Tuesday, December 31, 2019

Manggala: BPIP Seharusnya Menjadi Penerus BP-7


Desember, bagiku, tidak kelabu. Desemberku pada 2019 ini awalnya masih menyeret sisa-sisa kemarau, meski akhirnya menghambur derasnya hujan pada setiap menjelang senja hingga awal malamnya. Beberapa sore aku jadi bertahan di kampus melewati maghrib, bahkan sampai Pak Mono mendahului pulang dan menitip kunci, sekadar menunggu redanya hujan. Sedangkan hujannya gerimis mengundang, ditunggu tidak mau reda. Terkadang bersama Mba' Itch, terkadang ada juga Dik Sav, terlebih jika tidak ada jas hujan meski yang setipis kresek itu.


Ibu Megawati Sukarnoputri tekun membaca Bersetia Bela Pancasila. Foto: IGP Kompiang.
Aku tidak ingat apakah itu Desember atau sebelumnya, yakni ketika aku berjingkat-jingkat di sepanjang tepian Pasar Kenari mencari ATM BCA. Mengapa berjingkat, karena baru saja sampai perempatan, atau bahkan baru sampai pintu keluar samping ARH, tiba-tiba hujan deras begitu saja turun. Sempat berteduh sebentar di depan loket parkir, ketika hujan berubah gerimis maka ditembuslah. Sesampainya di Kantor BCA sempat mampir pipis dulu ke dalam, sebelum ambil uang di ATM. Barulah setelahnya makan mie ayam di pinggir pagar pasar.

Selain itu ada juga toge goreng yang menyebabkan kembung tiada berkesembuhan, sampai membuka kancing celana beserta resletingnya sekali, menggelosor di kursinya Mbak Yeni. Apakah itu ketika makan sore di KFC atau Burger King, aku tidak ingat, bahkan ada juga somainya. Ini kenapa jadi mengenai Salemba dan makanan. Nasi gorengnya, sate ayamnya, bubur mahal sok cerdik di depan Pasar Cikini, bubur ayam Cirebon endeus di depan Stadela, murah lagi, bersama Sandoro yang mengantarkan sampai ke Qoryatussalam. Bahkan masih ada otak-otak.

Intinya, Desemberku tidak kelabu. Desemberku hangat penuh cinta, nyata maupun khayal. Bahkan ketika madah gerimis membahana, ketika badan tambunku tertelungkup di atas karpet mushala HAN, meski tanpa selimut sungguhan, dapat kurasakan kehangatan cinta dari ujung kepala botak sampai jempol kaki-kaki. Betapa tidak. Panggilan si pemanggil, ditingkah nyanyian gerimis, meski seringnya tidak langsung beranjak aku, bahkan sambil melakukan hal-hal yang mengerikan, tidakkah semua itu kasih-sayang, kelembutan. Akunya saja yang kurang ajar terus-terusan.

Terlebih lagi, tidakkah itu Desember ketika aku dan Cantik menemukan tahu petis. Ya, aku 'sih yang menemukannya, sedang Cantik sekadar berusaha menghabiskan rawonnya yang memang berkuah endeus. Aku sendiri memesan nasi gudeg telur, sedang ada juga tahu gejrot. Betapa hebat inflasi, ketika tahu petis yang kurang-lebih saja menjadi tiga kali lipat harganya dalam waktu sekitar sepuluh tahun. Bedanya, yang belakangan ini sungguh loma bawangnya, sampai mulutku terus berasa bawang keesokan harinya, seperti habis makan tempura Sarimomo.

Desember ini jugalah, biar kuabadikan di sini, Bu Mega berkenan membaca-baca Bersetia Bela Pancasila tepat di hadapanku. Begitu saja setelah rapat bidang studi yang terkesan tidak menerimaku, aku nyelonong memesan mobil grab ke KFC Juanda, yang segera kusesali mengapa tidak naik kereta saja. Apakah ketika itu aku merasa tidak enak badan, bisa jadi. Sepulangnya dari bertemu Bu Mega dan slagorde beliau, masih mampir di restoran entahapa dan masih makan-makan lagi. Pulangnya terjebak ganjil-genap, diturunkan di Ampera baru pulang.

Pada hari terakhir 2019 inilah aku bertemu dengan Takwa, Bang Hendry Drajat Muslim dan Bang M. Fajar Martha di Martabak Kubang Hayuda, Margonda, Depok. Ada juga Firdaus Adi Nugroho di situ. Apa yang dibicarakan baru dapat diwujudkan setidaknya dua tahun lagi. Kami saling berpisah sekitar setelah Ashar dan hujan betapa derasnya. Aku berbasah-basah menghampiri Skupi, untuk mendapati seorang penjual jas hujan. Berjas hujan yang memaksaku mengepit selangkangan, kutembus hujan sambil membawa pulang oleh-oleh untuk Cantik berupa Soto Padang.