Tuesday, December 31, 2019

Manggala: BPIP Seharusnya Menjadi Penerus BP-7


Desember, bagiku, tidak kelabu. Desemberku pada 2019 ini awalnya masih menyeret sisa-sisa kemarau, meski akhirnya menghambur derasnya hujan pada setiap menjelang senja hingga awal malamnya. Beberapa sore aku jadi bertahan di kampus melewati maghrib, bahkan sampai Pak Mono mendahului pulang dan menitip kunci, sekadar menunggu redanya hujan. Sedangkan hujannya gerimis mengundang, ditunggu tidak mau reda. Terkadang bersama Mba' Itch, terkadang ada juga Dik Sav, terlebih jika tidak ada jas hujan meski yang setipis kresek itu.


Ibu Megawati Sukarnoputri tekun membaca Bersetia Bela Pancasila. Foto: IGP Kompiang.
Aku tidak ingat apakah itu Desember atau sebelumnya, yakni ketika aku berjingkat-jingkat di sepanjang tepian Pasar Kenari mencari ATM BCA. Mengapa berjingkat, karena baru saja sampai perempatan, atau bahkan baru sampai pintu keluar samping ARH, tiba-tiba hujan deras begitu saja turun. Sempat berteduh sebentar di depan loket parkir, ketika hujan berubah gerimis maka ditembuslah. Sesampainya di Kantor BCA sempat mampir pipis dulu ke dalam, sebelum ambil uang di ATM. Barulah setelahnya makan mie ayam di pinggir pagar pasar.

Selain itu ada juga toge goreng yang menyebabkan kembung tiada berkesembuhan, sampai membuka kancing celana beserta resletingnya sekali, menggelosor di kursinya Mbak Yeni. Apakah itu ketika makan sore di KFC atau Burger King, aku tidak ingat, bahkan ada juga somainya. Ini kenapa jadi mengenai Salemba dan makanan. Nasi gorengnya, sate ayamnya, bubur mahal sok cerdik di depan Pasar Cikini, bubur ayam Cirebon endeus di depan Stadela, murah lagi, bersama Sandoro yang mengantarkan sampai ke Qoryatussalam. Bahkan masih ada otak-otak.

Intinya, Desemberku tidak kelabu. Desemberku hangat penuh cinta, nyata maupun khayal. Bahkan ketika madah gerimis membahana, ketika badan tambunku tertelungkup di atas karpet mushala HAN, meski tanpa selimut sungguhan, dapat kurasakan kehangatan cinta dari ujung kepala botak sampai jempol kaki-kaki. Betapa tidak. Panggilan si pemanggil, ditingkah nyanyian gerimis, meski seringnya tidak langsung beranjak aku, bahkan sambil melakukan hal-hal yang mengerikan, tidakkah semua itu kasih-sayang, kelembutan. Akunya saja yang kurang ajar terus-terusan.

Terlebih lagi, tidakkah itu Desember ketika aku dan Cantik menemukan tahu petis. Ya, aku 'sih yang menemukannya, sedang Cantik sekadar berusaha menghabiskan rawonnya yang memang berkuah endeus. Aku sendiri memesan nasi gudeg telur, sedang ada juga tahu gejrot. Betapa hebat inflasi, ketika tahu petis yang kurang-lebih saja menjadi tiga kali lipat harganya dalam waktu sekitar sepuluh tahun. Bedanya, yang belakangan ini sungguh loma bawangnya, sampai mulutku terus berasa bawang keesokan harinya, seperti habis makan tempura Sarimomo.

Desember ini jugalah, biar kuabadikan di sini, Bu Mega berkenan membaca-baca Bersetia Bela Pancasila tepat di hadapanku. Begitu saja setelah rapat bidang studi yang terkesan tidak menerimaku, aku nyelonong memesan mobil grab ke KFC Juanda, yang segera kusesali mengapa tidak naik kereta saja. Apakah ketika itu aku merasa tidak enak badan, bisa jadi. Sepulangnya dari bertemu Bu Mega dan slagorde beliau, masih mampir di restoran entahapa dan masih makan-makan lagi. Pulangnya terjebak ganjil-genap, diturunkan di Ampera baru pulang.

Pada hari terakhir 2019 inilah aku bertemu dengan Takwa, Bang Hendry Drajat Muslim dan Bang M. Fajar Martha di Martabak Kubang Hayuda, Margonda, Depok. Ada juga Firdaus Adi Nugroho di situ. Apa yang dibicarakan baru dapat diwujudkan setidaknya dua tahun lagi. Kami saling berpisah sekitar setelah Ashar dan hujan betapa derasnya. Aku berbasah-basah menghampiri Skupi, untuk mendapati seorang penjual jas hujan. Berjas hujan yang memaksaku mengepit selangkangan, kutembus hujan sambil membawa pulang oleh-oleh untuk Cantik berupa Soto Padang.

Sunday, November 17, 2019

Kata Togar Aku Meracau. Kurang Ajar!


Di minggu pagi yang sudah tidak terlalu pagi ini, aku mengetiki ditemani segelas reguler cokelat dingin yang sedap betul. Dingin, karena udara hampir pertengahan November ini begitu panasnya. Aduhai, sedap betul cokelat dingin ini sampai-sampai aku ingin menenggaknya habis dalam sekali teguk. Namun tidak ‘lah. Akan kuseruput ia perlahan-lahan, kusesap, kuicip-icip seperti segelas scotch whisky dengan es, bukan diberakot dan dikeremus seperti kikil babi. Sementara itu, Pak Enok nangkring panas-panasan di atas genteng kami dari agak jam delapan tadi.

Begitulah, 'Gar. Aku sok-sokan berkata padamu, bukan sekadar sintaksis yang merupakan perkakas, semantik pun. Mengapa segala sesuatu harus diabdikan, ya, ditujukan pada suatu makna. Tidakkah makna itu sendiri juga suatu wahana untuk mencapai tujuan. Namun, ya, jangan pula kau pancing aku membahas ini kecuali dalam sesi tolol-tololan di kantin kaca. Menuliskan sesuatu mengenainya, seperti dalam menulis suatu karya begitu, jih! Tidak sudi. Bisa jadi, menulis suatu risalah, apalagi mengenai teori hukum, sudah usang. Itu relik dari masa lalu. Kelak tidak lagi begitu.

Kelak seperti apa. Jangankan kelak. Sekarang ini saja, kurasa, kita sudah berada dalam semacam dunianya Max si Gila. Ya, dunia posapokalips. Benar-benar aku takut menebar pandangku, dan kulihat, bertebaran anak dan anak dan anak, lelaki dan perempuan. Namun, tidak seperti dalam dunia Max si Gila di mana terdapat anak-anak perang, di sini banyak anak-anak... aduh, kata-kata apa yang tepat kugunakan. Baik kupinjam saja satu ungkapan lawas: tunadidik. Anak-anak tunadidik ini mau kau dongengi mengenai teori hukum, sudah gila apa. Mereka ini tunadidik!


Apa benar yang membuatku berhenti pada suatu Minggu siang di pertengahan November ini, aku sudah tidak ingat. Memang jauh lebih baik jika tidak kuingat-ingat, untuk sekarang ini. Hanya saja kuingat aku pernah membatin, aduhai, benar telat datangnya musim penghujan tahun ini, di pertengahan November yang masih begitu menyengat mengerukup panasnya. Semantik sebagai perkakas... hahaha... bagiku yang suka membuang-buang waktu ini. Aku juga sudah tidak peduli apakah bijaksana malah mengetiki begini, sedang harus rapat, rata kanan-kiri.

Hokay, 'Gar. Aku paham maksudmu. Racauan memang tidak enak dibaca, tidak perlu pula, apalagi untuk pekerjaanku sekarang ini, seorang etnografis hahaha. Gaya-gaya'an, lo 'Gar pake mau ke Australia segala hukum industri. Seperti aku saja sekarang menjadi seorang etnografis. Kerjanya? Menulis cerita yang enak dibaca, dan perlu. Cocok betul 'lah buatmu, Insya Allah dapat gelar doktor pula. Ilmu yang lain semua omong kosong. Hanya antropologi inilah yang jujur apa adanya, percayalah padaku. Aku belum pernah seyakin ini akan sesuatu. Baru kali ini saja!

Terlebih lagi, 'Gar, ini ilmu olok-olok. Eit, jangan salah! Bukan ilmunya yang olok-olok, melainkan ini ilmu mengenai mengolok-olok. Di sinilah kita belajar cara mengolok-olok yang... eh... benar. Apa yang diolok-olok, suka-sukamu 'lah. Tidakkah kita tidak pernah kehabisan bahan olok-olokan, bahkan mengenai diri-diri kita sendiri. Bahkan diri kita sendiri itulah bahan olokan yang terutama, begitu pendirian mazhab-mazhab antropologi di Eropa dewasa ini; tidak seperti Amerika, misalnya, yang menjadikan apapun selain diri mereka sendiri sebagai bahan olok-olokan.

Lagipula, tidak mengapa juga 'kan kalau ilmumu olok-olok, jika apapun mengenai dirimu olok-olok semata. Jadi kita tiada beban untuk, misalnya, menyebarluaskan suatu paham atau ajaran apapun, seraya menjadikannya tolok ukur untuk menilai segala sesuatu di luar kita. Jika Sopiwan ingin jadi propesor, misalnya, seperti Propesor Berkah, itu urusan dan deritanya. Jika ia mau menjadikanku pun propesor, itu pun urusannya. Kau pun mau jadi propesor, serius 'Gar? Bilang 'lah sama Bang Sopuyan, manatau ia pun mau mengurus dan menderita menjadikanmu propesor.

Thursday, October 17, 2019

Dara Petak, Sayangku, Ini Untukmu: Surat Cinta


Sayangku,

Apakah betul hari ini atau entah kapan terjadinya, yang jelas ini mengenai suatu malam berhujan lebat, setelah berbulan-bulan tiada pernah hujan. Aku harus memaksakan diri melakukan ini, menulis surat cinta, karena bahkan ketika mudaku aku tidak pernah melakukannya. Ada sedikit dari dalamku berharap aku melakukannya ketika masih muda remaja dahulu, semacam penyesalan begitu. Ya, aku menyesal, mengapa tidak kulakukan dulu ketika testosteronku masih baru-barunya diproduksi. Sungguh betapa tolol terasa melakukannya sekarang ketika sudah senista-renta ini.


Jangan pula kaubayangkan ini surat cinta yang ditulis seorang om-om botak gendut pada gadis perawan kencur, atau bahkan pada tante-tante sebaya yang tiba-tiba rajin perawatan dan senam kebugaran. Salahkah aku bila mencintaimu, memanggilmu "sayangku," jika nyatanya cinta dan sayang dalam hatiku sudah nyaris tak bersisa. Cinta yang seperti deburan ombak itu berkejar-kejaran, sedang aku menenggak pahitnya bir hitam dan mencecap manis-manisnya Djarum Super, rokok lonte itu, sedang di hadapanku ada lonte sekali, kupandangi dari ujung rambut ke ujung kaki.

Jika pun ada yang lebih bagus dari ini, masih tidak dapat kulupakan seprai-seprai lusuh dan bau amis bacin nanah rajasinga. Jagad Dewa Batara, itulah cinta bagiku! Aku yang lembut hati ini, mengapa begini. Siapa sebenarnya yang sedang kugugat ini. Masih terbayang jelas segala fantasmagoria celana dalam yang tidak segera dilepas atau yang tidak dipakai sekali. Masih terpampang bagaikan layar tancap gerimis bubar segala kengerian itu dan tidak satupun darinya yang membelai jiwa. Aku bahkan benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya menulis surat cinta.

Sayangku,

Aku tidak akan membentukmu dari apapun, karena memang tiada padaku kuasa pun kekuatan untuk itu. Kau membentuk dirimu sendiri, aku tidak berdaya. Di sudut itu aku hanya dapat memandangimu, kali ini tidak kucuri-curi. Kuberikan seluruh pandang kedua mataku padamu. Aku tahu kau tidak menginginkan apalagi membutuhkannya. Masih untung aku tidak kauadukan karena pelecehan seksual. Bahkan jika kupejamkan mataku sekeras-kerasnya, tetap masih dirimu yang ada dalam kegelapanku: anak-anak rambut di tengkukmu, disanggulkan seadanya.

Aku tidak suka jahat pada pelacur-pelacur jika mereka memang mengakui bahwa dirinya pelacur, dengan cara menengadahkan telapak tangan. Belum pernah kulihat pelacur menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Oh, perempuan mana yang suka diceritai mengenai pelacur-pelacur. Bahkan pelacur pun tidak suka, kurasa. Kepada mereka yang mengakuinya, hatiku bagaikan margarin dilelehkan di wajan penggorengan. Kepada mereka yang melacur untuk mendapat kehormatan dan kekayaan, kusuapkan margarin leleh langsung dari wajannya sekali.

Terserah kauterima atau tidak ini kusebut surat cinta, aku tidak dapat memaksa. Masa sudah setua ini masih saja penuh dengan kemarahan. Ini tidak bisa disebut kemarahan. Ini kebiasaan, seperti sarang laba-laba yang menumpuk menahun di sudut-sudut langit-langit. Ini jelaga pikiran. Aku dikatakan merayu, aku setua ini merayu. Tidak. Apa peduliku. Masih saja testosteron diproduksi, dan selalu saja ada solusi. Aku tidak pernah mengeluh mengenai hal ini, kukerjakan saja dengan ketekunan seorang kurcaci, tiada henti. Belum akan kuakhiri, sebelum aku menyampaikan ini.

Dara Petak, Sayangku,

Bisa jadi kau memang gadis tercantik, namun tidak banyak faedahnya pernyataanku ini. Kau pasti sudah tahu itu, apa pedulimu. Kukatakan tidak menambah cantikmu, kutelan sendiri kata-kataku tidak menguranginya pula. Kemudaanmu, kesederhanaan bentukmu, biarlah menjadi milik masamu. Aku sudah pernah memiliki masaku, kuhambur-hamburkan pula. Jika kuucapkan pula selamat menempuh hidup baru, tidak akan menambah ketulusanku. Aku tidak peduli. Aku cukup kembali ke tempatku biasa menekuni, gunamu tiada bagi desakan membuncah ini.

Jakarta, 17 Oktober 1952. 

Monday, September 30, 2019

Antara Gestok dan Gestapu Kita Jatuh Cinta


Ada kalanya gula palem dilarutkan dalam air panas, diberi rempah-rempah, terasa sungguh nikmatnya, terutama di tepi jalan-jalan Havana begini. Aku lantas saja mengangkat gelasku pada mural el Che di setentang Plaza de la Revolucion dan berseru: "Hasta siempre, Comandante!" Sungguh terdengar menjijikkan, seperti adegan dalam acara-acara pelancongan murahan di pisi-pisi, yang dibawakan oleh gadis-gadis dengan wajah dan riasan pasaran. Aku pun sudah tidak sanggup duduk-duduk di trotoar Jakarta, di peron stasiunnya, menyantap sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauknya, bersama wanita sinting setengah telanjang.


Tidak ada motif altruistik apapun, aku hanya ingin melepas hajat padanya. Tidak timbul pula belas kasihan dalam hatiku, ketika ia mengerang-erang memanggilku "Mas Manto." Jangan salah. Aku melakukannya bukan karena tidak punya uang, meski memang aku saat itu tidak punya uang. Melampiaskan birahi tidak berarti melakukannya tanpa sentuhan artistik sama sekali, tanpa membuatnya menjadi puitis. Kulukis guratan-guratan pada wajah orang-orang yang lalu-lalang, demi melihat pria telanjang setengah sinting melepas hajat pada wanita sinting setengah telanjang. Aku sekadar menyingkap daster lusuhnya, tidak sampai melucuti.

Sekali lagi, tanpa alasan kemanusiaan. Kuakui, sebelum itu aku memang menyusupkan tangan ke balik dasternya, memuntir-muntir puting susunya. Tidak, aku tidak sedang mencoba merangsangnya, meski, ya, ia mendesis dan mendesah, Si Sinting itu. Aku sekadar ingin mengepaskan antara frekuensiku dengan frekuensinya, agar hilang itu gerisik dan gerasak yang sangat tidak artistik itu. Hei, suatu lukisan yang impresionistik seyogianya merdu dan mendayu. Untuk keperluan ini bahkan kusembunyikan semua perkusi apapun itu, kulakukan dengan kesungguhan seorang penjahit asal Payakumbuh atau Tasikmalaya.

Semua sudah pas pada tempatnya, kecuali satu. Tidak ada seorang pun, seorang moralis atau polisi moral, yang menghardik dan mendera kami sedang kelaminku dipagut kelamin Si Sinting tidak bisa lepas. Kami lantas mencoba merangkak ke arah berlawanan, berkaing-kaing. Namun, kelaminnya memagut kelaminku alangkah kerasnya, sehingga kami semakin berkaing-kaing saja. Sang Moralis semakin murka, menghardik dan mendera, mengelupas kulit dari punggung-punggung kami. Wanita Sinting kini melolong, sedang aku mulai menggeram mempertontonkan taring. Entah bagaimana, ini justru menggelorakan birahi Sang Moralis.

Aku sudah tidak peduli lagi. Kuterkam Polisi Moral sedang kelaminku masih menancap dalam guagarba Wanita Sinting. Ia terbanting-banting terhempas-hempas. Kuhunjamkan dalam-dalam taringku ke nadi leher Polisi Moral. Isinya larutan gula palem dan rempah-rempah! Kutenggak habis sampai kering-kerontang. Polisi Moral kini menjadi slilit di taring-taringku, Wanita Sinting kini menjadi semacam ekorku, atau setidaknya perpanjangan ekor. Mereka berdua membusuk di tempat, sedang tidak kubiarkan mereka mengganggu langkahku yang membawaku entah kemana. Apa peduliku. Aku toh telanjang. Aku toh setengah sinting.

Namun itu dulu. Kini aku berpakaian dan setengah waras. Setidaknya ini lebih baik daripada setengah berpakaian dan waras, kurasa. Sudah lama tidak kupikirkan Polisi Moral dan Wanita Sinting. Akan tetapi, baru saja tadi kugaruk-garuk selangkanganku, masih ada sisa-sisanya itu Wanita Sinting. Kukorek-korek gigi taringku, masih ada itu sisa-sisa Polisi Moral di sela-selanya. Lantas kupandangi El Che meski muralnya saja. "Hei Bodoh!" sapaku dengan wajah sok berwibawa dan seringai sok bijaksana. "Bagaimana di neraka? Sudah kausadari ketololanmu setelah di dalam sana?" Aku berlenggang kangkung sambil menyiulkan Konserto Warsawa.

Bukan lagi senapang dikokang, melainkan gawai keluaran terbaru dicolek-colek agar keluar itu semua kebijak-bestarian terpampang. Bukan lagi parang pemapas leher tempat kepala-kepala durjana bertengger, melainkan gadis-gadis bertampang dan berbodi komersil dengan guagarba-guagarbanya yang berjengger. Tepat ketika aku membatin gadis-gadis ini, kemaluanku berkedut. Oh, ternyata sisa-sisa kelamin Wanita Sinting menjebik mengejek. Kurenggut ia dari pagutannya, semua tercerabut kecuali kesintingan dan kelusuhannya. Kuludahkan sisa-sisa Polisi Moral, semua terburai kecuali gula palem dan rempah-rempahnya.

Monday, September 16, 2019

Malamnya Tambociek Demi Ekor Baboy. Aku


Beginilah rasa perut gendut ketika baru diisi dua somay, otak-otak, tahu putih, tahu coklat, kol masing-masing satu. Semua dua belas ribu Rupiah, tepat di ujung Jalan Kwini Satu Romawi. Lantas saja beberapa malam terpesona, amit-amit. Menyembunyikan makna dengan cara menebarnya tepat di depan pandangan mata, ya, di pelupuk matamu itu. Ketika tengkuk beruam dan pangkal lengan bawah kanan pegal menjalar sampai ke pergelangan, sampai ke telapak. Kau tidak melihatnya, tidak menanyakannya karena tiada ‘kan berjawab.


Atau biarkanlah kuragakan di sini agak sedikit, ketika mencuri-curi pandang ke arahnya. Bukan tersibak itu, melainkan dipampangkannya tepat di hitam-hitam itu. Aduhai aneh benar cara kerjamu. Ini terjadi padaku, di atas kasur penuh bernoda darah kehitam-hitaman. Ataukah jamur, ataukah noda darah berjamur. Tiada padaku alasan untuk memusatkan perhatian pada yang hitam-hitam itu, ketika semua saja hitam. Memang ada yang pirang atau sengaja dibuat warna-warni, namun aku hanya bisa bermuram-durja sambil berharap anak itu tidak diobat-tiduri.

Pada musim kemarau yang masih kalah perkasa dariku, bisa jadi ia yang menggendong anak itu yang kutiduri. Astaga, betul-betul tidak ada yang dapat kulakukan terhadap ini. Melakukan terhadap satu, melakukannya terhadap semua, di manapun, kapanpun. Hei, aku mulai menikmati ini, seperti Addie menikmati dadanya melesak diberaki Geli. Bukan tidak mungkin Addie menghardiknya pula agar mengencingi mulutnya yang menganga. Bukan tidak mungkin Addie yang berjiwa artistik itu menahan lidahnya untuk tidak menjulur-julur melata-lata, seberapa pun inginnya.

Jiwa yang pengap ini kurasa butuh pasokan udara, maka begitu saja aku kehabisan cinta. Aku tersesat tanpamu. Tidak ada pula yang dapat kulakukan ketika tempatku diambil. Begitu saja ruang pasca operasi bedah jantung ini penuh di malam terakhirnya. Sudah lama aku tidak ingat bagaimana caranya memaksakan kehendak. Jika tidak punya pun, apa yang akan dipaksakan. Mungkin ini pulalah alasan mengapa kitab kuning tidak boleh dipelajari sembarangan, tanpa bimbingan guru. Masih syukur bertengger di pojokan sini.

Dari pojokanku aku melesat mendapati Bapak disorot matahari sore. Kubawakan bantal dari ranjang kosong tempatku bertengger. Cerita dapat berakhir sejalan dengan berlalunya waktu, seperti halnya rujak petis entah di mana itu. Mengapa aku mengingatnya sebagai rumah Johan Wahyudi, si manusia katak tambun itu. Hei, baik Pessy maupun Johan sama-sama tambun. Aku belum lagi tahu Ariyadi. Ah, ia pun. Ada apa dengan swike-swike ini. Aku tambun karena… pemalas dan rakus. Kalian ‘kan ahli penghancuran bawah air.

Uah, di pojokanku kini bernguing-nguing nyamuk. Apa harus ‘kusiapkan Sofell demi kenyamanan malam terakhirku di sini. Bisa jadi. Aku hanya bisa berharap ia segera tembus. Semoga sore ini juga, sehingga esok hari ‘ku bisa tenang. Apalah arti beberapa jam, sedang aku tidak sedang meringkuk beradu punggung dengan dinding laut, sedang air pasang merendam hampir setengah tubuhku, sedang aku menunggu serangan balasan. ‘Kurasa aku harus bersyukur tidak pernah merasakannya, seperti Bapakku. Haruskah kubuat Adjie merasakannya kelak.

Rumah sehat adalah di mana orang-orang mendapatkan kembali kesehatannya, sesempurna-sempurnanya. Sedang aku tak berdaya melindungi Bapak dari sorotan matari sore. Apapun aku tidak berdaya. Mungkin, di abad keduapuluh satu ini, di umur setua ini, aku masih harus berbisik pada diri sendiri, bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, karena ada waktunya untuk segala sesuatu. Pasti lebih dari duabelas jam, tidak mungkin kurang. Di sini atau di mana pun tidak ada Admiral Shibu. Memang tidak pernah ada.

Saturday, August 31, 2019

Hari Terakhirnya Agustus Tahun Baru. Islam


Siakle, aku bahkan sudah mulai menulisi sejak shalat dhuhur tadi. Ya, ya, aku tahu seharusnya bukan siakle, melainkan istighfar dan ta'awudz. Sudah kulakukan. Ketika shalat tadi, benakku menulisi, Seekor Merpati Putih adalah apa yang ingin kudengarkan. Dapat kubayangkan kesedapannya, manis atau gurih-gurihnya. Well, tidak mungkin manis. Gurih masih mungkin, pahit bisa jadi. Dapat kubayangkan semuanya. Wajah bapak ibunya, yang segera mengingatkan pada diriku sendiri, pada Manuela Escobar, dan tentu saja pada Pablonya sekali. Escobar, siapa lagi.


Ini sakit kesakitannya, tersiksa ketersiksaannya, menepis keterpisahannya. Ini melodrama.
Sangat mungkin aku tidak akan mendapatkannya di manapun. Tidak kini di sini, tidak kelak di sana. Jika demikian lantas bagaimana. Naudzubillah. Hanya ini yang kupunya. Aku hanya dapat bergumam-gumam membatin, kemana saja aku pada waktu itu. Aku sekarang masih persis seperti aku ketika itu. Siapa yang dapat kusalahkan untuk ini. Tidak ada. Es krim stroberi atau sebutir peluru yang menembus lubang telinga, tidak peduli kanan atau kiri. Apakah darah atau ludah yang melumuri, sudah sering kukatakan aku tidak suka pembaca berita atau sejenisnya. "Kau... jalang!"

Terlebih gadis sampul! Sudahlah, tidak ada yang peduli pula apa yang kusukai. Mungkin yang kusukai itu memang tidak ada, atau kalaupun ada, tidak ada padaku. Jadi tidak ada. Jadi, yang ada saja. Sebatas ini saja tidak berbatas apa. Jangankan gajah, akupun kembung selalu. Akan tiba harinya aku kembung namun tidak merasakannya lagi. Takkan pula perutku dibelek, dimasukkan pelacur hidup ke dalamnya. Dibuang ke tepi hutan, ke tepi kota. Diganyang anjing dubuk atau burung ruak-ruak, kepala pelacur hidup itu menyembul keluar sedang perutku dijahit kembali. [Ah]

Lantas, suasana jiwa seperti apa yang sesuai untuk menguatkan hati lelaki menempuh perjalanan di bawah terik matahari, atau gerahnya cuaca musim kemarau meski dalam keteduhan. Betapa menderas membahana segala kebatan dan kebitan, mendentam dan berdebam. Namun kini ketika menghadapi batu karang, ia tidak ubahnya hujan sesaat. Segala ragaan ini tidak berdaya meski ditingkahi terompet berpengedam, sedang yang kubutuhkan adalah penguat hati. Tidak. Aku tidak lagi menyesali jika hasilnya ternyata hanya ini, sekadar ini. Sekadar ini pun tentu boleh 'lah.

Dari segala kebat yang mengebit, kebit yang mengebat, di antaranya nasi uduk Bandung. Tidak. Lantas ketidaksukaan manusia yang berujung pada cacian, campakan, atau sekurangnya abaian. Kebatan tiada daya, kebitan tiada guna. Semuspra cinta remaja yang bahkan remah-remah pun tiada bersisa. Ini bukan permainan kata-kata, apalagi ajang pamer kosakata. Ini eksibisionisme, ya, ini pameran perihnya hati. Sekonyong-konyong teringatlah kepada Godfather of [the] Broken-heart[ed], juga pada berbiasalah, berbahagialah. Tidak. Betapatah hati tercubit oleh "bukan."

Satu ke yang lainnya berjarak hanya sekitar 3 (tiga) tahun belaka. Aduhai, dalam 3 (tiga) tahun itu entah berapa kali arasy bergetar, merujuk Mang Bedon. Lantas, kau menyalahkannya. Dapat kuingat, ya, meski tiada sama-sekali bekasnya, dan tidak akan pernah kucari, masih terasa lekat hijau-hijaunya, kabur-kabur margarin atau minyak jelantahnya. Lantas, kau tanya kena'apa. Mil pakai star atau tanpa star tidak tahu bedanya, dari masa-masa itu. Lantas kaukata, aku kausuruh berbahagia, aku kausuruh biasa. Tidak ada alasan, 'Mantra. Kesakitan itu biar aku sedap-sedapi saja.

Rambut-rambut halus itu tiada berdaya. Tidak sanggup jika memang entah mengapa aku tidak berkata-kata. Semua itu, ketidaksempurnaan itu tampak sempurnanya, kebulatan keindahannya. Haruskah kutunggu bagaimana jika ternyata tidak menunggu. Cerowetan saksofon alto seakan mengejek, menghina segala nista. Kalimat dan kata, bahkan segala wacana takkan kuasa mengungkap kesakitan yang kurasa. Ah, sebuah desahan pendek saja tanpa mad, bagi terlewatnya peluang susu yang-bukan-susu merah-jambu. Meski, ya, meski, dua-duanya, coklat dan merah-jambunya.

Monday, August 26, 2019

Yang Gansteng-gansteng 'Aja Sekarang Jadi Deakon



Berpikir dan merasa

Itu, lihat. Gelas plastik hijau itu, ya, dalam gambar itu, berisi air hampir mendidih. Suhunya tidak mungkin lebih rendah dari delapan puluh derajat selsius. Sebelumnya ia berisi serbat wangi. Sempat kuendus, namun tidak tercium wanginya. ‘Lik Gloria menghitung satu, dua, tiga, meningkahi kesadaranku yang mulai tersaput kabut. Kukatakan pada diri sendiri, mulai saat ini, beginilah caranya.

Jika menulis entri, kalimat-kalimatku cenderung pendek-pendek begini. Jika menulis lainnya, kalimatku seperti banjir bandang. Melukiskan perasaan dan menuangkan buah pikiran memang dua pekerjaan berbeda terhadap dua objek yang bertolak-belakang. Hasilnya tentu saja jauh berbeda. Melepaskan Kemacangondrongan? Jih, tidak sudi! Betul aku punya blog lain di Kompasiana. Betul sudah lima tahun ini ia terbengkalai.

Namun, meninggalkan Kemacangondrongan, kurasa aku tak sanggup. Jika fakultas batin manusia terdiri dari dua bagian, yakni pikiran dan perasaan, maka yang terakhir padaku jauh lebih besar. Aku bahkan sampai kadar tertentu tidak suka berpikir. Apa aku suka merasa, tidak juga. Jika boleh aku enggan mengerahkan tenaga batin, seperti aku enggan mengerahkan apapun. Aku memang pemalas.

Melatih di sini untuk di sana

Baru sampai sini saja sudah terasa betapa gaya ini tidak sesuai untuk kepentingan mengumbarasa. Gaya tujuh lima sampai lima dua lima sudah terbukti manjur, meski terkadang, atau lebih seringnya, kaidah-kaidah estetika terlanggar, kaidah mana adalah pembenaran-paksa. Aku begini karena Asus X450C dibawa Plasenta. Jika tidak aku mungkin menghancurkan peradaban-peradaban sampai mengantuk.

Menulis untuk disertasi berbeda lagi gayanya. Seakan-akan apa yang kulakukan dan kukatakan ini benar, padahal semua ini olok-olok belaka. Apapun bagiku tidak lain sekadar olok-olok. Ya, aku ngeri ‘sih mengolok-olok disertasiku. Disertasi adalah sesuatu yang sangat serius, atau lebih tepatnya, kurasa Gerben dan Laurens, orang-orang baik itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak main-main.

Seperti Brian Burgoon. Jika aku tidak mengurusnya dengan benar, jangan-jangan di belakang hari nanti aku menemui berbagai kesulitan. Amit-amit jabang beibeh. Diuruslah. Memang ini semua olok-olok, tapi sekali dua kali seriuslah. Rata-rata orang menjalani hidupnya dengan sangat serius sekali, seakan-akan hidup mereka sungguh berarti. Akan halnya kau tidak sanggup begitu, tidak berarti orang lain sama sepertimu.

Tujuh di antaranya menjadi singgel

Ini seakan-akan benar, meski nanti sebelum tayang sudah pasti akan kuperiksa estetikanya dan kupaksakan pembenarannya. Uah, rasanya jadi seperti siang hari di ruang tamu yang lapang lagi permai, sedang dari balik tembok belakang rumah terdengar seseorang minta dibangunkan sebelum dirinya pergi. Aduhai hidup betapa singkatnya, mengapa kalian masih begitu serius menjalaninya. Untuk apa.

Dalam kenyataannya nanti belum tentu aku berhasil melakukannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini sudah pasti aku tidak sanggup. Tidur selalu lewat tengah malam, itu pun tidak pernah nyenyak sampai pagi, bangun ketika akibat-akibat kerembetan sedang geradak-geruduk, sok peduli menyiapkan sarapan mereka padahal membeli sarapan untuk diri sendiri, ternyata aku tidak tahan hidup begini. Ini jelas tidak sehat.

Apalagi ini. Benci segala sesuatu tentangmu. Tidak lucu. Empat kakek punk terlebih lagi jelas-jelas tidak lucu. Lantas aku yang bermalas-malasan begini seumur hidupku apa lebih lucu. Ya tidak juga. Sepanjang Radio Dalam ke arah selatan, mentok belok kanan sampai pim. Semua yang tersisa adalah kehancuran. Kehancuran entah apa. Kehancuran keluguan, ketidakberdosaan. Aduh, picisan sekali. Biarlah mengantuk ini.

Wednesday, August 21, 2019

Sepuluh Hari Kemudian Baru Merasa Baikan


Dengan ditingkahi dengungan pompa air begini saja masih terasa aduhai cantiknya, belum lagi Asus E203M yang, Alhamdulillah, akhirnya tanpa keluhan. Ini pagi yang permai tanpa beranjak ke mana-mana, meski sinar matari menyembur menembus blokaca, seperti yang kuinginkan. Setelah sepuluh hari, ya, sepuluh hari, akhirnya aku merasa baikan. Sepuluh hari ini, celakanya, tidak kugunakan untuk berdekat-dekat dengan Tuhanku. Entah dengan apa kuhabiskan sepuluh hariku ini kecuali sekadar menjalani. Dari pagi bernasi uduk Bandung, katanya, hingga malam bercandesartan, amlodipine masih ditambah bisoprolol pula.


Ya, ada juga aku menghancurkan peradaban-peradaban dengan Asus X450C. Itu juga yang membuatku gamang melepaskannya. Di dalamnya masih ada simulasi penghancuran peradaban, satu-satunya pengalih perhatianku dari dunia yang hiruk-pikuk dan tanpa pola. Di sana, aku cukup mengejar Piramid yang akan memberikanku dua pekerja ekstra, entah mengapa. Aku juga tidak tahu mengapa keterikatanku pada Machu Pichu begitu besarnya, begitu juga dengan Notre Dame dan Kapel Sistin. Apa jadinya menjalani hari-hari di Amsterdam tanpanya. Sekedar membayangkannya sudah bergidik kengerian aku.

Baik. Apapun yang terjadi, semenjak saat ini, detik ini, akan kugunakan tombol pengatur font sebagai patokan. Tidak lebih, kurang sedikit boleh. Nah, seperti barusan ini 'lah. Membuat-buat yang pura-puranya seperti paragraf begini, aku terbayang Mas Toni yang menciptakan berbagai senjata. Aku terbayang pula yang lebih menyedihkan dari itu. Apa iya. Terkadang aku iri pada Adso dari Melk, bahkan Antonius Cahyadi atau Adrianus Eryan sekalipun, yang memakai nama-nama santo pada nama mereka. Sedang aku Bono yang diberi tambahan nama salah satu putra Raden Arjuna, yang berjalin-berkelindan dengan Dewi Mustokoweni.

Sungguh, menjadi Jawa sekonyong-konyong kempis tak bermakna di hadapan saudara-saudara Papua, dan Aceh, dan Dayak, dan Madura bahkan Betawi sekalipun, seperti kejantanan kisut mengerut di hadapan ummul mukminin yang terhormat. Ha, akhirnya berhasil kutemukan ragaan cabul, setelah sebelumnya menyerah pasrah merasa takkan menemukannya. Apa gara-gara Mat Piso nyelonong begitu saja bersiul-siul, Mat Piso yang suka merejang dan merajang pelacur-pelacur itu. Apa karena rayapnya mati maka Mat Piso mengandalkan pisaunya yang senantiasa ngaceng, pisaunya lipat atau pisau bowie segede alaihim.

'Dri, 'Gar, apapun itu, bisakah kalian tidak menyebutku dosen. Okelah, UI, FH dan mungkin juga Bidstu HAN taunya aku dosen, tapi kalian 'kan tau kalau aku... bukan. Aku Bono. Kasihan Bapakku memberi namaku begitu. Untunglah namaku bukan nama santo-santo dan nabi-nabi mulia. Dalam nama sederhana yang sebenarnya sangat kusukai ini, terkandung doa yang begitu mendalam, begitu mendendam, sampai aku sendiri takut untuk mengaminkannya. Namun kepada kalian berdua biarlah kuberitahu, mungkin kalian sudi mendengarkan, Bapakku mendoakanku menjadi semacam utusan Batara Yamadipati untuk menghakimi para durjana.

Maafkan aku tidak bisa menjadi teman yang baik untuk kalian. Biarlah kita menjadi sahabat blog begini, karena pena sudah demikian murahnya sampai dibuang-buang orang. Setiap kali aku menulis entri, bolehlah kalian ge-er seakan entri itu untuk kalian, mengenai kalian. Padahal tidak! Semua tahu bahwa semua entriku adalah untuk kemanusiaan, yang kata ummul mukminin yang terhormat, di atas agama dan moralitas. Masya Allah, mengapa Kauciptakan itu dan membiarkannya menyandang nama ummul mukminin yang terhormat. Kau tahu 'kan 'Gar, meski tidak kuketik, di akhir kalimat barusan ada tanda tanya segede alaihim.

Berhubung ini paragraf terakhir, maka lompatlah aku ke masalah berbiasa dan berbahagia. Precies! ...tapi aku bisa apa. Apakah biasa itu melumat bibir merah jambu yang lembab merekah, merona, baik atas maupun bawah, lantas darinya meluap-luaplah kebahagiaan meski karnal. Dengan rambut-rambut halus di sekujur lengan bahkan sampai bawah lengan, sekujur kaki bahkan sampai selangkangan, tidakkah itu biasa, tidakkah membawa bahagia. Apa belum kuwartakan padamu Prinsip 4S: Etnis, Eksotis, Ironis, Sedikit Berkumis. Atau inikah biasa, inikah bahagia, menulis kepada dan mengenai sahabat-sahabat, meski sebenarnya tidak.

Perancap Seluruh Dunia, Merancaplah!

Sunday, August 11, 2019

Suatu Entri [Bukan] Mengenai 'Idul Adha 1440H


Sudah barang tentu tidak mungkin 'kubekerja. Bukan karena tempatnya benar. Kenyataan bahwa tempat ini ramai sekali mungkin juga bukan alasan. Mungkin memang harus seramai ini agar hangat. Namun aku sendiri yang tidak siap bekerja. Dengan gigi-geligiku yang terasa kotor mengganjal, badan yang terasa tidak segar benar, seperti kurang mandi, ini bukan suasana ideal untuk bekerja. Pendeknya, aku sendiri, bukan persekitaranku, masalahku. Sedangkan segala sesuatu selain diriku sendiri, sepertinya lumayan 'lah. Terlebih dengan telinga disumpal Tidak Pernah Hujan di Kalifornia Selatan begini. Boleh 'lah. Tidak menjadi apa.

Hari Demi Hari, apa. Demi apa. Baik biar 'kuungkapkan di sini. Mungkin Windows 10 memang terlalu berat bagi Asus E203M-ku ini, yang hanya 2 GB RAM-nya ini, yang karenanya hanya (hanya?!) Rp. 3,600,000. Namun biarlah. Nyatanya aku masih bisa mengetiki dengan rampak begini. Mungkin aku memang tidak butuh lagi sotosopan. Paling dia hanya harus kuat membuka beberapa halaman web sekaligus, mungkin juga beberapa pdf dan beberapa doc. Selebihnya, musik. Ini memang bukunet kerja. Bukan untuk yang lain-lainnya. Ini memang diniatkan sebagai gantinya HP Stream 8, entah mengapa diganti padahal masih amat baik jalannya.

Dengan air gula berperisa coklat begini, seharga Rp. 22,000 begini, meski dibayar pakai ovo masih kembali Rp. 6,600, makin tidak jelaslah suasana hatiku. Hanya 'kutahu, Engkaulah Hal Terbaik yang Pernah Terjadi dalam Hidupku. Terlebih pada sekitar pukul setengah lima petang begini, aku terkantuk-kantuk, sudah pasti karena aku kegemukan dan nyaris tidak pernah gerak badan. Tidak terlalu kupedulikan persekitaranku, sebagaimana halnya mereka tidak memedulikanku. Udara yang Kuhirup adalah melodi yang, tidak sampai jenial namun bolehlah. Aduhai ini hampir memasuki dekade ketiga abad keduapuluh satu, masih saja begini.

Terkadang satu-satunya yang kubutuhkan adalah udara yang kuhirup daripada mencintaimu, yaitu ketika cinta identik dengan berhubungan kelamin, namun tidak mengenai menghasilkan keturunan. Boa edan!

Apa jadi kutuliskan di sini kisah mengenai bandot, cempé, kuncup bunga-bunga krisan yang baru bermekaran, lantas Tiranosaurus Raja, lantas bandot ompong yang, jangankan rerumputan kering, mengunyah lidahnya sendiri dengan tulang rahang yang masih berbalut gusi. Uah, jangan-jangan gara-gara ini aku bisa masuk neraka juga. Amit-amit naudzubillah! Sementara itu, suasana hati sudah berubah-ubah entah berapa jungkir berapa guling, dari Bas Muys, mampir ke Benyamin, lantas Roadfill ini kembali ke Mari Tinggal Bersama kali ini oleh Anjinglawt. Ada lagi, Mick Hucknall menyanyikan Kau Membuatku Merasa Kinyis-kinyis tanpa menggunakan falsetto! Keterangan tiada guna, namun tanpa falsetto?!


Sudah! Aku tidak tahan lagi saban-saban memeriksa pratinjau. Mari kita kembali ke teknik lama saja, biar aku fokus di estetika bukan komposisi. Aku mengatakan ini semua seakan benar. Uah, memang sitar listriknya ini yang klangenan. Seakan dunia tiada akan pernah rusak atau bau. Senantiasa baru dan wangi. Tentu tidak ada yang seperti itu. Tidak juga dan terlebih lagi bunga-bunga krisan. Tentu saja pada suatu titik mereka kuncup, lantas merekah mekar menguarkan wangi, tentu saja begitu.

Pada suatu ketika pula mereka akan luruh, menjadi sampah. Sampah! Buat apa aku memaki dunia, aku bandot ompong yang mengunyah lidah sendiri, dengan tulang rahang berbalut gusi. Perutku tumpah ruah memberondongkan tai kambing bulat-bulat hitam pula. Aduhai namun ini benar-benar membelai, falsetto ini, meski Mick Hucknall tidak menggunakannya. Russel Thompkins menggunakannya dengan sangat fantastis, menjadikannya klasik. Buat apa ini semua, hah, Bandot Ompong berayap mati?! Itu saja kebisaanmu ‘kan, takkan lebih dari limapuluh tiga.

Di tengah kekesalanku, aku beralih pada Arina, kecerdas-barusannya. Haruskah kucatat di sini akhirnya aku berhasil memasangkan tikus blutut Mikrolembut pada Asus E203M-ku. Jadi apakah ini menjadi semacam hadiah ulangtahun yang dibeli mendahului. Aku tidak suka Arina, kau pikir kau cerdas-barus begitu. Ada juga aku iri ‘sih. Seharusnya aku yang begitu. Bagaimana kalian bisa sampai begitu, sedangkan aku harus berusaha jadi semacam dosen begini. Mana perutku tumpah-ruah begini, seperti Yang Memuakkan. Ini mengapa tiada habisnya.

Ini lagi. Nona entah siapa aku tidak mau tahu lagi, seperti aku tidak ketemu juga nama orang tua berjenggot panjang di kursi roda itu. Selama ini aku memang hanya menipu diri sendiri, ketika melihatnya menggendong hasil perbuatannya. Aku ini memang memuakkan. Bauku jijik begitu, seperti nanah berbakteri rajasinga. Astaga bahkan untuk ini saja aku tidak pantas, terlebih menjadi duapuluh bakat teratas. Teknik permainan bassku mungkin tiada seberapa, namun jika bicara penghayatan, bisa jadi aku unggul.

Apakah aku memang tidak pernah mendengar yang secantik ini, atau sekadar suasana hatiku sendiri di sore hari yang mendung ini. Bisa saja kukatakan tidak ada yang istimewa dari Bang Is, meski jelas karyanya sudah dinikmati begitu banyak orang termasuk diriku sendiri. Sedangkan Bang Is yang gendut itu sudah tamat riwayatnya. Tidak lagi ia akan terlihat bergentayangan di sepanjang Jalan Sawo balik rel. Segalanya hanya akan begitu, terutama diriku dan segalanya yang kubenci terlebih yang kusukai.

Apa ini harus tujuh, kesakitanku, ketergangguan-jiwaku, ketumpahan-ruahku, semua beraduk jadi satu. Haruskah aku menamatkan Bukan Pasar Malam ketika seharusnya kuselesaikan laporan penelitian lapangan. Mendengar-dengarkan begini seperti di Amsterdam, padahal aku di sini, engkau di sana, memandang langit yang sama, menonton iklan-iklan dari yang jadul sampai pawang hits. Itu dari tahun lalu, bagaimana tahun depan. Boa edan! Mengapa pula harus selalu memaki, mengapa harus terasa sendu. Mengapa harus berkedut-kedut mendengar kata itu, mana bisa ada bedanya.

Sungguh. Tanpa diresapi pun akan segera terasa betapa ketokaian-ketokaian bertebaran di mana-mana, meski mungkin ini semata-mata akibat aktivitas hormonal belaka, seperti jerawat atau bahkan bruntusan di wajah. Aku muak! Aku jijik! Salah, dong. Aku memuakkan itu yang benar. Aku menjijikkan itu yang benar. Heh, mengapa kauberi garis-bawah dua begitu, sedangkan dari tadi sudah begitu banyak salah eja yang kubuat. Tentu saja karena kita berbicara tidak dengan bahasa yang sama. Sudah. Rusak, tidak bisa diperbaiki lagi.

Sunday, July 28, 2019

Entri Kesebelas yang Ditulis di Bagasnami


Mengapa harus malu jika ternyata sebuah entri memang suatu retroaksi. Yang harus malu itu justru kalau celana karung sudah tidak sanggup menampung perut. Padahal seharian ini hanya makan nasi uduk lengkap dengan telur balado, bihun, tahu semur, sambal dua macam beserta kerupuknya sekali, dilanjut sebotol V-Soy multigrain dingin, lantas bakwan malang lengkap dengan dua macam mie. 'Duh, harus diet 'nih. Tidak bisa lain. Dari kemarin cuma rencana saja makan havermut, nyatanya tiap bangun pagi masih juga mencongklang Skupi nyamperin nasi uduk. Mari jadikan kenyataan malam ini! Body goal akhir Agustus!


Demikianlah maka hari ini kami berkendara Gnebkan menuju Bagasnami. Agak kesiangan, karena sampai di Bagasnami sudah hampir dhuhur. Tiada berapa lama memang aku mengayun langkah ke al-Mustaqim yang, di tengah cuaca terik sekitar 36 ˚C, mengemposkan sekitar delapan sampai sepuluh pendingin udara berkekuatan setidaknya dua tenaga kuda masing-masingnya. Sepulang dari situ dengan badan agak meriang disko, aku mampir di warung beli beberapa macam Aice, namun terutama sekali moci durian agak dua biji, satu untuk Mama, satu untuk Tante Lien.

Sesampainya di rumah, Ihza denger 'aja kalau sedang ada bagi-bagi es krim. Jadilah ia dapat yang jagung, Cantik yang semangka, sedang aku cukup Teh Javana Gula Batu saja. Sambil menikmatinya, aku makan sayur asam dengan kerupuk kulit melempem sampai habis tiga perempat kantong. Menunggu jam satu siang, kami tidur-tiduran. Cantik tidur beneran, sampai akhirnya kami berangkat ke Transmart jam setengah dua. Afi sedang belajar bersama di rumah temannya. Ia tanpa membuang tempo segera pulang ketika diberitahu Oma Lien akan belanja bulanan.

Demikianlah maka kami berangkat berempat: aku, Cantik, Oma Lien dan Afi. Sesampai di sana Cantik mengantuk ingin ngopi, maka dipesannya secangkir cappuccino, untukku segelas susu hangat manis beraroma vanila. Aku menemani Afi membeli Chatime. Sudahlah mengantri, begitu sampai di depan kasir katanya kami masih harus menunggu 25 pesanan. "Edan!" Aku segera balik kanan, untunglah Afi mau mengerti. Ketika kutawari beli sesuatu dari kedai tempatku nongkrong, kata Cantik, "engga 'lah. Kalau untuk anak muda ya Chatime itu." Benar juga. Maka tidak jadi.

Seraya mereka bertiga belanja bulanan, aku mengetik komentarku terhadap umpan-balik Laurens. Untuk apa benar aku tidak tahu, namun sungguh lancar sekali mengetik di tempat-tempat sedemikian. Mengetik di kampus, terlalu banyak orang kukenal di situ. Sedikit-sedikit menyapa, mencolek, mengobrol, sehingga mengetiknya pun sedikit-sedikit. Di kedai kopi ini, meski sebentar agak lumayanlah yang kuhasilkan, sambil sekali-sekali mencecap atau menghirup susu manis hangat beraroma vanila. Menariknya, tiada kembung, sedang coklat kali terakhir mengembungkan.

Bagiku antara tidur-tiduran, tidur sungguhan sampai mengobrol dengan Mama dan Tante Lien sekali. Adalah sedikit ditingkahi Damai Indonesiaku, yang akan menjadi kenangan manis ketika harus kembali menjalani hari-hari Amsterdam yang sepi. Akhirnya menunggu sampai maghrib baru berpamitan pulang. Tidak langsung ke rumah, Gnebkan mengarah ke Pesona Square: Afung Phetshop! Badan agak kurang endeus, kuah Afung Phetshop pasti akan terasa sungguh mayestik membasahi kerongkongan, dengan sensasi kenyal-kenyalnya gepeng-gepeng, nikmat.

Aduhai, benar belaka! Belum lagi ditutup dengan Es Nona manis yang berbuah pepaya, kacangnya merah. Daripada nona lebih baik es nona, karena jijik. Takutnya bau, itunya. Najis ngapain juga nyium-nyium itunya. Amit-amit! Aku sampai berdoa-doa dalam hati, aduhai, betapa besar nikmat yang kurasakan ketika itu. Namun bagaimana dengan perut yang sudah tidak tertampung celana karung ini. Memang ada waktu-waktunya begitu. Insya Allah, dicoba tanpa dipaksa bisa sendiri. Setidaknya sebelum harus ditimbang di pos perawat. Malu 'dong, 'yekan.

Friday, July 26, 2019

Untuk Sebuah Togar. Sepucuk Surat Ini


'Gar,

Karena ini sebuah surat, aku harus berusaha membuatnya koheren. Meski kuat sekali dorongan untuk mengomentari kata pembuka surat ini, aku harus menahannya. Demikian pula kenyataan bahwa aku baru minum fanta stroberi campur seprit tapi ada nata de kokok sama telor kodoknya, bagaimana aku bisa tahan menghadapi segala inkoherensi ini. Sedang aku sendiri harus koheren, aduhai! Ini adalah sebuah surat untukmu. Meski kuat sekali dorongan untuk menjelaskan kau itu apa, aku harus menahannya. Ini adalah sebuah surat, dan surat harus koheren.


Meski kuat sekali dorongan untuk memastikan estetika, apa itu berarti aku peduli kosmetika, terlebih komika. Tentu tidak. Langsung saja. Apa kau sudah gila membiarkan Nesya melahirkan anakmu. Aduhai ingin sekali aku menambahkan tanda-tanda baca sekadar penegas, namun kau tahu 'kan sikapku pada tanda baca. Mereka mengganggu estetika! Atau logika. Atau kesehatan jiwa. Lalu kau membiarkannya tinggal di rumah membesarkan anakmu, untukmu. Dan jika ia suatu hari nanti ingin meninggalkanmu, kau katakan padanya, tinggalkan anakku padaku.

Hahaha... kau bisa menukas aku lupa minum obat. Aku tidak pernah minum obat. Parasetamol pun tak. Namun aku memang menggugatmu. Kau apakan anak perempuan... aduh, siapa pula nama Bapak Nesya itu, yang pernah kau sebutkan. Kau suruh ia melahirkan, merawat dan membesarkan anakmu. Apa ia mau. Nah, kini mengenai anak-anak perempuan, tentu saja terlahir dengan naluri merawat dan membesarkan anak. Jangankan manusia. Simpanse pun, ketika kepadanya diberikan anak kucing, didekap dan didekatkan pada dadanya, seakan menyusuinya.

Tiba-tiba saja aku kehilangan selera menggugatmu. Aku sudah tidak peduli, sebagaimana aku tidak pernah peduli apapun, mengapa manusia, sebagaimana seluruh alam ciptaan yang senantiasa genap, berkembang-biak. Biarlah mereka mau apa saja. Titit sendiri saja sudah cukup menyusahkan, mengapa harus memusingkan titit-titit yang lain. Kau pasti tahu ini tidak semata mengenaimu, karena aku memang tidak pernah memberikan kehormatan semacam itu pada siapapun. Aku menekuri seluruh alam ciptaan, dan penghormatanku hanya pada Sang Pencipta.

Tahukah kau, 'Gar, aku menulis surat ini seraya mendengarkan lagu-lagu dari masa kutika testosteronku masih baru diproduksi, masih segar-segarnya, kental-kentalnya. Mungkin karena itu aku jadi goblok. Namun, seperti diingatkan Hari pagi ini, aku memang pongah karena belagak bego. "Gua ga pernah belagak bego. Gua emang bego." Begitu kata Hari. Ini lagi! Mengapa kau biarkan Dita melahirkan anakmu! Kalau Kusmasai tidak usah dibahas lagi. Kalian semua membuatku berduka. Buat apa kalian berkembang-biak. Biar apa. Ini berlaku juga untuk Sandoro. Kau dengar?!

Lalu apa, aku harus berharap pada Ega atau Liked begitu. Tidak. Sebenarnya aku meratapi kegagalanku sendiri. Aku gagal mencegah diriku sendiri berkembang-biak. Terlebih horor, aku gagal mencegah diriku sombong. Kalian mendomestikasi perempuan-perempuan. Anak-anak kalian pun perempuan! Relakah, ya, ikhlaskah kalian anak-anak kalian didomestikasi oleh titit-titit macam kalian! Ini sudah memalukan. Seharusnya kita keluar sana memapas leher-leher celaka tempat bertengger kepala-kepala durjana. Namun disini aku mencaci-maki titit.

Sekejap tadi aku hampir bercerita padamu mengenai Fawaz yang mungkin berbakat menulis. Ia menulis mengenai Dery Tadarus si Tupai yang menemukan seekor landak beku lantas mencairkannya. Dery menghadapi dilema, haruskah ia mencairkan dan membiarkan landak itu hidup, atau membiarkannya beku dan menyerahkannya ke museum untuk meningkatkan nilai sejarah. Betapa surealis! Betapa impresionis! Ia belum lagi pernah membaca Kemacangondrongan sudah begitu. Semoga titit Fawaz dijauhkan dari kemesuman yang pernah melumuri titit-titit kalian.

Bono

NB. Fawaz pun bukan anak biologisku. Aku pernah dimarahi Prof. Anna Erliyana karena mengatakan "anak kandung." "Kandung?!" kata Prof. Anna, "emang kamu pernah mengandung?!"

Thursday, July 25, 2019

Latihan Dasar Kepemimpinan Jamur [Biawak!]


Bagaimanapun, terlalu banyak hubungan percintaan bisa bikin pusing, 'yekan. Bahkan kata Predi Airkeras kebanyakan cinta bisa membunuhmu. Ah, doi sih emang parahnya tingkat dewa[sa]. Sukurlah aku tidak sempat menonton pelemnya. Bahkan, sebelum pelem itu diputar di salah satu kanal pelem yang disediakan Nekmedia, eh, promonya abis. Jadilah belum ada kesempatan padaku untuk menontonnya. Ahai. Tadinya aku menulisnya dengan “y” koq terlihat seperti itu ya. Langsung kuganti dengan “i”. Lagipula ahainya nanti saja di paragraf berikut.


Nah, baru ahai! Ini adalah kali pertama aku menggunakan kibor BT Minisok. Semoga langgeng ya hubungan kelen, Minisok sama HP Strim 8, sampai kaken ninen. Astaghfirullah. Apa yang salah dengan diriku pagi ini. Ini bukan pagi bodoh. Ini sahur dan kamu malah mainan beginian. Bagaimana mau dapat Ismul A’zhom begini caranya. Terbangun sekira jam empat gara-gara kentut terasa ada ampasnya. Daripada kasus maka terhuyung-huyung ke WC. Aduhsai terrnyata memang ampas melulu. Mengapa sampai begini Stipwong.

Ngomse-ngomse, aku suka entri ini. Banyak sandinya. Apa perlu kusandi yang berikut ini. Sekali lagi biarlah yang kuingat adalah Ismul A’zhom. Ini gara-gara kemarin malam mendengarkan pengajian al-Habib Muhammad al-Habsyi. Yang kayak apa sih orangnya. Entah. Jadi kemarin beliau bercerita mengenai seorang santri yang ingin mendapatkan Ismul A’zhom untuk dirinya sendiri. Kata kyainya, lebih baik kau ke pasar sekarang dan amat-amatilah keadaan. Maka pergilah si Santri. Di pasar ia tidak melihat apa-apa. Semua biasa saja.

Tukang soto masih jualan soto. Tukang tahu masih jualan tahu. Ia sendiri masih tidak punya uang. Duh, kenapa Kyai menyuruhku ke sini, tidak dibekali uang pula. Pendek kata, tidak ada yang istimewa di pasar hari ini, kecuali… ya, kecuali, ada seorang gagah berbelanja di pasar menyewa jasa seorang kuli yang sudah renta kurus pula. Ia yang gagah itu berjalan melenggang sementara semua belanjaannya dibebankan pada punggung si Kuli Renta. Si Kuli jangankan memanggulnya, jangankan melenggang…

…tiap kali menaikkan tambahan belanjaan Tuan Gagah ke punggungnya, napasnya tambah tersengal-sengal. Sampai pada suatu kutika, si Kuli sudah benar-benar tidak berkutik. Kakinya gemetar menahan beban di punggungnya. Ia tidak sanggup lagi beranjak barang selangkahpun! [tanda seru sekadar dramatisasi] Demi melihat ini sang Tuan Gagah, bukannya menolong si Kuli, malah menghardik seraya menendangnya sehingga barang-barang belanjaan beserta pemanggulnya sekali centang-perenang di lantai pasar becek-bertanah. Si Kuli renta gopoh-gapah berusaha mengumpulkan belanjaan, menaikkannya lagi ke punggung.

Beringsut-ingsut kaki tuanya gemetar mencoba mengikuti langkah panjang sang Tuan Gagah. [entah bagaimana di titik ini aku teringat almarhum Abangnda Hidayanto Budi Prasetyo. Semoga Allah melapangkan kuburnya] Sekembalinya di pesantren si Santri ditanya oleh Kyai. “Jadi apa yang kaulihat di pasar?” Tidak ada, ‘Yai. Semua biasa-biasa saja kecuali ada seorang kuli tua… maka berceritalah si Santri mengenainya. [di titik ini entah bagaimana napasku yang terengah-engah. Masya Allah, adzan shubuh baru selesai berkumandang. Aku harus beranjak]

Nah!” sergah Kyai, “jika orang itu punya Ismul A’zhom, apa kira-kira yang diminta olehnya pada Gusti Alloh?” Woo… tak dungakno sikile cuklek, dengkule ambleg, matane njeblug, sirahe njepat… dan masih banyak lagi, tukas si Santri. “Itulah sebabnya sampai hari ini kau tidak punya Ismul A’zhom.” Lho, mengapa begitu, Kyai? Kuli tua yang kau lihat di pasar tadi, itulah guru yang mengajariku Ismul A’zhom. Segala puji hanya bagi Allah. Keselamatan, kesejahteraan semoga senantiasa tercurah pada RasulNya.

Saturday, July 06, 2019

Nasi Kongtol! Ini Semacam Penolol yang Menolol


Sanggupkah aku tanpa menyumpal kuping. Pengeras suara sudah memperdengarkan suara-suara yang seharusnya akrab dan kondusif, namun selebihnya adalah geremang dan hiruk-pikuk pasar. Aduhai perut engkau begini amat. Betapa sulit melaksanakan apa yang diwejangkan oleh khatib Jumat kemarin. Terlepas dari apapun ini sudah jam empatbelas dan Cantik sedang sopang-soping, dan mataku sempat terpejam. Sudah dapat diduga bahwa hasilnya akan sebuah entri, jikapun berhasil, karena rasa ini sudah cukup lama. Ada 'lah beberapa hari.


Rasa seperti ini sudah masuk Juli. Apa tidak malu memulai hari bersama Santo Fransiskus dari Asisi, sedang menikmati pemandangan begini. Tidak sampai menikmati, karena memang selalu ada dalam benak. Sebenarnya tadi yang terlintas adalah "di hati." Aduhsay mengerikan betul. Tentu saja mengerikan seperti perutmu. Bagaimana mau menghentikan jika baru saja kaujejalkan donat berlapis gula. "Gula 'kan makanan [sel] kanker," demikian tukas Mbak Yuli FHUI '87, maka sepiring penuh kulit berlemak ayam goreng?! Apa yang terasakan ini. Oh.

"Hei, Dayang, apakah kau mau kunikmati madumu," atau semacam itu. Di kamar berhantu yang bisa besar hantunya, dengan irama bossas begini. Masih sama saja dengan waktu itu, sekira 30 tahun yang lalu. Apakah itu konser Rainbow, entah VHS atau Betamax itu. Sedang tepat di setentangku pasti orang baik dia, apalagi kalau sampai sekadar bawa motor. Aku tidak lihat tanda-tanda kunci mobil. Sedang menyisir rambutnya yang lembab itu, terjatuh jepit rambutnya itu. Tidak akan ada selesainya dunia ini, begitu saja terus. Sungguh enggan membicarakannya.

Tidak, untukku sudah cukup. Betapa nikmatnya berdua-duaan dengan Quran. Qurannya sendiri mudah, istiqomahnya itu yang sulit. Jika tidak sanggup satu halaman setiap habis shalat fardhu maka setidaknya setiap hari. Entah hitungan mana yang menghasilkan khatam dalam empat tahun, lengkap dengan arti dan tafsirnya lagi. Hei, ini apa nasihat mulia begini kaurekam dalam comberan! Sungguh baik, sungguh sangat baik. Dapat kulihat, kau dan aku akan menjadi sangat baik. Tak satu saksofon pun 'kan membahagiakanku, karena aku tidak bugar seperti Kolonel Sigit.

Selain itu, mereka berdua anak yang baik. Semoga mereka bersikap baik juga kepada kedua orangtua mereka, dan kepada siapapun orang tua, bahkan yang gendut, botak dan mesum seperti aku ini. Aku tidak yakin dapat menyelesaikannya tanpa harus terbirit-birit. Boro-boro sehalaman. Perut ini dahulu dibereskan. Ini sudah sangat mengganggu. Bagaimana caranya. Ya Allah, hamba mohon pertolongan. Benarkah hamba masih mengandalkan bahkan diri sendiri. Di comberan sekalipun, dalam kubangan dosa ini hamba memohon hanya kepadaMu, kepada siapa lagi?

***
Masih saja adalah kata-kata yang begitu saja terlintas, meski Matt seakan mengeluh, seandainya aku tidak akan lagi menyanyikan lagu lainnya, dan ber-lalala. Ini menarik, tanpa sengaja dimulai dari Skylark yang sangat sulit untuk diikuti. Musim semi sekarang, di sini? Tidak, ini sudah musim panas, dan aku tidak peduli musim yang empat itu. Tidak ada yang benar-benar menarik dari mereka, atau apapun bagi laki-laki umur awal empatpuluhan ini, terlebih ketika mengantar bapaknya kateterisasi jantung, meski tidak jadi. Kuakhiri di situ kalimatnya, agar tidak berlari.

Tinggal lagi duit yang masih menarik, sambil menunggu menyidang skripsi. Apakah kelak menjadi tesis atau disertasi sekali, tidak banyak berbeda. [Duit, duit, duit] Duit bukan sembarang duit. 'Tuh 'kan, aku tidak bohong. Memang ada lagu semacam itu, ya, tidak perlu merasa jijik juga. Hanya memang lucu-lucuan belaka bagi seorang pangeran yang sudah tidak punya keraton. Yang hanya bisa menunggu datangnya Pak Patrick Fatruan, tanpa daya, di Pintu Keluar RSPAD. Yang memang hanya satu itu, bukan tiga. Daripada berlari, baik "yang" memulai kalimat tak apa.

Saturday, June 22, 2019

Rama Bharata Lakshmana Shatrughna. Anoman


Apa kau pikir seperti Forrest Gump begitu, lucu. Ini Cinta Sejati mengapa 'lah melonjak-lonjak berjedag-jedug begini. Ini suatu onomatop, dan anak tolol itu minum obat-obatan penenang. Semua kebat, segalanya kebit. Rayapnya mati. Lebih baik begini. Lalu empat tiga itu bagaimana. Aduh, mengapa begini selalu entri. Bahu untuk Menangis Padanya, adalah jip hartop berembun. Aku masih ingat dingin-dinginnya Tangerang Kota akhir '80-an. Bagaimana aku tahu jika hampir 30 tahun kemudian begini jadinya.

Hatiku dipenuhi begitu banyak cinta dan aku membutuhkan seseorang yang dapat kusebut sebagai milikku sendiri. Tolol ini daftar-main! Tolol, terlebih setelah bertemu dengan orang-orang hebat. Aku sianjrit! Adalah ruang entah apa peruntukannya, yang jelas ada interkomnya. Yang jelas muda. Dungu. Apa lebih baik jip biru dengan gambar elang garuda di atapnya, berbasah-basah ia dalam bak WC yang alangkah gelap dan kunonya. Namun nyaman, senyaman masa kecil itu sendiri. Hanya lebih tua beberapa tahun dari Adjie sekarang. Pemuda Pemalu. Itu aku dulu.

Karamel garam batu adalah tunggalnya kacang Karebia. Aku tidak sembuh-sembuh dari dongkol padanya. Seorang perfeksionis mustahil tinggal diam pada suatu Pagi Sunyi. Ahaha kembali ke musim kemarau pinggiran Tangerang Kota. Ke arah Karawaci sana, sampai hampir Legok, Angris, bahkan Bojong Nangka yang pernah demikian akrab, seperti halnya tas merek Rina Rini. Habis kalian! Tamat! Seperti empat kios sepatu. Terjerat utang, hancur keluarganya, sedangku mengepung martabak telur, dilanjut sate padang, untukku mie aceh tumis udang.

Ini bahkan di mulut saja tertinggal rasa asam, apalagi di lambung. Sudah cukup lama kunikmati berbagai sasetan, jika sekarang sudah tidak bisa, mengapa mengeluh. Kau Membuatku Tersenyum Lagi, kau siapa. Sedang solusi Firdaus Adi Nugroho bagi kemunculan dua kali orang yang sama adalah di APL ada yang kembar, aku gendruwo. Cinta-cinta'an engga 'ah. Jika aku tidak tahu malu, maka kucatat di sini ikan tongkol lumayan gemuk dimasak entah apa, masih daging semur, kentang balado, karedok, dikuahi soto betawi. Enak, dan aku bayar hanya mape'ol. Aqua gelas.

Satu kesamaan bukan alasan untuk menyapa. Semua orang yang seumuran punya nasib masing-masing, tragedi dan komedi semua terbagi rata. 'Kuyakin. Yang lebih muda, bahkan yang masih kanak-kanak semakin tak terjangkau. Aku jangan egois. Membantu orang lain itu lebih baik. Siapa. Siapapun yang terlebih sampai meminta padamu. Aduhai aku jadi teringat mape'ol lagi. Ini apa semua 'sih. Semua juga tahu bahwa seharusnya semua ini apa, sedang partikel "sih" sekadar penegas, begitu kata Nikodemus Yudho Sulistyo. Soledad njot-enjotan, maka sudah tidak.

Lantas mengapa harus disesali jika ternyata cebong. Cebong dan kampret hanya variasi, sekadar konsekuensi ciptaan. Sampai di sini aku merasa seperti kehabisan bahan bakar, yang bagiku tidak ada bedanya apakah bensin atau solar sekali. Aku bahkan enggan mendaku. Kalau mengaku aku masih mau. Mendaku tidak. Ini menjadi semacam dadaisme. Tidak. Menurut Cantik leluconku sarkas, sedang ada orang yang merasa sarkas, aku tidak. Mengenai orang lain saja. Buat apa. Mengapa benar harus tujuh. Entahlah. Penjelasannya selalu saja mengandung aku, enggan aku.

Baik mari dicoba. Sepi bukan hampa. Kesepaan bukan kehampian. Ini hampa bukan sepi, jika demikian maka ngeri. Ada baiknya segera bergegas setelah ini, siapa tahu kehampian pergi. Apa perlu dicatat di sini kebahagiaan mengenai hidup kembali, memang pernah mati. Jangan-jangan segala sesuatu memang selalu hanya seperti ini. Apa yang disangka belum tentu apa yang terjadi. Segala caci tiada lain upaya kerendahdirian untuk bersembunyi. Jadilah Si Murah Hati, berbesar hati. Siapa tahu ganjarannya sepi. Sepi yang terpuji, karena didalamnya ada hati yang suci.

Saturday, June 01, 2019

Entri Kesepuluh yang Ditulis di Bagasnami


Ini suatu tonggak! Entri kesepuluh yang ditulis di Bagasnami. Kurasa tentu lebih dari sepuluh kali aku ke mari, namun yang didokumentasikan sudah sepuluh. Entri tidak lain sesungguhnya ciptaan yang tidak sempurna, semacam buatan Frankenstein begitu. Sebelum ini aku sempat terpikir ragaan-ragaan Sindhunata mengenai ketidaksempurnaan. Namun aku sedang merasa enggan berolok-olok malam ini, apalagi mengabadikan kejadian dari waktu ke waktu. Lantas mengapa menulis entri. Aku ingin dan memang harus menulis, namun situasi dan kondisi tidak mendukung.


Mungkin ada yang bertanya, (halah!) mengapa melompat dari delapan langsung sepuluh. Sebenarnya yang kesembilan ada, tapi ia diberi judul khusus, yakni Pengalaman Pertama Tarawih di al-Mustaqim. Ya, inilah Entri Kesembilan yang Ditulis di Bagasnami, namun dengan judul khusus. Bukan berarti dalam kunjungan-kunjungan lain tidak ada yang khusus. Tarawih, apalagi di al-Mustaqim, harus diabadikan. Biar kutulis pula di sini bahwa kali ini aku gagal. Di tengah-tengah kotbah sebelum tarawih, dengan berat hati (halah!) aku harus meninggalkan masjid karena dingin.

Betapatah tidak dingin, ruangan bagian depan mesjid untuk jamaah laki-laki saja disembur 12 (duabelas) unit pendingin udara, entah berkekuatan berapa daya kuda; sedangkan pada malam ke-28 Ramadhan ini jamaah sudah tinggal setengahnya. Beberapa malam lalu masih agak lumayan, atau karena aku mengenakan Dani Dahlan Koleksyen, aku tidak tahu. Entri ini bisa jadi mengenai dingin, semoga aku sehat-sehat saja, karena memulai hari saja aku sudah dingin menempel pada lantai kamar Si Gendut. Entahlah. Aku pernah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini.

Amit-amit jangan lagi, kapankah itu. Aku hanya ingat, di bawah teriknya matahari membakar, aku memacu Vario Sty dari Bagasnami sampai Jalan Radio. Seingatku, di Jalan Soepomo aku sempat membuka resleting jaketku untuk membuang panas tubuh, yang berarti mengekspos dadaku pada semburan angin panas. Uah, tidak sanggup lagi aku. Itu, padahal, baru beberapa tahun yang lalu. Mungkin lima tahun. Lima tahun baru. Itu sudah banyak. Sanggupkah aku membayangkan lima tahun ke depan. Sampai hatikah, aku mengetik di teras Bagasnami yang disalon jadi sulap.

Bicara mengenai sampai hati, semoga hatiku tak sampai-sampai. Ketika masih muda dan dungu pun, hatiku tidak pernah benar-benar sampai. Ya, beberapa kali, cukup sering bahkan aku terjerumus. Ingatkah kau akan suatu siang panas bercelana pendek hitam ada kuning-kuningnya, yang di dalamnya ada kancut jala-jala. Berjalan menyusuri hampir ke Condet sampai kembali ke Tanjung Barat pasti membuat selangkangan bau. Lancar sekali kau melukiskannya, beberapa kali lagi. Jagad Dewa Batara! Mengapa sampai hatimu, ini kalimat tak lengkap tak bertanda-tanya.

Kini ketika tamu-tamu berdatangan, mengapa masih ada. Langsung saja kuhapus ragaan payah, ini malah tambah menjijikkan. Ini Ramadhan! Akankah ada lagi entri mengenai Ramadhan yang pergi karena kuabaikan. Haruskah di entri yang terhormat ini kuakui bahwa Ramadhanku 1440 H hancur lebur gagal total. Menahan lapar-hausnya, tapi selebihnya. Apa. Bahkan sampai lupa berulang-kali ini sudah berapa. Di tengah siang hari bolong tidak sanggup menahannya, dengan apa akan kuganti tenaga jatuh cinta. Jangan salahkan sesiapa karena memang tidak pernah ada sesiapa.

Ini entri tanpa tanda tanya, mengenai ketidaksempurnaan. Aduhsay, kurang ajar kau kata ini tidak sempurna. Apa jadinya. Lebih baik kau ingat ketololanmu dengan legendaris mesin tik hijau. Tolol bahkan tanpa keras kepala atas, namun masih sanggup bawah. Ini jelas pengaruh Baton Huda, mengapa kau bawa-bawa ia. Mesin tik hijau, kopi Kapal Api aneka warna, teh mawar, berbungkus-bungkus, berslof-slof bahkan rokok aneka merek. Itu tolol, seperti sekarang ini. Meski sudah Asus X450C, meski sudah merah masih tolol! Ini tak ubahnya, hanya tidak dikirim, sisanya sama!

Friday, May 31, 2019

'ngGeus! Ruksak Hari ke-26 Ramadhan-nya!


Begitu saja aku menekan tombol "new post" seakan tak peduli. Terlalu banyak jenderal ini, daimyo itu beberapa hari akhir-akhir ini. Ini suatu Jumat malam dan ada sambrahan. Apa karena ini Jumat terakhir bulan ini. Manja! Tidak pakai tanda seru juga 'kali. Aku apa. Aku tidak ingin memikirkannya. Lantas apa yang harus diceritakan, masa Cerita Rasa. Mie goreng Jawa-nya seadanya. Tempe mendoan bolehlah, tapi untuk tempat semewah itu. Semuanya bisnis belaka, lantas aku bisnis apa. Aku semata orang gajian. Pengusaha roti rumahan pun memandangku enteng.


Apa semacam pipel pawer enteng-entengan. Yang jelas ini edan-edanan, suasana yang ditimbulkannya. Terlebih dengan kesan dikelilingi Hamdi, Sandy, Takwa dan Steve. Orang-orang hebat ini. Dan Mas Santo begitu saja merusak suasana dengan pertanyaan teoritisnya. Sementara kopi ginseng miwon memperparah dengan menciptakan huru-hara dalam lambung dan kerongkongan. Intinya, suasana hati rusak, namun aku tetap memaksakan menulis. Hanya mungkin terhadap entri. Apapun yang lebih serius dari ini akan gagal total. Siapapun adalah perusak suasana hati!

Namun mari kita coba perbaiki sambil terus berlayar. Mau tak mau aku ingat pada usaha-usaha sia-siaku. Adakah aku percaya sepenuhnya, menumpukan semua harapan padanya, tidak juga dan tidak pernah. Ini pula mengapa habis rahasia-rahasiaan langsung meratap-ratap begini. Mau memaksaku melakukan aerobatik perasaan. Ada di dalam Kemacangondrongan ini beberapa catatan mengenai proyek-proyek kecil yang nyatanya menguap begitu saja di kemudian hari. Akhirnya aku tidak tahan sendiri dan menggantinya menjadi... jiah, mengapa keroncong.

'ngGeus! Ruksak! Mulai lagi dari awal. Satu rumah petani yang letaknya kurang tepat saja dapat membuatku menghancurkan sama sekali sebuah peradaban. Jangankan yang baru mulai tumbuh, sudah abad pertengahan, bahkan abad pencerahan sekalipun aku tidak peduli. Aku ingin bertemu orang yang benar-benar tahu gunanya penerbitan ilmiah, meyakini bahkan mempraktikkannya; karena aku malah terus-menerus membaca cerita khayal. Seakan itu tiada guna, hanya boleh jadi selingan. Kalau tidak berguna mengapa begitu membekas. Mengapa justru membentuk diri.

Entri ini pun, dari segala apapun, tak berdaya. Mengapa pula harus empat. Apa salahnya jika tiga. Mengapa tidak memperingati Hari Pancasila saja. Tidak. Ini memang untuk mengakhiri Mei, maka tepat di harinya yang ketigapuluh satu. Benar memang semata agar empat. Tidak ada alasan lain dan tidak ada pembenaran. Meski angan tiba-tiba melayang ke Armada, yakni, antara gerbang Cimone Permai dan Cimone Mas Permai. Dari masa kecilku, ketika aku seusia kambing balap bau ketonggeng. Begitu saja kuhapus dan aku tidak mau lagi berdoa di sini. Setan atau hantu pocong.

Aku lantas menemukan diriku berulang kali mengecek pratinjau. "Khayalanku tak berdaya, hanya satu impian semata. Khayalanku hanya Bu Susi." Ini juga ciptaanku sendiri. Tidak pernah benar-benar ada yang begini. Ini semata olahanku atas paradoks-paradoks kecil. Apa setelah ini aku mampu berfungsi. Apa yang mau kusalahkan kini. Puasa. Puasa yang sembilan belas jam itu, jika demikian, lebih salah dari yang lebih pendek lima jam ini, di sekitar khatulistiwa. Tidak tahu diuntung. Mau kucaci bagaimana lagi diriku sendiri, bahkan ini saja sudah tidak nikmat.

Sudahlah, tidak perlu kaucaci kurcaci pemakan kwaci. Jika memang sudah berlalu kenikmatan itu, biarkan. Berarti memang harus lanjut ke yang berikutnya. Perasaan tidak merasa apa-apa itu pun sudah tidak apa-apa, demikian Sersan Elias menasihati Chris sambil menikmati asap nirwana. Aku sebenarnya lebih Sersan Barnes dalam hal air api, namun ketuaanku sudah tidak mengijinkan. Jangankan air api, air neraka, asap tembakau saja sudah mengiris-ngiris lapisan epitel lambung. Tidak merasa apa-apa, itu saja yang masih dapat kauharapkan. Meski Proyek Alan Parson, kini.

Monday, May 27, 2019

Pengalaman Pertama Tarawih di al-Mustaqim


Tadinya aku punya ide entri mengenai pengalaman pertama tarawih di al-Mustaqim. Ilustrasi entri ini pun mengenai hal tersebut. Namun, apakah entri ini mengenai itu benar, tiada jaminan. Betapatah aku masih saja tersepona entah setelah seribu malam, setelah hari itu, sampai aku mengambil alih keterpesonaan Art. Apa betul yang memesona, memukau, sedang hari-hariku kini pun penuh sepona. Aku tidak sepenuhnya suka dengan ini semua. Aku lebih ingin segera menjelang suasana gardu belajar.

Dan berapa kali harus kukatakan aku tidak suka berada di awang-awang. Aku bukan orang yang seperti itu, aku menulis ini seakan-akan ada yang peduli. Pesona itu, pesona-pesona itu mana ada yang peduli. Tidak ada. Rasanya sia-sia. Aku hanya harus maju terus sampai tiba waktunya, semoga pada saat itu aku tersenyum bahagia. Tidak seperti yang dilukiskan Syukran, aku tidak tahu haruskah tertawa atau bergidik kengerian. Di atas segalanya, Aku Bahagia Ada Kamu. Mungkin begitu saja perasaanku sehari-hari. Entah nanti di Amsterdam, tapi itu masih nanti.

Lantas Corcovado. Apa gunanya ini semua bagi korban pelecehan seksual oleh seseorang yang kuistimewakan, meski tampaknya ia tidak mengistimewakanku. Meski Kwarta mengatakan aku terkenal, sehingga tidak mungkin Erikson tidak mengenalku seperti ia tidak mengenal Agus Suryadi. Ah, ini seperti entri yang patut, menyebut nama-nama begitu. Haruskah ada entri tersendiri yang menandai berakhirnya Mei, atau cukup ini. Sepertinya harus, maka ini harus diretroaksi, apalah itu kebalikan darinya kemarin. Lupa. Memang sudah berlalu dariku, kini seorang tua.


Baiklah ini entri mengenai pengalamanku tarawih kali pertama di Mesjid al-Mustaqim, Kompleks Kodamar Kelapa Gading. Ya, semata-mata pencitraan, tidak lebih. Hatiku secara keseluruhan nyaman meski perutku kembung hebat, entah mengapa. Aku sepanjang hari itu mengenakan Kenrical, namun beberapa saat sebelum Isya' kulepas karena basah kuyup. Apa harus dicatat bahwa tiga bohong besar dan dua burger keju paketan tidak dilengkapi dengan saus sambal. Apa harus dicatat pula mengenai adanya sebotol saus sambal yang tidak sebotol lagi. Tentu tidak perlu.

Dan ternyata memang tidak sanggup. Hampir saja aku menulis suatu onomatop di sini, yang segera kuurungkan semata karena aku malas memiring-miringkan tulisan. Nah, ini dia sampailah pada Beberapa Malam yang Memesona. Mau sampai kapan, ini sudah seribu malam. Di sini jauh lebih baik, karena di lain-lain tempat aku selalu terdorong untuk pura-pura waras. Di sini aku bisa semauku. Mengapa orang ingin semaunya. Ingin jadi diri sendiri, ingin bebas. Jelasnya, tidak ada, atau tidak banyak, yang menyukai paradoks-paradoks kecil olahanku.


Nah, ini aku akan menghidangkannya pada Pak Joni Supriyanto. Aku siapa. Sukarno. Hatta. Supomo. Sudah gila apa. Aku adalah Papi yang menjanjikan perayaan pada anak perempuan... siapa. Ironis. Tragis. Aku didoakan oleh bapakku untuk jadi... apa. Itu Mungkin Terjadi Padamu. Oh ya. Apakah "oh ya" begini harus dikursif. Persekusi. Dan entri mengenai pengalaman pertama tarawih di al-Mustaqim ini hancur leburlah. Berbulan-bulan aku buntu begini, untuk akhirnya pada suatu waktu nanti tiba-tiba buyar seperti bendungan pecah. Kata profesor siapa begitu juga.

Hidup Memang Sekadar Mimpi. Nanti ada waktunya kita bangun, dan itu pasti. Aku mengetiki sambil telanjang dada begini. Datanglah kemari pada tanganku yang membentang, mengapa kebatan dan kebitan itu terus saja datang, karena jasadku masih berfungsi. Dan aku bahkan tidak berusaha mengingat-ingat penjelasan Ustadz Abdul Somad mengenainya. Apakah benar, seperti kata Ustadz Gunarsa, aku juga ustadz seperti dia. Aduhai "mabuk ayat," jahat benar kata-kata ini. Biarlah. Aku bahkan tidak ingin tahu apa jadinya, apalagi sampai melaknat. Aku sendiri durjana.

Jika Aku Mencintaimu

Sunday, May 19, 2019

Suatu Hari Waisak Tepat di Tengah Ramadhan


Ini perasaan yang aneh sekali. Di hari keempat belas Ramadhan 1440 H ini, aku terbangun jam setengah sepuluh setelah tidur lagi sehabis shubuh. Udara aduhai panasnya, tigapuluh satu derajat celsius dan berkabut panas. Mungkin karena ini semua aku merasa ingin dibelai-belai. Tidak bisa lain aku mengucap Salam Instrumental pada diriku sendiri. Beginilah maka dengan Tarian Terakhir aku membelai-belai diri sendiri. Kadang aku membatin, tarian macam apa Tarian Terakhir ini, dengan ritme dan melodi seperti ini.


Tanpa disengaja memang pas tujuh lima. Namun, sebelum memulai menulis, aku sempat terpikir, tidakkah paragraf seharusnya berhenti ketika satu pokok pikiran habis. Jika begini terus cara menulisku, aku tidak akan pernah menjadi penulis yang baik. Memang siapa yang menyuruhmu menjadi penulis. Dengan segala perkembangan belakangan ini, aku semakin tidak tertarik pada apapun. Mungkin tinggal dinar dan dirham, agar aku dapat membelanjakannya tanpa khawatir. Aduhai ini Matahari Terbenam Karibia memang... membuai. Buaian seperti apa, akan tetapi.

Apakah Hadi dan Mang Imas, lalu beberapa karung semen dan David Hastiadi dalam suatu pesta, sepertinya perkawinan, yang mewah. Sungguh aneh sekali. Kurasa ini gara-gara tidur dalam suhu tinggi. Lantas roti-roti berisi es krim yang cantik itu, seperti neapolitan begitu, apa karena aku sedang berpuasa. Lumayan sih idenya, daripada es krim korma. Saking terbatasnya imajinasi, beberapa hari ke depan ini menuku adalah gudeg-gudegan, sambel goreng-sambel gorengan krecek, masih ditambah pare berteri dan sedikit udang bersambal.

Semua tidak menjadi masalah. Dengan segala perkembangan termutakhir, jangan-jangan ini caraku meninggalkan kenikmatan rendah. Eits, nanti dulu. Bagaimana dengan Salam Instrumental ini. Ini kurasa masih nikmat, meski aku sudah tidak berusaha menambahnya. Itulah mengapa orang-orang tua suka mengulang-ulang, karena mereka sudah tidak bertambah. Mereka hanya tinggal menunggu, dan itu manis. Apakah masih ada kasih-sayang dan kelembutan cuaca dan iklim bagi mereka. Apakah masih ada sore-sore hari yang nyaman, mengalun, membuai seperti khayalanku mengenai masa kecil.

Ini belum sore, jelasnya. Dan sore ini bisa jadi aku tidak perlu melihat jalan sama sekali mengingat tumpukan persediaanku. Tidak tahu jika Cantik punya ide-ide nanti. Aku bahkan tidak bisa menamatkan semangkuk es teler Snar Guitar. Terlalu berat untukku, apalagi sop duren. Sedang semua grup WA sama saja rasanya, Senin ini aku harus memenuhi janji. Semoga cuaca Senin bersahabat, karena ada kemungkinannya aku harus berbuka di luar. Uah, jelas bukan begitu puasa yang ideal bagiku.

Lantas bagaimana. Apakah puasa dari masa-masa yang lebih muda. Aku bahkan tidak berdaya, tidak ada dorongan untuk mengingatnya, apalagi melukiskannya. Coba saja lihat entri-entriku dari 2007, itu ada mengenai puasa. Namun, tanpa mengingatnya, yang terbayang justru Sopuyan. Mungkin juga Bangded yang kehilangan cinta hahaha. Ya, itu kenangan favorit. Salah satunya. Aku masih ingat rasa badan menunggu buka sambil mendengar-dengarkan Mocca. Itu kali pertama aku berkenalan dengan Kamu, dan aku bahkan saat itu tidak sedang bercinta.

Uah, lancar benar, kecuali selingan memasang saringan keran. Itulah kenyataan hidup, dan aku suka. Sungguh tak terbayang olehku mereka yang masih peduli masa depan, padahal sudah sebayaku. Mereka yang masa kecilnya ditingkahi majalah Bobo. Ahaha, satu lagi kata yang akan sirna ditelan jaman. Majalah. Kemana perginya majalah-majalah masak-memasak, dengan segala fotografi, disain dan tata-letaknya. Itu baru cara ideal merintang waktu menunggu buka, dari masa kanak-kanak. Nah, sampailah aku pada Tarian Terlarang ini, setelah sekian lama...

Sunday, May 05, 2019

Entri Kedelapan yang Ditulis di Bagasnami


Seperti sudah menjadi tradisi, (halahmadrid!) tiap kali kunjungan ke Bagasnami pasti ada entri mengenainya. Mengapa demikian, aku juga sudah tidak ingat. Apakah semata karena agar ada entri berseri, atau setidaknya adalah, di antara entri entah-entah, entri yang koheren. Nyatanya tidak juga, kurasa beberapa entri terakhir mengenai Bagasnami sudah mulai tidak koheren. Aku bahkah tidak ada dorongan untuk memeriksa kapan terakhir ia koheren. Ini mengerikan. Apa bisa orang yang tidak peduli rincian sepertiku menjadi seorang etnografer.


Tuh, lihat. Belum-belum saja sudah tidak koheren begini. Hanya saja harus dicatat, kali ini berkunjung ke Bagasnami tepat pada hari terakhir Sya’ban 1440 H. Berarti nanti malam sudah tarawih. Yang jelas kami belanja bulanan, Afi, Oma Lien, Tante Anthi dan Oom Bono. Kami pergi naik Gokar ke Transmart. Begitu sampai langsung cari makan, pilihannya sop ikan atau burger. Adalah Oma Lien yang tanpa ragu memilih burger. Hari terakhir Sya’ban 1440 H ini, Transmart lumayan ramai.

Demikianlah kami berempat memakan Whopper. Hanya saja, jika Afi, Oma Lien dan Tante Anthi makan Whopper biasa yang paketan, aku memesan Whopperdamaian, yang dalam penampil pesanan ditulis “Damn.” Oom Bono pesan Damn yang ukuran besar, jadi seperti buto ijo begitu, karena memang rotinya diberi pewarna hijau. Aku tidak tahu apakah rotinya juga pedas, yang jelas di dalamnya diberi saus keju jalapeño begitu, jadi agak pedas. Selebihnya tidak seberapa berkesan, atau memang sekarang makanan apapun begitu.

Mungkin tidak juga, buktinya dari sebelum berangkat ke Amsterdam sampai sepulangnya untuk penelitian lapangan ini, aku tidak bisa benar-benar melupakan Stipwong. Apanya sih yang istimewa, entahlah. Yang jelas dalam beberapa bulan terakhir ini aku beberapa kali ke sana. Makanan memang menjadi satu-satunya kesenanganku sekarang. Itupun sudah tiada seberapa. Kurasa waktuku angah-angah makan memang sudah berlalu. Sekarang aku benar-benar sulit mengingat betapa Beef Poverty-nya McD pernah begitu berkesan untukku, sampai kutunggu-tunggu kehadirannya kembali sekitar Lebaran Imlek.

Sementara Oma Lien, Tante Anthi dan Afi berbelanja bulanan, aku menunggu di café terbuka di bawah estanatong, yang aku lupa apa namanya. Tadinya aku memesan chai latte, ternyata habis. Ya sudahlah, cokelat panas saja, yang ternyata sangat bersahaja untuk harga limapuluh ribu Rupiah. Yang penting aku bisa duduk pas di pinggir pantrinya sambil mengetik sesuatu yang [seharusnya] berguna. Bukan entri, yang jelas. Ketika itu, gagasan-gagasan mengalir begitu saja, seperti sekarang ini, meski tidak yakin benar-salahnya.

Demikianlah, selesai belanja bulanan kami pulang ke Bagasnami naik Gokar lagi. Sesampainya di sana aku kembali mengetik, bahkan sampai waktu maghrib lewat. Aku bahkan masih sempat melompat dari duduk bersilaku untuk memanggil mie dok-dok Surabaya. Beli tiga porsi, ternyata Mama juga ikut dahar. Ketika sedang dimasak pesananku itulah hujan mulai turun, makin lama makin deras. Selesai shalat maghrib yang dijama’ qashar dengan isya’, memesan Gokar hanya untuk mendapati tarifnya naik dua kali lipat dari biasanya!

Aku dan Cantik bergolek-golek di bekas kamar Papa yang ber-ac, aduhai sejuknya. Oma Lien dan Afi pergi menembus hujan untuk bertarawih perdana di Ramadhan 1440 H ini. Ihza konon mengeram saja di kamarnya. Sampai setengah sembilan baru harga berangsur normal, itu pun Grab. Berangkatlah kami pulang. Syukurlah kami mendapati Pak Sopir seorang pendiam, jadi sepanjang perjalanan aku dan Cantik saja yang berbincang-bincang. Pak Sopir tidak meningkahi sepatah kata pun. Demikianlah kunjungan kali ini ke Bagasnami.

Tuesday, April 30, 2019

Ada Clepretan Cajun Merah Panas di Layarku


Eksibisi tanpa bergantung pada lima-dua-lima atau pratinjau bisa tidak, 'sih. Ini pulak disambut dengan Bahama Mama, setelah ini apa lagi. Si Anjrit, ini apa lagi, Kehidupan di-remake. Ampun 'deh. Akhirnya kuhentikan semua kecerdasbarusan itu. Kuganti menjadi... Badai! Padahal aku baru saja mendapat kebatan: Kecanduan feromon. Ahaha... ini seperti Debbie atau entah apa, seingatku di Tanjung Barat dan sekitarnya. Feromon, terlebih ditingkahi Jaman Aquarius. Tidak, aku tidak peduli. Lantas kalau bukan lima-dua-lima atau pratinjau, apa patokannya.


Semua ini tiada lain kebodohan masa muda. Siapapun! Tiada terkecuali, tanpa peduli. Sedang membicarakan kebodohan masa mudaku sendiri saja aku sudah tidak seberapa berminat, terlebih membicarakan kebodohan masa muda orang lain. 'ngGeus! Ruksak!

Eh Si Tolol, kamu malah menulis apa. Apa akan kau biarkan yang seperti itu masih mengharu-biru tiap desahan, tarikan dan hempasan nafasmu. Ah, aku benar-benar membutuhkan kegesangan dalam situasi seperti ini. Paradigma Gramscian jelas tidak memadai, apalagi Jimlyan. Untunglah yang menggantikannya bukan ketikanku. Ketikanku ya tiada lain lagi. Sebenarnya akan selalu begitu. Aku kembali di sudut ini, mempertaruhkan aroma alami pakaianku melawan bau gorengan. Hei, kamu harus buat presentasi ‘kan. Apa tidak malu pada Pak Dedi Adhuri.

Lebih ngeri lagi, kamu ‘kan harusnya buat laporan penelitian lapangan. Eh Si Tolol Aseli. Ini malah sekarang duduk menghadapi tulisan “Memasak dengan cinta memberi makan bagi jiwa,” yakni di sebuah warung bakso yang didirikan oleh seorang Ki Ageng. Seorang Ki Ageng atau keturunannya di era dijital ini cukup memastikan agar bakso yang dijual di warungnya sedikit mengandung boraks, lebih dominan dagingnya; hal mana membuatku tak suka. Dan menyelang-nyeling Jembatan di atas Air Bergolak dengan Biarkan, sekira empat puluh tahun lalu mungkin memang jenial.

Bagaimana dengan kini. Cukuplah disyukuri bila malam masih muda sedang sudah lengkap lima kali shalatku dalam sehari ini. Meski perut menggembung seenaknya, setidaknya tidak ada cewek genit yang suka ngerjain bapak-bapak empat puluhan, yang bernama Cinta. Tentu tidak, karena adanya Cantik. Sebuah Bangku, Sebatang Pohon, Seruas Jalan terasa sedap-sedapnya dari empat puluh tahunan yang lalu. Jangankan sampai empat puluh, agak tiga puluh tahunan yang lalu saja Kesepian bisa begitu sedap, meski mungkin mendekati tengah malam, mungkin sekitar jam sepuluhan.

Sejauh ini aku memang tidak menggunakan tujuh-lima, namun belum jaminan aku tidak akan umek dengan pratinjau. Betapalah aku tidak akrab dengan aransemen-aransemen ini, dengan intro-intro yang kudengar sejak kecil, yakni dari musik-musik Ibuku. Ibuku ketika masih perempuan muda, seperti mahasiswa-mahasiswaku kini. Aku melihat mereka seperti anak kecil, seperti anakku sendiri. Kini. Aku memang bapak-bapak botak gendut. Aku bahkan bukan Paman Kakek bertas-perut yang dapat bicara. Aku sekadar bapak-bapak berpecis kaji hitam, kembung.

Jika sudah habis begini bagaimana, Kisah Cintanya. Jika tanpa patokan apapun kapan berhentinya. Berarti benar hampir setiap rilis Ibu membelinya. Bahkan anak perempuanku tahun ini Insya Allah berumur dua puluh tahun. Aku dahulu empat puluh tiga, ia menyusul dua puluh beberapa minggu kemudian. Aku Benar-benar Ingin Bertemu Denganmu, Tuan Manisku! Sedang Tuhan hanya plesetan dari Tuan. Eh Ki Ageng memang beda dari Sayap Berhenti. Namanya Ki Ageng ya harus merakyat dong. nDeso begitu. Jangan kayak tentara jaman sekarang. Entah-entah.

Kalau begini terus lalu kapan berhentinya. Demikianlah ratapan guru SMK yang mirip Suneo. Setelah agak dua hari dirundung pegal linu di sekujur otot dan persendian, kini tinggal tersisa di leher belakang sebelah kanan. Patutlah dicatat bahwa semenjak Jumat minggu lalu Jakarta dan sekitarnya dilanda cuaca ekstrim, yang memancing cebong-cebong untuk bercerowet bersukaria. Yah, namanya saja cebong turunan kodok ya pasti senang jika hari hujan, apalagi malam, terlebih sampai banjir merendam. Herannya, mengapa kampret-kampret sibuk meningkahi cerowetan itu.

Harusnya ‘kusudahi di sini juga. Namun jika 'kusudahi lalu apa. Daripada tidak berhenti sampai Cantik datang menghampir, aplotlah entri ini. Mungkin kau bisa menunggu Cantik kembali dengan segerobak belanjaan bulanan sambil membaca-baca karya eksibisimu sendiri. Apa ini harus ditempelkan begitu saja ke “kecanduan feromon” yang pernah mengilhamimu beberapa hari lalu, ketika masih April. Ini sudah Hari Buruh, berarti sudah Mei. Berarti April hanya punya tiga entri. [Ini mengapa Tante Agatha seperti ada suara-suara munyuk begini ‘sih.]

...tapi 'kuretroaksi