Saturday, March 20, 2021

Roku Gering Berlolai-lolai. Bobby Farell


Tadinya di judul itu ada Si Anton. Namun setelah 'kupikir-pikir, Bobby Farell yang melompat-lompat berkeliling-keliling panggung tidak kalah lucunya. Jadi begitu 'lah, petang hari ini aku ditemani kelentang-kelenting piano yang mengaku paling cantik, ditingkahi gericik air dari pancuran bambu. Semua ini dalam upaya mengelabui diriku yang kesepian di dalam sel berukuran 26 m2, yang meski lapang namun tetap saja mengungkung. Asaptaga, dia mengaku paling cantik tapi begitu mainnya, meleset nadanya, sedang badanku di pergantian hari ini terasa masih kurang yes.


Ah, ini pas madunya, sehingga teh lemon jaheku tiada terlalu manis. Benar-benar nekad ini orang memainkan nomornya Philippe Pages. Terserah dia 'lah, yang penting air terus bergericik dari pancuran bambunya. Membawa kenangan melayang ke Magelang, di mana itu, rumah Oom Nonong, atau bahkan selokan di Taman Safari, Cisarua. Dari kecil pun aku tidak suka jalan-jalan. Aku suka jalan-jalan hanya jika sudah sampai di rumah, seperti ketika 'kupandangi bulan purnama di sisi kanan HS-748 dari Surabaya ke Jakarta. Selebihnya datar, tak banyak berkesan.

Mungkin berkesan juga, sampai 'kugambar di buku tulis sebuah biplane. 'Kukhayalkan aku yang menerbangkannya, sedangkan malam berbulan purnama. Kata Mappa, sewaktu SMA aku suka membuat sketsa-sketsa heroik. Setelah tua, aku tidak pernah lagi menggoreskan apapun untuk menggambar. Kerjaku begini saja, bereksibisi. Sedang Tadamichi saja sebenarnya ingin jadi jurnalis, namun berakhir tanpa sesiapa mengetahui. Adakah aku menyukai heroisme atau heroisme tragis. Tentu saja, tidak penting apa yang 'kusukai. Terlebih yang 'kuinginkan, tiada sesiapa peduli.

Uah, entah pancuran bambunya, atau gericik airnya, atau kelentang-kelenting pianonya, yang manapun, nyatanya lumayan membuatku rileks, meski badanku masih terasa kurang yes. Sekarang ini malah ia memainkan salah satu favoritku sepanjang masa. Judul entri ini tadinya 'kubuat dengan perasaan hati antara riang dan jengkel. Riang berlolai-lolai, jengkel beroku gering. Lolai-lolai di ambang malam begini ternyata bisa mencekam, maka 'kubatalkan, sedang aku tidak jengkel lagi pada roku gering. Maka tidak perlu lagi Si Anton. Bobby Farell pun t'lah cukup.

Ada juga hari-hari badanku terasa seperti ini, sedang begitu saja melangkah gontai ke arah kamar Qodir, menemukannya sedang menonton apapun. Memang seharusnya begitu. Di sini pun seharusnya begitu. Beda 'lah. Di sana dahulu dunia bebas. Bahkan bisa saja aku menemani Babe Tafran minum gahwe sambil bercerita-cerita entah-entah. Itu sudah lebih dari lima belas tahun yang lalu. Segala sesuatunya juga sudah jauh berubah, termasuk diriku sendiri. Sudah tidak waktunya lagi bebas-bebas saja. Semua ada aturannya, meski semuanya saja Insya Allah akan berlalu.

Dapat juga kenanganku begitu saja melayang ke Mesjid ARH di petang hari begini, sedang badan pun tiada begitu yes, namun tentu masih ada satu kelas lagi. Jika tidak buat apa aku berbaring-baring di ARH. Ah, perjuangan mencari uang. Adakah ini istirahatku darinya. Tidakkah ini memang yang 'kucari. Pelajaran yang dapat dipetik darinya adalah, jalani saja. Apapun itu jalani saja dengan hati disenang-senangkan, dengan mengucap syukur kepadaNya. Tidak di sana, terlebih di sini, nikmati apa adanya. Seperti gericik air dari pancuran bambu ini, 'duhai menenangkan.

Apakah itu Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu, atau sekadar orang berkemah sedang tendanya nyaman, menemaniku melewati awal malam sampai tiba waktu tidur. Begitu saja terus sampai aku lupa adakah hari-hariku yang begini benar. Pasti ada, jika tidak bagaimana aku sampai bisa melakukan ini. Aku tidak ingat hari-hari bersama Nona Prym, atau Siti Kejora, atau Ca Bau Kan, dan masih banyak lagi. Pasti sama saja. Tidak pernah benar-benar ada kebebasan di dunia ini. Bahkan jika sampai koq terasa bebas, tepat pada saat itulah kewaspadaan harus ditingkatkan.

Saturday, March 13, 2021

Pingpong Melayu, Bola Pingpongnya Melayang


Aku mengetiki. Lagi. Bukan karena sedang ada yang tidak beres denganku. Kalau itu sih kapan aku beresnya. Di siang hari Sabtu yang mendung berbadai ini, di Amsterdam Utara sini, tidak banyak yang dapat 'kulakukan selain mengetiki. Ditemani oleh anakku genduk Tiara Andini menyanyikan Gemintang Hatiku dengan riangnya, seorang paruh baya, gendut, botak mau apa lagi. Bisa apa lagi. Daripada main Pingpong Melayu yang jelas menguras tenaga lahir batin, mengetiki jauh lebih kecil risikonya. Biarlah pula entri menjadi banyak, tiada juga yang 'kan peduli.


Lantas seorang dokter teman seangkatan dr. Nuri Purwito Adi diceritakan tengah mengkhayalkan Sophia Latjuba. Jih, dari awal kemunculannya saja aku tidak pernah tertarik. Sungguh daripada itu, jika dijejerkan sekali, aku tidak akan berpikir dua kali untuk memilih Pingpong Melayu. Untunglah bukan lagi waktuku untuk memilih apapun, selain menahankan segala sesuatu yang dihamburkan padaku. Seperti kesepian ini. Aku burung dalam sangkar, entah kapan aku 'kan lepas bebas. Kembali makan pagi mie ayam Donoloyo atau nasi uduk Bandung, apapun yang 'kuinginkan.

Kini anakku Ziva Magnolya menghiburku. Dalam kesepianku, aku beruntung anak-anakku ini masih menemaniku dengan suara-suara mereka yang cantik. Terkadang terlintas di benak, adakah suara Pingpong Melayu merdu. Seandainya merdu, mungkin ia tidak harus membiarkan mulutnya disumpal kesialan. Bukan saja tujuh turunan, melainkan seluruh bangsanya. Aku tidak akan mendramatisir seakan bangsa sial menyanderaku, karena ini sepenuhnya tanggung-jawabku sendiri, mau-mauku sendiri, seperti makan siangku di belakang Kartika Chandra.

Aku lupa apakah aku juga dapat sepaket Hokben setelah makan siang itu, atau apakah pada hari itu pula aku naik Hyundai H1. Aku juga tidak tahu apakah Pingpong Melayu merasakan hidup semewah itu, naik turun mobil mewah. Bisa jadi, bisa juga tidak. Memasuki alinea keempat ini sungguh aku merasa bodohnya, karena kalau tidak bodoh ya rasa lapar yang menjelang. Entah bagaimana angan melayang ke restoran Hotel Santika Petamburan yang beberapa kali 'kukunjungi, sedang Hotel Santika Margonda, Depok menyisakan kesedihan seseorang yang tidak dianggap.

Yakin masih ada Pingpong Melayu di alinea ini. Aduhai di luar angin bergemuruh menghentak-hentak sudah dua hari ini. Memang kalau tidak angin kau sudah berani berjalan-jalan ke mana-mana. Entahlah. Haruskah 'kukutuk semua orang yang menertawakannya. Haruskah 'kubiarkan dunia tahu sakit hatiku. Jika sekadar komentar tidak menarik atau lelucon tak lucu bisa saja kuabaikan. Namun insinuasi itu haruskah tiap-tiap kali 'kukutuk. Ah, daripada mengutuk, lebih enak nasi uduk. Biarlah seluruh dunia merasa lebih baik, aku toh buruk, tiada perdebatan lagi tentangnya.

Pingpong Melayu mengingatkanku pada masa mudaku, meski kini aku meminum teh lemon jahe yang jelas tidak mungkin 'kulakukan di masa mudaku. Kopi hitam pahit, bir hitam juga pahit, menemani Djarum Super yang manis sak taek. Apakah sebelumnya nasi tim babi, bisa jadi. Apakah ditemani Atiek CB, pun 'kualami. Betapatah tidak begini jadinya hidupku, dengan semua pengalaman itu. Masih untung diberi kesempatan untuk menghirup harum sajadah, atau terkadang bacin apak juga. Masih untung punya kesempatan menunggu-nunggu datangnya Bulan Suci Ramadhan.

Ternyata Pingpong Melayu terus muncul sampai alinea terakhir entri ini, ketika begitu saja aku terkenang Nasi Ibu Tamin. Apa yang terjadi padaku sampai pikiranku makanan tok akhir-akhir ini, sampai termimpi-mimpi. Apa kau lupa hari-hari tak beruang, bahkan tak tahu dari mana, bilamana datangnya. Apa kau lupa menghitung dan mengelompokkan koin untuk ditukar di Indomaret. Apa kau lupa mengeraskan hati menghubungi Sopuyan pinjam uang. Semoga tidak ada yang terlupa mengembalikan, seperti halnya tiada terlupa rasa tak punya uang, mendera berulang-ulang.

Tuesday, March 09, 2021

Kiska, Lari Susu, dan Lari Kering. Pemulung


Masa-masa yang... masa membuka entri dengan masa-masa. Jika aku belum mengetik apa yang harus kuketik, aku tidak mau menggunakan daftar-mainku yang standar. Dan aku, memulai kalimat dengan "dan", sudah seperti tukang patri di Jalan Ampera, yang terpincang-pincang namun masih terus mengecrek kecrekannya. Seperti berpuluh-tahun telah dilakukan semua tukang patri untuk memberi tahu calon pelanggan mengenai keberadaannya. Seperti tukang patri, aku tidak tahu apakah masih ada lubang panci yang harus ditambal, masih dari panci berlubang.

 
Adakah yang begitu indah, seperti menulis entri di pagi hari Senin. Sedang pakaian belum ganti mungkin sudah seminggu lebih, sedang kemarin atau bahkan kemarinnya dulu belum mandi-mandi. Secangkir susu kedelai dikotori aroma kopi, setelah semug besar teh putih beraroma jeruk dan jahe mungkin. Ketika kunyahan anjing dan lolongan anjing sudah tidak ada bedanya. Ketika kenistaan diulang-ulang sejak lepas balita, yang 'kudapati adalah perasaan kebelet berak di Amsterdam. Syukurnya sedang lokdon dan kurfiu diperpanjang. Jadi saat-saat terakhir pun tak mengapa.

Mingkinan lama mingkinan jijiq saja, namun 'kan 'kukenang selalu. Akan terbaca olehku suatu saat nanti kelak di kemudian hari, masa-masa ketika seringnya padat dan cantik. Jarang, hampir tidak pernah benjret. Kesepianku, sedang aku sekadar mendemagogi diri sendiri. Mana ada kata kerja begitu. Apa peduliku kalau yang peduli hanya aku dan kenistaanku. Selalu 'kulakukan jika aku sedang ingin bersenang-senang, atau merasa nista. Biar 'kutambah pada judul, atau jangan. Biar 'kutelan sendiri saja, nanti pun akan lewat dengan sendirinya, benjret atau padat dan cantik.

Lebih daripada diberaki, aku lebih tidak suka memberaki. Aku tidak peduli kalau lubang mulutku jamban atau bukan, tetapi lubang mulut orang lain sedapat mungkin bukan jamban. Lebih daripada disakiti, aku lebih tidak suka menyakiti. Aku tidak peduli jika harus hancur luluh, tetapi orang lain sedapat mungkin jangan. Kecoak sialan itu mendapati hidup yang lebih puitis dariku, aku tidak suka. Meski lebih tidak suka lagi aku, mengapa harus lebih puitis hidupku dari orang lain. Biarkan 'kubersanjak tentang ketiak penuh berambut seorang pelacur tua, tepat pada ketiaknya sekali.

Akhirnya kata itu yang 'kugunakan untuk mengindikasikan pada judul, bukan cahaya mata. Mengapa, berjalan di pinggir rel dari Barel FH sampai Pondok Cina, terbirit-birit ke Masjid UI bahkan sebelum subuh. Mengapa, berak di lantai tiga atau empat Gedung C FHUI seraya menahan sakit. Jangankan aku, tidak ada yang menginginkan anak pemulung. Apa yang 'kupulung, sekadar upil dipulung-pulung. Aku pun pernah terpincang-pincang berhari-hari setelah berak itu. Sembuh juga. Anakku anak pemulung itu lebih edan lagi. Takut sama om-om, ceunah. Telek benjret!

Astaga, kau jelek meski tidak sampai sekali. Namun justru karena itu ada kedut-berkedut. 'Kuakui, aku belum pernah benar-benar mencoba yang padat dan cantik, seperti yang dikatakan orang-orang itu. Rata-rata yang 'kucicipi mendekati benjret, ya, seperti kecepret begitu. Aku masih ingat, di masa mudaku, aku merayap-rayap mencoba meraba, menjilat telor ceplok. Dan dia memaafkanku, telor ceplok itu, bahkan sayur labu santan putih sekali. Entah sudah berapa telor ceplok 'kulahap, 'kukeremus dalam hidupku. Masih mau lagi, itu goblok namanya, digoreng air atau minyak.

Seperti itu kelakuanmu dan kau mengharap kehadiran seorang anak. Baek-baek jadi Mas Guruh 'ntar. Amit-amit. Tersenyum saja sulit, apalagi sampai tertawa terbahak-bahak, karena memang sudah bukan masanya. Kasir, kadal, kaplok, kampret masih bisa memaksa sesungging. Selebihnya pasti gagal. Kalaupun sampai tersungging, pasti penuh arti. Bagaimana mungkin Tunggul Ametung memerawani Ken Dedes jika bukan gara-gara relasi kuasa. Aduh, jangan dulu. Itu untuk kalau benar-benar menulis. Jangan untuk berolok-olok. Entahlah. Seperti biasa, aku tak pernah tahu.

Tuesday, March 02, 2021

Ninabobonya Negeri Burung Belum Berakhir


Kemarin sore setelah bimbingan, seperti biasa aku gundah durjana. Di gedung tiada sesiapa. Mungkin ada Jeng Arum, tapi sudah gila apa. Tiada lama setelah selesai bimbingan, waktu maghrib tiba. Shalat dulu, langsung berpakaian dingin dan menyongklang vanmoof putih. 'Kulihat di dermaga masih agak sebelas menitan sebelum feri dari tapsiun sentral datang, maka berkeliling dulu aku di lapangan NDSM. Dari tepi air dapat 'kulihat feri melaju dengan kecepatan penuh mendekat. Segera 'kupacu (halah!) vanmoof putih ke dermaga. Tepat sekali. Feri merapat, aku juga merapat.

Tanpa kuduga Gerardus dan Gregorius justru berjalan ke arahku. Namun seorang operator berpengalaman sepertiku tidak akan mudah terbongkar. Maka lewatlah mereka di depan hidungku tanpa prasangka, sampai ketika 'kubentak mereka terperanjat. Berlalulah kami ke Albert Heijn. Masalahnya rantai vanmoof putih belum ada kuncinya, jadi tidak berani 'kutinggal masuk. Itulah kurasa waktunya, ketika menemani vanmoof putih, aku ingat menggosok-gosok lengan atasku tanda-tanda kemasukan. Jojon benar. Dewi Sinta suka masuknya lewat ketiak atau sekitarannya.

Gregorius ternyata sedang semangat menulis. Maka setelah menyiapkan pecel ayam pedas masih dengan sate ayam tak bertusuknya, ditambah semug lemon jahe hangat yang membuatku sulit mengunci pintu, aku menyatroni Gerardus yang ternyata sedang membuat bihun. [Asaptaga, kalimatku seperti disertasi hahaha] Gerardus mengubah tata-letak studionya, dengan tambahan beberapa perabotan baru. Ia seperti membuat semacam "sudut ngencuk," 'ngakunya kata Yudha, dekat jendela. Aku duduk di situ, sedang Gerardus menyiapkan bihun goreng.

Begitulah jika dengan Gerardus, aku menjadi semacam pengamat musik ala-ala. Nampaknya itu topik yang nyaman baginya jika denganku. Ada orang yang bisa memaksakan topik-topik yang disukainya pada orang lain, antara lain Gerardus itu. Aku tidak. Aku jadi ingat Kolonel Henggrho. Ia pernah bilang begitu juga, seraya membandingkanku dengan IGMA Gatot Suprapto. Dengan ini mungkin berakhir laporan pandangan mataku, kembali pada pandangan mata batinku [halah!]. Intinya, aku terbangun keesokan subuhnya dengan perasaan seperti kemasukan. [Semoga tidak]

Bicara mengenai mata batin, [halahmadrid!] jika 'kupikir-pikir, Belanda ini koq ya adanya matryoshka, padahal 'kan harusnya di Rusia sana. Kali ini, urusanku dengan matryoshka sebatas meteran air saja, atau benarkah Bo 'naksir Kristina. [emang gua pikirken] Dulu ada juga kiludidu 'sih. Ah, rasa di lengan atas ini cukuplah sebagai penyaman, meski, seperti yang 'kukatakan pada Gerardus semalam, ini tidak akan berakhir sebelum berakhir. Maka jangan bicara, bahkan jangan sampai terlintas di kepala, mengenai keberakhiran. Jika subuh ini lengan atasku nyaman, ya sudah.

Barusan 'kuhangatkan lagi seduhan rempah-rempah Bengal, setelah satu pak snek beras dari Bang Noor akhirnya tandas. Maka ketika 'kusruput aduhsay agak menyengat, mana lagunya September begini. Yakin pada doa Bapak, sudah itu saja. Meski terasa seperti hinaan "Nabi Bono" itu, tapi Insya Allah aku berprasangka baik. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud, hanya saja seperti yang 'kutulis sendiri, aku memang naif. Tidak apa-apa, aku suka dengan peran ini. Beberapa orang mungkin tidak akan percaya. Tugasku hanya memainkannya semeyakinkan mungkin.

Ba'da subuh ini, aku ditemani Ray Conniff dan orkestranya. Jangankan di sini, di manapun, kapanpun, teman selalu menjadi masalah bagiku. Seperti kata Ryan: "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik." Jadi ingat Profesor Martani Huseini: "Jangan menyerah. Jangan menyerah. Jangan menyerah." Aku tidak akan berolok-olok mengenai apapun di titik ini, meski blog ini penuh berisinya, seperti halnya kepalaku. Setidaknya tidak pagi ini, yang kini sudah merekah membawa terangnya hari. Suatu hari baru penuh harapan.