Thursday, June 30, 2016

Ramadhan Yang Pergi Karena Kuacuhkan 2016


Ketenangan pagi adalah bagi yang belum tidur sejak sahur, entahlah apa masih bisa menghasilkan suatu entri sesuai patokan mutu Kemacangondrongan. [halahmadrid!] Kegagalan adalah martil yang menempamu pada landasan kerasnya hidup, sehingga engkau menjadi setajam, semengilat pedang. Dibakar hingga merah membara, ditempa berdentang-dentang, didinginkan tiba-tiba mengepulkan uap putih, dibakar, ditempa, didinginkan tiba-tiba, merah, berdentang-dentang , putih, begitu seterusnya. Puji-pujian? Keberhasilan? Puh! Tidak ada artinya semua itu, kecuali keharusan untuk menghormati sekadarnya ‘pabila tulus, terlebih khusus kepada yang mengaruniakanNya.


Apakah rumah sekadar khayalan bagi seseorang yang sepanjang hidupnya dihabiskan disangga papan-papan di atas kali, bukan hakku untuk menentukannya. Meski aku dibesarkan sebagai ksatria, yang sepatutnya memahami tugas-tugas, aku hanyalah seekor gajah, yang tentu bukan Gajah Mada. Sudah barang tentu pula aku bukan Ramabergawa yang digambarkan membawa busur raksasa, padahal sebagai Parasurama ia seharusnya memanggul parasu. Aku sejatinya adalah Sam Siu yang bertangan kosong, sedangkan kedua saudaranya, Han to dan Beng Kiam keduanya bersenjata.

Ini adalah mengenai Ramadhan, meski harus kuakui godaan air mata yang tak terlihat sangat besar. Berdentam-dentam rasa sakit yang tak terkatakan, akan kenangan yang tak terhancurkan mengenai engkau yang manis dan mendatangkan rasa sayang. Sedang kecupanmu lebih manis dari anggur merah yang selalu memabukkan diri. Kuanggap belum seberapa [jeda tujuh ketukan] dahsyatnya, bila dibandingkan dengan senyumanmu, selalu membuatku lesu darah. Hanya Boker yang kelebihan “o” satu, yang sanggup berkata jujur, “Aku datang untuk mencintaimu.”

Masa begini entri mengenai Ramadhan? Masa harus kuubah semua judul entri mengenai Ramadhan, yang kukatakan “kuacuhkan,” padahal arti “acuh” adalah peduli; mengindahkan? Harus, dong! Bagaimana reputasiku sebagai polisi tatabahasa terhadap diriku sendiri? Akan kulakukan, meski kurasa Ramadhan ini tidaklah lebih berkualitas dibandingkan dengan tahun lalu—hanya dua surat pendek, itu saja prestasiku. Selebihnya tidak ada yang patut dibanggakan, tidak tarawihnya, tidak apapun ibadah tambahan. Jangan-jangan puasa-puasaku pun boncos pahalanya, naudzubillah! Maka dari itu, setidaknya, gantilah judul-judul memalukan itu.

Buka bersama beberapa kali sempatlah dengan nasi liwet Omah Solo, dan satu yang sangat patut dicatat di sini: Jangan lagi-lagi pergi ke mal waktu berbuka, sekali-kali jangan! Sungguh menjengkelkan tempat-tempat mahal seperti itu dengan pongahnya mengatakan “full table,” meski mungkin maksudnya agar terdengar sopan—dibandingkan “sudah penuh, Pak,” meski mungkin perasaanku saja mereka pongah. Sedangkan di luar Ramadhan saja aku bisa marah jika dikatakan “waiting list,” apalagi Ramadhan. Tidak karena aku ingin buru-buru buka, tapi sungguh tidak pantas!

Selebihnya adalah transisi dariku kepada adikku sendiri untuk mengurus Masyarakat Pancasila nan menjengkelkan. Bukan Pancasilanya sekali yang menjengkelkan, melainkan Masyarakatnya—karena tidak kunjung ada. Terlebih lagi, markas barunya Gobang plus medmonnya sekali tidak terasa... rumahan. Sungguh tidak ada yang sanggup menggantikan rumah dekat al-Barkah itu, yang pemiliknya sudah meninggal kemarin itu. Rumah baru ini seperti... entahlah. Dengan tangga-tangganya yang curam, dengan service area yang... kenapa banyak titik-titiknya begini? Kolam renangnya tidak terasa mengundang, dan langit-langitnya yang dicat awan-awan itu...

Alinea terakhir ini biarlah kudedikasikan bagi peluang baru. Sepertinya aku membutuhkan peluang baru ini karena banyak bagaimanapun lebih enak daripada sedikit jika sama berkahnya. [amin] Masalahnya, apakah Andi Putri Fathania dan Deystia Ayesha Rae, terlepas dari ke-ambi-an mereka, sanggup melakukannya? Apakah cukup bagus bagi standar Wiyono Partnership yang kesohor tingginya itu? Sekadar ambi saja tidak akan cukup untuk mengantar mereka sampai jauh, begitu kurang-lebih dikatakan Wiyono. Ini peluang tidak main-main, maka dari itu tidak boleh main-main. [aku jadi khawatir sendiri...]