Monday, September 07, 2015

Engran Sarapan Ketiga [Ya Salam Kunonya]


Seperti minggu lalu, Senin pagi ini pun aku mengawaki battlestation-ku. [battle ‘pala lu adem] Bedanya, hari ini tidak berpuasa, maka pagi ini aku sarapan di ndalemnya Bude Ning. Sarapannya terdiri dari sedikit nasi, dua potong kentang semur, sesendok tumis buncis dan tumis sardencis. Adanya saya bisa sarapan di ndalemnya Bude Ning itu, ada tape Bondowoso. Tape itu kagem Bapak, sedangkan Bapak sepertinya sedang enggan tindak-tindak. Jadilah aku menjemput tape sebesek itu dan mengantarkannya ke Jalan Radio, Insya Allah, agak sebentar ini.

Sepanjang perjalanan mencongklang Pario terjadi perdebatan batin. Apakah aku langsung ke Jalan Radio atau mampir dulu ke STR. Akhirnya kuputuskan untuk mampir dengan tujuan sekadar mendapatkan cerita-cerita baru dari Takwa, siapa tahu menjadi tambahan amunisi. Sudah jam sepuluh lewat dan Pak Dirut belum kelihatan. Kalaupun ternyata hari ini dia tidak muncul, aku bersyukur sudah memutuskan untuk mampir di STR, karena battlestation-ku di sini betapa permainya. Dengan lantai yang tertutup karpet, rasanya hampir seperti loteng belajar MGSoG.

Entah bagaimana caranya, tadi waktu sarapan di ndalemnya Bude Ning sampai lupa minum. Akhirnya ketika melalui pintu perlintasan rel Pondok Cina aku mampir di gerobak rokok beli Aqua. Mampir lagi di depan kantin RIK pasang penyumbat telinga, berhenti lagi di depan parkiran mesjid untuk makan sebutir Teman Nelayan, sampai akhirnya mengantri bensin sebelum Deptan. Apapun itu, sekarang aku di battlestation-ku sedangkan di sisi X450C sebentuk mug porselin bertuliskan “Gazz” berisi teh Tong Tji hangat—sedangkan di telingaku mengalun Jejak-jejak Cinta.

Tadi ketika melalui Plaza Eleos [awas, bukan “eloes” ya...] sempat terlintas sedikit mengenainya. Uah, lagu ini siakle betul! Lirik dan melodinya seakan sepakat bekerja sama untuk melembekkan hati. Ehsikampret Winamp shuffle ini ternyata juga ikut-ikutan berkonspirasi dengan menyusulkan Sebuah Rumah bukan Sebuah Rumah—karena orang Indonesia tidak membedakan antara house dengan home. House ya harus home. Hanya itu guna satu-satunya. [Bagaimana dengan rumah pemotongan hewan, rumah sakit, rumah makan?] Uah, bisa jadi entri gak makna nih kalau diterus-teruskan begini.

Seselesainya entri ini, kalau belum ada sahutan dari Takwa, ada baiknya aku mulai mencari Engran. Astaga, ternyata sekarang sudah sangat sulit mencari Engran. Iya lah. Kurasa jaman keemasannya adalah akhir ’70-an, hampir sama dengan jaman keemasan lagu-lagu yang mengalun-alun di telingaku ini. Pada saat itu, Pak Harto tengah berada pada usia 50-an, seperti Pak Jokowi sekarang. Ya, jaman memang sudah berubah jauh. Aku generasi ’90-an. Togar generasi ’00-an. Mahasiswa-mahasiswaku kini generasi ’10-an. Khairaditta dan Faw generasi ’20-an, Insya Allah.

Ya sudahlah, daripada Arjan Brass terus meratap memanggil-manggil Leony, baik dilanjutkan saja dengan... Quiereme Mucho oleh Tante Connie! Namun sebelum itu ada baiknya jika tehku ditambahi air panas lagi. Ketika aku ke pantri tadi ada bungkus Goodday Chococino yang tidak masuk ke dalam keranjang sampah, salah satu hal yang Insya Allah sudah berhenti menjadi bagian dari hidupku, Insya Allah sampai ia berakhir. Semoga semakin banyak kebiasaan buruk yang berhenti menjadi bagian dari hidupku sampai akhirnya.

Bagaimana kalau sampai lohor Takwa tidak muncul juga. Ya tidak apa-apa, Insya Allah aku langsung saja lanjut ke Jalan Radio. Semoga matahari sudi menyembunyikan diri agak sebentar siang ini. Setua apapun aku, meski sudah seperti bapak-bapak seperti kata Mas Andik tadi, tetap saja aku Boni jika bertemu dengan Bude Ning, bersama Bapak dan Ibu. Begitu itulah hidup. Begitu jugalah mungkin dahulu Pakde Binto almarhum dan Pakde Lentu dengan Akung Uti.

No comments: