendiri terus seperti ini, mana aku tahu kalau dunia ini indah. Aku pernah membaca, entah Umar ra. atau malah Rasul SAW sendiri, mengasihani biarawan yang menyiksa diri. Orang ini, katanya, tersiksa di dunia, tersiksa di akhirat. Hiy... naudzubillah! Lalu mencintai seseorang yang kamu cintai sesuka hatimu? Aku tahu kamu tidak begitu. Aku tahu kamu penuh perhatian. Hanya saja situasimu selama ini sulit dan menyulitkanmu. Sudahlah. Itu masa lalu. Dan kamu nakalnya amit-amit! Kamu suka menggunakan kata-kata yang mengerikan. Bukan berita baru 'kan? Katamu sendiri, saudara-saudaramu pun mengeluhkan hal yang sama. Aku belajar darimu, Cantik. Bagiku, kau seperti cermin. Kuharap masih ada yang dapat kaupelajari dariku [tepat di sini cemburu menyelinap].

Cemburu. Well, ini bagian terberat. Resepnya hanya satu. Jangan bawa-bawa masa lalu. Terus menatap ke depan. Memangnya kenapa sih kita sering menengok ke belakang? Biasanya sih ketika jalan ke depan tidak jelas terlihat, atau terlihat sukar ditempuh. [Aku lagi ngapain sih? Seperti sedang mengasuh rubrik konsultasi... ngomong-ngomong, mie goreng-ku sudah jadi belum yaa...] ...Tepat di sinilah, setelah lebih dari tiga bulan, entri ini kusambung lagi, pada hari terakhir 2010 ini... Hohoho, aku baru tahu bisa begini. Kurasa kemampuan ini cukup banyak gunanya. Kali lain, meski sangat tidak tepat suasana hati, aku tetap bisa mencatat garis besar kejadian-kejadian penting sepanjang hari, dan menyimpannya lebih dulu sebagai draft, untuk kulanjutkan ketika suasana hati seperti sekarang ini [panjang betul kalimatku]. Jika kubaca apa yang kutulis tiga bulanan lalu itu... terasa betul betapa aku mencintainya. Orang pasti akan menebak-nebak, siapakah yang sangat kucintai itu? Baiklah, untuk saat ini, aku hanya bisa mengatakan ini: Dia adalah kenyataan yang menjadi khayalanku. Sekarang. Siapa yang tahu kalau suatu saat nanti, kelak di kemudian hari, ia menjadi khayalan yang menjadi kenyataan.

Baiklah aku berbicara mengenai suasana hati saja. Ada orang-orang yang sangat dikendalikan oleh suasana hatinya. Salah satu contohnya mungkin aku. Lihat saja. Entah bagaimana caranya, beberapa hari terakhir ini aku diliputi semangat untuk menulisimu. Dan aku benar-benar melakukannya. Ada hari-hari di mana semangat itu juga tinggi, tetapi perbuatan menulis tak kunjung mewujud. Di hari lain, aku mungkin akan membaca-baca entri-entri lama dengan penuh minat, tetapi menulisinya aku tiada berminat. Lebih banyak lagi hari-hari di mana aku bahkan tidak ingat kalau kamu ada, apalagi Ki Macan. Hiy, maaf, Ki Macan. Engkau sedang tidak berada di sekitar sini 'kan? Jujur Ki Macan, sudah cukup lama aku tidak berminat berbincang-bincang denganmu. Aku tidak tahu, Ki. Hilangkah semangatku untuk melanjutkan peperangan ini? Apalagi kalau mendengar Ismi Azis menyanyikan Cinta Kami, cinta antara aku dan dia. Beribu ampun, Ki... Sungguh aku tidak melihat akhir dari peperangan ini. Benarkah aku rela menyerahkan seluruh hidupku bagi peperangan ini? Maafkan aku, Ki. Aku sedang mencinta. Engkau mungkin telah berhasil melatih diri sehingga mampu Mencinta. Aku, dengan segala rasa malu, mengakui. Aku gagal, Ki... Maafkan aku [menunduk dalam-dalam, bersimpuh]

Thursday, September 09, 2010

Malam Takbiran Malah Menulis Entri


Ini malah lebih parah! Tidak ada isinya sama-sekali, hanya judulnya. Hahaha... tapi kurasa aku bisa membayangkan perasaanku pada saat itu. Seingatku, aku sendirian menghadapi meja ini, sementara takbir menggema bersahut-sahutan di luar sana. Seingatku, malam itu agak dingin. Yang lebih penting lagi, saat itu aku pasti sedang kusut karena tidak maju-maju juga menerjemahkan hak asasi manusia dan kepemerintahan yang baik. Tahukah kamu bahwa benda itu kuselesaikan baru-baru ini saja, yang berarti tiga bulan lebih, karena judul kosong ini baru kuiisi pada hari terakhir 2010? Hahaha... tidak seberapa lucu, sih. Yang lucu justru kenapa hari ini aku semangat sekali menulisimu. Dengan ini sudah tiga entri. Baru saja aku dapat sms dari Smart, begini bunyinya: Jangan takut untuk mengambil satu langkah besar bila memang itu diperlukan. Anda tak akan bisa melompati jurang dengan dua lompatan kecil (David Lloyd George). Hahaha... boleh juga! Aku heran kenapa orang menyukai kata-kata mutiara. Ngomong-ngomong ada engga ya yang menyukai kata-kata mutiara yang kutuliskan di situsweb Pusaka? Apa aku harus menyediakan fasilitas forum? Shawn?

Yang lebih sulit lagi kumengerti, adalah bisnis motivasi. Itu bisnis tergila yang bisa kubayangkan. Kalian menjual cingcong?! Aku sendiri juga tidak habis pikir kenapa dulu aku pernah membaca buku-buku psikologi populer, dan menyukainya! Darn! Memalukan! Dan mereka, para motivator itu, punya semacam asosiasi. Hahaha... apa yang akan mereka lakukan dengan asosiasinya itu? Semacam asosiasi profesi begitu? Menentukan standar dan kode etik? Atau semacam kartel agar tidak ada yang banting harga dan, karena itu, laku ditanggap orang? Hahaha... kurasa, dengan mengatakan ini, orang akan segera tahu aku tidak tahu apa-apa mengenai bisnis itu. Biarlah. Aku tidak ingin ambil bagian di dalamnya, meski, kata Sandoro, aku seperti seorang kakek yang sedang mewejangi cucu-cucunya jika sedang cingcong di depan kelas. Itu bukan yang kubayangkan mengenai peran seorang dosen, seorang akademisi. Rendy ingin mengajak Ira ke dalam Pusaka. Sofyan mengajak Jafar. Aku mengajak... Aku sudah terlalu banyak mengajak orang. Kami memang tajam berbeda pandangan dalam pasal ajak-mengajak ini. Biarlah. Namun aku yakin, dari sinergi ini, kami akan menghasilkan sesuatu.

Kapitalisme! Kolonialisme! Imperialisme! Itu musuh kita! Kalian bersumpah untuk apa?! Mempersembahkan jiwa untuk jaya bangsa, apa itu "jaya bangsa"? Mempertaruhkan tanah airmu, untuk apa? [untung saja yang kalian pertaruhkan Indonesia, yang sudah, setidaknya, kehilangan Kalimantan Utara dan Timor Timur] Jaya bangsa itu tunainya amanat penderitaan rakyat! Tunaikan itu! Selama masih ada rakyat di tanah air Nusantara ini yang masih bingung besok makan apa, mengenakan pakaian yang kurang layak, tidak memiliki tempat berteduh yang sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, selama itulah bangsa ini belum jaya! Itu semua terjadi karena satu hal: RAKUS! Apapun sebutannya, bagaimanapun dikonsepkan, dikonstruksikan, intinya tetap sama: KERAKUSAN! Itulah musuh kita yang sejati! ...ahaha... Lalu bagaimana cara memeranginya? Bagaimana caraku memeranginya? [kurasa Ki Macan tiba-tiba hadir, setelah aku sengaja menghindarinya tadi...] Menulis buku? Menulis risalah? Sesungguhnya, mungkin, itu jawabannya. Sudah tidak ada 'kan orang yang kuat menulis sesuatu yang seperti itu? Apa aku harus masuk penjara dulu barang setahun untuk melakukannya? Sekarang? Karena apa?

My time is running out!

Wednesday, September 08, 2010

Non Posso Vivere Senza di Te


Sungguh sulit menulisi kemacangondrongan setiap hari. Waktu terasa terlalu sedikit [...ditemani La Boheme, Paul Mauriat Greatest Hits Volume One, boleh ngedonlot waktu di Maastricht... Kurasa ini satu di antara yang terpenting yang kuperoleh dari Maastricht]. Aku ingin kembali lagi! Hahahaha... I can't believe I say that. Aku juga mau Ph.D seperti orang-orang itu. Semoga saja Ph.D-nya bisa sesuai dengan keinginanku, bukan asal Ph.D saja. Ya Allah, di akhir Ramadhan ini, hamba mohon ampun padaMu. Sungguh tak pantas penghambaan ini dihadapkan. Aampuuun Ya Rabb. Aampuuun [Masih ada hari ini dan besok, masih bisakah? Ayo, Tolol! Harus bisa! Hahaha kayak SBY].

Sekarang aku sedang mencuci di Yado. Sudah lama ini tidak kulakukan. Biasanya, tentu saja di laundry kiloan. Londre Kuning, terus terang kelebihanmu dari yang lain hanyalah kamu terdekat dari kosku. Sisanya... tidak ada yang betul-betul bermanfaat! Maaf, ya. Aku terpaksa meninggalkanmu, dan meninggalkan member card-ku di ATM BNI FHUI. Kasihan dia sudah berbulan-bulan menghuni dompetku. Kini entah di mana dia... Maafkan aku... Kini aku ganti mencuci di Ma Oleh. Masih empat ribu sekilo cuci komplit. Wow! Asyik 'kan. Aku juga pernah meninggalkan Bibi's. Tepatnya, sepulang dari Belanda, setelah tidak di tempat Babe lagi, aku tidak mencuci di situ lagi.

Akan kutulis judul calon disertasiku, Insya Allah, di sini. Awas ga boleh ada yang niru! [klo ada gimana...?] Codifying Local Wisdom: Institutional Framework and Strategy for Community-based Small-scale Fisheries Management in Indonesian Urban Coastal Areas. Coba aja tiru! Judul ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Sebelumnya, aku sempat tergoda untuk menggunakan judul Adat Fishery Laws, sedangkan adatstrafrecht, bahkan adatstaatsrecht saja ada! Oh, Van Vollenhoven Instituut, terimalah aku tahun depan. Oh, Pemerintah Belanda, berilah aku beasiswa [hahaha!] Akan tetapi, Codifying Local Wisdom mungkin lebih sesuai bagi konteks kekinian dan justru menjadi justifikasi mengapa harus dibimbing di Leiden, Insya Allah.

Sesungguhnya aku ingin membereskan proposalku pada libur lebaran ini juga. Ini gara-gara Jumat 3 September 2010 yang lalu, Wakil Duta Besar Belanda [aduh... siapa namanya ya?] berkunjung ke FHUI. Dia memberikan kuliah mengenai sumbangan Belanda pada perkembangan hukum di Indonesia. Hello! Yang paling utama ya Adatrecht lah! Katanya, our legal systems are like cousins stemming from the same grandparent, begitulah kurang dan lebihnya. Well, Bu, terserah deh. Semoga Allah mengijinkanku menuruti kemauanku yang ini. Aku mau Hukum Adat! [Sofyan juga mau hahaha...] Emang buat apa sih? Apa karena yang ini tidak terlalu menyakitkan? Tidak! Aku senang yang ini! Ini impianku!

Impian. Mungkin pada awalnya ada sedikit rasa iri, selain kekhawatiran utama berkenaan dengan kondisi persekitaran yang tidak lagi memungkinkan, ketika kamu semakin dekat dengan impianmu, Cantik. Sekarang sudah tidak. Sekarang yang ada hanya kesedihan tertahan. Selebihnya, aku senang kamu, Insya Allah, berkesempatan meraih impianmu. Aku mendukung dan membantu sebisaku. Meski kamu tidak akan bisa mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri [aku pun begitu, itulah sulitnya menjadi kita], kuambil kesempatan ini. But I'm willing to learn. I learn! Kurasa ini adalah terapi yang sangat baik untuk menekan kedirianku yang seringkali keterlaluan. Kuharap, begitu juga bagimu, Cantik. Let's improve together.

Urban (small-scale) fisheries. Aku yakin, para nelayan inilah yang merupakan pertahanan terakhir peradaban bahari Nusantara. Skala yang mana? Kukatakan, skala kecil, karena etos semi-subsistennya. Kenapa pergeseran ke arah ekonomi uang harus dianggap tidak terelakkan? Ini bagian penting dari ideologiku. Subsistensi. Berdikari. Bagaimana cara mempertahankannya secara ilmiah ya? Ayo berlatih! Lalu mengapa urban? Masa hanya karena perhatian terhadap yang rural sudah cukup banyak? Satu, karena ini merupakan wicked problem [Sok tau, emangnya iya?! Cek!] Tesisnya, justru urban waterfront, agar lestari, membutuhkan nelayan-nelayan ini untuk menjadi stewards of the environment. Well, banyak juga yang harus dipertahankan. Insya Allah, selama ada UI deepaccess, rebes! [duanya mana...?]

Senin 6 September 2010 lalu, Prof. Safri memanggilku sore-sore. Ternyata kerjaan terjemahan. AsiaLink Sourcebook on Human Rights and Good Governance. Hahaha... why would I care?! Because... because... because... it is worth four million Rupiahs! Alhamdulillah, karena aku masih harus keluar untuk saweran akta notaris. Akta notaris... tiidaaak... ini juga belum beres. Anggaran dasar! I really need to work. Depok is an ideal place to work at this time of the year. Sayangnya, sulit sekali cari orang jualan makanan... dan sepi [biasa 'kan?]. Malah jadi ada alasan untuk saben-saben makan borju di Detos atau Margo [bahkan makan saja sudah tidak menggembirakanku...] Jadi ada tiga. AsiaLink, Anggaran Dasar, Proposal. Begitu urutannya.

Kapan ke Leidennya...?! Tahun depan!