Monday, November 08, 2021

Kapan Baiknya Menerbitkan Entri Ini. Tiap Hari


Aku memulai pagiku ini tidak dengan doa sunyi, apalagi suci. Aku bahkan sudah tidak peduli jika entri ini akan diterbitkan secara progresi, waktu-sejati, atau retroaksi. Memang dibutuhkan badan yang sepenuhnya sehat agar pikiran sanggup berkebat-kebit berkesiuran, atau bahkan melayang-layang mengambang di awang-awang. Jangankan Cantik, aku sendiri sudah bosan setiap kali membicarakan rasa badan yang tidak sepenuhnya enak. "Seharusnya, apapun cuacanya, badan tetap enak." Begitu kata Cantik.


'Kurasa baru sekali ini aku memasang gambar sebelum memulai alinea kedua. Bahkan judul untuk entri ini sudah 'kusiapkan sebelum mulai mengetiki alinea pertama. Ini mungkin karena aku memulai semua ini dengan doa sunyi yang panjang. Aku tidak tahu apakah doa sunyiku suci, sedang harum teratai belum juga tercium, meski sudah teruar cukup lama, Maka 'kuambil suatu tindakan drastis: Menguarkan keharuman maharaja emas tepat di sampingku! Begitulah kalau sedang berdoa. Jangan tanggung-tanggung.

Ketika Senin menjelang, harapan akan keadaan jasmani rohani yang terasa enak, syukur-syukur segar bugar selalu membumbung. Berapa sering harapan itu menjadi kenyataan, jika aku cukup durhaka maka akan 'kukatakan: hampir tidak pernah. Seakan-akan aku melupakan petuah Sersan Elias Grodin bahwa merasa enak itu sudah cukup bagus. Lantas kalau jasmani rohanimu tidak pernah benar-benar seratus persen enak, kau tidak mau ikut patroli tempur, memasang jebakan, menghadapkan claymore ke arah musuh.

Halah ini doa sunyi berlagak bayi-bayi segala, seperti seorang Boss segala memasang dangdut koplo ketika seorang satpam berwibawa sedang berjaga. Apa betul yang 'kurasakan, tak sanggup 'kulukiskan. Aku bahkan tidak cukup tenaga mental untuk mengakui bahwa aku sekadar menyeret badan sekwintal-lebihku dari hari ke hari. Penyintesa ini memang terkadang menjengkelkan suaranya, andalan Jepang ini. Masih bagus Jepang, masih ada yang diandalkan meski bukan lagi samurai, katana atau zero.

Dari keadaan duduk tegak, keharuman maharaja emas terkadang melintas membelai indera penciuman. Jika kauingin agak lebih keras harumnya, cukup tundukkan kepalamu sedikit untuk menghirup asap-asapnya. Sedang jari-jarimu sibuk mengetiki, 'kuputuskan untuk mengakhiri kalimat sebelum ini setelah asap-asapnya, karena Kitaro tiba-tiba memuja-muji wanita. Ahaha, klise. Apa kaupikir kau semacam John Lennon begitu. Mengapa pujianmu terdengar seperti pujian Gitar Gutawar pada ibunya hahaha.

Sambil mencuci gelas barusan aku membatin, "akankah aku masih memiliki cukup tenaga untuk membereskan rumah setelah ini." Ucus menyahut dengan melintas di luar jendela dapur tepat di samping kiriku. Jangankan tenaga, ketika aku membetulkan letak dudukku barusan, perutku terasa perih. Ah, sudahlah, dicatat begini juga tidak akan memperbaiki keadaan. Biarlah 'kusimak suara sintesa biola ini. Aku yakin ini bukan akustik. Aduhai mengapa tiba-tiba tambur dan naviri perang bersahut-sahutan begini.

Tidak akan 'kubenarkan dengan cara apapun. Inilah senyatanya, adanya. Telah pernah 'kukatakan, entri hari ini belum tentu diketik hari ini. Tidak karena aku mengonsepnya terlebih dulu baru diterbitkan. Tidak, karena memang begitu saja 'lah adanya. Aku melakukan apapun semauku sendiri. Hei, aku sudah tidak punya hobi atau kesukaan apapun, kini aku tidak boleh berbuat semauku sendiri. Uah, akhirnya pertempuran itu berakhir. Siapa yang menang, aku tidak peduli. Aku melangkah menjauhi medan laga.

No comments: