Friday, November 26, 2021

Nyanyian Seram: Syurup Subidub Pakdemdem


Berbagai pikiran, diragakan, disandikan atau tidak, selalu membuncah berloncatan, menjompak-jompak ke sana ke mari seperti seekor kuda tolol ketika belum dikitiki. Kalau sudah dikitiki, maka tiba-tiba saja ia menguap. Seperti ini, mengapa syurup subidub pakdemdem bisa jadi nyanyian seram bahasa Indonesianya. Maka begitu saja ibu mengintip dari balik jendela seperti seorang pebintang desa. Kurang ajar 'sih memang gagasannya. Aku juga bisa terlompat kalau begitu. Apakah hari ini aku akan merinci hari atau tidak aku belum memutuskan. Bukan karena kurang rincian, melainkan karena sedang malas.

Ah, tiba-tiba aku ingat. Tokoh aksi hahaha. Itu dia. Ya, miniatur, artinya tiruan dari yang sebenarnya dalam ukuran yang lebih kecil, seperti diskala begitu. Ini malah membahas mengenai mana yang lebih menonjol. Tidak ada artinya. Aku tidak pernah membayangkan hidupku begini. Aku selalu membayangkan hidupku di tengah-tengah laki-laki atau tidak sama sekali. Menyepi di biara besar dan sepi, dalam umurku yang setua ini, terasa mengerikan memang. Jangankan biara. Sepurderek saja sudah mengerikan bagiku. Namun ini sudah berlebihan. Memang tidak pernah ada yang pas. Selalu offside.

Ternyata suasana hatiku sedang jengkel. Apakah karena hantaman martil kecil pada beton, bisa jadi. Irfonku, setelah berdinas selama lima tahun lebih, akhirnya menyerah. Ia sudah sangat setia selama ini, dengan kekuatan yang mengagumkan, sebagaimana bisa diharapkan dari Irfon seharga dua ratus ribuan. Lagipula, babaduk bukanlah kegetiran, kepedihan, dan sebagainya itu. Babaduk sesungguhnya adalah kelemahanmu sendiri, masih saja membayang-bayangkan tokoh aksi sedang kenyatannya sudah tidak berdaya. Tokoh aksi, sebagaimana semua saja mainan, sejatinya tidak berguna bagi orang dewasa.

Sekarang, ketika martil berhenti menghantam, hatiku agak terasa tenang. Entah aku masih jengkel pada tokoh aksi. Nyatanya, semua saja mainan pasti suatu hari nanti akan usang. Kalau sudah usang maka kau akan bosan. Kau akan mencari permainan lain, yang tidak lama akan usang juga dan membuatmu bosan lagi, begitu seterusnya. Si tolol, bagaimana mau mencapai nirwana begitu caranya. Bagaimana mau moksa. Jika itu mekanis saja, untuk melepaskan beban berat kehidupan apa mau dikata. Seperti kata Instruktur Pelatih Sersan Hartman, yang ini untuk bertempur, yang ini untuk bersenang-senang.

Kapan bertempurnya, melawan diri sendiri. Tidak pernah, ini malah mengitiki. Sekarang saja sudah kriyip-kriyip maka tidak lama lagi pasti mengantuk. Apa sekarang waktunya aku bercerita mengenai Dik Savit yang, pada usia tiga puluh tahun, sudah merasa perawan tua; padahal banyak hal lain yang diceritakannya. Bertemu orang-orang pada dasarnya memang selalu menyebalkan, namun kalau tidak pernah sama sekali itu sungguh sangat melangutkan. Terlebih dengan ditingkahi melodi-melodi sok cerdik, meski warna suaranya bolehlah membuai-buai, seperti terbiasa menyanyikan puji-pujian.

Tidak ada menariknya pula menceritakan Hari Pras mengajar Hukum Administrasi Negara. Lebih baik mencaci-maki orang yang sempat terpikir kata-kata begini: "Dulu kurus sekarang gajah." Apa harus disembur dengan kata mutiara Don Showbiz. Belum perlu. Lagipula, jika ada yang harus disembur, dicucup mbunmbunan-nya, itu tidak lain adalah Haji Marsudi yang mengatakanku tambah subur. Mungkin karena aku memakai kaus kurta jumbho, meski memang aku sekarang sebesar robot pemakan sekrup. Untunglah melodi sok cerdik ini menenangkan hatiku. Jika tidak, aku pasti sudah menggerogoti.

Uah, ini ternyata lagu sinetron. Dari dulu sinetron memang terkadang indah ilustrasi musiknya. Oh, tidak. 'Kurasa aku jatuh cinta padamu, maka tolong jangan kecewakan aku juga adalah lagu sinetron yang secara tidak sengaja aku dengar ketika berbaring-baring di ranjang hotel di Palembang sekitar pertengahan 2005. Beginilah jadinya entri ini. Akankah aku ganti gambarnya yang seram itu. Seram jelas tidak, hanya menjengkelkan. Aku rasa yang terpikir membuatnya harus ditempeleng bolak dan balik dengan susumo. Aku jengkel sekali. Entri ini akan aku akhiri, karenanya, dengan kejengkelan.

No comments: