Wednesday, November 10, 2021

Suatu Entri Mengenai Hari Pahlawan 2021


Siapa yang boleh protes jika 'kumulai entri ini dengan, "siapa yang boleh protes." Bahkan, sekitar tiga jam yang lalu, aku akan membuka entri ini dengan, "siapa yang boleh protes kalau badanku bersimbah keringat gara-gara sayur asem-aseman baru matang boleh buat sendiri, masih ditingkahi telur dadar gemuk asin dan sambel terasi botolan sekali." Masalah sebenarnya bukan siapa yang boleh protes, melainkan siapa yang mau peduli. Hahaha; aku tertawa getir, sendiri menertawakan diri sendiri begini.


Untunglah koleksi alfabetikal dehaman dan hembusan saksofon Fausto Papetti-ku sungguh asyiknya, mirip seperti koleksi kaset-kaset irama instrumentalia Ibuku dahulu. Jangankan sampai yang jauh-jauh, mengingat-ingat pemutar kaset Polytron abu-abu muda dengan penutup pengeras-suara biru kobalt saja sudah sungguh nyamannya. Pada akhirnya, Bapak dan Ibuku adalah pahlawan-pahlawanku; dan dengan ini maka aku cukupkan bahasan mengenai pahlawan dalam entri ini. Bukan di sini tempat berdoa.

Apakah Rumena menata rambutnya pendek saja sedang ujung-ujungnya digulung keluar, itu dari masa ketika Ibuku remaja. Pada masaku remaja aku tidak terlalu menyimak seperti apa rambut gadis-gadis ditata. Entah mengapa justru ingatan melayang pada suatu ketika yang sungguh menyakitkan sekali, yang entah bagaimana menyandinya. Jelasnya, memang begitulah masa dewasa mudaku, yakni ketika aku mulai meninggalkan usia belasan beranjak dua puluhan; masa yang sedih 'tuk dikenang.

Ketika tempat alinea-alinea sudah disiapkan, ketika itulah aku melangkah gontai penuh dendam. Uang sudah tidak punya, pulang entah ke mana. Sesampainya di rumah badan berselimut debu sedang langit sudah terang cuaca. Aku berjalan sekadar berpedoman pada rambu-rambu penunjuk arah sepanjang jalan. Mengapa ketika itu aku tidak menjalani hari-hari sebagai sersan taruna muda di Bumi Moro saja, suatu pertanyaan yang tidak terjawabkan sehingga kini. Bahkan sekarang setelah aku setua, selemah ini.

Aku malah memilih hidup sebagai Gembala Kesepian. Di sini sebenarnya aku ingin mengetik sebuah onomatope erangan, namun entah mengapa aku merasa selalu harus mengursifkannya, dan aku malas. Jadi intinya, setelah kelamaan berurusan dengan perempuan cantik tapi bodoh, seekor burung kondor begitu saja melintas. Ini semua entah bagaimana mempertemukanku kembali dengan Emma, yang dalam kehidupan sebenarnya sudah pasti aku malas bertemu. Biarlah Emma selalu hidup dalam khayalku.

Ini adalah sebuah entri yang jelek sekali. Jangankan untuk keperluan Hari Pahlawan, untuk kepentingan apapun saja entri ini jelek sekali. Maka biarlah Mata di Langit itu menatapku, meski benar-benar aku tidak ingin menyelami makna spiritualnya. Bagiku, sepintas ia seperti mistisisme yang tidak cerdas, alias sekadar pura-pura mistis. Mana pakai, "Aku bisa membaca pikiranmu," aku berseru agak melecehkan. Hanya hentakan dan alunannya saja yang patut dihargai, syairnya tidak. Aku harus mengganti parfum.

Uah, pantas alinea menjadi lebih pendek-pendek. Ternyata lebar layar tablet Samsung Galaxy A beda dengan laptop Asus VivoBook, maka patokannya pun berbeda pula. Jadi alinea terakhir ini akan 'kuapakan. Apakah 'kusamakan dengan yang sebelum-sebelumnya, atau 'kugunakan saja patokan yang baru ini. Patokan mana pun, yang jelas sekarang aku tiba-tiba menjadi sibuk, meski tentu saja tidak tepat hari ini sebagaimana tertera pada tanggalnya. Apakah ini terhitung sebagai kepahlawanan aku tidak peduli. Pahala atau dosa bukan urusanku. Urusanku adalah berusaha sebaik yang aku bisa.

No comments: