Thursday, November 11, 2021

Kekasih: Berbicaralah dengan Lembut, Sayang.


Seandainya. Aku memulai entri ini dengan "seandainya". Sebuah gagasan yang tolol, mungkin tertolol di dunia. Maka tidak jadi aku memulai entri ini dengannya. Terkadang, ketika mengetiki begini, terasa betapa lucunya bahasa ini, Bahasa Indonesia. Ketika cilok dengan diameter 1,5 sampai 2 cm sebanyak 10 biji dicampur saus sambal Belibis dan sedikit kecap saja menyakiti lambungku, belum ditambah setengah liter teh hijau madu Nu, maka ketika itulah angan melayang ke sekitar 16-an tahun lalu, ketika teh hijau Nu baru dirilis pada 2005. Waktu yang panjang, karena sekejap saja nyawa bisa melayang.


Demikian pula cireng isi, sungguh ajaib makanan ini. Tak pernah 'kusangka ia begitu penuh berkubang minyak goreng. Ketika kantung kertasnya 'kutaruh begitu saja di atas meja kaca, maka bersimbah minyak gorenglah. Dua lembar tisu wajah tidak sanggup menyerapnya, maka 'kukerahkan satu lembar lagi. Penjualnya mengatakan bahwa isinya ada beberapa macam, misalnya, keju, kornet, sosis; rasa-rasa yang mungkin akan menarik bocil. Aku tidak percaya padanya, maka begitu saja 'kukatakan: "yang mana saja." Memang ada terasa sedikit keju, berikutnya entah apa, pasta kekuningan begitu.

Lantas rasa tenggorokan yang selalu seperti ada yang tidak beres. Tidak sampai gatal, apalagi sakit, apalagi sampai sulit menelan. Mungkin sekadar kering atau entah apa. Ketika tidur malam dan tentu saja bangun pagi. Maka sebelum sarapan, usahakan melumasi dengan beberapa teguk air. Jika tidak nanti bisa tersedak dan terjadilah drama di pagi hari, ketika nasi berlumur minyak atau kuah berbumbu entah apa nyaris tersesat ke jalan nafas. Terbatuk-batuklah, sedangkan tenggorokan semakin terasa panas-panas gatal. Jangan panik, atur nafas, dan tunggulah agak sebentar. Ia Insya Allah baik kembali.

Apa betul kalau di warung kopi a la Eropa musiknya lantas umek begini. Apa betul Eropa, sedangkan jez berkembang di Amerika. Begitulah maka Jakob Heym membohongi tetangga-tetangganya bahwa tentara Amerika sudah begitu dekat, sedang mereka di Polandia. "Sudah terdengar musik jeznya," demikian kurang-lebih Jakob membohongi tetangga-tetangganya. Aku, tentu saja, bukan tetangga Jakob, meski tak pelak 'kudengarkan juga musik jez umek yang konon memenuhi tiap relung warung kopi entah di mana. Aku yang pernah tinggal di Belanda ini pernah tidak ya pergi ke warung kopi.

Oh, ada, tetapi tidak di Eropa. Ini dekat saja di tepi Margonda. Masih 'kuingat pula suasananya. Aku, tentu saja, tidak pernah memesan kopinya, meski Abdul Qodir bangun-bangun tidur pernah menenggak double espresso-nya sampai hampir pingsan. Itu seingatku masih ada Martina Dwinita. Aku paling memesan makanan yang aku sudah lupa apa. Mungkin karena memang tidak ada yang benar-benar berkesan makanannya, kecuali Janjinya Pedagang Telur. Mustahil aku menghabiskan waktu di situ menekuni koleksi National Geographic yang lumayan dahsyat. Entah, sedikit sekali yang 'kuingat.

Aku mengetiki disangga kardus begini, ditemani wanita, meski sungguh aku sendiri kesepian. Akan halnya special-o'day dapat terjadi kapan saja, demikian juga seperangkat sashimi. Sashimi, ya, bukan alat sholat. Aku tidak bisa terus begini. Lebih baik 'kumulai dengan waktu-sejati, lantas sedikit demi sedikit retroaksi. Mulai besok, mungkin saja, karena malam-malam bisa saja seperti ini, ketika hujan sekadarnya meninggalkan udara yang sejuk tidak panas iya. Beginilah hidup. Ketika dijalani sepi, ketika berakhir jangan-jangan beruntung kalau sampai sepi. Bagaimana jika hiruk-pikuk dengan ular, gegendir...

Astaga, masih saja ada satu alinea menunggu, seperti sebuah gitar tua teronggok di tengah malam. Sebegitu picisannya, seperti kisah cinta Roy Marten dan Yati Octavia di Kampus Biru. Penantianmu akan aku akhiri, alinea, karena jauh di kaki langit Amsterdam sana, awan-awan bisa saja tebal mengelabu atau bahkan berarak-arak putih seperti kapas. Aku memandanginya dari ruangan kenyal di Lantai 5 Gedung B, seperti selalu aku lakukan di Lantai 4 Gedung D. Mulai sekarang akan aku tinggalkan awalan 'ku- yang sungguh menjengkelkan. Kata ganti orang bukan awalan, begitu keputusanku.

No comments: