Sunday, August 23, 2015

Mencium Matamu, Mendengarmu Mendesah


Omigod aku malas sekali menulis, padahal setidaknya ada satu, dua bahkan tiga tulisan yang harus kuselesaikan segera. Ini parah, maka kupaksakan di Minggu siang yang terik ini, menjelang tengah hari, keberondongkan saja kata-kata. Pokoknya menulis dulu meski hanya ketak-ketik, mana tahu dengan begini semangat menulis timbul sendiri. Cantik dan Anak Perempuannya sedang menjenguk tetangga di Bunda Margonda dan aku bersama Anak Gendut di kamar sebelah. Ditemani But Beautiful oleh Nat King Cole, aku mencoba membangun suasana hati.

Sudah kukatakan pada Takwa bahwa aku membutuhkan ruang kerja yang tenang dan damai di mana aku sampai dapat mendengar pikiran-pikiranku sendiri. Sekarang ini saja aku sudah mengkhayalkan, bahwa aku akan segera mendapatkannya. Jika aku benar-benar mendapatkannya, wow, dapat kubayangkan betapa produktifnya aku. Begini saja aku sudah cukup lancar memberondongkan kata-kata, terlebih bila kondisi itu sampai benar-benar terpenuhi. Entah rumah, entah apapun. Ruko misalnya, tidak masalah bagiku. Apapun itu sepanjang tersedia pojok sunyi, tenang dan damai, hanya untukku.

Memang bisaku hanya ini. Seberapa besar gunanya kebisaanku ini, dapatkah ia mengantarku untuk mewujudkan obsesiku, jika diingat-ingat memang memasygulkan. Maka lebih baik tidak usah diingat-ingat. Dikerjakan saja, dijalani. Nanti kalau aku tahu persis jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, bisa jadi aku malah sombong, malah berbangga diri. Lebih baik begini, selalu merasa kecil tidak berarti. Terlebih bagiku yang memang terlahir sombong, begini lebih baik untuk kesehatan jiwa dan ragaku—meski masih bisa dibuat lebih baik lagi.

Minggu siang yang terik berangin ini, menjelang tengah hari, dihiasi oleh pengkhianatan Nat King Cole pada musik rasnya, dan selintas bau syringa putih dibawa angin lalu. Maha Suci Allah! Perasaan ini saja seharusnya sudah cukup untuk menciptakan suasana hati. Namun sepertinya aku salah. Ini bukan bau syringa putih. Ini bau parfum pelembut Downy karena aku mengetik pas di depan jendela, sedangkan di sebaliknya langsung adalah jemuran. Bau apa ini, ya?

Baru selesai satu kalimat dari paragraf sebelum ini, adzan Dhuhur berkumandang. Maka kusuruh Anak Gendut menghentikan permainan komputernya untuk segera mengambil wudhu. Lalu kami shalat berjamaah. Anak gendut ini, menurutku, sudah terlalu tua untuk terus-terusan main-main dalam shalatnya—tapi sudahlah. Aha, barusan aku mendengar penyemprot otomatis pengharum ruangan masih bekerja. Dari bunyinya, seharusnya masih berisi. Ah, aku memang suka harum-haruman. Ruang kerja yang sunyi, nyaman, tenang dan damai, harum pula... Uah, tidak ada lagi yang masih diinginkan seorang lelaki.

Kini perutku sudah terasa lapar. Beginilah jadinya jika sarapan bubur. Cepat lapar lagi. Setelah ini mungkin aku akan mengajak Anak Gendut pergi cari makan. [atau tidakkah sebaiknya kutelpon Bundanya dulu, mana tahu mereka sudah dalam perjalanan pulang] Makan pun mana enak kalau sendirian. Makan harus ada temannya, terlebih baik jika bisa makan sekeluarga. Makan apa ya enaknya? Masa Loteriwa lagi? Tadi malam aku baru coba menu baru di sana, namanya semacam Nasi Kari begitu.

Paragraf ini kutulis setelah matahari jauh tergelincir ke arah barat. Tak lama setelah kutulis paragraf sebelum ini, Cantik pulang. Maka pergilah kami berempat ke Es Tujuh Teler-teler di Ruko Waterpark GDC. Di sinilah kusadari betapa memang aku sedang sangat malas menulis—meskipun Tante Connie dari suaranya saja terdengar cantik, meski ia seperti Bunda Dorce, kata Cantik. Lucu sekali mengapa ada waktu-waktu seperti ini, mungkin karena aku tidak memiliki ruang kerja itu. Ah, tidak juga...

All the Best Connie Francis CD 2

No comments: