Tuesday, November 16, 2021

Bekicot dan Pohon Kacang Sukajadi Momok


Ini lebih berbahaya daripada menghancurkan peradaban, berkesenian ini. Tepat di sini ciptaku tidak berdaya, meski ruangan dalam gambaran itu sungguh mengilhamkan melimpah-ruahnya daya cipta. Namun dalam hidupku ini aku tidak pernah bermimpi memiliki ruangan seperti itu, terlebih yang dilengkapi dengan ruang belajar. Terlebih jika kerjaku hanya mengetiki begini, yang aku daku sebagai berkesenian. Sudah jelas ini bukan. Sudah jelas ini memalukan. Mengapa aku suka memamerkan kemaluanku begini rupa. Sudah tahu memalukan tapi diumbar-umbar. Apa salah dan dosa pada diri sendiri.


Lagipula, secantik apapun ruanganku, babaduk pasti akan terus mengikuti. Cukuplah diberi makan yang tidak saja mengenyangkan perut tapi memuaskan hati, tidak berapa lama babaduk pasti datang menghampiri. Memang derkukuk babaduk itu. Ia benar-benar tidak mau pergi. Padahal aku sudah tidak pernah menyentuh rokok dan minuman beralkohol. Namun sepertinya masalahnya bukan itu benar. Selama aku belum bisa mengendalikan diriku, selama itu pulalah ia akan selalu datang tak diundang, pergi tak diantar; menyisakan rasa jengkel yang tak pernah benar-benar pergi, babaduk derkukuk.

Seperti Bandrek Hanjuang ini, aku pernah meminumnya di sebuah ruang keluarga di bilangan Jacques Veltmanstraat. Memang minuman semacam ini hanya pantas diminum di tempat-tempat khusus, tempat-tempat istimewa. Bandrek Hanjuang yang kemasannya semacam tas kertas ta'iye mungil memang bukan minuman sembarangan untuk diminum sekadarnya sehari-hari. Ia adalah minuman speysial untuk saat-saat speysial. Seperti apartemen-apartemen di Jacques Veltmanstraat itu, apanya yang istimewa, aku enggan mengakui. Bang Noor Haryono Setyo Budhi, memang beliau seorang istimewa.

Selebihnya hanya gaya-gaya'an, seperti sekelompok turis melihat-lihat keindahan Amsterdam lalu mengabadikannya dalam citra-citra digital. Aku pernah melakukannya juga beberapa tahun lalu, di beberapa kota sekaligus: Amsterdam, Den Haag, Maastricht, Groningen, setidaknya empat ini yang aku ingat. Selebihnya, aku lebih suka jika masih kuat menggelandang dari Gang Pepaya sampai Depok Town Square dan balik lagi; itu pun sudah capek sekali, sekitar sepuluh tahun yang lalu, seingatku. Lagipula, buat apa berfoto di depan baliho bergambar Karl Marx di Keukenhof; Sungguh amat tidak keren. 

Ketika kau merasa rampak ternyata masih sisa tiga adalah perasaan seperti naik bis malam dari Jakarta menuju Magelang. Apakah di sakuku terdapat sebungkus rokok, apakah Sampoerna King Size atau bahkan Bentoel Biru, aku bahkan belum lagi berumur dua puluh tahun ketika itu, karena aku berumur segitu ketika bernyanyi-nyanyi di Balairung Universitas Indonesia. Sembilan belas tahun dan tolol-tololan saja kerjaku. Meski diberi kesempatan untuk membunuhi komunis dan simpatisannya, jelas tidak akan aku lakukan itu. Mungkin memang itu satu-satunya yang dapat aku kerjakan: Tolol.

Seandainya di dunia ini hanya tersedia dua pilihan bagiku, komunis atau non-komunis, sudah jelas yang mana akan aku pilih. Aku sendiri malah heran dengan orang-orang yang merasa dirinya tidak komunis. Apa dikira hanya mereka yang rajin bekerja. Aku memang pemalas dan lebih suka termangu-mangu berkhayal-khayal dibanding menggerakkan badanku, namun justru karena ketermanguan dan khayalan-khayalan itulah aku menjadi diriku. Adakah aku akan sukarela mendaftarkan diri seperti Chris Taylor begitu, mungkin jika aku sudah suisidal, bosan hidup. Itu mungkin saja terjadi. 

Jangankan sampai begini, aku rasa, dari muda padaku sudah ada kecenderungan suisidal. Aku terlalu masa bodoh pada apapun, termasuk dan terutama, diri dan hidupku sendiri. Kalau diri dan hidup orang lain aku masih sering peduli. Diri dan hidupku, uah, aku selalu merasa tidak berguna. Apakah ini rasa yang ditanamkan babaduk pada kesadaranku, jari-jariku rampak mengetiki kibor blutut ini. [Awas blutut, bukan butut ya] Ini kibor blutut baru. Cantik yang membelinya. Tidak ada rasa kasihanku pada mahluk malang, karena pada dasarnya aku memang pengiba. Ya, aku mudah jatuh iba.

No comments: