Tuesday, November 09, 2021

Jakartasiana La Niga Parah Rasis. Perasaannya


Mau sampai kapan, untuk menggunakan istilah Togar, meracau begini, ketika ingatan begitu saja melayang ke sisi timur kolam renang Bulungan, Jakarta Selatan, di mana ada banyak orang berjualan. Jikapun pada saat itu aku punya uang, tidak mungkin tidak, itu pasti uang dari hasil jerih payah swargi Bapak. 'Kugunakan untuk apa ketika itu uangnya, entahlah. Semoga tidak akan pernah lagi ada uang lima puluh ribuan yang bernasib sama dengan uang pemberian Mas Babas pada awal 1996 yang berhujan itu.


Astaga dari akhir abad yang lalu, ketika mati bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran. Dari situ tiba-tiba saja kenangan mengelana ke Kukusan Teknik. 'Kurasa gang itu paralel di sebelah barat jalan yang kemudian ada pesantren Abah Hasimnya; sedang adikku kini menjadi seorang Abah juga, meski tulisannya Abba. Gang itu menurun ke utara, seingatku, dengan rumah petakan (RPT) berderet-deret. Pada saat itu aku sok dewasa begitu, meski sebenarnya tolol minta ampun, sungguh dungu namun pongah.

Menyanding segelas plastik air hangat cenderung panas guna membasuh sisa-sisa minuman coklat dari Ayahnya Faw di pagi hari bermendung memang sebaiknya ditemani oleh Jez Alus, di mana terompet berpengedam menjadi suara utamanya. Tidak, aku tidak berakhir gila. Apapun yang terjadi, jikapun untuk Aryo dan Sodjo, akan 'kupertahankan kewarasanku seperti akar-akar bambu mencengkam kuat tanah miring di tepi-tepi sungai. Tetap saja tuyul anti pesawat udara berkubang di sebelum terminal.

Apa ini kegilaan, apa ini katatoni, apa ini racauan. Apapun ini, dipan Yangyut ketika masih di pavilyun pernah 'kutiduri tanpa kasur, tepat di atas papan jatinya. Apakah itu 'ketika Phil Perry masih memekik-mekik, atau Jay Graydon meratap-ratap meminta Roxann tetap mencintai atau menyayanginya. Uah, seakan cinta dan [kasih-] sayang bukan jatah swargi Bapak dan anak-anaknya. Untuk yang satu ini tegas 'kukatakan: "Tidak!" 'Kuusahakan semampuku dengan doa dan usaha. Semoga Allah memberkati.  

Apakah dengan demikian Kemacangondrongan menjadi tidak relevan. Apakah harus diganti dengan semacam Dasa, Delta Sari, atau Yado sekali, 'kurasa tidak. Justru semakin relevan karena damai di bumi berarti damai juga di surga, meski orang belum sepakat apakah surga itu taman atau langit. Apa pula itu kahyangan tidak perlu dipusingkan sekarang. Biar orang-orang seperti Kang Marthin Elia saja yang memikirkannya, senyampang Asep Rahmat Fajar--papanya Cana dan Garda itu--sudah meninggal dunia.

Ini entri menyebut nama-nama, meski ada nama-nama yang dorman begitu saja di ujung lidah. Masih bagus tidak sariawan, nanti tidak terbang seperti Perwira Pertama Alfrance Berardi Nasution. Kebanggaan seorang bapak demi melihat anak laki-lakinya tumbuh seperti dalam bayangannya. Anak laki-laki biasanya memang tidak punya ide apa-apa mengenai dirinya sendiri, sekadar menjadi seperti apa yang dibayangkan bapaknya; Mungkin anak laki-laki sulung. Itulah sebabnya aku tidak pernah suka soto sulung. Yikes.

Sungguh menjengkelkan harus memasang apostrof di depan kata ganti diriku sendiri ketika dijadikan awalan bagi kata kerja. Itulah kejengkelan yang kronis dan akut. Ketika segala sesuatunya sudah berbeda, rasa yang membelai kulit, kepala botak, yang menimbulkan suasana hati tertentu. Terasa sempit ketika dahulunya lapang, toko kelontong begitu saja berubah menjadi warung ayam bakar entah geprek. Semua tak sama, tak pernah sama, apa yang kauapakan pun; kata ganti orang kedua nirapostrof.

No comments: