Monday, November 29, 2021

Gojira: "Belum Ada Judul Sudah Ada Gambarnya"


Demikian kata Gojira kepadaku, setelah ia seenaknya saja mencak-mencak di atas loteng rumah yang digunakan rapat oleh Yakuza. Terlebih konyol, ketika Yakuza bertanya siapa di atas, ia malah meraung-raung memperdengarkan suaranya. "Aoo... aoo...," begitu bunyinya. Yakuza lantas saja menyimpulkan, "Oh, Gojira... Hah, Gojira?!" Lantas ditembaki dan ditusuki langit-langitnya. Untunglah ada Buri-buri Zaemon, pahlawan super yang kekuatannya adalah sanggup menghabiskan bento alias nasi bekal. "Itu sih tidak perlu menjadi pahlawan super!" raung Yakuza jengkel. Itulah yang tersisa dari kesenangan di masa lampau.

Merpati Putih, sementara itu, sampai punya rumah seperti yang terlihat di gambar di atas ini. Itu baru lantai dasar, ada lagi lantai atasnya. Rumahnya sudah penuh berperabotan. Bahkan aku lihat di kamar mandinya tadi ada ember untuk memandikan bayi. Sudah bertelurkah ia. Sudah menetaskah telurnya. Astaga, hidup. Aku sedang menyaksikan bagaimana hidup perlahan-lahan bertunas, kuncup mengembang mekar. Hidupku sendiri adalah kelopak-kelopak bunga diinjak-injak drubiksa durjana dibantu prajineman, balangatandan, dan lain-lainnya. Aku menyeringai menjijikkan begini jadinya.

Beberapa tahun yang lalu, sekitar empat tahunan, beberapa malam aku sempat terpesona. Kini mungkin aku terpana. Aku bahkan kehabisan kata-kata untuk menyandi dan meragakan hidupku sendiri. Lagipula, ini apa sebulan penuh setiap hari ada entrinya. Bilakah berakhirnya, berganti menjadi kemajuan dan perkembangan. Aku mengapung-ngapung begini di tengah sisa-sisa pesona dari empat tahunan lalu. Seringaiku pasti tolol, atau malah menakutkan, tapi aku tidak takut. Aku tahu bahwa pesona seperti itu tidak akan pernah hampir padaku, apatah lagi menetap. Itu bisa saja terjadi padamu.

Namun tidak padaku. Haruskah aku merasa beruntung menyaksikan pesona indahnya kehidupan yang bermekaran di sekitarku menebar wanginya semerbak ke enam belas penjuru mata angin. Aku mahluk si buruk rupa yang tiada istimewa kecuali bentukku yang serta-merta membuat dunia bergidik kejijikan. Benakku dapat mencipta dunia yang persis seperti persekitaranku namun sama sekali berbeda dalam perjalanannya. Bahkan di dalamnya dapat aku hentikan perputarannya, aku putar-putar sesuka hati ke arah manapun aku suka. Ke atas, ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, semakin cepat, semakin cepat.

Hidup di punggung Bumi ini sekadar mimpi. Aku hanya bisa berharap ketika terbangun nanti aku tidak tergeragap, tidak terhuyung-huyung. Semua keindahan mimpi ini hanya menguatkan harapanku akan terbangun nanti. Biarlah semua keindahan ini berkelebat dan berkelebit di sekelilingku. Aku hanya memutar-mutar kepala botakku memandangi sambil menyeringai tolol. Apakah tanganku menggapai-gapai, aku rasa tidak. Tanganku hanya bergerak ke atas, ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, semakin cepat, semakin cepat, dan semoga tidak lagi seperti itu sesegera mungkin. Biar ia terulur meminta saja.

Lagipula, keindahan memberondong tidak henti-henti, seperti senapan mesin yang terus-menerus dilayani dengan bandolir tak terhingga, yang larasnya mungkin sudah tidak terbuat dari logam lagi, yang karenanya tidak panas-panas. Keindahan seperti semburan api bagi anai-anai, yang tolol menghambur ke arahnya dan musnah terbakar, meninggalkan bau seperti udang bakar atau sejenisnya. Coba kerjap-kerjapkan mata, usap-usap dengan tangan atau punggungnya, apa yang dikira keindahan ternyata tidak segitunya. Selalu saja begitu tidak pernah tidak, selalu saja dari entah lagi sejak kapan.

Lagipula, semua sama saja pada hakikatnya. Apa yang dikira pilihan-pilihan, apa yang dikira macam-ragam, tidak lebih dari tipu-mata, seakan-akan ada kolam sejuk penuh air berlimpah-ruah di tengah gurun pasir yang membara membakar harapan hidup. Aku bicara begini seakan-akan aku lelaki paling perkasa di atas dunia, yang sanggup menekuk patah tulang punggungnya sendiri, membongkar bubar rusuk-rusuknya sendiri, membetot jantungnya sendiri berdegup-degup dalam genggamannya. Tidak, aku pengecut paling memalukan yang pernah aku kenal. Selamat tinggal, Merpati Putih, selamat jalan.

No comments: